Sunday, April 27, 2008

Menimbang rakyat atau menambang emas? (Tentang rencana tambang di Lembata)

KESEJAHTERAAN rakyat sejatinya menjadi tujuan dari setiap kebijakan publik. Ungkapan sejahtera memiliki makna jauh lebih luas daripada sekadar penambahan kekayaan material. Sejahtera menyangkut pula rasa nyaman berada dan berada dalam lingkungan budaya dan alam tertentu. Justru karena itu, menjadi bagian dari kesejahteraan adalah kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup.

Kejelasan orientasi budaya ditunjukkan oleh keberakaran dalam budaya tertentu, yang menjadi dasar utama bagi pengenalan dan penghargaan terhadap kebudayaan lain. Walaupun dewasa ini orang berbicara mengenai "toko serba ada" kebudayaan, namun corak budaya ini hanya dapat terbentuk apabila tetap ada "rumah" budaya yang khas. Kita dapat dan mesti bertemu dan belajar dari banyak kebudayaan, tetapi kita perlu memiliki satu kerangka budaya sendiri. Orang tidak dapat menjadi warga kebudayaan dunia tanpa punya tanah air budaya tertentu.

Orientasi budaya berkaitan dengan tempat diam dan pola kerja. Pindah tempat tinggal dan ganti pekerjaan akan berakibat pada perubahan pola pikir dan gaya hidup. Orang kampung yang pindah ke kota, atau sebaliknya, akan mengalami pergeseran budaya. Suasana yang berkaitan erat dengan pemahaman dan penghayatan kegiatan budaya tertentu pasti tidap mudah diciptakan, dan kalaupun diciptakan, hanya merupakan ciptaan yang momentan sifatnya. Paling jauh, budaya seperti itu cuma tampak pada festival budaya, yang diperagakan dan dipertontonkan, tanpa sebuah masyarakat pendukung yang bersifat tetap. Penghuni rumah bambu yang beralih menjadi pemilik apartemen pasti mengalami dan memahami hidup secara lain. Atau, seorang intelektual kritis yang pindah profesi menjadi penulis atau pembicara bayaran penguasa dan pengusaha, akan menunjukkan pemikiran dan gaya hidup yang berbeda.

Mutu lingkungan hidup ditentukan oleh kondisi hidup yang tidak tercemar oleh berbagai asap dan limbah industri, yang menjadikan bumi "rumah kematian" bagi berbagai spesies makhluk hidup, termasuk manusia. Pergeseran ini pun ditentukan oleh gaya hidup dan pola kerja. Tingginya mobilitas berakibat pada penambahan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, yang lebih lanjut bermuara pada meningkatnya polusi udara, laut dan tanah. Usaha yang terus dilakukan adalah menjawabi tuntutan mobilitas sambil menekan konsekuensi polusi.

Kalau kita berbicara mengenai pentingnya kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan, itu tidak berarti kita mengutuk segala bentuk perubahan. Perubahan mesti terjadi dan sungguh terjadi. Karena itu, kita perlu merencanakan danmempengaruhinya, agar kita tidak menjadi korban perubahan. Termasuk dalam strategi untuk turut merencanakan dan mempengaruhi perubahan adalah melibatkan masyarakat dalam merancang perubahan. Tanpa melibatkan masyarakat, perubahan yang dilakukan, betapapun luhur motivasinya, hanya akan menjadikan rakyat itu korban perubahan yang dipikirkan dan diputuskan orang lain. Kesejahteraan meliputi pula suasana batin yang tercipta dalam budaya dan di tengah lingkungan hidup yang tertentu. Masyarakat tidak dapat dipaksa untuk menjadi sejahtera.

Memperhatikan realitas, bahwa yang paling merasakan makna dari kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup adalah rakyat, maka pembangunan dewasa ini tidak lagi terlaksana menurut pola hirarkis. Sebagai gantinya, orang menggunakan pola pembangunan partisipatif. Di sini, rakyat tidak dipandang sebagai manusia bodoh yang tidak mengetahui apa yang baik bagi dirinya. Tentu saja rakyat bisa kekurangan informasi, atau dijejali dengan informasi yang palsu. Namun kalau rakyat tetap dilihat dan dihormati sebagai pemilik kedaulatan, maka sikap dan putusannya itulah yang harus didengar. Inilah inti demokrasi. Dalam alam demokrasi, berbagai pemangku kepentingan berperan memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengambil sikap, dan pemerintah bertugas sebagai penyimpul kebijakan.

Dalam kasus rencana tambang di Lembata, rakyat Leragere sebagai warga salah satu calon lokasi tambang telah menyatakan sikapnya secara jelas: menolak tambang. Berdasarkan informasi yang mereka terima, baik dari pemerintah maupun dari LSM, mereka menentukan sikapnya, yang dikukuhkan dengan ritus adat. Potensi lokal berupa ritus adat dimanfaatkan untuk meneguhkan kesatuan dalam perjuangan dan mengukuhkan cara damai dalam menyatakan sikapnya. Sikap mereka jelas, cara perjuangan mereka terhormat.

Tentu saja ada banyak pertimbangan yang melatari sikap masyarakat Leragere ini. Di antaranya adalah kebutuhan akan kejelasan orientasi budaya dan masalah kualitas lingkungan. Memindahkan rakyat ini ke sebuah tempat lain, pasti akan membawa perubahan budaya. Memukimkan mereka di apartemen mewah dan membangun mal entah di mana tentu saja akan membuat mereka berpikir dan berpola hidup secara lain. Tidak berlebihan kecemasan yang disampaikan, bahwa memindahkan orang Leragere berarti menghancurkan budaya Leragere. Tak akan ada lagi masyarakat Leragere. Mengalihkan hutan lindung, yang pengelolaannya tahun lalu diserahkan kepada masyarakat melalui keputusan Bupati Lembata dan disyukuri dengan misa yang dipimpin oleh bapak Uskup Larantuka, menjadi kawasan tambang, tidak akan berlangsung tanpa goncangan budaya yang besar.

