Thursday, December 20, 2007

Newmont Nusa Tenggara Digugat Quantra Rp 60 Miliar

Jakarta-Mitra usaha PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont), PT Quantra Internusa (QI), menggugat Newmont senilai Rp 60 miliar, serta mengadukan perusahaan pertambangan itu ke Menteri ESDM, Menakertrans dan DPR setelah Newmont secara sepihak memutus kontrak kerja yang telah disepakati bersama.

"Pernyataan Newmont di media massa yang menyebutkan mereka berwenang memutuskan kontrak secara sepihak menyesatkan. Itu bukan kewenangan, tapi kesewenangan," kata kuasa hukum QI, Abrory Djabbar, kepada pers di Jakarta, Selasa (18/12). Akibat kesewenangan Newmont itu, katanya, QI menderita kerugian sekitar US$6,692 ribu atau sebesar Rp 60 miliar.

Selain mengajukan gugatan, Abrory menegaskan, pihaknya juga telah mengadukan perbuatan Newmont itu ke Menteri ESDM, Menakertrans, Ketua DPR dan Kepala BKPM pada Senin (17/12) lalu. "Ini untuk memperkuat upaya hukum kami secara perdata maupun pidana. Kami juga menuntut kontrak karya pemerintah dengan Newmont ditinjau kembali," kata Abrory.

Menurut Abrory, Newmont dan QI (sebuah perusahaan maintenance dan conveyor belt) telah menandatangani kontrak atau master service agreement (MSA) pada 1 Agustus 2005 untuk jangka waktu lima tahun dan akan berakhir pada 31 Juli 2010, namun pada 6 Juli 2007, tiba-tiba Newmont memutuskan MSA secara sepihak.

Sebelumnya, Newmont melakukan tender ulang untuk jenis pekerjaan yang telah ada di MSA dan ditambahkan beberapa jenis pekerjaan baru. Tetapi pada surat tertanggal 29 Maret 2007, yang ditandatangani Paul Preston sebagai contract superintendent, Newmont telah berjanji tidak akan mengganggu keberadaan MSA yang sedang berlangsung, walaupun ada penambahan pekerjaan baru.

Karena itu, kata Abrory, QI tetap merasa sangat dirugikan dengan pemutusan kontrak secara sepihak oleh Newmont karena sejumlah peralatan yang sudah terlanjur dibeli tidak bisa dikembalikan. Disamping itu, karena direkayasa, seluruh SDM QI yang ahli dan terlatih dibidangnya juga melakukan eksodus ke perusahaan pengganti.

Kesewenangan Newmont terhadap QI itu dinilai melanggar prinsip good corporate governance yang selalu didengungkan Amerika dan Jepang, dua aliansi negara pemilik Newmont. (mo/pd)

Summber: berita www.menkokesra.co.id edisi 18 Desember 2007

Pemerintah Ancam Default Newmont Nusa Tenggara

JAKARTA - Pemerintah mengancam default PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) apabila sampai akhir Desember 2007 perusahaan tambang tembaga dan emas tersebut belum juga menyelesaikan divestasi sebesar 10 persen ke pemerintah daerah.

Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring kepada wartawan di Jakarta, Jumat (14/12) mengatakan, langkah default merupakan surat peringatan kepada NNT agar segera melakukan divestasi. "Nanti, kami akan keluarkan default, kalau sampai akhir Desember ini belum selesai juga," katanya.

Menurut dia, kalau default itu tidak juga diperhatikan, maka pemerintah bisa memberikan waktu maksimum 180 hari kepada NNT agar menyelesaikan proses divestasi. "Tapi, batasan waktu itu bisa saja hanya satu jam," katanya.

Selanjutnya, Simon mengatakan, pemerintah bisa memberikan default kedua dan kalau belum selesai juga maka pemerintah bisa melakukan terminasi (pemutusan) kontrak karya dengan NNT. Ia juga menambahkan, mekanisme default dan terminasi itu sudah diatur dalam kontrak karya dengan NNT.

Pemerintah menargetkan divestasi NNT dapat selesai akhir Desember 2007. Kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi VII DPR pada 28 Nopember 2007 juga mendesak pemerintah menyelesaikan divestasi NNT sebelum akhir Desember 2007.

Komisi juga meminta pemerintah mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan kontrak karya termasuk default apabila proses divestasi ternyata molor dari jadwal yang ditargetkan tersebut.

Sebelumnya, Dirut PT Newmont Pacific Nusantara (NPN) Martiono Hadiyanto mengatakan, proses divestasi tersebut sudah bukan lagi antara NNT dengan pemerintah melainkan dengan perusahaan atau masuk ke mekanisme kesepakatan bisnis (b to b). Sebab, pembeli saham tiga persen NNT adalah PT Tambang Sumbawa Barat yang ditugaskan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat.

Sedang, pembeli saham tujuh persen saham adalah PT Bumi Sumbawa Emas yang ditunjuk Pemda Propinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa. Kedua perusahaan diduga tidak 100 persen dimiliki pemda.

Martiono mengatakan, kalau sudah masuk ke mekanisme b to b maka harga penawaran tidak lagi sama dengan harga yang ditawarkan ke pemerintah. Harga penawaran tiga persen saham NNT ke pemerintah adalah 109 juta dollar AS dan tujuh persen 282 juta dollar AS. "Kalau b to b maka proses divestasi akan dilakukan melalui tender kepada semua perusahan yang berminat. Bukan hanya satu atau dua perusahaan," katanya.

Namun, Gubernur NTB Lalu Serinata menjamin, baik PT Bumi Sumbawa Emas maupun PT Tambang Sumbawa Barat merupakan perusahaan yang 100 persen dimiliki pemerintah daerah. Menurut dia, pihaknya tidak akan kesulitan mendapatkan dana pembelian saham NNT mengingat sudah banyak institusi yang menawarkan. (ANT/EDJ)

Sumber: KOMPAS CYBER MEDIA, edisi 14 Desember 2007

Pengeluaran Rp 9,2 M tak cukup bukti

LEWOLEBA, PK -- Uji petik pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT terhadap surat perintah pembayaran uang pengisian kas (SPMU-PK) beserta surat pertanggungjawaban (SPj) tahun anggaran 2006 di Kabupaten Lembata, ditemukan dana Rp 9.217.097.623 tidak didukung bukti lengkap. Dana tersebut digunakan untuk belanja administrasi umum, belanja operasional dan pemeliharaan pada unit kerja sekretariat daerah, kepala dan wakil kepala daerah, dinas kesehatan, dinas kimpraswil, dinas pendidikan dan kebudayaan serta RSUD.

Kuasa penanggungjawab pemeriksaan BPK NTT, I Gede Oka SE, Ak,BAP, MM dalam resumenya menyarankan kepada Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk memberikan sanksi kepada bendahara umum daerah (BUD) dan kuasa BUD karena tidak memahami penataausahaan rekening dan kas daerah. Bupati diminta menjatuhkan sanksi kepada kepala bagian keuangan sebagai atasan langsung BUD dan kuasa BUD yang kurang mengawasi penatausahaan keuangan daerah.

"Mereview kebijakan untuk menetapkan sistem dan prosedur penatausahaan keuangan daerah, membuat keputusan pembukaan rekening kas daerah dalam bentuk giro beserta cara/prosedur pengeluaran uang dari rekening kas daerah, menetapkan penatausahaan deposito dan menetapkan penatausahaan jasa giro pada rekening bendahara pengeluaran," demikian rekomendasi BPK.

Pengeluaran Rp 9.217.097.623 tak didukung bukti, merupakan bagian terpisah dari realisasi cek dan slip senilai Rp 12.317.045.760,91 per tanggal 31 Desember 2006 yang sulit ditelusuri dan diyakini kebenarannya.

Menurut BPK, keadaan ini tidak sesuai dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 61 (1) yang menyatakan bahwa pengeluaran harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh pihak yang menagih. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 Tanggal 10 Juni 2002 pasal 57 (11) menyatakan bahwa pengguna anggaran wajib mempertanggungjawabkan uang yang digunakan dengan cara membuat SPj yang dilampirkan dengan bukti-bukti yang sah.

Keseluruhan pengeluaran yang tidak didukung bukti tersebut mengakibatkan realisasi pengeluaran belanja Rp 9.217.097.623, kurang dapat diyakini keabsahannya. Kejadian ini karena kelalaian kepala sub bagian verifikasi dan pemegang kas pada setiap unit kerja yang mengabaikan syarat sahnya bukti-bukti pengeluaran sebagai kelengkapan bukti pertanggungjawaban.

Pengeluaran tak didukung bukti:

* Pengobatan luar Rp 9.150.000 hanya didukung kuitansi tanda terima tanpa surat rujukan dan persetujuan dari dana yang direalisasikan Rp 28.609.850.
* Biaya general check up 27.250.000, juga tanpa didukung kuitansi tanda terima uang oleh pihak yang menerima disertai general check up dari dana direalisasikan Rp 72.750.000.
* Bantuan keuangan Rp 30 juta kepada MUI Lembata tanpa didukung proposal permohonan bantuan dari realisasi anggaran Rp 809.336.000.
* Biaya makan minum kantor unit kerja kepala daerah Rp 94,5 juta, pengeluaranya hanya dengan kuitansi dan tanda terima uang tanpa penjelasan penggunaan secara rinci.
* Biaya perawatan dan pengobatan kepala daerah Rp 70.499.800, juga hanya dengan kuitansi penerimaan uang tanpa didukung bukti hasil perawatan atau hasil general check up.
* Biaya pakaiaan dinas Rp13,8 juta tanpa dijelaskan rincian penggunaannya dan hanya dengan tanda terima uang.
*.Biaya makan minum unit kerja wakil kepala daerah, Rp 50 juta, perawatan dan pengobatan Rp 35.483.250, serta biaya pakaian dinas Rp 13,8 juta tanpa didukung kuitansi dan rincian pemanfaatannya.
* Biaya perjalanan dinas pada Dinas Kesehatan Lembata Rp 445.300.000 dari belanja perjalanan dinas yang direalisasikan sebesar Rp 552.750.000, hanya didukung kuitansi penerimaan uang tanpa surat perintah perjalanan dinas (SPPD).
* Di RSUD Lewoleba, biaya perjalanan dinas Rp 116.100.000 tanpa dilampiri SPPD.
* Di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lembata pengeluaran Rp7.521.477.923 hanya didukung kuitansi tanpa penjelasan pemanfaatannya secara rinci.
* Di Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), pengeluaran sebesar Rp 199.081.400 meliputi biaya cetak, foto copy dan penjilidan, pemeliharaan bangunan gedung, alat angkutan darat bermotor, makan dan minum dan biaya pemeliharaan jaringan air minum hanya didukung kuitansi tanda terima uang tanpa ada nota bon secara rinci pembelian barang. (ius)

Sumber: Pos Kupang edisi 19 Desember 2007

Ratusan umat dapat pengobatan gratis

LEWOLEBA, PK - Sedikitnya 500 umat Katolik dari Kapela Lamahora dan Wangatoa, Paroki Sta. Maria Baneaux-Lewoleba mendapat pengobatan gratis dari Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Lembata, Minggu (16/12/2007). Pelayanan kesehatan ini guna menyiapkan kondisi umat menyongsong perayaan Natal 25 Desember 2007 dan Tahun Baru 1 Januari 2008.

Kegiatan lainnya, mengunjungi kaum janda, duda dan para orangtua, kurban misa, diskusi untuk tukar pengalaman dengan para tahanan di Mapolres Lembata serta pasar murah sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat.

"Aksi sosial menjelang Natal sangat baik bagi umat agar mereka bisa menyiapkan diri mengikuti perayaan Natal dan Tahun Baru. Kalau sakit atau kondisi tubuh kurang sehat, umat tak bisa datang ke gereja menghadiri perayaan," kata moderator WKRI Cabang Lembata, Romo Hironimus Kwure, Pr, kepada Pos Kupang di teras Paroki Lamahora, Minggu (16/12/2007).

Pelayanan pengobatan gratis di Kapela Lamahora dan Wangatoa diadakan usai perayaan misa hari Minggu. Sekitar 500-an umat antre untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan obat-obatan dari tim dokter dan para medis. Umat yang memanfaatkan kesempatan ini berasal dari berbagai kalangan, anak-anak, pria dan wanita serta para orangtua. Mereka kebanyakan menderita penyakit malaria dan infeksi saluran pernafasan.

Romo Hiro menambahkan, pengobatan gratis dilaksanakan menjelang perayaan Natal merupakan agenda kegiatan WKRI Cabang Lembata dan pelaksanaannya diserahkan kepada WKRI Ranting. Pada tahun 2006, pengobatan gratis dilaksanakan di Paroki Sta. Maria. Sasarannya bukan hanya kepada umat Katolik tetapi seluruh warga masyarakat.

Dia mengakui cukup banyak umat, terutama para orangtua, anak-anak dan kaum wanita memanfaatkan kesempatan pengobatan gratis ini. Kegiatan ini bisa terlaksana karena kerjasama dengan Dinas Kesehatan Lembata menyediakan obat-obatan, tenaga dokter dan perawat.

"Saya inginkan dalam tahun-tahun mendatang, kegiatan sosial kemasyarakatan berupa pengobatan gratis, kunjungan kepada sesama saudara, terutama para orangtua, janda dan jompo terus dilakukan. Ketika kunjungan ke rumah-rumah, ada beberapa kaum ibu manangis sangat sedih, menyaksikan ada orangtua sendirian ditinggal pergi anak-anaknya merantau ke Malaysia. Kenyataan-kenayataan seperti ini masih lolos dari perhatian dan kepedulian kita. Para ibu begitu terharu, ternyata ada sesama saudara yang sangat menderita dan butuh bantuan," kata Romo Hiro.

