Sunday, April 27, 2008

Menimbang rakyat atau menambang emas? (Tentang rencana tambang di Lembata)

KESEJAHTERAAN rakyat sejatinya menjadi tujuan dari setiap kebijakan publik. Ungkapan sejahtera memiliki makna jauh lebih luas daripada sekadar penambahan kekayaan material. Sejahtera menyangkut pula rasa nyaman berada dan berada dalam lingkungan budaya dan alam tertentu. Justru karena itu, menjadi bagian dari kesejahteraan adalah kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup.

Kejelasan orientasi budaya ditunjukkan oleh keberakaran dalam budaya tertentu, yang menjadi dasar utama bagi pengenalan dan penghargaan terhadap kebudayaan lain. Walaupun dewasa ini orang berbicara mengenai "toko serba ada" kebudayaan, namun corak budaya ini hanya dapat terbentuk apabila tetap ada "rumah" budaya yang khas. Kita dapat dan mesti bertemu dan belajar dari banyak kebudayaan, tetapi kita perlu memiliki satu kerangka budaya sendiri. Orang tidak dapat menjadi warga kebudayaan dunia tanpa punya tanah air budaya tertentu.

Orientasi budaya berkaitan dengan tempat diam dan pola kerja. Pindah tempat tinggal dan ganti pekerjaan akan berakibat pada perubahan pola pikir dan gaya hidup. Orang kampung yang pindah ke kota, atau sebaliknya, akan mengalami pergeseran budaya. Suasana yang berkaitan erat dengan pemahaman dan penghayatan kegiatan budaya tertentu pasti tidap mudah diciptakan, dan kalaupun diciptakan, hanya merupakan ciptaan yang momentan sifatnya. Paling jauh, budaya seperti itu cuma tampak pada festival budaya, yang diperagakan dan dipertontonkan, tanpa sebuah masyarakat pendukung yang bersifat tetap. Penghuni rumah bambu yang beralih menjadi pemilik apartemen pasti mengalami dan memahami hidup secara lain. Atau, seorang intelektual kritis yang pindah profesi menjadi penulis atau pembicara bayaran penguasa dan pengusaha, akan menunjukkan pemikiran dan gaya hidup yang berbeda.

Mutu lingkungan hidup ditentukan oleh kondisi hidup yang tidak tercemar oleh berbagai asap dan limbah industri, yang menjadikan bumi "rumah kematian" bagi berbagai spesies makhluk hidup, termasuk manusia. Pergeseran ini pun ditentukan oleh gaya hidup dan pola kerja. Tingginya mobilitas berakibat pada penambahan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, yang lebih lanjut bermuara pada meningkatnya polusi udara, laut dan tanah. Usaha yang terus dilakukan adalah menjawabi tuntutan mobilitas sambil menekan konsekuensi polusi.

Kalau kita berbicara mengenai pentingnya kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan, itu tidak berarti kita mengutuk segala bentuk perubahan. Perubahan mesti terjadi dan sungguh terjadi. Karena itu, kita perlu merencanakan danmempengaruhinya, agar kita tidak menjadi korban perubahan. Termasuk dalam strategi untuk turut merencanakan dan mempengaruhi perubahan adalah melibatkan masyarakat dalam merancang perubahan. Tanpa melibatkan masyarakat, perubahan yang dilakukan, betapapun luhur motivasinya, hanya akan menjadikan rakyat itu korban perubahan yang dipikirkan dan diputuskan orang lain. Kesejahteraan meliputi pula suasana batin yang tercipta dalam budaya dan di tengah lingkungan hidup yang tertentu. Masyarakat tidak dapat dipaksa untuk menjadi sejahtera.