Masyarakat memilih untuk menetap di ruang yang sudah dikenal dan dihargainya, menjalankan pekerjaan yang telah memberinya rasa harga diri tertentu. Itu tak berarti mereka tak akan mengalami kegoncangan budaya. Pengaruh dari luar terusmenghantam melalui berbagai interaksi sosial dan komunikasi, harga hasil pertaniannya turun naik bagai gelombang laut pada bibir pantainya. Kendati demikian, mereka merasa masih dapat menyesuaikan diri dalam kegoncangan seperti ini, daripada harus mengalami kebingungan dan ketidakpastian yang dibawa serta oleh rencana tambang.

Menanggapi sikap masyarakat ini, macam-macam argumen yang disampaikan pihak pemerintah dan para pendukungnya. Salah satu di antaranya adalah soal waktu yang terlalu dini untuk sikap seperti itu. "Ini baru tahap eksplorasi, belum eksploitasi", atau "Mulai saja, kalau nanti ada dampak negatifnya, kita bisa batalkan". Hemat saya, logika seperti ini sangat mencemaskan ketika diucapkan oleh para pejabat dan politisi, dan meresahkan saat disampaikan oleh orang-orang pintar yang berperan sebagai pembisiknya.

Logika ini mencemaskan, karena justru dalam cara pikir banyak kegiatan pemerintah dilakukan tanpa fungsi yang jelas. Dalam logika seperti ini menjadi nyata pemikiran bahwa eksplorasi dan eksploitasi memiliki kaitan yang gampang dipatahkan. Orang berpikir, seolah tidak ada hubungan yang mendesak antara eksplorasi dan eksploitasi. Karena berpikir seperti ini, maka dengan gampang orang berbicara dan memaksa rakyat untuk mengizinkan tahapan eksplorasi. Toh belum sampai eksploitasi. Padahal, eksplorasi adalah sebuah penelitian yang menggunakan sampel, berdasarkan sejumlah penelitian terdahulu. Eksplorasi bukanlah tindakan penelitian pertama. Hanya karena ada dasar yang kuat berdasarkan penelitian lain, maka eksplorasi dijalankan. Sebab itu, apabila sebuah kegiatan penambangan sudah masuk pada tahap eksplorasi, maka itu berarti sudah ada arah yang jelas untuk dikejar. Rencana sudah matang, tinggal dikuatkan lagi dengan hasil eksplorasi. Dalam arti ini, eksplorasi memang "hanya" melengkapi data penelitian terdahulu, namun justru karena itu dia tidak lagi menjadi "hanya" eksplorasi yang bisa dibiarkan tanpa komentar hingga mulainya eksploitasi.

Kita dapat menganalogikan eksplorasi dengan studi banding para anggota DPR/DPRD. Apabila kita mempunyai para wakil rakyat yang serius, maka studi banding hanya dilakukan apabila mereka telah membuat studi yang mendalam di tempat sendiri tentang apa yang mau dibangun dan memiliki sebuah rencana yang jelas. Jika tidak, studi banding hanya merupakan sebuah kegiatan penghamburan. Namun, apabila kita memiliki anggota DPR yang membuat studi banding hanya berdasarkan undangan dari pusat, atau sekadar ada variasi di tengah berbagai persoalan daerah, tanpa memiliki satu rencana yang jelas dari daerahnya sendiri, maka tidak heran apabila para wakil rakyat seperti ini bisa dengan gampang berbicara tentang eksplorasi tanpa ikatan yang kuat dengan eksploitasi. Kalau para wakil rakyat membuat studi banding tanpa ada rencana yang jelas dan matang untuk daerahnya, maka mereka juga akan mudah terjebak dalam pemikiran, bahwa sebuah perusahaan pun dengan gampang melakukan eksplorasi tanpa ada rencanayang matang untuk melakukan eksploitasi.

Logika di atas pun mencemaskan karena cara pikir seperti ini berakibat pada berbagai proyek pembangunan yang mubazir. Sejumlah politisi dan pejabat terperangkap dalam pemikiran bahwa sebuah bangunan akan dengan sendirinya mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari pemikiran seperti ini, orang membangun pasar di tempat tertentu tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Bayangannya, kalau sudah ada sarana yang dibangun, masyarakat dengan sendirinya akan hijrah ke sana. Kalaupun nanti tidak demikian, kesalahannya ada pada masyarakat yang terlalu bodoh untuk menangkap maksud baik pemerintah. Dengan cara pikir seperti ini, orang berpikir bahwa masyarakat pasti akan menjadi terbiasa dan akhirnya menerima tambang, atau apabila nanti mereka tetap tidak menerima, pemerintah dengan mudah saja dapat menghentikan investasi sebuah perusahaan.