Suster Kepala PRR Lewoleba, Suster Maria Patricia, PRR mengatakan, pengobatan gratis memberi dampak yang langsung dirasakan umat menyiapkan diri menyongsong perayaan Natal. "Kondisi jasmani yang sehat, orang bisa melakukan kegiatan kerohanian. Kalau salah satu anggota keluarga sakit, ayah, ibu atau anak akan menganggu juga yang lain. Hemat saya kegiatan ini sangat baik," kata Suster Patricia. (ius)

Sumber: Pos Kupang edisi 19 Desember 2007

Aktivitas LSM bingungkan masyarakat

LEWOLEBA, PK---Aktivitas kemasyakaratan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara berlebihan membingungkan masyarakat. Masyarakat dibuat bingung menentukan sikap dan pikiran, apakah harus berbarengan dengan pemerintah pada satu pihak, dan LSM di pihak lain, atau berada diantara keduanya.

"Tidak murni campur baur kegiatan LSM. Serempet sana-sini dengan berbagai kepentingan dan masyarakat sulit memahaminya. Pemerintah selalu ditempatkan pada posisi yang salah. Kecuali itu, Yayasan Bina Sejahtera (YBS) dipimpin Bapak Markus Sidhu Batafor, selebihnya LSM tidak ada koordinasi," kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, saat penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata dengan Plan Internasional Unit Lembata periode 2008-2013 di Aula Moting Lomblen, Lewoleba, Selasa (12/12/2007).

Ande Manuk mengatakan, cukup banyak LSM beraktivitas di Lembata, namun tak ada koordinasi dengan pemerintah daerah. Membandingkan dengan LSM lain memcampurbaurkan aktivitasnya dengan kepentingan agama, suku dan politik, kata demikian Ande Manuk, Plan Internasional memegang teguh independensi dan misinya melakukan pemberdayaan, motivasi dan pembangunan masyarakat.

Menurut Ande Manuk, kesepamahan ini memudahkan koordinasi dan monitoring. Pemerintah bisa merencanakan program yang bersifat umum, sedangkan Plan konsentrasi pada pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan kekerasan anak.

Bukan pemain tunggal

Manajer Plan Internasional Unit Lembata, Sabarudin mengatakan, MoU ini memberi manfaat bagi Plan untuk membuat rencana stratagis lima tahun mendatang. Juga, menjamin koordinasi dan monitoring Plan dengan pemerintah. MoU ini menumbuhkan kepercayaan masyarakat karena Plan bukan pemain tunggal tapi bergandengan tangan dengan pemerintah dalam melakukan kegiatannya.

Ia menjelaskan, community development program yang dikembangkan Plan sejak kehadiram pertama tahun 2005 memberikan manfaat langsung, dan membangkitkan partisipasi masyarakat desa.

"Telah dibentuk 72 kelompok usaha di pedesaan pada empat kecamatan untuk usaha rumput laut, peternakan, pertanian dan tenun ikat. Perluasan program anak mendapatkan akses pendidikan yang layak, perlindungan kekerasan anak dan kesehatan sudah dirasakan manfaatnya," tambahnya.

Pembangunan fisik, lanjutnya, Plan telah menyelesaikan sekitar 50 persen pembangunan 50 persen ruang belajar, posyandu, taman kanak-kanak, WC sekolah dan penampungan air hujan. Program ini melibatkan swadaya masyarakat. (ius)

Sumber: Pos Kupang edisi 17 Desember 2007

Dana Rp 12,3 miliar tanpa bukti cek dan slip


LEWOLEBA, PK---Temuan pengeluaran dana senilai Rp 12.317.045.760,90 per 31 Desember 2006 yang sulit ditelusuri dan diyakini kebenarannya tanpa ada perforasi cek dan slip kuat mengindikasikan penyelewengan dan tidak tertib administrasi pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT merupakan keputusan final.

"Hasil ini sudah final. BPK telah menyatakan pendapat, cek atau slip pengeluaran dana Rp 12,3 miliar itu sulit ditelusuri dan diyakini kebenarannya. Rekomendasi DPRD Lembata memberi waktu tujuh hari kepada pemerintah menyajikan bukti cek atau slip justru membuka ruang dilakukan manipulasi," kata Ketua Florata Coruption Watch, Pieter Bala Wukak, S.H, dan Manajer Koperasi Kredit (Kopdit) Ankara, Drs. Yoseph Pati Lajar. Mereka dihubungi Pos Kupang, Kamis (13/12/2007), menanggapi pengeluaran uang dari rekening kas daerah Lembata senilai Rp 12.317.045.760,90 untuk merealisasikan belanja (Pos Kupang 12/12/2007).

Yoseph Pati Lajar mengaku heran dan tak mengerti pengeluaran dana Rp 12,3 miliar tak ada bukti cek atau slip pengeluarannya. Sekecil apa pun uang milik publik yang dikeluarkan, kata Yosep, harus dipertanggungjawakan secara administratif dan hukum. Kenyataan ini bukan hanya pelanggaran administrasi semata-mata, tetapi bisa mengarah kepada penyalahgunaan keuangan.

"Tidak masuk akal, uang yang keluar sekian miliar rupiah dicari bukti pengeluarannya tak ada. Kalau ditelusuri ke bank mana uang tersebut dikeluarkan dan kapan dikeluarkan juga tidak sulit. Mereka yang mengeluarkan uang adalah mereka yang memiliki otoritas menandatangani slip atau cek. Kalau sampai bukti sobekan cek atau slip itu tidak ada, jadi tanda tanya. Apakah sengaja dibuat supaya tidak ada atau dihilangkan supaya jejak tak terlacak," kata Yoseph di Kantor Kopdit Ankara.

Kejadian ini, katanya, memperlihatkan buruknya pengelolaan keuangan daerah. "Kecuali beli kue di pasar kita sulit mendapatkan bukti. Tapi dana sebesar Rp 12,3 milar milik seluruh rakyat Lembata dikeluarkan dengan cek dan slip yang sulit diyakni kebenarannya, harus menjadi tanda tanya besar bagi seluruh rakyat Lembata. Apa yang bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Lembata?" tanya Yoseph.

Fakta ini, tambahnya, juga mengindikasikan kelemahan sumber daya manusia pengelola keuangan di daerah. Karena itu ia minta penyidik tergerak hatinya menelusuri temuan BPK ini.
Sementara Pieter Bala Wukak mendesak penyidik kejaksaan atau Polres Lembata mengambil tindakan dengan mulai mengumpulkan keterangan menindaklanjuti temuan BPK itu.

Rekomendasi tujuh hari diberikan DPRD kepada pemerintah menyerahkan cek dan slip pengeluaran dana ini justru membuka ruang berlangsungnya rekayasa dan manipulasi baru. Setelah menyerahkan kasus ini kepada penyidik, memudahkan fungsi pengawasan DPRD. "DPRD ikuti saja ke mana arah penyelidikan oleh jaksa atau polisi. Saya khawatir, kesempatan tujuh hari dimanfaatkan melakukan rekayasa dan manipulasi. Masa uangnya sudah sekian lama keluar, tak ada bukti pengeluaran?" tanya Pieter.

Pieter menambahkan, temuan BPK sudah final. Bahkan, waktu tujuh hari yang diberikan kepada pemerintah, tetap tidak akan mampu menunjukkan bukti. Karena itu ketika BPK diminta melakukan audit investigatif, hasilnya tetap sama. Cek atau slip tersebut sulit ditelusuri kebenarannya. Semestinya, kalau slip itu ada, telah lama ditunjukkan kepada auditor BPK.

Menurutnya, setiap kali BPK melakukan audit keuangan, temuannya mengarah kepada penyelewengan keuangan. Tetapi tak satu pun temuan tersebut ditindaklanjuti penyidik. "Orang akhirnya berasumsi, pengelola keuangan lakukan manipulasi administrasi atau mungkin menyelewengkan uang, bukan korupsi," tandas Pieter. (ius)

Sumber: Pos Kupang edisi 17 Desember 2007

Friday, December 14, 2007

Jendela Lain Menengok Buyat Pante


BUYAT Pante hanya dusun kecil di sepotong Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Tempat ini mungkin tak akan pernah dikenal luas bila tak meledak jadi headline media massa dalam dan luar negeri pada medio Juli 2004.

Pemukiman nelayan yang berjarak sekitar 40 mil arah barat daya Manado ini pun sontak jadi isu panas yang melibatkan banyak pihak, yang jejaknya terasa hingga kini.

Perusahaan tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang beroperasi di Messel, Sulawesi Utara, dituding mencemari lingkungan perairan Teluk Buyat. Dan kematian Andini Lensun, seorang bayi berusia enam bulan, yang kedua orang tuanya adalah pemukim di Dusun Buyat Pante, mengangkat tudingan ini ke permukaan.

Sejak itu Buyat Pante diziarahi dengan prihatin. Jurnalis dalam dan luar negeri, aktivis LSM, pejabat pemerintah, politisi, dan bahkan masyarakat biasa menyambangi dusun ini. Potretnya disodorkan sebagai wajah yang murung dan guncang. Dan mereka yang dituduh sebagai penyebab terpaparnya penyakit pada masyarakat setempat di seret ke meja hijau.

Isu pencemaran Teluk Buyat sungguh dramatis atau bahkan memang sengaja didramatisir. Seorang jurnalis foto dari sebuah majalah terkenal di Jakarta pernah datang ke Manado dan bermaksud berkunjung ke Buyat Pante. Terhalangan kesibukannya, niat itu tak kesampaian.

Akhirnya, salah seorang warga dari dusun itu yang kebetulan berada di Manado diajak untuk dipotret di pantai yang ada di sepanjang Barat kota. Kenapa pantai? Untuk memunculkan kesan dramatis tentang korban yang menetap di pinggir perairan yang tercemar.

Barangkali yang membuat masyarakat Indonesia berpaling dan agak melupakan Buyat Pante adalah tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh. Namun, bukan berarti media massa beranjak dari menyoroti tempat ini. Buyat Pante dan isu pencemaran lingkungan yang menyertainya tetap memiliki daya pikat tersendiri. Tentu, dengan guratan nasib yang muram.

Gambaran itu juga yang kental pada buku fotografi dan puisi Denny Taroreh dan Jamal Rahman (sekaligus karya pertama mereka tentang Buyat Pante), Eksodus ke Tanah Harapan, yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2006. Masih segar dalam ingatan, pada 25 Juli 2005, oleh beberapa LSM sebagian pemukim di Buyat Pante diboyong pindah ke Duminanga, sebuah tempat di sisi lain ujung pulau Sulawesi yang berjarak lebih 300 km dari Teluk Buyat.

Saat itu Denny dan Jamal hadir dan giat menerkamkan jempretan kameranya ke setiap detil aktivitas warga setempat yang akan bertolak ke Duminanga --seperti menuju "tanah yang (mungkin) di(men)janjikan". Denny dan Jamal yang juga aktivis LSM, tentu saja, datang tak hanya dengan semangat seorang fotografer, melainkan aktivis lingkungan yang terhasut dan geram. Apalagi kunjungan mereka ketika itu adalah kali pertamanya.

Beberapa hasil jepretan Denny itu, dibumbui "sajak" Jamal, diterbitkan dalam Eksodus ke Tanah Harapan. Sayangnya, upaya pembukuannya terkesan asal jadi. Dan karena itu, dalam satu kesempatan saya pernah mengatakan pada Jamal, "Cara paling nyaman untuk menikmati buku ini adalah dengan merobek lembar per lembar." Buku itu pada akhirnya hanya nampak sebagai onggokan pamflet yang buram.

Berbeda dengan buku pertama, menyimak Buyat: Hari Terus Berdenyut (Banana, Maret 2007), tampak Denny Taroreh dan Jamal Rahman membawa kita pada nuansa lain tentang Buyat Pante. Muka lain dari pemukiman yang, barangkali, sebagian besarnya tak sempat kita pelototi dari tayangan televisi atau lembaran media cetak. Mereka tak lagi datang dengan semangat aktivis, tetapi pembanding yang mencoba bersikap obyektif. Hasilnya, harus diakui, lebih baik, jernih, dan serius dibanding dengan buku pertama. Pengantar oleh AS Laksana, sastrawan terbaik Tahun 2004 versi Tempo, bisa menjadi salah satu penanda keseriusan mereka.

Denny Taroreh, seorang aktivis di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, dan Jamal Rahman mantan aktivis Yayasan Lestari (LSM yang bergiat dalam kampanye penyelamatan lingkungan) yang alih profesi menjadi wartawan, tampaknya telah belajar membedakan apa yang disebut advokasi dan sekadar hasutan. Rentang waktu antara Juli 2005 dan Oktober 2006 (di mana keduanya datang dan bermukim bersama warga Buyat Pante), membuka mata mereka terhadap perspektif berbeda dari isu pencemaran Teluk Buyat.

Sejatinya, isu itu adalah kisah lama yang bermula pada 11 Agustus 1995, ketika sebuah koran lokal mempublikasi kedatangan 30 kepala keluarga (KK) pemukim Buyat Pante ke LBH Manado. Warga yang didampingi Walhi mengadukan bahwa perairan Teluk Buyat yang berhadapan dengan pemukiman mereka dicemari limbah tambang PT NMR.