Argumentasi seperti ini menjadi sangat meresahkan ketika disampaikan oleh orang-orang yang menyebut diri pandai dan berperan sebagai pembisik penguasa. Tampaknya mereka menyederhanakan persoalan. Kegiatan tambang, dalam pandangan mereka, sepertinya dapat dianalogikan dengan aksi seorang penjual korek api ajaib yang sanggup membakar hanya objek-objek terpilih. Misalnya, objek terpilih itu adalah rambut uban di kepala. Si penjual korek api ajaib menjamin bahwa api dari korek apinya hanya akan membakar dan menghanguskan rambut uban. Penjualan dilakukan secara bersyarat. Jika ternyata yang terbakar dan hangus bukan rambut uban, tetapi semua rambut, maka penjualan dibatalkan. Tentu sebuah tawaran yang menarik. Namun, apa artinya pembatalan kalau rambut sudah terbakar dan hangus seluruhnya? Lebih parah lagi kalau yang dijual adalah sebilah parang yang dijamin tidak akan memenggal kepala kalau ditebas pada leher. Penambangan pun bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dianalogikan dengan mengisi teka-teki silang menggunakan pensil. Kalau salah, maka dengan mudah jawaban dihapus. Taruhannya terlalu besar, yakni kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesejahteraan masyarakat.

Rakyat Leragere sudah menyatakan kehendaknya, atas cara apa mereka yang menjadi sejahtera. Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan mereka mesti memperhatikan sikap ini. Bobot pernyataan sikap masyarakat ini harus dinilai jauh berat daripada segala macam tawaran kemudahan yang dijanjikan pengusaha. Kalau penguasa di Lembata sungguh menimbang rakyatnya, memasukkan ke dalam kerangka pertimbangannya kehendak masyarakat, maka mereka tidak akan memaksakan tambang. Memaksakan tambang dengan argumen demi kesejahteraan rakyat, padahal rakyat sendiri menolaknya, tentu saja merupakan sebuah kontradiksi. Tak ada kesejahteraan di bawah paksaan. Rakyat Leragere yang dipandang bodoh sudah melihat kontradiksi ini. Bagaimana mungkin parapolitisi dan penguasa serta orang cerdik pandainya di Lembata tidak melihatnya?

Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 23 Juni 2007

Etika Ekologi yang Biosentris

DEWASA ini, hubungan manusia dengan alam mulai rusak. Manusia telah mendominasi alam. Alam dijadikan sebagai obyek eksploitasi demi kepentingan manusia. Eksistensi alam kurang diperhitungkan lagi sebagai yang otonom dan memiliki nilai intrinsik (intrinsic value) di dalam dirinya. Alam tidak lagi dihargai sebagai suatu fenomen yang mempunyai orde kosmik di dalam dirinya. Alam kurang lagi dipahami sebagai realitas yang mengandung nilai kehidupan di dalam dirinya. Nilai alam dikenakan atau diberikan dari luar. Alam bernilai hanya sejauh berfungsi menunjang kebutuhan hidup manusia.

Bahaya Antroposentrisme

Tak dapat disangkal bahwa dominasi manusia terhadap alam telah lama dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Sejak René Descartes, manusia dipandang sebagai res cogitans - makhluk berpikir yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, lebih luhur dan lebih mulia dari alam. Di pihak lain, alam atau realitas non human hanya dilihat sebagai res extensa - perluasan dari kumpulan benda-benda yang tidak bernilai, karena tidak mempunyai kemampuan berpikir dan berkesadaran di dalam dirinya.

Akhir-akhir ini, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan pelbagai kebijakan condong lebih mementingkan nilai-nilai yang humand oritented. Interese manusia dalam segala aspek kehidupan menjadi orientasi utama. Sistim sosial dan politik diciptakan hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianpun kegiatan ekonomi dalam skala besar selalu menjadikan manusia sebagai sentral. Kalau toh ada kebijakan yang disebut environmental policy, tampak juga bahwa kebijakan itu berorientasi untuk melayani kepentingan manusia juga.

Dalam hubungan dengan alam, mesti diakui, bahwa manusia menjadi sangat egois dan serakah. Filsuf Emmanuel Levinas menggunakan term totalitè untuk melukiskan totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Dalam egoismenya, manusia memandang realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenanganku. Sesungguhnya sikap seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah satu-satunya yang paling utama. Levinas menyebutnya le Moi comme singularitè (Levinas, Entre Nous, 1991, 36). Memang benar, di jagat raya ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang paling ekspansif, progresif dan bahkan destruktif.

Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007 memperlihatkan suatu kecemasan yang besar. Sikap manusia yang memproduksi dan mengonsumsi energi di luar batas-batas yang wajar telah menimbulkan bahaya pemanasan global (emisi CO2) sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kenaikan temperatur yang drastis dan perubahan musim yang tidak menentu dapat mengancam kehidupan manusia. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya. Dari pelbagai bencana yang melanda dunia dewasa ini (terlepas dari bencana karena proses natural seperti gempa bumi, tsunami, gunung api), bencana banjir atau lumpur, bencana tanah longsor dan kebakaran hutan harus dilihat sebagai bencana yang disebabkan oleh sikap manusia yang sewenang wenang terhadap alam. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat moderen yang terlalu menekankan atribut-atribut manusia seperti self consciousness, rationality dan free will sebagai identitas dan jati dirinya.

Kant mengajarkan satu prinsip moralitas yang tak terlupakan: manusia tidak seharusnya melihat sesamanya (orang lain) bermakna, hanya apabila dia memiliki nilai dan tujuan di dalam dirinya. Lebih dari itu, dan paling penting di atas segalanya: manusia memonopli nilai. Konsekuensi dari pandangan ini adalah jelas: manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia. Ia beroposisi dan bahkan berbeda dari alam. Ia bukan bagian dari alam. Alam adalah bagian darinya.

Hal ini kemudian menjadi dasar yang membedakan konsep yang disebut view of nature dan self view of humans. Perbedaan konsep seperti dapat memberi justifikasi tentang sikap bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam bertolak dari pandangan tentang dirinya. "The way I see myself, expresses something about the way I have of nature" (Wim Zweers, Participating With Nature, 2000, 15).

Kembali ke Nilai Intrinsik Alam

Meskipun manusia mempunyai kehendak bebas dan sering bersikap sewenang-wenang terhadap alam, manusia seharusnya menerima dan mengakui kenyataan yang satu ini: dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah bahwa, dia berada dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan terkondisi oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam.

Tentu hal utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah merubah orientasi dasar. Sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented harus beralih kepada cara pandang dan sikap yang lebih nature oritented. Kembali ke alam. Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistim tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada subordinasi. Alam dunia tidak dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah, karena, "this world is already full of values, purposes and meanings" (J. Dryzek, Enviromental Ethics, 1990, 205).

Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Dalam terminologi Latin, alam disebut natura. Akar kata kerjanya adalah nascere yang berarti melahirkan. Alam sering dipersonifikasi sebagai ibu yang memiliki kodrat melahirkan. Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam) yang termasyur, menyapa alam sebagai la madre terra, yaitu ibu bumi yang memberi kelimpahan segala. Tetapi ibu dari sang purwa waktu, demikian kata Kahlil Gibran, adalah sang kehidupan itu sendiri.

Hidup atau kehidupan adalah fakta niscaya yang terkandung di dalam alam. Fakta ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan bila kita hendak berbicara tentang nilai. Prinsip umum yaitu, segala yang hidup, di dalam dirinya mempunyai nilai. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).

Dengan merujuk pada nilai intrinsik secara khusus, kita sampai pada pengertian bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang berada di dalam (in se) dan untuk dirinya sendiri (per se). Pengertian ini seharusnya menjadi dasar bagi pertimbangan apabila kita hendak berbicara tentang nilai ekologi. Kita dapat berbicara tentang ekologi dalam pengertian yang sesungguhnya hanya sejauh bila, pertama, kita harus mengakui bahwa kita adalah bagian dari sistim tata semesta secara umum. Kedua, hendaknya kita mempunyai kesadaran bahwa hidup atau kehidupan adalah nilai intrinsik yang berada di dalam setiap organisme di muka bumi ini. Dengan berpatok pada pertimbangan ini, maka kita dapat sampai pada pemahaman tentang pandangan ekologi yang lebih biosentris.

Etika Ekologi yang Biosentris

Pertanyaan bagaimana manusia harus berpikir tentang dan bersikap terhadap alam adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari etika. Pertanyaan ini menuntut jawaban moral yang menjadi dasar bagi sikap manusia dalam membangun relasi dengan alam. Di sini kita tentu tidak hanya merefleksikan prinsip-prinsip moral abstrak yang menjadi pegangan kita.

Etika pada umumnya berhubungan dengan refleksi tentang nilai dari tindakan dan perbuatan manusia. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila kita berbicara tentang nilai. Pertama, tentang sumber nilai. Dari mana asal suatu nilai? Kedua, berkaitan dengan isi suatu nilai. Apa saja yang terkandung di dalam suatu nilai? Apa saja yang menjadi bagian dari suatu nilai? Ketiga, berhubungan dengan fungsi nilai. Apakah kita memahami nilai sesuatu (lingkungan hidup) hanya sejauh sesuatu itu berfungsi bagi manusia? Apabila ketiga pertanyaan ini kita bicarakan dalam konteks ekologi, maka terhadap pertanyaan pertama, yaitu tentang asal usul suatu nilai, kita dapat menelusurinya di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: alam atau lingkungan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Terhadap pertanyaan kedua, kita hanya bisa memberikan jawaban dengan bertolak dari realitas kehidupan yang terkandung di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: nilai intrinsik yang terkandung di dalam alam adalah hidup atau kehidupan. Dalam hubungan dengan pertanyaan ketiga, yaitu tentang fungsi nilai. Kita tidak dapat memahami nilai alam hanya sejauh alam berfungsi bagi manusia. Tesis utama adalah: alam memiliki nilai yang otonom di dalam dirinya sendiri. Semua ini dapat menjadi pagangan kita, dan bisa membantu kita untuk menghindari kecendrungan kembali jatuh ke dalam cara pandang dan sikap yang antropsentris.

Kalau etika secara umum berhubungan dengan refleksi tentang baik buruknya tindakan manusia, maka etika lingkungan hidup berkaitan dengan refleksi tentang baik buruknya sikap manusia terhadap alam. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan sikap atau perbuatan manusia terhadap lingkungan hidup. Pertama, sikap yang paling mendasar adalah respek terhadap alam (respect for nature). Bahwa alam mempunyai nilai intrinsik di dalam dirinya, maka manusia berkewajiban memiliki respek atas semua bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Kedua, agar sikap respek terhadap alam menjadi kenyataan, maka manusia harus merubah pandangan dan sikapnya, yaitu dari pandangan yang antroposentris menjadi pandangan dan sikap yang lebih bisosentris. Berpusat pada kehidupan. Inilah cita-cita yang luhur bagi siapapun. Ketiga, apapun penghargaan terhadap setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini, tetaplah harus ada norma yang mengikat dan mengatur setiap tidakan dan perbuatan sikap manusia. Dalam hubungan dengan kehidupan, tidak dikenal norma, pandangan etik dan sikap moral yang relatif atau permisif. Hidup bukan hal yang relatif. Hidup adalah hidup. Persoalan tentang hidup, bukanlah satu satunya persoalan yang berkaitan dengan interese manusia belaka. Manusia bukan lagi satu-satunya titik acuan bila kita mau secara nyata menghargai seluruh bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Tugas utama manusia yaitu mewujudkan dirinya secara ideal serta menciptakan keharmonisan dengan semua tata kehidupan di dalam semesta ini. Manusia tidak boleh menonjolkan atau mencari kepentingan diri, sambil tidak mengindahkan eksistensi kehidupan yang lain. Manusia secara kolektif harus mengakui diri sebagai bagian dari alam. Manusia adalah anggota Komunitas Dunia Kehidupan (earth community of life). Spesies manusia, sejauh berada bersama dengan spesies yang lain, dia merupakan bagian integral dalam suatu sistim tata semesta yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sikap manusia yang tepat adalah menaruh respek terhadap seluruh bentuk kehidupan di muka bumi ini. Wujud konkret dari respek adalah sikap bertanggung jawab. Respek dalam responsibility, inilah yang menjadi cita-cita dan ideal bersama. Panggilan manusia adalah panggilan untuk bertanggungjawab atas setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini. Panggilan ini lahir dari kesadaran utama bahwa, tugas manusia adalah menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan. Sebaliknya merusakan bumi sama halnya dengan merusakan kehidupan. Selamatkan bumi kita! Salva il nostro mondo!