Isu ini begulir hingga paruh 2000 lalu surut terlupakan. Tiba-tiba di tengah 2004 meledak lagi ketika sebuah media massa nasional menjadikan headline di halaman depannya dengan isu panas bahwa ada ''Minamata di Minahasa''.

Sayangnya tak ada jurnalis yang sungguh-sungguh pernah menapak-tilasi tuduhan tercemarnya Teluk Buyat. Andai itu dilakukan, rekam jejak isu ini bisa diwaspadai --sebagaimana yang diungkapkan AS Laksana --jangan-jangan hanyalah hasutan. Karna pada Agustus 2005, saat tuduhan pencemaran pertama kali dilontarkan, jangankan pipa tailing (pembuangan limbah), bahkan pabrik pemrosesan bahan tambang PT NMR pun masih berupa fondasi. PT NMR baru mulai berproduksi pada April 1996. Dari mana penduduk Buyat Pante menyimpulkan mereka tercemar limbah yang bahkan belum ada?

Namun oleh fotografer dan penulisnya buku ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam kelindang isu pencemaran Teluk Buyat. Buyat: Hari Terus Berdenyut lebih tepat disebut sebagai muka lain atau potret yang jarang disingkap tentang mereka yang memilih tetap bermukim di dusun yang diributkan. Gambaran yang lepas dari debat dan tengkar selama ini yang menyiratkan perbedaan pandangan tentang isu pencemaran. Debat yang sudah terlalu melelahkan untuk diikuti, sebab telah menjadi semacam pertengkaran masalah "teologis", penuh klaim, dan cenderung absurd.

Foto-foto yang ditampilkan Denny dan Jamal lebih bak rekaman wisata bagi mereka yang tak pernah menjejakkan kaki di dusun dengan bentang alam yang indah itu. Demikian juga dengan keseharian orang-orang yang memilih tetap tinggal di dusun tersebut. Bahwa di sana masih ada canda, denyut kehidupan yang biasa, dan impresi lain yang dilekatkan ke benak kita ketika datang berkunjung.

Semua hal yang lumrah yang bisa kita dapati juga di dusun serupa di tempat lain. Seperti kata AS Laksana dalam pengantarnya: "Ini hanyalah secuil upaya untuk mewakili ketidakhadiran kita --sebuah ikhtiar untuk meringkus jarak dan mendekatkan kita pada apa yang saat ini berlangsung di tanah yang pernah diributkan."

Setelah kepindahan ke Duminanga, bukan tak ada eks pemukim Buyat Pante yang kembali. Sebagian besar, memang, terus bertahan dengan "kepercayaan" yang kukuh sebagai korban. Mungkin, sesekali dihinggapi rindu terhadap dusun yang lama menjadi teman bercengkerama dengan handai-tolan; atau ''luka'' mengingat keintiman yang retak dengan kerabat.

Namun kacamata melihat persoalan yang melilit mereka telanjur hitam-putih. Mereka telah menarik garis demarkasi yang "tegas" dengan mereka yang dianggap "musuh". Kerinduan itu tinggal membuncah seperti orang-orang Israel yang berdiaspora yang senantiasa merindukan Bukit Zion.

Ahmad Alheid, Penggemar Buku
Sumber: Koran Tempo, edisi 30 Mei 2007

Tuesday, December 11, 2007

Tak Ada Gunanya Tambang di Lembata

Semarang-Pemangku adat Suku Amungtau yang berdiam di sekitar areal PT Freeport Indonesia (FI), Timika, Provinsi Papua, Diaz Gwijangge menegaskan, tidak ada gunanya mengijinkan sebuah perusahaan pertambangan beroperasi di Lembata, NTT karena pulau itu sangat kecil dan beresiko terhadap lingkungan hidup.

Diaz yang juga aktivis Lembaga Studi Advokasi dan Hak-hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua diminta tanggapannya terkait rencana PT Merukh Lembata Coopers (MLC), kelompok usaha Merukh Enterprise, melakukan kegiatan pertambangan di Lembata yang disetujui Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata namun ditolak keras masyarakat dan beberapa elemen, termasuk para pastor se-Dekanat Lembata.

“Kita lihat saja Papua. Pulau itu secara geografis sangat luas tetapi setelah PT Freeport Indonesia (PT FI) beroperasi sekian puluh tahun, limbahnya membuat tumbuhan rusak dan masyarakat sekitar areal pertambangan justru pindah dari tempat tinggal mereka,” ujar Diaz Gwijangge kepada FLORES POS di Hotel Patra Semarang, Jawa Tengah belum lama ini.

Kenyataan ini, ujar Diaz, sangat merugikan masyarakat sehingga ia menyarankan agar jika ada perusahaan yang berencana melakukan pertambangan di Lembata sebaiknya masyarakat adat atau komponen-komponen yang ada di sana menolak. Ini sangat penting karena jangan sampai Pulau Lembata menjadi Freeport kedua.

“Saya ini salah satu korban kekerasan ketika Freeport hadir di wilayah kami. Selama ini kami sudah berusaha mengadakan advokasi tetapi perusahaan begitu kuat karena bermain mata dengan pemerintah. Perusahaan menggunakan uang untuk membeli semua kekuatan sehingga perjuangan kami selama ini tak pernah digubris dan perusahaan beroperasi terus. Saya ingatkan agar jangan sampai hal ini dialami lagi oleh masyarakat Lembata,” tegas sarjana Antropologi jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Cendrawasi (Uncen) ini mengingatkan.

Diaz Gwijangge adalah salah satu korban yang ditabrak hingga cacat kakinya karena dianggap sebagai tokoh yang menentang PTFI dan pemerintah setempat. Ia menceritakan, banyak sanak familinya meninggal karena berjuang mempertahankan hak ulayat. Mereka malah dituding terlibat dalam gerakan separatis padahal ingin mempertahankan tanah ulayatnya.

Ia mengingatkan, DPRD Lembata mestinya bicara untuk menyuarakan penolakan masyarakat terhadap perusahaan pertambangan. DPRD semestinya menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat kepada perusahaan pertambangan yang berniat menanamkan investasinya di sana (Lembata).

“Di alam demokrasi saat ini, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal menjadi sangat penting. Hal itu juga menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Jangan membuat sebuah kebijakan investasi tanpa persetujuan pemangku ulayat dan masyarakat. Ini sangat berbahaya,” tegas Diaz.

Pemerintah Kabupaten Lembata dan masyarakat perlu banyak belajar dari sejarah kelam kehadiran perusahaan pertambangan di Papua. Kehadiran sebuah perusahaan pertambangan tak hanya mengambil emas, perak, tembaga, dan lain-lain tetapi masyarakat akan terancam mempertahankan hak-hak ulayatnya karena pendekatan represif menjadi sangat dominan.

“Saya pikir pengalaman perusahaan pertambangan di Papua dapat dijadikan cermin bagi Pemkab dan masyarakat Lembata dan di manapun di Indonesia ini. Masyarakat Lembata yang hidup dari bertani dan nelayan justru akan kehilangan mata pencahariannya. Mereka juga akan tercerabut dari akar budayanya dan menjadi orang asing di kampung sendiri. Ini tentu sangat menyakitkan,” ujarnya.

Janji Perusahaan

Sementara itu, pemangku ulayat lainnya di Timika Melkianus Kiwang mengingatkan agar masyarakat Lembata mewaspadahi janji-janji manis yang diumbar oleh perusahaan pertambangan. Ini penting karena jika sudah beberapa tahun beroperasi dan mengeruk banyak keuntungan dari tanah ulayat masyarakat maka masyarakat akan ditinggalkan dan tetap hidup dalam balutan kemiskinan.

“Tanah kami yang begitu luas, saat ini tak bisa kami harapkan lagi untuk menjadi sumber kehidupan. Nah, bagaimana jika hal itu terjadi di Pulau Lembata? Lambat laun masyarakat akan habis jika mengijinkan perusahaan tambang beroperasi di wilayah itu,” tandas Kiwang yang juga Wakil Ketua I Sinode Gereja Papua.

Ia menegaskan, masyarakat tentu tidak akan bertahan hidup di mana pun jika dipindahkan secara paksa oleh karena hadirnya sebuah perusahaan pertambangan. Masyarakat sudah hidup menyatu dengan alam dan lingkungannya walaupun dalam kesederhanaan. Namun, itu merupakan bagian kehidupan mereka.

“Ya, hari ini perusahaan menjanjikan banyak hal hanya karena ingin mengeruk emas dan kandungan lainnya. Tetapi, setelah itu masyarakat akan diusir secara paksa. Ini pengalaman kami sebagai pemangku ulayat di areal Freeport. Sampai saat ini kami merasa bahwa hak ulayat kami diambil namun kami tidak pernah diperhatikan. Dulu kami banyak dijanjikan tetapi sampai dengan hari ini kami tidak pernah dapat apa-apa. Kalau masyarakat Lembata masih memikirkan bahwa mereka punya generasi berikut maka sebaiknya menolak tegas kehadiran perusahaan pertambangan,” ujarnya.
Ansel Deri
Sumber: harian Flores Pos edisi 11 Desember 2007

Sunday, December 9, 2007

Kebingungan Klerus di Era Otonomi Daerah

Ada dua kejadian menarik akhir-akhir ini di daratan Flores-Lembata. Pertama, sikap diam Uskup Larantuka terkait rencana tambang di Lembata. Dalam sebuah kesempatan acara di Lembata beberapa waktu lalu, masyarakat bertanya tentang pendapat Uskup terkait rencana pertambangan. Uskup hanya mengatakan, tidak punya kompetensi tentang pertambangan. Perkataan Uskup ini sama artinya dengan sikap diam. Kedua, penolakan masyarakat di area bakal tambang terhadap Tim Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka yang menawarkan diri sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Dua kejadian tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis untuk masuk dalam sebuah persoalan yang muncul di berbagai Keuskupan di Indonesia, yakni kebingungan klerus (uskup, imam, dan diakon) di era otonomi daerah. Terkait hal ini, tulisan ini mencoba menyoroti dua hal penting. Pertama, peran penting klerus berdasarkan prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kedua, kebingungan klerus di era otonomi daerah.
Prinsip dasar
Prinsip universal yang dirumuskan dalam hampir semua dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah keberpihakkan pada masyarakat kecil dan tertindas. Keberpihakkan itu dalam bahasa ASG disebut “Pilihan Mengutamakan Orang Miskin” (Preferensial Option for the Poor). Kalimat pendek itu mengandaikan bahwa yang membuat dan memutuskan pilihan adalah komunitas atau orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal pendidikan, hati nurani yang tulus, semangat berbela rasa, memadai secara ekonomi, punya akses kepada pengambil kebijakan, dan sanggup mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.
Prinsip keberpihakkan di atas mencakup semua aspek kehidupan di dunia ini karena manusia adalah makhluk konkrit dengan locus hidup di dunia. Maka keberpihakkan pada orang miskin sebagai supaya perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah tidak semata-mata suatu peristiwa dan situasi eskatologis (hidup sesudah mati) tetapi juga merupakan peristiwa sosiologis, ekologis, antropologis, dan ekonomis. Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah hic et nunc, kini dan di sini (dimulai dari sekarang dan di dunia ini).
Pertanyaannya adalah apa itu Kerajaan Allah? Atau lebih tepat, apa ciri-ciri dari orang yang berada dalam situasi Kerajaan Allah di dunia ini? Ciri-cirinya adalah hak-hak dasar (asasi) manusia (masyarakat) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologis terpenuhi penuhi. Bila yang terjadi adalah hak-hak dasar tersebut tidak terpenuhi, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang tidak adil, hak-hak masyarakat adat yang diabaikan, perilaku koruptif para pengambil dan pelaksana kebijakan, maka kondisi seperti itu bukan tanda Kerajaan Allah. Bahasa teologis yang tepat untuk kondisi seperti itu adalah dosa.
Bila dosa itu dilakukan oleh sistem pemerintahan negara dengan segala unsur turunannya (provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun, RT/RW) maka Gereja Katolik terutama klerus, harus berpihak pada para korban. Keberpihakkan klerus itu berpijak pada prinsip dasar ASG yakni preferensial option for the poor. Terhadap segala bentuk dan situasi nir (ketiadaan) Kerajaan Allah, tidak ada tawar menawar dengan penjahat yang adalah pelakunya.
Dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita tarik ke konteks hidup masyarakat konkrit. Kita ambil contoh di Keuskupan Larantuka yang meliputi Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Yang terjadi di Keuskupan Larantuka adalah fakta-fakta ini: sampai saat ini masyarakat masih tetap hidup dalam taraf kemiskinan yang parah. Rawan pangan masih menjadi peristiwa berulang setiap tahun, TKI ilegal masih banyak berasal dari daerah ini, pemerintah daerah korup (contoh kasus: indikasi korupsi Pemkab Lembata sampai sekarang masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan dugaan korupsi mantan Bupati Flotim yang sekarang sedang diproses di KPK), serta masih banyak lagi fakta pilu lain. Fakta-fakta itu merupakan bentuk nyata kondisi dosa dan ketiadaan Kerajaan Allah.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dilakukan para klerus (uskup dan para imam) berhadapan dengan kondisi dosa seperti itu? Pertanyaan itu dikerucutkan lagi, apa yang harus dilakukan para klerus ketika berhadapan dengan para pelaku pemerintah daerah yang korup?
Kebingungan klerus
Pertanyaan-pertanyaan itu mari kita tempatkan dalam era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, pemerintah Kabupaten mempunyai wewenang yang diatur dalam UU Otonomi Daerah untuk mengatur keuangan daerah atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keuangan daerah di peroleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak, retribusi, sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK bersumber dari negara melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wewenang mengelola keuangan daerah ini menempatkan kabupaten menjadi lumbung uang. Wewenang itu merupakan salah satu keberuntungan dari otonomi daerah yang dinikmati Pemkab.
Di sisi lain, Gereja Lokal (Keuskupan) harus berusaha mandiri baik dalam reksa pastoral maupun dana. Dana merupakan hal krusial (penting). Dana dipakai untuk biaya operasional reksa pastoral dan biaya-biaya rutin lain. Dari mana dana Gereja Lokal (Keuskupan)? Dana diperoleh dari bantuan Kepausan dan donatur-donatur dari luar keuskupan. Keuskupan juga harus mencari dana lokal melalui iuran wajib umat. Tetapi dana dari sumber-sumber itu belum tentu bisa menutup seluruh kebutuhan dan keperluan Keuskupan, terutama Keuskupan yang sumber dana lokal sangat terbatas.
Dalam kondisi Keuskupan seperti itu, sering kali Pemerintah Kabupaten masuk dan memberi bantuan (subsidi) kepada Keuskupan. Bisa berupa uang atau barang. Karena dengan motivasi mendukung reksa pastoral Keuskupan, maka para klerus tentu tidak menampik bantuan itu. Pada titik inilah pemimpin Gereja Lokal berada pada posisi dilematis. Para klerus sering kali bingung. Apakah bersikap kritis terhadap pemerintah kabupaten yang korup atau berselingkuh dengan pemerintah supaya subsidi bisa lancar. Hal yang kedua inilah yang mempunyai peluang paling besar. Ada kecenderungan yang sangat kuat dan kasat mata bahwa di era otonomi daerah, para pemimpin (klerus) Gereja Lokal bukan lagi sebagai pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat) melainkan sebagai klerus pemburu rente (uang).
Otonomi daerah yang menciptakan kesempatan bagi Pemkab untuk menjadi lumbung uang, di satu sisi. Gereja lokal (Keuskupan) harus mandiri dalam hal dana, di sisi lain. Memang dua sisi yang jauh berbeda. Tetapi dua sisi itu sering kali bertemu dan memungkinkan aparat Pemkab dan klerus berselingkuh. Kalaupun klerus bersikap kritis, paling-paling hanya menjadi mediator sepihak. Maka benarlah pepatah kuno, “Kerbau berkelahi atau bercumbu, rumput tetap terinjak-injak.” Aparat Pemkab dan klerus berkelahi atau bercinta, umat (masyarakat) tetap saja menderita.
Alexander Aur, Putra Lembata dan wartawan tinggal di Jakarta
Sumber: harian FLORES POS Ende edisi 6 Desember 2007