Felix Baghi, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 27 April 2008

Monday, April 14, 2008

Menyelamatkan TNGHS, Memberdayakan Warga

Di sebuah jalan kampung di pinggir hutan belasan laki-laki dewasa meminta mobil jip yang kami tumpangi berhenti. Salah seorangnya dengan wajah kaku membentak Mamat Surahmat, yang duduk di samping sopir. Lalu, kata orang itu, ”Jangan cuma lewat-lewat. Kami baru saja memperbaiki jalan yang longsor di sana. Buat bronjong, pakai uang swadaya masyarakat di sini. Taman nasional pengertian dong. Mana uang rokok?”

Mamat, karyawan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), menjawab, dirinya tidak membawa uang karena hanya bertugas mengantar tamu-tamu TNGHS yang akan melakukan penelitian hutan. Setelah berlalu dari orang-orang itu, Mamat mengatakan, sebagian warga kampung tersebut masih marah dengan TNGHS sebagai buntut dari perluasan kawasan TNGHS.

”Dulu, sewaktu mereka masih boleh masuk dan menggarap hutan produksi milik Perhutani, mereka ramah-ramah. Sekarang hutannya masuk kawasan taman nasional. Jadi, tadi itu karena konflik lahan hutan, bukan karena masalah jalan rusak. Mereka tahu, jalan kampung rusak karena truk pengangkut batu kali, truk-truk mereka sendiri,” katanya.

Kehilangan mata pencarian atau lahan garapan memang membuat gamang masyarakat di seputar TNGHS, yang sebagian besar adalah petani. Apalagi, kalau ternyata lahan kampung mereka pun benar-benar masuk kawasan TNGHS. Dari 314 kampung (99.982 jiwa) yang ada, 52 kampung benar-benar berada di dalam kawasan TNGHS. Kampung itu ada di 108 desa. Menyelamatkan TNGHS berarti harus pula memberdayakan perekonomian mereka, yang selama ini sangat bergantung pada lahan-lahan dan hutan di seputar atau di dalam TNGHS.

Salah satu upaya memberdayakan masyarakat itu adalah program Sistem Dukungan Pembangunan Masyarakat Hulu (Sisduk PMH), yang kini tengah disosialisasikan ke masyarakat Desa Cipeutey, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kampung-kampung di desa itu berada di sekitar atau di dalam kawasan TNGHS. Program di desa itu adalah yang pertama kalinya dan akan diterapkan di dua desa lain, dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010).

Program itu kerja sama Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan, sekaligus turut melestarikan hutan.

”Dari uji coba selama tiga tahun nanti akan dievaluasi, apabila hasilnya kurang baik, program bisa dihentikan. Tolok ukur keberhasilan adalah pada hasil. Program ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat, jadi nanti akan dilihat sejauh mana hasil usaha yang dilakukan,” kata Pelaksana Harian Tim Koordinasi Sisduk MPH Kabupaten Sukabumi Asep Sudrajat.

Untuk tahun ini, pihak JICA mengucurkan dana untuk tiga desa tersebut sebesar Rp 100 juta. Tahun 2009 dan 2010 akan dilakukan oleh Pemkab Sukabumi dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah minimal sekitar Rp 100 juta per tahun.

Kampung konservasi

Program Sisduk PMH itu merupakan pengembangan atau tindak lanjut dari Model Kampung Konservasi (MKK) untuk memanfatkan lahan garapan di zona khusus TNGHS. Zona khusus adalah salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat keterlanjuran lahan garapan masyarakat. Lahan garapan itu dibuka pada lahan eks Perum Perhutani. Pihak Balai TNGHS membuat nota kesepahaman MKK selama lima tahun dengan warga kampung yang akan memanfaatkan zona khusus itu.

Balai TNGHS merencanakan seluruh kampung di dalam kawasan ataupun yang berbatasan dengan taman nasional menjadi MKK. Namun, sejauh ini MKK yang terbentuk baru sembilan kampung, yaitu tujuh kampung di wilayah Sukabumi dan dua kampung di Lebak. Namun, yang sudah menandatangani nota kesepahaman baru Kampung Sukagalih, Sukabumi.