Wednesday, December 5, 2007

Keberatan untuk Memediasi

Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung Pr disorot karena dinilai tidak punya sikap jelas terkait rencana penambangan di Lembata. Berikut wawancara singkat Kontributor HIDUP Valens DL dengan Mgr Frans di Jakarta, Rabu 14/11.

Masyarakat berharap Gereja berpihak kepada masyarakat?

Perlu ditanyakan secara jelas rencana dari penambangan itu dan apa kemauan pemerintah. Kalau jelas-jelas merugikan tolaklah. Tapi kalau ruang untuk duduk berbicara belum tercapai, itu menjadi kesulitan. Kelompok pro dan kontra akan membentuk opininya masing-masing. Memang harus ada ruang untuk orang duduk bersama. Masyarakat harus terlibat dengan memberikan pikiran, mendengarkan kecemasan mereka. Apabila penambangan tidak memperhatikan keinginan masyarakat bahkan merugikan, masyarakat punya hak untuk menolak.

Dalam duduk bersama hal-hal konrit apa yang mau dicapai?

Sebelum sampai kesepakatan kita harus mengerti apa soal sebenarnya. Duduk saling mendengarkan kecemasan, tuntutan, berpikir mau mempertemukan, tidak hanya investigasi. Saya punya prinsip bahwa soal ini mesti orang Lembata yang berperan karena terjadi di Lembata. Masyarakat Lembata harus mencari jalan untuk menyelesaikan.

Bagaimana Gereja meninjaklanjuti dialog itu?

Memang sekelompok masyarakat Leragere meminta saya untuk memediasi. Saya bilang saya mohon maaf. Di Keuskupan ada komisi-komisi yang membantu saya. Mereka yang mencari jalan bagaimana memecahkan persoalan. Saya berkeberatan sebagai uskup untuk memediasi karena bisa saja orang salah tafsir. Dan peranan uskup itu kalau nanti dilihat tidak mendukung pihak tertentu atau pihak lain, uskup akan dinilai tidak objektif atau tidak berpihak.

Sumber: Majalah HIDUP Jakarta, 9 Desember 2007

SVD, OFM, dan SSpS Tolak Penambangan


Tim Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD-OFM memberikan pencerahan tentang akibat-akibat buruk penambangan kepada masyarakat di Kecamatan Lebatukan, Omesuri, dan Buyasuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

LANGKAH yang dilakukan Tim JPIC SVD-OFM itu menyusul penolakan masyarakat di tiga kecamatan itu terhadap rencana penambangan emas dan tembaga yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata bekerja sama dengan PT Merukh Lembata Copper (PT Merukh Enterprise Group). Masyarakat dengan berbagai cara telah berupaya menolak rencana tersebut. Namum pemerintah setempat terus berupaya dengan cara meneror dan mengintimidasi masyarakat, supaya rencana tersebut segera direalisasikan. Hal itu membuat masyarakat gelisah.

Tim JPIC SVD-OFM terdiri dari Pastor Gabriel Maing OFM, Pastor Mikhael Peruhe OFM, Pastor Laurens Tueng OFM, Pastor Andre Atawolo OFM, Pastor Markus Tulu SVD, Pastor Frans Suar SVD, Pastor Marsel Vande Raring SVD, Pastor Vinsensius Wangge SVD, dan Pastor Steph Tupang Witin SVD. Tim tersebut mengunjungi masyarakat yang wilayahnya termasuk dalam lokasi Penambangan untuk memberikan pendidikan, pencerahan, dan peneguhan kepada masyarakat yang tengah gelisah akibat teror, intimidasi, dan sosialisasi penuh kebohongan yang dilakukan pemerintah.

Pastor Markus Tulu SVD mengatakan, SVD dan OFM sudah menyatakan sikap tegas untuk berada dan berjuang bersama masyarakat yang akan menjadi korban kebijakan pemerintah. Tim ini juga berusaha membangun dialog dengan komponen-komponen yang menentukan kebijakan pembangunan di Lembata.

Tim ini, lanjut Pastor Markus, akan memberikan pencerahan tentang akibat buruk Penambangan, fakta-fakta hukum yang selama ini dijalankan oleh pemerintah hanya dengan maksud meloloskan rencana pembangunan penambangan. Fakta-fakta hukum ini akan menjadi kekuatan bagi tim untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan soal pelanggaran hukum dan HAM. Dalam penjelesan tentang penambangan, tim menggunakan film dokumenter dan foto dari lokasi penambangan PT Freeport Indonesia di Timika, PT Newmont Minahasa Raya, dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Membuka wawasan

Pastor Deken Lembata, Pastor Sinyo da Gomes Pr ketika menerima Tim JPIC-SVD-OFM, Sabtu 27/10 mengatakan, selama ini banyak informasi yang membingungkan masyarakat di lokasi penambangan. Dia merasa heran karena pemerintah sangat memaksakan rencana penambangan sementara masyarakat pemilik ulayat di Leragere dan Kedang sudah menolak sangat keras. Kegiatan tim ini dinilainya sangat penting untuk membuka wawasan dan kesadaran umat terkait rencana penambangan.

Sementara Pastor Marsel Vande Raring SVD yang selama ini berjuang bersama masyarakat Lembata mengatakan, para pastor di Dekenat Lembata telah menyatakan sikap menolak rencana penambangan. Sikap ini lahir dari kesadaran untuk berada dan berjuang bersama umat, yang dalam banyak kebijakan pemerintah hanya ditempatkan sebagai penonton yang pasif.

Tetap tolak

Sejak Minggu 28/10, tim ini mulai melakukan sejumlah kunjungan ke lokasi bakal penambangan. Dalam kesempatan itu warga membeberkan paraktik-praktik kebohongan sosialisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.

Yohanes Kian Raring, salah seorang warga, mengatakan ada pejabat dari kabupaten yang mengatakan limbah dari penambangan akan dibuang ke laut, lalu diolah untuk diminum. Lumpur limbah penambangan akan dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan lapangan golf.

Sementara itu Agus Ama Maing, salah seorang tuan tanah setempat meminta tim untuk menyampaikan kepada Bupati Lembata Andreas Duli Manuk agar jangan lagi melakukan sosialisasi.

Ungkapan senada dilontarkan Leo Maing. Menurutnya, Lembata adalah pulau kecil. Untuk apa dibuka penambangan. Pihaknya akan tetap menolak rencana pemerintah tersebut sekalipun dipaksakan dengan cara apapun.

Kehadiran tim JPIC SVD-OFM semakin mengukuhkan sikap masyarakat menolak penambangan. Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong Kecamatan Omesuri, lokasi bakal penambangan, kepada tim mengaku bahwa telah didekati dan dibujuk Bupati Lembata dengan berbagai cara untuk menyerahkan tanah miliknya. “Ludah yang sudah dibuang tidak akan dijilatnya kembali. Tanah tidak akan pernah saya serahkan,” tegasnya.

Hal yang sama dikemukakan Baltasar Lawa, tokoh masyarakat Buriwutung Kecamatan Buyaqsuri. “Pemerintah mengatakan bahwa kehadiran penambangan akan menyejahterakan masyarakat, namun terbukti dari penambangan barit di Atanila lingkungan jadi hancur dan masyarakat sekitar tetap hidup miskin, air yang dipakai warga pun tercemar,” paparnya.

Dihalangi

Dalam kunjungan ke desa-desa, tim ini selalu dihalang-halangi oleh aparat desa. Di Desa Buriwutung Kecamatan Buyasuri, misalnya kehadiran Tim JPIC-SVD-OFM ditolak dengan alasan mengganggu ketenangan masyarakat yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa setempat.

Tim juga selalu diawasi oleh polisi dan aparat kecamatan maupun staf Kesbanglinmas Pemkab Lembata tanpa alasan yang jelas. Ada yang berusaha memadamkan aliran listrik sebelum dialog berlangsung. Ada pula yang meminta tuan tanah setempat untuk melarang warga menemui para pastor tersebut. Sementara petugas Kesbanglinmas senantiasa menguntit ke manapun para pastor itu berkunjung.

SSpS Tolak Penambangan

Terkait pernyataan Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung Pr, “Tidak mempunyai kompetensi dalam bidang penambangan”, Sr Hironima SSpS menulis surat terbuka untuk Mgr Frans.

Dalam suratnya, suster yang juga Kepala RS. Lela Maumere ini, menyoroti sikap netral uskup di tengah keresahan masyarakat. “Mereka datang kepada Bapa Uskup mohon perlindungan dan minta dibela karena suara mereka tak pernah didengar lagi. Tapi Bapa Uskup lebih memilih tidak memihak siapa pun. Bapa Uskup lebih memilih bersikap netral karena tak mau dibawa dalam satu kelompok kepentingan. Kepentingan masyarakat seperti apa dan kepentingan pemerintah seperti apa? Bapa Uskup tidak memberikan penjelasan yang cukup masuk di akal. Saya berpendapat Bapa Uskup hanya sekedar mencari rasa aman dan takut menanggung resiko,” tulis suster yang berasal dari lokasi bakal penambangan ini.

Menyusul surat terbuka itu, Kongregasi SSpS Provinsi Flores Bagian Timur sepakat menolak tegas rencana Penambangan di Lembata. Penolakan itu sebagai dukungan terhadap masyarakat dan JPIC SVD-OFM. Kesepakatan itu merupakan salah satu hasil akhir dari Kapitel SSpS yang berlangsung di Hokeng, Larantuka, Senin-Minggu 19-25/11.

Alexander Aur/Petrus Y. Wasa
Sumber: Majalah HIDUP Jakarta, 9 Desember 2007

Tuesday, November 27, 2007

Ada Pertambangan Ada Masalah


Pesawat Merpati Boeing 737 jurusan Makassar, Sulawesi Selatan – Timika, Papua sudah dua lebih menjelajahi angkasa pada 3 Oktober 2007. Tepat pukul 13. 45 WITA, melalui pengeras suara, pramugari mengumumkan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin Timika, Papua.

Aku yang tertidur setelah satu jam pesawat lepas landas Bandara Hassanudin, terbangun oleh suara pramugari. Kuarahkan pandangan ke luar lewat kaca jendela pesawat. Dari jauh kulihat di bawah sana hutan Papua yang masih hijau dan sungai berkelok-kelok laksana ular air. Aku duduk di dekat jendela. Oleh karenanya dengan leluasa mataku memanah mutiara hijau hutan papua dan kelokan sungai.

Tetapi pemandangan itu hanya sesaat karena pesawat sudah mendekat ke Bandara Mozes Kilangin. Pesawat semakin mendekati bumi Papua. Dari kaca jendela mataku memanah keluar ke arah Kampung Kwamki Lama. Bukan mutiara hijau (hutan) yang kutemukan. Melainkan bentangan tailing (lumpur limbah pertambangan) yang maha luas dan panjang. Sungai besar dan kecil penuh dengan lumpur limbah. Pohon-pohon meranggas bagaikan orang-orang telanjang di tengah kepanasan. Sejauh mataku memandang, yang kutemukan hanyalah lumpur limbah berwarna putih dan bukan warna hijau khas hutan Papua.

Pesawat yang kutumpangi akhirnya mencium bumi Papua. Goncangan badan pesawat saat roda-roda pesawat menyentuh landasan Bandara Mozes Kilangin, laksana sebuah sapaan selamat datang di tanah Timika.

Beberapa saat kemudian, aku sudah menginjakkan kakiku di bandara yang sering disebut sebagai bandara internasional karena berada di area konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia. Tetapi kenyataan fisik bandara sungguh berbeda 180 derajat dengan bandara internasional pada umumnya. Jalan menuju ruang tunggu penuh dengan kerikil dan debu beterbangan saat mobil melaju di atasnya. Ruang tunggu kedatangan jauh dari kriteria sebuah bandara internasional. Sebagian lantainya terbuat dari ubin hitam dan sebagian lagi terbuat dari semen kasar. Tidak ada air conditioner. Beberapa bangku kayu yang penuh debu di pasang dalam ruangan itu. Sebuah tempat sampah besar diletakkan tidak jauh dari tempat duduk penumpang. Jendelanya pun dibatasi dengan kawat yang biasa dipakai untuk membuat kandang ayam di banyak tempat. Barang bawaan penumpang dilempar begitu saja ke atas tempat bagasi yang terbuat dari papan yang penuh debu. Toilet pun kotor dan bau meskipun ada air. Tidak ada monitor jadual kedatangan pesawat.

Di ruang tunggu keberangkatan, setali tiga uang. Sama saja. Bahkan lebih parah. Tingkat keparahannya sungguh kualami ketika hendak membeli tiket pesawat Merpati jenis foker (9 penumpang) ke Agats-Asmat. Sehari sebelum keberangkatan (Jumat, 5/10) aku minta tolong pada seorang staf Keuskupan Timika untuk membeli tiket. Informasi yang didapat bahwa tiket habis atau pesawat sudah penuh. Tetapi staf keuskupan ini mengatakan, tiket bisa didapat saat di bandara saat keberangkatan. Pada keesokan harinya (Sabtu, 6/10), kami ke bandara.

Ternyata betul. Tiket diperoleh dengan harga Rp. 750. 000. Harga sebenarnya Rp. 650. 000. Saat dalam pesawat, ternyata jumlah penumpang hanya enam orang. Masih banyak kursi yang kosong. Jelas sekali bahwa praktik pelayanan publik seperti itu adalah praktik kotor dan culas.
Kalau kondisinya seperti itu, apakah masih layak disebut sebagai bandara internasional? Atas dasar apa bandara itu disebut bandara internasional? Apakah karena puluhan negara yang memiliki saham di PT Freeport Indonesia sehingga bandara itu dikategorikan sebagai bandara internasional? Atau apakah karena ada logo bendera puluhan negara yang tertera di ambang atas pintu masuk ruang tunggu kedatangan sehingga menjadi bandara internasional? Beragam pertanyaan itu menggelayut dalam pikiranku.

Sudah puluhan tahun PT Freeport beroperasi di Kabupaten Mimika Papua. Tetapi mengapa sampai sekarang bandara masih seperti sebuah tanah lapang yang lebih cocok untuk menggembalakan kambing atau sapi? Inilah pertanyaan lanjutannya. Kondisi itu menjadi sebuah penegasan bahwa janji-janji manis investor pertambangan belum tentu dapat dipenuhi di kemudian hari.

Pengalaman mengamati dari udara areal pembuangan lumpur limbah pertambangan yang luasnya mencapai ratusan kilometer persegi dan kondisi bandara yang lebih mirip areal penggembalaan ternak, mendorongku untuk memastikan fakta itu kepada orang-orang setempat. Orang-orang yang berkompeten di tempat itu harus kutanya. Setelah dua hari di Timika, akhirnya aku berhasil mewawancarai Uskup Timika, Mgr Jhon Philip Saklil Pr, Wakil Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO) Canisius Yosep Amareyau (68), dan Kepala Bidang Adat dan Budaya LEMASKO Fransiskus Yoseph Waraopea (67).

Banyak masalah sosial

Kepada Mgr Jhon Philip Saklil Pr, aku bertanya tentang keuntungan dan dampak negatif dari pertambangan terhadap orang-orang Papua khsusnya Kabupaten Mimika. “Tingkat kehidupan orang-orang Papua khususnya di Kabupaten Mimika jauh dari sejahtera meskipun di sini ada pertambangan besar,” jawab Mgr Saklil tegas.

Yang lebih parah adalah, lanjut Mgr Saklil, makin banyak permasalahan sosial yang timbul. Pelacuran semakin marak, penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun, hampir tiap hari ada orang Papua yang mati dipukul aparat keamanan, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah-daerah lain di Indonesia. “Kalau orang bilang pertambangan mensejahterakan orang Papua, seharusnya dari dulu orang Papua sudah sejahtera. Tetapi sekarang kenyataan berbicara lain. Ini artinya negara (pemerintah) memang tidak sanggup dan tidak mau mengurus masyarakat Papua,” jelasnya.

Menurut Mgr Saklil, juga menyoroti aparat keamanan (polisi dan tentara) yang selalu menempel dengan industri pertambangan. Di mana ada pertambangan di situ ada aparat keamanan. Aparat keamanan dibayar dengan harga tinggi untuk menjaga aset-aset milik perusahaan pertambangan. Karena dibayar tinggi, tugas aparat bukan lagi melindungi dan mengayomi masyarakat sipil melainkan menyembah pemilik modal demi lembaran-lembaran rupiah dan dolar. “Aparat keamanan di sini adalah salah satu pemilik saham di Freeport,” seloroh Mgr Saklil.

Tentang keterlibatan aparat keamanan dalam pengamanan aset-aset militer di PT Freeport Indonesia, seorang staf Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika yang meminta namanya dirahasiakan, mengatakan, “Militer juga ikut menambang secara liar. Bila ada masyarakat yang mau ikut menambang di area pertambangan liar, harus bayar sekali masuk Rp. 1 juta rupiah,” kata pemuda yang pernah menyamar sebagai penambang liar di area konsesi pertambangan PT. Freeport Indonesia ini.

Pencemaran parah

Dari Canisius Yosep Amareyau dan Fransiskus Yoseph Waraopea aku mendapat informasi penting tentang lumpur limbah pertambangan. Lumpur limbah mencemari sebagian besar tanah ulayat milik suku Kamoro, yakni sungai-sungai dan pesisir pantai. (Sebagian besar tanah yang menjadi lokasi pertambangan di Tembagapura merupakan milik Suku Amungme). “Sungai-sungai yang dulu biasa kami lewati dengan sampan dan rakit sekarang tidak bisa lagi karena penuh dengan Lumpur. Kami juga tidak bisa mencari ikan dan kepiting di sungai dan pesisir karena sudah tercemar limbah,” jelas Canisius dan Fransiskus.

Terkait dana 1 persen dari keuntungan PT. Freeport untuk pembangunan masyarakat setempat, Canisius dan Fransiskus mengatakan dana itu masih bermasalah. “Hanya tipu-tipu saja. Rancana bulan November ini, kami akan ke Jakarta untuk membicarakan hal ini dengan pemerintah pusat dan pihak perusahaan,” kata mereka.

Area pembuangan lumpur limbah sangat luas. Luas areal itu kupastikan lagi dengan melihat dari udara saat pergi dan pulang Timika-Ewer Asmat pada Sabtu 6/10 dan Sabtu 31/10. Salah satu muara dari pembuangan limbah adalah Timika (di sekitar bandara dan kampung Kwamki Lama). Jarak antara Timika dan Tembagapura (lokasi pertambangan) mencapai kurang lebih 100 KM. Dengan jarak itu, bisa dibayangkan luas areal yang tercemar.

Kalaupun ada argumentasi bahwa lumpur limbah bisa diolah menjadi air minum, itu membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang mahal. Mungkinkah investor pertambangan mau melakukan itu? Walahualam. Hanya ada satu yang jelas, di mana ada pertambangan di situ ada masalah.

Catatan Perjalanan Jurnalistik Alexander Aur,
wartawan Tabloid Flores Pos Jakarta ke Timika, Papua

Sumber: harian Flores Pos edisi, 27 November 2007

Jebakan Maut Corporate Social Responsibility


Dalam Kertas Kerja Sosialisasi Industri Pertambangan Terpadu Lembata yang ditujukan kepada masyarakat Lembata, PT Merukh Lembata Copper mengungkapkan bahwa akan melakukan pengembangan masyarakat (community development). Wujud konkrit pengembangan masyarakat yang akan dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, penyerapan tenaga lokal, pengembangan mutu pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan mengutamakan kesempatan usaha dan bekerja bagi penduduk lokal Lembata.
Dalam dunia korporasi atau perusahaan (khususnya korporasi pertambangan), pengembangan masyarakat (community development) merupakan perwujudan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan/korporasi (corporate social responsibility/csr). Di banyak tempat, corporate social responsibility – selanjutnya disebut CSR – merupakan langkah jitu dari perusahaan untuk menarik simpati dan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut di satu tempat. Sebagai contoh, PT Inco – sebuah perusahaan pertambangan nikel dari Canada – yang melakukan aktivitas pertambangan di Sorowako Sulawesi Selatan. Perusahaan ini mewujudkan CSR dalam beberapa aspek seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, pengembangan ekonomi (pertanian dan peternakan).

Bila dilihat secara sekilas, perwujudan CSR merupakan suatu langkah yang mulia. Hasilnya bisa langsung mengena (dirasakan/dinikmati) masyarakat setempat. Tetapi, sesuatu yang dilihat secara sepintas baik, ternyata mengandung jebakan-jebakan mematikan.

Tulisan ini akan menyoroti dua jebakan mematikan dari CSR. Pertama, secara konseptual (pada tataran ide) CSR mengandung dilema, yakni pertarungan antara ide tentang politik balas budi dan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan tambang. Korporasi atau perusahaan sering kali memahami CSR dan perwujudannya sebagai tuntutan etis dan moral. Para aras ini, perwujudan CSR merupakan karya karitatif dari perusahaan. Gagasan yang melatarinya adalah politik balas budi (politik etis). Menurut perusahaan, politik balas budi harus dilakukan karena masyarakat sudah menyerahkan hak miliknya berupa tanah, air, udara, dan bahkan budaya kepada korporasi tambang. Politik balas budi ini pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, seperti pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi, dan kerajinan tangan. Pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) pada Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.

Ide politik balas budi tersebut bertentangan dengan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan – terutama perusahaan tambang. Ideologi ekonomi perusahaan tambang adalah mencari dengan berbagai cara sumber-sumber ekonomi dan mengelolanya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Orientasi keuntungan (profit oriented) menjadi matra utama dan pertama dari perusahaan. Jelas sekali, bahwa tidak ada titik sambung yang menghubungkan ide tentang politik etis dan ideologi ekonomi, yang kedua-duanya dijalankan oleh satu subjek, yakni perusahaan tambang. Sedang berkembang cara berpikir dan praktik oleh perusahaan tambang yang tidak logis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masuk akal, bila sebuah perusahaan yang berorientasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di satu sisi, dan di sisi lain melakukan politik etis bagi masyarakat setempat? Bukankah ini sebuah dilema moral yang mendasar? Bukankah CSR merupakan bentuk penaklukan secara halus terhadap masyarakat setempat agar tidak memprotes aktivitas pertambangan?
Jika demikian, maka, “CSR merupakan strategi pendekatan kaum neoliberal agar tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. Dengan kata lain CSR adalah alat penaklukan dalam kemasan berwajah sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah, yakni akumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,” (Sonny Sukada, 2007, hal. 19).
Kedua, Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), yang didalamnya mengatur juga CSR. Salah satu ketentuan dalam UU tersebut adalah kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Pengesahan UU tersebut dilakukan setelah sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, seperti di Buyat Sulawesi Utara (pertambangan emas oleh PT Newmont Minahasa), Abepura Papua (pertambangan emas oleh PT Freeport Indonesia), dan Porong Sidoarjo Jawa Timur (pertambangan gas oleh PT Lapindo Brantas Inc).
Langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beberapa asosiasi pengusaha. Alasannya, UU tersebut bisa menjadi dasar praktik-praktik pemungutan liar. Banyak perusahaan beranggapan bahwa CSR merupakan bentuk kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena itu CSR tidak bisa dilegalkan dalam UU. Kepedulian sosial sebagai tindakan sukarela tidak bisa dibakukan dalam UU sehingga menjadi kewajiban.
Jika perusahaan memahami CSR sebagai tindakan sukarela, maka dengan mudah perusahaan melepaskan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Mungkin juga akan mewujudkan CSR tetapi dalam batas waktu tertentu saja.
Jelas, bahwa tidak ada kesamaan konsep tentang CSR antara pemerintah dan perusahaan/korporasi. Ketidaksamaan konsep tersebut akan berujung pada praktik di lapangan. Perusahaan kapan saja bisa enggan melakukan CSR atau masa perwujudan CSR yang terlalu pendek yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang diderita masyarakat. Akibatnya konflik berkepanjangan bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah. Siapa pun yang terlibat dalam konflik, yang sering menjadi korban adalah masyarakat setempat.
Jebakan-jebakan maut tersebut perlu diperhatikan secara serius dan mendalam oleh masyarakat setempat, yakni di lokasi pertambangan secara khusus, dan kabupaten secara umum. Itu agar masyarakat tidak mudah jatuh dalam jebakan yang mematikan diri sendiri. Pemerintah daerah juga harus kritis dengan tawaran berupa CSR dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi.