Dalam kesepakatan MKK disebutkan antara lain warga dapat memanfaatkan lahan garapannya dengan menanam tanaman sela antara lain padi huma ataupun palawija. Namun, warga juga diwajibkan menanam tanaman asli, seperti puspa, rasamala, pasang, dan juga huru secara bertahap. (SEM/RTS)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008

Halimun-Salak Juga untuk Kepentingan Jakarta

Sejak tahun 2003 masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten sebetulnya boleh merasa lega. Ini karena terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak atau TNGHS. Dengan surat keputusan tersebut, TNGHS bertambah luas hampir tiga kali, dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.

Artinya, pemerintah pusat akhirnya ”sadar” juga pentingnya menjaga ekologi di kawasan tersebut. Kawasan hutan di Pegunungan Halimun dan Gunung Salak itu adalah ”benteng terakhir” hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, yang masih menyisakan sekitar 99 persen keaslian sebuah hutan pegunungan.

TNGHS secara administratif berada di wilayah Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air sekaligus gudang air untuk memenuhi kebutuhan air bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Perusahaan air leding Jakarta dan Bogor jelas-jelas menyedot air bersih dari ”gudang-gudang” air di kawasan itu, untuk barang dagangannya ke masyarakat.

Begitu juga dua perusahaan air minum kemasan terkemuka, yang salah satunya menyedot air bersih 3 juta meter kubik per tahun, atau 44,99 persen dari kapasitas gudang air Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibaregbeg, salah satu daerah aliran sungai yang berhulu di TNGHS.

Pada kawasan TNGHS terdapat 117 hulu sungai ataupun anak sungai yang bermuara ke Laut Jawa di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Sungai dan anak sungai itu membentuk 12 daerah aliran sungai, yang mengatur tata air di wilayah-wilayah pelintasannya.

Aliran air sungai dari setiap DAS itu digunakan masyarakat umum secara langsung untuk mengairi lahan pertanian dan perikanan, kegiatan rumah tangga, pembangkit listrik mikrohidro, industri, serta wisata seperti arung jeram, air terjun, dan pemancingan. Salah satu DAS-nya yang sangat populer adalah DAS Cisadane. Agar DAS berfungsi baik, airnya mengalir dengan baik, ekologi hulunya haruslah berupa hutan asli (primer).

Berbarengan dengan perluasan TNGHS, terkuak pula kerusakan yang terjadi di kawasan hutan hujan pegunungan tersebut. Data yang dikeluarkan Balai TNGHS menyebutkan, degradasi kawasan itu, berupa fragmentasi dan deforestasi. mencapai 19,4 persen atau sekitar 22.000 hektar. Fragmentasi, yaitu hutan asli berubah struktur tegakannya (pohon kayu) menjadi hutan sekunder, hutan produksi, dan hutan tanaman.

Adapun deforestasi adalah hutan berubah menjadi semak belukar dan padang lalang. Deforestasi ini yang paling mengkhawatirkan karena luasnya mencapai 8.323,5 hektar. Hutan jadi mudah terbakar.

Kepala Balai TNGHS Bambang Supriyanto mengatakan, degradasi yang mencapai 22 hektar itu terjadi dalam kurun waktu 15 tahun, yakni dari tahun 1989 sampai 2004. ”Laju kerusakannya rata-rata 1,3 persen per tahun. Sejak tahun 2004 hingga sekarang relatif belum ada kegiatan restorasi yang memadai dan penelitian yang menyeluruh. Jadi, bisa diasumsikan, degradasi kawasan Halimun Salak semakin besar saja,” kata Bambang.

Asumsi itu ada benarnya mengingat titik-titik kerusakan itu berada di perbatasan dengan lahan permukiman atau pertanian milik masyarakat. Belum lagi, di dalam kawasan atau di lahan ”tetangga” TNGHS ada aktivitas perkebunan, pertambangan geotermal dan emas, serta tertancap sebelas menara penyangga kabel tegangan listrik ultratinggi. Apalagi, tenaga pengawas (polisi hutan) hanya 52 orang.

Permadani Paku Andam

Mengikuti aktivitas delapan peneliti ekologi hutan dari LIPI dan IPB pekan lalu di Koridor Halimun, terbukti nyata terjadi deforestasi di TNGHS. Hutan di kawasan tersebut menjadi hutan semak belukar, yang banyak dikuasai pohon eksotis, seperti kaliandra, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pertumbuhan populasi tanaman asli di koridor tersebut.

Koridor Halimun merupakan areal memanjang dari barat ke timur yang menghubungkan dua ekosistem Gunung Halimun dan Gunung Salak. Hal itu penting bagi terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati ataupun sebagai sistem penyangga kehidupan ekologi kawasan. Ini menjadi kawasan yang paling mendesak untuk segera dihutankan kembali.

Menurut Bambang, berdasarkan data citra satelit yang dimilikinya, koridor tersebut pada tahun 1990 masih sepanjang 1,4 kilometer dengan lebar sekitar 4 kilometer. Pada tahun 2001 lebar koridor itu tinggal 0,7 kilometer, atau terdegradasi 347,5 hektar.

”Kondisi koridor yang tersisa itu berupa hutan semak belukar. Di sana pun masih banyak pohon kayu bukan asli kawasan, misalnya, agatis dan mahoni, yang sengaja ditanam di sana sebagai aktivitas pengolahan hutan produksi. Untuk kembali sebagai hutan sekunder, memerlukan waktu puluhan tahun. Perlu ratusan tahun lagi untuk menjadi hutan hujan pegunungan utuh atau hutan primer,” kata Purwaningsih, salah seorang peneliti itu.

Purwaningsih dan para koleganya merasa khawatir, koridor itu makin rusak. Saat melakukan penelitian di tiga zona koridor itu, mereka tetap menemukan penambangan liar. ”Kami malah melihat penebangnya, yang langsung lari begitu didekati. Di lokasi itu ada belasan pohon yang sudah ditebang. Jalan ke arah sungai untuk membawa kayu itu sudah ada,” kata Suparno, peneliti lain.