Penulis, Alexander Aur, wartawan di Jakarta, asal Lembata

Sumber: Harian POS KUPANG, Edisi 29 September 2007

Friday, November 23, 2007

SIAPA BERANI MENGUSIK TIDUR 'BARON Of MINING'

(Sebuah catatan penting tentang kasus tambang di Lembata)
Oleh: Ferdinand Lamak *
[Tulisan ini pernah dimuat di Harian POS KUPANG]

PROTES warga beberapa desa di Kecamatan Lebatukan, Lembata terhadap Pemda Lembata lantaran telah melakukan kesepakatan dengan investor (Merukh Enterprises) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas kandungan emas dan tembaga di wilayah itu, kini menjadi kian kusut saja. Sikap Pemda Kabupaten Lembata dalam menghadapi protes warga sejumlah kampung itu pun tampak jauh dari wajah yang ramah. Wajah ramah yang harusnya ditunjukkan secara arif oleh para pemimpin pemerintahan yang sejatinya melayani ‘tuan besar’ bernama rakyat itu. Pemda begitu defensif-nya (membentengi diri), bergeming dengan sikap awalnya dengan logika "Pokoknya kita jalan terus!" Ironisnya, sikap ini memberikan kepada kita kesan, seolah Pemda Lembata adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengeksekusi kepentingan investor di Lembata. Saya malah lebih cenderung menyebut kondisi yang kini dialami oleh Pemda Lembata sebagai sebuah ‘keterjebakan’ di dalam perangkap yang mereka pasang sendiri. Hasilnya, maju dihadang rakyat, mundur dihadang investor. Serba salah!Membabibutanya sikap Pemda Lembata yang bersikukuh untuk melanjutkan rencana penambangan itu, sejenak memunculkan pertanyaan yang menggelitik di dalam benak saya. Siapakah sesungguhnya Merukh Enterprises (ME) itu, hingga membuat pemimpin-pemimpin di Lembata sana menjadi ‘hilang pendengaran’ terhadap jeritan warganya yang menolak penambangan itu? Bukankah, mereka-mereka inilah yang telah menjadikan Anda sebagai pejabat tertinggi di seantero Lembata?Sudah sangat banyak pandangan, analisis maupun catatan kritis yang menyoroti kasus penambangan di Lembata ini. Aspek cost of environment (biaya yang muncul karena tercemarnya lingkungan hidup) memang selalu menjadi dasar pertimbangan utama dalam sebuah rencana eksploitasi material dari perut bumi. Bahkan dengan adanya kasus ini, tidak saja orang cerdik pandai yang bicara tentang lingkungan hidup. Rakyat di Leragere, Lebatukan dan sekitarnya pun menjadi lebih fasih berbicara tentang isu-isu lingkungan hidup, terutama mengenai dampak penambangan di kampung mereka, terhadap ekosistem di sekitarnya, kelak.Pemda sendiri sejauh ini sepi dari argumentasi yang logis dan rasional. Satu-satunya alasan yang selalu dikemukakan adalah benefit ekonomi yang akan diperoleh dari penambangan itu. Komentar itu juga yang saya dengar langsung dari seorang pejabat di lingkungan "think tank’ Pemda Lembata. "Lembata akan jadikabupaten yang kaya raya, karena deposit emas dan tembaga di sana nomor satu di dunia," ungkap sang pejabat itu, tanpa tahu apa yang dimaksudkan dengan ‘nomor satu’ itu.Sebagai orang sehari-hari berhimpitan dengan isu seputar investasi dan dunia ekonomi bisnis, hemat saya, argumentasi benefit ekonomi yang kerap dikemukakan Pemda Lembata selama ini pada titik tertentu dapat diterima. Tetapi, betapapun benefit itu membuat air liur kita meleleh-leleh, komparasi dengan cost yang akan ditanggung pun harus segera menyadarkan Pemda Lembata pada pertimbangan rasional, apakah rencana ini akan dilanjutkan atau tidak.Saya agak terheran-heran ketika ada pejabat di lingkungan Pemda Lembata yang selalu berbicara bahwa penambangan ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sungguh, jika benar sejatinya penambangan ini akan memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat, lalu mengapa mereka protes? Pertanyaannya sederhana saja. Pernahkah Anda mendengar berita bahwa ada rakyat yang menolak disejahterakan oleh pemerintahnya? Saya sendiri merasa yakin bahwa rakyat Lembata belum sampai pada titik ‘tidak waras’ untuk menolak jika ada pihak yang datang menawarkan diri melepaskan mereka dari belenggu keterbatasan ekonomi. Menjadi lebih konyol lagi, pemerintah justru bersikukuh untuk tetap membuka penambangan itu untuk kesejahteraan rakyat. Masa ada pemerintah yang datang dan berkata kepada rakyatnya, "Pokoknya kamu setuju atau tidak, tetapi minggir, kami mau mensejahterakan kalian." Konyol bukan?Meskipun mengusung logika penambangan itu sebagai sebuah upaya ‘menyejahterakan’, warga pun kemudian menolak. Mereka tidak ingin disejahterakan melalui sebuah eksploitasi perut bumi Lembata. Dilihat dari riwayat penolakan tambang di negeri ini, tidak pernah ada kasus dimana warga ditangkapi dan dibui lantaran memrotes dan menolak disejahterakan. Tetapi sebaliknya, masalah justru sering menimpa pihak yang secara diam-diam menandatangani nota kesepakatan itu. Ketika deal-deal rahasia antara pemda dan investor, konsesi-konsesi serta iming-iming menggiurkan, hingga membuat MoU itu ada, lalu pada giliran pelaksanaannya mengalami kendala, siapa yang akan disalahkan? Investor tentu saja tidak akan menerima begitu saja ketika salah satu pihak melanggar nota kesepakatan itu. Jika demikian, maka pertanyaannya kini, apa sebetulnya yang tengah terjadi di balik ngototnya Pemda Lembata ini?Siapakah sesungguhnya Merukh?Nama Merukh sejak September silam mulai santer terdengar di Lembata. Mulai dari kabar bahwa pengusaha ini akan masuk ke Lembata untuk menambang emas dan tembaga di sana hingga aksi protes yang dilakukan oleh warga bakal lokasi penambangan itu. Nama Merukh seketika menjadi buah bibir. Namun, pertanyaan selanjutnya, siapa sesungguhnya pria ini?Bagi pria kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, yang bernama lengkap Jusuf Merukh ini, persoalan di Lembata mungkin sebuah persoalan yang ‘kecil’ sepanjang pergumulannya dengan urusan tambang menambang. Merukh, anak dari pasangan Yunus Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros, Sulawesi Selatan, yang kemudian bekerja di perusahaan swasta milik Belanda), dan Esther Merukh itu, kemudian beranjak remaja di Ujung Pandang (kini Makassar).Debut awal lulusan S-1 di Texas Agricultural and Mechanical University, AS ini di dalam dunia pertambangan, bermula ketika ia mendapat HPH (hak pengelolaan hutan) yang kemudian membuatnya berhasil membeli 500 kuasa pertambangan, sampai akhirnya ia menguasai sejumlah tambang emas di Indonesia. Semua itu ia peroleh karena kedekatannya dengan kekuasaan di masa silam. Apalagi, Merukh sendiri sempat terkenal sebagai salai satu tokoh Partai Nasional Indonesia. Di masa Bung Karno, misalnya, Merukh termasuk salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan negara. Tapi juga kepentingan keluarga presiden. Sebagai Ketua PNI Jakarta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno ingin membuat sertifikat tanahnya, Ibu negara ini tak segan-segan meminta bantuan Merukh.Menurut pengakuan Merukh kepada sebuah Tabloid Ekonomi Bisnis terbitan Jakarta, 1997 silam, kekayaannya bermula dari HPH yang dipegangnya. HPH itu ia kontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Merukh sendiri ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti. Masuknya Merukh ke pertambangan sendiri berawal dari ajakan seorang teman warga negara Amerika Serikat, bernama Tony Branco. Dengan modal tabungan sebanyak US$ 5 juta, Merukh membeli tak kurang dari 500 hak kuasa pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu, mencari chrom. Tapi sial, yang ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya.Kendati ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangaan dari Pulau Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertamanya. Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya menyetujui usulan bekas Ketua DPRD DKI ini.Pada awal 1990-an, nama Merukh sudah tidak banyak terdengar, kecuali ketika ia dan Gerry Mbatemoi disebut-sebut dalam kisruh dalam tubuh PDI pimpinan Drs. Suryadi. Namun di kurun waktu 1996-1997, namanya mencuat seiring dengan mencuatnya sengketa mengenai siapa yang berhak mengelola deposit emas yang sangat besar di Busang, Kalimantan Timur. Jusuf, yang mengaku sebagai penemudan pemilik tambang emas Busang (bahkan konon nama Busang itu dia yang berikan). Merasa sangat dirugikan, ia menggugat Bre-X, perusahaan penambangan emas dari Kanada. "Kalau saya menemukan tambang, akan dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke dalam untuk kerja sama," katanya kepada tabloid itu.Kini Merukh menjadi pemilik legal right bagi pertambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Busang itu, menurut Jusuf, bukan barang yang tidak bertuan. "Saya yang menemukan, dan sudah keluar 20 juta dolar sekian untuk membuktikan itu. Uangnya dari mana? Saya pinjam. Kalau kita meminjam dari seseorang, kemudian diserahkan ke orang lain-lain, ‘kan saya bisa dituntut. Pengacara-pengacara saya juga bisa nuntut saya."Nah, dari gambaran mengenai siapa sesungguhnya Merukh di atas dengan segala sepak terjangnya di dunia pertambangan nasional, maka saya memperkirakan, langkah Pemda Lembata ini cenderung menjebak diri sendiri. Kiprah Merukh yang kerap dijuluki ‘Sang Veteran’ atau "Baron of Mining’ ini sudah menunjukkan bahwa beberapa sengketa penambangan akibat dilanggarnya MoU, akhirnya ia menangkan. Bagi Pemda Lembata saat ini, maju kena, mundur pun kena. Tentu saja, tergantung klausul dari MoU yang mereka tandatangani. Ini seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak eksplorasi tambang emas Martabe, di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.Implikasi yang lain yang mungkin timbul adalah, jika eksplorasi merekomendasikan bahwa kandungan emas dan tembaga di dalam perut Lembata layak dieksploitasi, maka belum tentu ME akan menggelontorkan investasi untuk menanganinya. Apalagi jika prinsip bermitra dengan investor asing sudah lama menjadi prinsip Merukh dalam berbisnis di dunia pertambangan, bukan tidak mungkin pola ini pun akan diterapkannya di Lembata. Catat saja beberapa fakta berikut, dalam Kontrak Karya PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) PT. Tanjung Sarapung milik Merukh, mendapat saham 20%. Demikian juga di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), melalui bendera PT Pukuafu Indah, Merukh mengendalikan 20% saham perusahaan itu.Di dalam bisnis, pola seperti ini merupakan hal yang wajar. Konsesi terhadap goodwill, atau intangible asset lain dalam bentuk kepemilikan saham (share) adalah hal yang normal. Tetapi ini akan menjadi petaka besar bagi warga Lembata, dan bukan tidak mungkin akan menjadi mimpi buruk juga bagi masyarakat di dua kabupaten terdekat, Flores Timur dan Alor, jika limbah (tailing) kemudian dialirkan lewat pipa bawah laut untuk dibuang ke tengah laut.Yang menjadi sangat memilukan, semua dampak yang timbul dari ekploitasi tambang tidak langsung dirasakan sekarang. Bahkan sampai masa jabatan bupati dan Wakil Bupati Lembata saat ini usai pun, dampaknya belum terasa. Tetapi tunggu, nanti pada 10 hingga 15 tahun setelah eksploitasi dilakukan, bukan tidakmungkin berita mengenai kasus pencemaran lingkungan di Lembata dengan korban rakyat jelata, akan menghiasi wajah koran ini saban harinya. Sama seperti yang dialami oleh warga di sekitar 527.448 hektar lahan yang menjadi wilayah operasi PT Newmont Minahasa Raya, di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pernahkah terbayang oleh warga setempat bahwa Kontrak Karya yang disetujui oleh Presiden RI kala itu, Soeharto, pada 6 November 1986, kemudian akan melahirkan kasus pencemaran lingkungan yang sempat heboh pada 2004 silam?Dilema Pemda Lembata dalam kasus rencana penambangan ini, hanya akan berakhir jika Pemda Lembata tidak melihat MoU sebagai sebuah awal dari kiamat jika melanggarnya. Jika masih meyakini bahwa suara rakyat adalah Suara Para Leluhur, Lewo Tana, Leu Au’ dan Suara Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka tak perlu takut membangunkan, sekalipun itu "Sang Baron" yang tengah nyenyak tertidur pulas. Jika sudah cukup lama, banyak kebijakan yang tidak menggunakan hati nurani maka, kini pergunakanlah. Sebagaimana nasihat nan arif dari para leluhur Lamaholot berikut ini, "Peten penukut taan onet." (Yang Berarti: Pikirkanlah dan renungkanlah dengan hati nuranimu, sebelum membuat keputusan).

* Penulis, Putera Lamaholot, Wakil KetuaDPD NTT, Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)

SIMALAKAMA CSR

*Ferdinand Lamak
(Tulisan ini pernah di publikasikan di Harian POS KUPANG)

Ditengah merebaknya pro dan kontra tentang masuknya investasi pertambangan di beberapa kabupaten di NTT, di Senayan-Jakarta, pertengahan Juli silam, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas (RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No 1/1995. Secara makro, produk hukum paling anyar ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ‘aroma investasi pertambangan’ yang sedang menyeruak di NTT. Namun, satu pasal yang membuat kelompok swasta (korporasi) terkaget-kaget yakni mengenai kewajiban perseroan mengalokasikan dana Corporate Sosial Responsibility, agaknya perlu juga dicermati oleh warga NTT, yang Pemda-nya kini tengah bergairah menebar pesona, memancing investor datang ke sini.Di dalam pasal 74 Undang Undang itu, Ayat 1 menyatakan: Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sementara, ayat 2: Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3: Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4: Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.Kelahiran undang undang ini, telah meletupkan peta reaksi yang terpola dalam dua kelompok. Kelompok pengusaha, memberikan reaksi negatif, menolak. Mereka khawatir, ini akan jadi pasal ampuh yang akan melahirkan pungli oleh pemerintah (pemda) maupun preassure (tekanan) dari masyarakat tempat dimana perusahaan beraktifitas. Dan ini akan menghambat incoming investment dari luar.Sedangkan bagi pemerintah, masyarakat dan LSM, ini adalah kabar baik. Pemerintah dan DPR memiliki argumentasi bahwa kewajiban CSR ini ditujukan untuk menopang terselenggaranya good corporate governance di kalangan dunia usaha sehingga iklim usaha menjadi kondusif. Perusahaan tidak bisa lagi semena-mena dalam mengeksplorasi sumberdaya alam, dan menutup mata terhadap program CSR yang terencana (under budgeting) dan dapat dipertanggungjawabkan (auditable).Konsepsi 'Corporate’ & ‘Corporate Social Responsibility'Konsepsi CSR diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, 'It refers to the obligations of bussinesman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society' (Bowen dalam Caroll, 1999:270).Para pendukung konsep CSR juga berargumentasi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih luas dari sekadar mencari untung dan taat hukum terhadap para pemegang sahamnya. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isu-isu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004).Lebih jauh, Garriga dan Mele (2004) memetakan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya, Garriga dan Mele (2004) menjelaskan CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yakni keuntungan yang berkelanjutan. Kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. Ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Keempat, berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Dengan demikian, teori-teori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial, dan nilai-nilai etis. Namun, konsepsi ini jika dilihat dari sisi pengusaha atau perusahaan (corporate side), menjadi tidak sejalan dengan hakekat keberadaan korporasi di belahan bumi manapun. Apalagi jika disandingkan dengan argumentasi Milton Friedman, salah seorang peraih nobel bidang ekonomi. Menurut dia, secara natur, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder (pemegang saham),… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Dari sudut pandangan ini, CSR merupakan tindakan amoral dan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.Merujuk pada pendapat Friedman ini, jelas sulit untuk mengubah perilaku perusahaan. Korporasi memang dilahirkan dari rahim pengusaha atau investor, untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Mari kita ingat kembali kisah sedih bagaimana tanggung jawab Lapindo Brantas Incorporated terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur. Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.CSR Melindungi Rakyat dari Rakusnya Investor dan PejabatPembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung. Harapan John Rawls, 1995, ini tampaknya sudah dapat diwujudkan dalam bentuk produk hukum tentang perseroan terbatas ini.Memang, idealnya aturan acapkali tidak seideal implementasi. Apalagi jika semua proses dan dinamika yang berlangsung, diwarnai oleh kooptasi kepentingan penguasa yang tidak kalah loba dan tamaknya dari korporasi itu sendiri. Belum lagi jika terjadi pada daerah-daerah yang sangat rindu pada kehadiran investor dari luar, tentu saja CSR akan menjadi batu ganjalan bagi arus masuknya investor dari luar. Sebab, ketika arus investasi masuk terasa lambat, maka harus dirangsang dengan berbagai insentif. Agar ada penyeimbangan yang bisa dirasakan oleh investor.Kendati demikian, tulisan ini tidak bermaksud memberikan opini positif, atau bahkan menafikkan fakta penolakan rakyat terhadap rencana masuknya industri ekstaksi terbuka di Kabupaten Lembata, NTT yang menghangat belakangan ini. Satu catatan penting, CSR hanya bisa dilakukan jika persoalan masuknya spesies rakus bernama investor berserta korporasinya, sudah selesai di level masyarakat lokal.CSR juga hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan jika berhadapan dengan local shareholder dan para stakeholder yang ‘disegani’. Dalam konteks ini, saya harus mengatakan bahwa posisi tawar Pemda, DPRD dan publik Lembata berada pada titik nadir, di hadapan Baron of Mining, Jusuf Merukh.Tengok saja apa yang terjadi di Jakarta, sebelum 17 Agustus lalu. Di salah satu ruangan Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Di hotel dengan tarif sewa paling mahal se-Jakarta itu, para duta Lembata yang baru saja pulang dari kegiatan yang mereka namakan sebagai ‘studi banding’ (meski lebih tepat disebut sebagai darmawisata) di Newmont Minahasa Raya (Sulut) dan Newmont Nusa Tenggara (NTB), datang ‘menghadap’ Jusuf Merukh. Di tempat itu, mereka ‘seolah-olah’ mempresentasikan hasil studi banding di dua wilayah tambang dimana Merukh menjadi salah satu shareholder itu.Aneh memang. Alih-alih memberikan hasil studi banding (jika rombongan ini benar-benar datang dan mencium bibir pantai Buyat di Ratatotok sana) kepada masyarakatnya, malah Merukh yang penuh birahi memasuki Lembata lah yang didatangi. Dan di sanalah, di bawah hembusan AC nan sejuk, dikelilingi sajian makan di hotel kelas platinum metropolitan itu, dengan tenang dan tekun, mereka mendengarkan petuah dan khotbah sang baron. Astagafirullah!*

Penulis: Wartawan Ekonomi & Bisnis, Putra Lembata, Vice Chairman Panangian Media Group, Jakarta.

SELINGKUH PEMDA & INVESTOR, BAK AROMA BAU KENTUT

Oleh: Ferdinand Lamak
Orang Lembata tinggal di Jakarta

Anda pernah mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar indikasi-indikasi dua orang yang bukan suami isteri, menjalani hubungan (suami isteri) terlarang? Orang sekarang menamakannya dengan istilah selingkuh. Lalu Anak Baru Gede (ABG) atau para Orang Tua Gaul (OTG) kemudian membuatnya jadi lebih tren dengan istilah Teman Tapi Mesra (TTM). Syukurlah kalau Anda tidak termasuk dalam penganut Selingkuh-isme atau TTM-isme.Selingkuh adalah suatu perbuatan tercela. Selain melanggar batas-batas norma susila, dia jadi sebuah persoalan hukum, meski lebih sering menjadi menjadi konsumsi kasak-kusuk. Orang lalu menamakan informasi yang beredar mengenai perselingkuhan sebagai gossip. Sayangnya, gossip yang kerap dimaknai dengan remeh – lantaran tidak banyak yang bisa atau berani membuktikan kesahihan informasi ini, justru tidak sedikit berakibat fatal. Perceraian, sengketa di pengadilan bahkan tidak sedikit yang menimbulkan pertumpahan darah. Itulah selingkuh, yang kini mungkin sedang menjamur di sekitar kita.Selingkuh juga bisa disamakan dengan proses ketika orang membuang udara, dalam bahasa sehari-hari disebut kentut. Tidak jelas dari mana berasal, tahu-tahunya sudah tercium aroma busuknya di sekitar Anda! Selingkuh dan kentut, di titik tertentu, sama saja.Analogi selingkuh ini pula, layak dikemukakan untuk menggambarkan bagaimana dan dari mana rencana eksplorasi dan eksplotasi tambang di Lembata itu bermula, hingga kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan pemerintah dan investor.Orang berselingkuh, bisa saja terjadi pada dua orang yang teman sekantor, atau dengan tetangga rumah, kekasih lama atau orang yang sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya. Bisa saja si pria yang lebih aktif mencari-cari kesempatan untuk bisa merayu si wanita, bisa juga si wanita yang lebih agresif, atau kemungkinan berikut mereka kebetulan sama-sama saling membutuhkan. Pemda Lembata pun berada dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut, jika ditanya, darimana mereka mengenal Jusuf Merukh, dedengkot bisnis penambangan negeri ini, yang dengan bendera Merukh Enterprises – nya, berencana melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas dan tembaga di Lembata. Apalagi kalau Pemda Lembata, maupun pihak Merukh sama-sama sudah mengantongi berbagai data dan informasi yang dirilis bersama oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG) Bandung dan Geological Survey of Japan (GSJ), Lembaga Penelitian Geologi di bawah Agency of Industrial Science an Technologi (AIST) milik Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang. Tentu saja, kedua pihak ini ibarat pria petualang dan wanita kesepian peselingkuh, yang dipertemukan oleh kepentingan yang sama yakni hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kandungan emas di Pulau Lomblen lebih dari 150 kali lipat kandungan emas di Cikotok, Banten.Pasangan selingkuh, setelah sekali-dua kali ngobrol, saling curhat atau bercanda, lantas mulai berjanji bertemu. Janji yang kemudian berakhir dengan pertemuan pun, tentu saja menjadi momentum yang top secret. Apalagi jika keduanya sudah memiliki pasangan yang sah; suami dan isteri. Tentu saja, sebisa mungkin pertemuan mereka tidak diketahui oleh pasangan resminya masing-masing, juga anak-anak dan kerabat dekat lainnya. Pemda Lembata pun tentu saja melewati sebuah proses penjajakan sebelum bersepakat dengan pihak Merukh. Mengandaikan rakyat Lembata (terutama yang berada di lokasi tempat penambangan akan dilakukan) adalah pasangan sah, atau anak-anak dari Pemda lembata, maka tidaklah heran jika proses penjajakan antara kedua belah pihak dilakukan secara diam-diam.Dan, ketika Memorandum of Understanding (MoU) atau dalam bahasa rakyat, surat kesepakatan / surat perjanjian, ditandatangani oleh Pemda Lembata dan Merukh Enterprises di Jakarta, kondisi ini di dalam sebuah relasi perselingkuhan, dapat dianalogikan sebagai terjadinya persetubuhan. Ada nafsu, komitmen, ada take and give, janji, mimpi indah menggiurkan. Tak ada ekspresi rasa bersalah terhadap pasangannya, yang adalah rakyatnya sendiri. Kesan show off justru semakin kental dimunculkan, ketika MoU dan klausul-klausul yang termaktub di sana, diumumkan ke publik. Alih-alih dengan tangan terbuka, telinga yang tajam dan hati yang teduh mendengar nada protes, jerit cemas para warga, mereka justru menampakkan sikap, “Makin Ditentang Makin Menjadi.” Persis sama seperti ungkapan klasik “Makin Tua Makin Menjadi.” Pemerintah Lembata pun kukuh tegak berdiri ibarat penguasa jagad tanah Lembata. Ia tidak beda dengan pria atau wanita peselingkuh yang kepergok pasangannya, tetapi justru menantang ‘cerai.’ Edan!Tak Ada Kata Terlambat Untuk BertobatPeselingkuh tidak selamanya terus berkubang dosa. Peselingkuh pun kerap bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Tengok apa yang diungkapkan oleh Bupati Ende Paulinus Domi, tentang penolakan rencana penambangan biji besi di kawasan tanah adapt Lisa Tana Telu oleh PT Anugerah Persada Mining (NTT Online 18/06/07). Domi mengatakan, pihaknya siap membatalkan rencana investasi tersebut jika memang itu menjadi kehendak mayoritas rakyat karena tidak ingin berbenturan dengan rakyatnya sendiri. “Pemerintah ingin berbuat untuk kepentingan rakyat, tetapi kalau memang rakyat berkehendak lain, kami siap untuk membatalkan rencana investasi tersebut. Pemerintah tidak rugi apa-apa.”Kalau di Ende, penolakan rakyat disampaikan ketika penambangan itu masih sebatas wacana, tidak demikian halnya dengan Lembata. Rakyat bak kaget ketika tahu-tahu MoU sudah ditandatangani. Ketika mereka protes, pemerintah malah bergeming dengan MoU-nya. Bahkan seperti yang kita ketahui bersama, reaksi penolakan pun telah mengalir keluar rumah para pastor (pastoran) dengan ditandatanganinya surat penolakan oleh 22 orang pastor, Mei silam. Sudah begitu pun, lagi-lagi pemerintah bergeming. Penambangan jalan terus dan pemerintah tidak akan surut dengan rencana awal.Sudah terlampau banyak pandangan yang disampaikan dalam pemberitaan media local mengenai konsekwensi-konsekwensi yang akan ditimbulkan jika ekplorasi merekomendasikan eksploitasi emas dan tembaga di Lembata ini. Mulai dari tinjauan yuridis formal, tinjauan politis, sosiologis antropologis pun dari sisi-sisi cultural. Setahu saya, tidak ada satupun dari pandangan itu yang sependapat dengan kekukuhan pemerintah.Dalam pandangan saya, pemerintah rupanya larut dalam angan-angan akan ‘jatuhnya’ ratusan miliar rupiah dari pertambangan itu, mengalir ke dalam kas pemda. Nampaknya, tidak ada alasan lain jika pemda kemudian membuka pintu bagi investor masuk untuk melakukan eksploitasi kandungan bumi di wilayahnya. Satu-satunya alasannya adalah untuk memajukan perekonomian wilayah itu.Alasan ini pula yang saya dengar langsung dari mulut salah seorang birokrat senior di lingkungan Pemda Lembata, sore itu di halaman Hotel Grand Flora, Kemang, sesaat setelah MoU itu ditandatangani, tahun silam. Birokrat dari institusi yang kerap dinamakan sebagai think tank nya Pemda ini, dengan berapi-apinya berkisah tentang kemakmuran yang tidak lama lagi akan membungkus pulau Lembata, setalah penambangan itu dilakukan.Beberapa pertanyaan kritis yang mungkin patut kita ajukan ke pemerintah, benarkah MoU penambangan ini dibuat demi memakmurkan masyarakat Lembata? Jika benar, maka dengan asumsi bahwa semua manusia ingin hidup sejahtera dari sisi ekonomi, pertanyaannya, mengapa rakyat Lembata menolak rencana pemerintah untuk memakmurkan mereka dari hasil tambang ini? Tentu saja, rakyat punya berbagai alasan untuk mengajukan keberatan dan penolakan. Nah, kalau rakyat, yang oleh pemerintah hendak mereka makmurkan itu, menolak untuk dimakmurkan dan disejahterakan dengan hasil tambang tersebut, mengapa pemerintah tampak seperti sedang memaksakan kehendak? Bukankah wajar saja, jika tindakan yang tampak seperti memaksakan kehendak ini kemudian memunculkan berbagai komentar yang menyebut bahwa tambang di Lembata ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu saja?Baiknya juga, jika publik Lembata menggunakan kasus ini untuk berkaca diri guna membangun sebuah kehidupan berdemokrasi yang lebih sehat dan patut di masa mendatang. Tirani minoritas pada berbagai kasus di tubuh pemerintahan, biasanya terbangun lantaran tersumbatnya katup demokrasi. Bayangkan saja, bagaimana mungkin sepasang pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat, kemudian dengan mudahnya berpaling dari aspirasi rakyatnya sendiri?Terakhir, yang patut juga kita cermati adalah bagaimana melihat tanggungjawab konkrit dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam melahirkan kepemimpinan politik di Lembata. Boleh jadi, jika semua aspirasi yang disampaikan langsung maupun melalui para wakil rakyat di gedung dewan pun nihil hasilnya, mungkin perlu dipikirkan jalan berikutnya. Kadang-kadang, para pemimpin politik di daerah lebih patuh kepada partai yang menjadikannya sebagai bupati atau wakil bupati. Itu sebabnya, tidak salah juga jika rakyat datang kepada partai yang sedang berkuasa untuk menyampaikan aspirasi mereka. Jika ini dapat dilakukan, sebuah pembelajaran berharga bagi para elit partai politik di Lembata