”Pengecekan lapangan yang kami lakukan tahun 2006 menunjukkan ladang-ladang yang dulu sudah menjadi semak belukar karena ditinggalkan penggarapnya kini menjadi ladang-ladang pertanian kembali. Urusannya untuk segera menanam pohon keras di situ jadi sulit karena kini harus berhadapan dengan manusia lagi,” kata Dones Rinaldi, juga peneliti.

Selain kaliandra, koridor juga dijajah belukar paku andam (Dicranopteris linearis). Bahkan sebuah permukaan bukit di sana sudah menjadi ”permadani” hijau belukar, yang tingginya 1-2 meter dan sulit untuk diterobos. ”Keberadaan paku andam sebenarnya dapat memenuhi penutupan lahan, dan menjalankan fungsi menahan erosi. Tapi, kekuatannya untuk menyimpan air tentu tak sekuat pohon-pohon besar,” lanjut Dones.

Butuh pencari 4 juta bibit


Selain belukar, terlihat juga lahan terbuka cukup luas di koridor itu akibat tanah longsor. Dari jarak beberapa kilometer, warna merah kecoklatan tanah itu terlihat kontras di tengah warna hijau hutan. Penanaman pohon keras dan restorasi hutan belukar di kawasan itu menjadi suatu keharusan.

Untungnya, tim peneliti dari LIPI dan IPB itu juga mengatakan, bibit pohon kayu asli kawasan itu, seperti puspa, rasamala, saninten, dan berbagai jenis huru, berlimpah di hutan primernya. Jadi kebutuhan akan bibit bisa didapat dari sana. Yang jadi soal, bibit yang dibutuhkan untuk merestorasi 8.323,5 hektar adalah sekitar empat juta bibit. Jelas, 52 polisi hutan dan 57 karyawan TNGHS lainnya tidak mampu melakukan hal itu, tanpa dukungan banyak pihak.

Sekarang, apakah kita sebagai pemanfaat sumber daya alam TNGHS, baik secara langsung maupun tidak langsung, tergerak untuk membantu mencari bibitnya? (Ratih P Sudarsono dan Samuel Oktora)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008

Friday, April 11, 2008

Longsor di Kolilanang, Tim LP2M ITN Malang Rekomendasikan Penelitian Lanjutan

Laporan Peren Lamanepa
Larantuka, NTT Online - Tim peneliti dari Lembata Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang merekomendasikan bagi dilakukan penelitian tanah dan pengujian laboratorium dengan pemboran contoh inti 5 lubang dengan kedalaman masing-masing 20 meter, pengambilan contoh setiap interval kedalaman 2 meter serta pengujian laboratorium sifat fisik dan mekanis tanah, terkait bencana tanah longsor yang melanda Desa Kolilanang Kecamatan Adonara Kabupaten Flores Timur – NTT pada 23 Februari 2008 lalu.

Demikian laporan yang dibuat tim peneliti yang terdiri dari Ir. Setyo Adiwidjono (ahli geologi) dan Ir, Eding Iskak Imananto MT (ahli geoteknik) pada 11 April 2008, usai meninjau secara langsung lokasi bencana.
Tim itu juga menyarankan adanya rancang bangun (design) pengatasan longsoran terutama berkaitan dengan tata drainase lahan di puncak, badan dan kaki longsoran. Penghitungan analisa stabilitas lereng asli dan rencana untuk dasar kawasan bebas / tanah kosong, dan gambar-gambar tipikal perbaikan dan system drainase kawasan serta kanalisasi ke sungai pematus utama.

Usulan lain terkait rencana penanggulangan ke depan adalah perlu dilakukan perencanaan yang matang mengenai pemetaan topografi 1 : 200 dengan plane table mapping di daerah longsoran dan sekitarnya sekitar 10 ha.
Tim itu juga mencatat, luasan longsoran saat ini sudah mencapai sekitar 3 ha dengan panjang retakan sekitar 1 km, lebar 2,5 m dengan kedalaman antara 3 – 4 m serta menimbulkan 4 buah rumah, 1 buah fondasi rumah dan makam menjadi korban. Lahan yang longsor berupa kebun warga yang ditanami kelapa, coklat dan pepohonan karang kitri lainnya. Terdapat pula prasarana jalan desa berupa pengerasan dan beton sepanjang 150 meter.
Hasil pengamatan tanggal 9 April 2008, stratigrafi daerah longsoran Kolilanang terdiri dari lapisan atas (overburden) berupa tanah pasir dan lempungan berbatu apung dominant. Ketebalan lapisan atas ini berkisar antara 3 – 5 m. Kondisinya tidak terkonsolidasi baik, kerikil/lapili batu apung, ringan dan porous.
Lapisan sela (interburden) terdiri dari lempung putih montmorilonit, bentonitan, dengan ketebalan 1 meter, serta talus bongkah andesit, basalt dan dasit dengan ketebalan mencapai 2 m. Lapisan ini bersifat setempat membentuk alur bawah tanah bermata air. Dan lapisan terdalam berupa lava andesit breksi volkanik. Lapisan ini bersifat batu dasar yang kokoh dan kedap air serta tersemen baik dan keras di bagian dalam.