Thursday, November 22, 2007

Lewolein, "Firdaus yang hilang"

LEWOLEIN ibarat Firdaus yang sudah hilang kemudian ditemukan kembali. Kehidupan desa di bibir pantai utara Lembata itu paling tidak membawa setiap orang yang berkunjung ke sana untuk berimajinasi macam-macam. Betapa tidak, rombongan ikan di laut lepas bisa jinak seperti ayam atau bebek peliharaan. Dari ketinggian terlihat warna laut kehitam-hitaman, itu petanda rombongan ikan akan segera datang bermain dekat sekali ke pinggir pantai. Anda ingin menikmati ikan bakar? Pergilah ke pantai membawa serta peralatan seadanya, tapi jangan lupa membawa serta bumbu sesuai selera masing-masing tambahan makanan pendamping kalau perlu, lalu hidupkan api... selesai. Kita akan dibuat tercengang-cengang dan keheranan-heranan karena serombongan ikan besar kecil akan mendekati Anda hanya beberapa meter dari bibir pantai. Ambilah seberapa yang dibutuhkan dan biarkan yang lain pergi.

Itulah firdaus menurut imajinasi saya ketika menyaksikan peristiwa langkah seperti itu. Zaman dulu Adam dan Eva bukan saja berteman dengan ikan tetapi semua hewan yang saat ini kita kenal liar dan buas, bisa hidup berdampingan. Keadaan seperti di firdaus itu sudah lama hilang karena sikap kita sendiri. Orang Lewolein kemungkinan besar juga tidak setiap waktu membaca kitab suci tetapi cara hidupnya dengan ikan mirip di Firdaus seperri gambaran kitab Suci.
Paradise, paradiso, firdaus dari kata Yunani paradeisos, artinya kebun atau surga menjadi terminologi untuk taman firdaus....tempat manusia pertama yang baik hati tak ada salahnya penuh sukacita tetapi kemudian jatuh dalam dosa. Itulah kurang lebih sisi kitab suci perjanjian lama, "Old Testament".

Kayalan yang demikian indahnya itu menggugah pujangga Inggris, John Milton (1608-1974), dengan karya tulis yang mengagumkan Paradise Lost (16670 atau Firdaus yang hilang. Kemudian Paradise Regained (1671) kisah kepahlawanan untuk menemukan kembali Firdaus yang hilang itu. Seandainya saat ini Milton bisa ke Lewolein ia juga akan mengatakan bahwa Firdaus yang hilang itu ternyata ada dan bisa ditemukan di Lewolein. Orang Lewolein menjadi pahlawan bukan untuk menemukan saja tetapi "menciptakan" kembali Firdaus yang hilang itu.

Lewolein itu di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Kalau dari Lewoleba kurang lebih dua jam perjalanan dengan mobil lewat Hadakewa dan kita akan sampai di desa itu. Desa itu tempat persinggahan yang artistik, bisa istirahat sambil makan-makan ala di desa. Hampir semua kendaraan umum/khusus ke bagian timur Lembata, daerahnya Prof. Dr. Alo Liliweri tidak akan melewatkan Lewolein begitu saja. Kurang lebih satu tahun yang lalu kami dibawa oleh teman-teman dari "Lab Timores" ke sana. Sambil urusan Sekolah Demokrasi Pak Thom dan saya diajak rekan-rekan Hipol, Urbanus, Vitalis, Sofie dan lain-lain ke sana.

Pagi itu, Selasa, 27 Juni 2006, kami menuju Lewolein. Kami yang belum pernah ke sana cuma mendengar informasi sejak malamnya bahwa ikan-ikan di Lewolein itu bisa dicedok saja ibarat ikan dalam kolam. Saya bayangkan seperti disediakan oleh sebagian restoran modern sea food saat ini. Dalam benak saya timbul pertanyaan, mana mungkin ikan di laut lepas menjadi jinak seperti ayam peliharaan? Namun saya yakin teman-teman dari Lembata tidak mungkin mengibuli kami. Kami menyusuri pantai dengan pemandangan yang indah dan jalan berkelok-kelok ke arah timur. Di kiri tampak menjulang Gunung Ile Ape yang sesekali mengepulkan asap. Ada kebakaran di sana sini ke arah puncaknya. Wilayah Ile Ape adalah suatu kecamatan daerah asal Bupati Lembata sekarang, Pak Ande Manuk. Kalau kita memandang ke kanan tampak gunung gemunung, sedangkan ke depan akan terlihat teluk-tanjung seperti di dunia kayangan. Orang Lembata tentu merasa keadaan itu biasa-biasa saja, tetapi buat orang yang baru pernah ke sana akan merangsang untuk berkhayal macam-macam dengan alam yang begitu.

Sudah satu setengah jam perjalanan tidak terasa sebab obrolan ke sana ke mari sungguh asyik. Setiap kali ada pemukiman di depan kami, maka dalam pikiran saya pasti itu sudah tempat yang dituju karena ada keinginan untuk membuktikan apa yang dikatakan itu. Dugaan saya meleset beberapa kali, mobil terus menderu-deru, abu beterbangan karena sebagian jalan belum beraspal.

Akhirnya kami tiba di Lewolein. Ada jalan masuk ke desa ditandai dengan bangunan semacam gapura bertuliskan Desa Dikesare dan cabang yang lainnya untuk yang meneruskan perjalanan ke timur Lembata dan di ruas itu kurang lebih 500 m tempat persinggahan untuk menikmati ikan bakar, cumi, ketam, ketupat, ubi, nasi merah/putih dipadu dengan nira putih dan hidangan nikmat lainnya. Minuman modern seperti cola cola, fanta, sprite, bir juga tersedia di sana. Kami dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang berjajar di kiri kanan jalan dengan pemandangan mirip pedangan jagung bakar di El Tari Kupang.Sambil duduk dibalai-balai bambu kami mulai memesan sesuai selera. Pesanannya macam-macam. Nona-nona dan ibu-ibu serta bapa-bapa hampir kewalahan. Ketupat ditambah, kepiting ditambah, bir, tuak putih juga banyak peminatnya. Semua pesanan daam waktu singkat bisa dipenuhi, entah datang dari mana tak ada masalah lagi buat kami. Kami semua larut bersama-sama dengan putra putri Lewotana yang akan meneruskan perjalanan dengan bus ke bagian timur. Hiruk pikuk, hilir-mudik dan ramai sekali, kayaknya sedang ada suatu hajatan.

Sekitar 3 jam kami dipandu Rafael Suban Ikun yang bertubuh atletis, masih muda dan cerdas yang kebetulan kepala desa di sana. Pak Rafael ini selalu diutus untuk mewakili organisasi ke berbagai daerah di luar NTT jadi wawasannya memang cukup memadai. Kami semua menuju pemukiman penduduk hanya beberapa ratus meter berada di pinggir pantai juga dekat dengan jalan raya tersebut. Suasana desanya hampir sama saja dengan desa-desa kebanyakan di NTT. Di sana tampak mesjid dan kapela, juga ada balai desa parmanen yang terawat dan terlihat selalu digunakan. Pepohonan tinggi lagi rimbun di antara hutan kelapa menambah sejuk dan indahnya panorama pantai. Terlebih lautnya terlihat tenang seperti suatu kolam besar karena di kiri-kanannya diapit tanjung yang menjorong jauh ke laut. Bila lihat di peta tampak seperti tanduk naga yang sering dilukiskan oleh kebanyakan orang.

Kepala desa mulai cerita tentang tradisi penangkapan ikan di sana. Ikan boleh ditangkap pada masa yang sudah disepakati dengan cara-cara tradisional. Pokoknya ikan-ikan tidak boleh dibuat kaget dan terkesan dimusuhi. Ada pengecualian bila di sana sedang ada tamu dari luar seperti rombongan kami, itu punharus disepakati paling kurang kepala desa ikut terlibat atau mensponsori. Kami mulai menyusuri pantai sambil mengobrol ke sana ke mari dengan kepala desa. Beberapa meter dari pantai sudah ada beberapa penduduk yang mengayu sampai kecil kecil sedang yang lainnya berjalan dalam air sebatas perut sambil menebarkan pukat ukuran kecil untuk menggiring ikan-ikan sehingga lebih muda dikumpulkan untuk dimasukkan dalam ember. Jauh ke depan ada satu balai-balai yang dibuat untuk acara wisata pantai tersebut. Menjelang sore hari ikan dalam rombongan besar mulai mengitari pantai dipimpin oleh ikan-ikan yang lebih besar. Ember besar sudah berisi lebih dari separuh ikan-ikan segar. Sofie yang sarjana hukum ini cukup berat untuk mengangkatnya ke darat... jadi ada yang membantunya. Acara bakar ikan dimulai. Daun pisang muda pengganti piring untuk menyajikan ikan bakar, kelapa muda diturunkan dan setengah jam kemudian kami semua menikmati sambil memandang ke laut. Rombongan ikan masih bermain di tepi pantai seperti sebelumnya. Menjelang senja muncul ikan-ikan besar dan memandu "adik-adiknya" kembali ke laut lepas. Sedih dan amat terharu kami menyaksikan adegan itu. Seolah-oleh mereka mengatakan kepada kami "tugas kami sudah usai.... besok kami datang lagi.... sayonara."

Itu sekelumit tentang paradiso di Lembata. Sambil menatap ke laut mengiring hilangnya pandangan ikan-ikan yang sungguh fenomenal itu, Pak Rafael melanjutkan ceritanya. Dahulu orang tua mereka melakukan upacara di tempat yang kami duduk-duduk makan itu. Mereka berhasil menangkap ikan jantan dan betina lalu dengan upacara tradisional telah menguburkan secara baik di pantai itu. Ya apa yang mereka lakukan itu mempunyai nilai magis religius. Mereka perlakukanikan itu sama dengan manusia sebagian sesama makluk ciptaan Tuhan. Sehingga dalam diri orang Lewolein tidak pernah ada perasaan bahwa ikan mereka itu sebagai mangsa atau musuh tetapi sebagai sesama yang saling membantu. Dengan sengaja atau tidak ternyata tenggang waktu untuk perkembangbiakan dan perlindungan ikan-ikan sangat diperhatikan melalui tradisi penangkapan ikan di sana.

Paradiso atau Firdaus dari Lewolein itu sebenarnya bisa ‘diciptakan" di berbagai tempat di mana saja. Sudah saatnya kita ‘berdamai’ lagi dengan margasatwa dan alam sekitar kita. Sudah jauh kita merusak Firdaus yang dianugerahkan Allah kepada kita. Senapan angin (cis), pukat harimau, bom ikan dan semacamnya akan menghancurkan dan menghilangkan Firdaus yang masih ada. Mari kita ciptakan Firdaus bagi lingkungan kita masing-masing. Kalau orang Lewolein bisa, mengapa kita tidak bisa.
Acry Deodatus, dosen Undana, Kupang
Sumber: Pos Kupang 4 Juli 2007