Tim juga mengevaluasi penyebab terjadinya longsoran pada areal seluas sekitar 3 ha itu, dimana disebutkan bahwa pergeseran tanah bergerak kea rah barat laut, hamper sejajar dengan aliran sungai kering di Koli Petung. Gejala minor / sekunder berupa rekahan melintang atas longsoran utama berupa nendatan (tersendat-sendat) sebanyak 10 rekahan.
Fenomena longsoran Kolilanang adalah geseran tanah (sliding) yang berputar (rotational) atau dikenal sebagai nenderan (slumping). Proses geseran menurut laporan itu tergolong gerakan cepat (rapid) tanpa ditandai gejala rayapan (creep) seperti keretakan fondasi rumah, pohon-pohon miring.
Laporan itu juga menyebutkan, penyebab longsoran itu adalah alami yang terjadi pada lapisan bagian permukaan, sehingga menambah berat massa tanah pada musiom hujan. Selain itu, lapisan gelincir dari lempung putih bentonitan yang licin akibat pelumasan oleh aliran air tanah.
Penyebab lainnya, drainase lingkungan yang jelek dari bagin hulu menyebabkan aliran bawah tanah pada massa tanah apung dan lempung licin., serta tata tanam yang heterogen antara kelapa dan kakao yang lebat pada lahan berkemiringan lereng asli yaitu 25 derajat. Beban berat rumah baru serta makam yang meluas, diperberat oleh konstruksi beton yang berat dan kaku.
Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin menjawab NTT Online terkait laporan tim LP2M ITN Malang itu mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti laporan itu. “Saya sendiri belum membaca secara menyeluruh rincian dari isi laporan itu, tapi kalau perlu penelitian lebih lanjut, maka pemerintah akan sikapi.”
Wabup juga mengatakan, pemerintah juga telah menyalurkan bantuan berupa bahan makanan kepada warga yang berada di daerah longsoran.
Sebelumnya, Bupati Flores Timur Simon Hayon seperti yang pernah diberitakan sebuah Koran lokal menyatakan kasus di Kolilanang itu bukan merupakan bencana alam. Pernyataan Bupati Simon itu sempat menimbulkan berbagai tanggapan beragam di masyarakat, yang menilai bupati mengabaikan kondisi yang dialami warganya sendiri.

Thursday, April 10, 2008

Bupati Tak Berwenang Terbitkan KP

Ternate, Kompas - Kepala daerah kabupaten/kota di Indonesia tidak berwenang menerbitkan izin atau kuasa pertambangan yang berlokasi di kawasan hutan atau kawasan konservasi. Izin harus diajukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan harus mendapat persetujuan DPR.

Hal itu dinyatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alami Departemen Kehutanan Darori menanggapi penerbitan kuasa pertambangan (KP) eksploitasi oleh Bupati Halmahera Barat atas 10.000 ha lahan hutan lindung dan hutan produksi terbatas kepada sebuah perusahaan pertambangan asing. ”Jika itu kawasan taman nasional, jangan coba-coba, daripada nanti berhadapan dengan kami,” kata Darori di Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, Kamis (10/4).

Sejak akhir 2007, sebuah perusahaan pertambangan asing melakukan eksplorasi di areal 10.000 ha hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Tanahputih, Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.

Hutan itu adalah habitat burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei), burung kakaktua putih (Cacatua alba), dan sejumlah burung endemik Maluku Utara lainnya. Eksplorasi itu dilakukan atas dasar kuasa pertambangan yang diterbitkan Bupati Halmahera Nanto Huiroba.

Darori mengungkapkan proses panjang pencarian izin. ”Harus ada rekomendasi bupati, gubernur, lalu diajukan ke menteri. Jika memenuhi kriteria, diajukan ke DPR yang membentuk tim independen. Jika laporan disetujui DPR baru izin dikeluarkan menteri. Setiap tambang di hutan lindung atau hutan produksi tanpa melalui mekanisme ini adalah pelanggaran,” katanya.

Jika eksplorasi di Tanahputih dilakukan di hutan lindung, maka harus dihentikan. Dia saat ini sedang survei untuk kemungkinan perluasan kawasan Taman Nasional Lalobata-Aketajawe di Halmahera.

Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Halmahera Barat Djalal Fara membenarkan, perusahaan pertambangan PT KNIG memegang izin kuasa pertambangan eksplorasi di 20.000 ha hutan di Halmahera Barat untuk tambang diatomite.

”Sekarang sedang tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam proses amdal diusulkan memperkecil kawasan menjadi 10.000 ha saja. Sebagian lokasi eksplorasi memang di dalam kawasan hutan lindung, tetapi lokasi pertambangan belum ditentukan,” katanya.

Penanggung jawab studi amdal PT KNIG, Imron Hasan, mengakui kegiatan eksplorasi dilakukan di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Namun, ia membantah PT KNIG pernah melakukan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.

”Memang ada tujuh titik singkapan potensi diatomite di dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, PT KNIG tidak pernah mengebor di dalam kawasan tersebut. Luasan kuasa pertambangan eksplorasi yang diterbitkan Bupati Halmahera Barat hanya 10.000 ha. Studi amdal kami hanya meliputi kawasan seluas 10.000 ha. Dalam amdal, kami justru mengusulkan, Gunung Bidadari, yang termasuk dalam areal 10.000 ha itu, dijadikan kawasan konservasi sebab gunung itu adalah habitat burung bidadari yang endemik,” katanya.

Menurut Imron, dari laporan lima tahap eksplorasi, diperkirakan lokasi eksploitasi luasannya tidak mencapai 5.000 ha. ”Semua lokasi dipilih yang di luar hutan lindung,” katanya. (row)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008

Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo

Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.

Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.

Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.

Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.

Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat. ”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.

Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan. Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.

Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.

Dampak sosial ekologis

Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.

Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.

Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.

Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.

Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.

Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.

Penghancuran

”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.

”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.

Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.

”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008