Memperhatikan realitas, bahwa yang paling merasakan makna dari kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup adalah rakyat, maka pembangunan dewasa ini tidak lagi terlaksana menurut pola hirarkis. Sebagai gantinya, orang menggunakan pola pembangunan partisipatif. Di sini, rakyat tidak dipandang sebagai manusia bodoh yang tidak mengetahui apa yang baik bagi dirinya. Tentu saja rakyat bisa kekurangan informasi, atau dijejali dengan informasi yang palsu. Namun kalau rakyat tetap dilihat dan dihormati sebagai pemilik kedaulatan, maka sikap dan putusannya itulah yang harus didengar. Inilah inti demokrasi. Dalam alam demokrasi, berbagai pemangku kepentingan berperan memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengambil sikap, dan pemerintah bertugas sebagai penyimpul kebijakan.

Dalam kasus rencana tambang di Lembata, rakyat Leragere sebagai warga salah satu calon lokasi tambang telah menyatakan sikapnya secara jelas: menolak tambang. Berdasarkan informasi yang mereka terima, baik dari pemerintah maupun dari LSM, mereka menentukan sikapnya, yang dikukuhkan dengan ritus adat. Potensi lokal berupa ritus adat dimanfaatkan untuk meneguhkan kesatuan dalam perjuangan dan mengukuhkan cara damai dalam menyatakan sikapnya. Sikap mereka jelas, cara perjuangan mereka terhormat.

Tentu saja ada banyak pertimbangan yang melatari sikap masyarakat Leragere ini. Di antaranya adalah kebutuhan akan kejelasan orientasi budaya dan masalah kualitas lingkungan. Memindahkan rakyat ini ke sebuah tempat lain, pasti akan membawa perubahan budaya. Memukimkan mereka di apartemen mewah dan membangun mal entah di mana tentu saja akan membuat mereka berpikir dan berpola hidup secara lain. Tidak berlebihan kecemasan yang disampaikan, bahwa memindahkan orang Leragere berarti menghancurkan budaya Leragere. Tak akan ada lagi masyarakat Leragere. Mengalihkan hutan lindung, yang pengelolaannya tahun lalu diserahkan kepada masyarakat melalui keputusan Bupati Lembata dan disyukuri dengan misa yang dipimpin oleh bapak Uskup Larantuka, menjadi kawasan tambang, tidak akan berlangsung tanpa goncangan budaya yang besar.

Masyarakat memilih untuk menetap di ruang yang sudah dikenal dan dihargainya, menjalankan pekerjaan yang telah memberinya rasa harga diri tertentu. Itu tak berarti mereka tak akan mengalami kegoncangan budaya. Pengaruh dari luar terusmenghantam melalui berbagai interaksi sosial dan komunikasi, harga hasil pertaniannya turun naik bagai gelombang laut pada bibir pantainya. Kendati demikian, mereka merasa masih dapat menyesuaikan diri dalam kegoncangan seperti ini, daripada harus mengalami kebingungan dan ketidakpastian yang dibawa serta oleh rencana tambang.

Menanggapi sikap masyarakat ini, macam-macam argumen yang disampaikan pihak pemerintah dan para pendukungnya. Salah satu di antaranya adalah soal waktu yang terlalu dini untuk sikap seperti itu. "Ini baru tahap eksplorasi, belum eksploitasi", atau "Mulai saja, kalau nanti ada dampak negatifnya, kita bisa batalkan". Hemat saya, logika seperti ini sangat mencemaskan ketika diucapkan oleh para pejabat dan politisi, dan meresahkan saat disampaikan oleh orang-orang pintar yang berperan sebagai pembisiknya.

Logika ini mencemaskan, karena justru dalam cara pikir banyak kegiatan pemerintah dilakukan tanpa fungsi yang jelas. Dalam logika seperti ini menjadi nyata pemikiran bahwa eksplorasi dan eksploitasi memiliki kaitan yang gampang dipatahkan. Orang berpikir, seolah tidak ada hubungan yang mendesak antara eksplorasi dan eksploitasi. Karena berpikir seperti ini, maka dengan gampang orang berbicara dan memaksa rakyat untuk mengizinkan tahapan eksplorasi. Toh belum sampai eksploitasi. Padahal, eksplorasi adalah sebuah penelitian yang menggunakan sampel, berdasarkan sejumlah penelitian terdahulu. Eksplorasi bukanlah tindakan penelitian pertama. Hanya karena ada dasar yang kuat berdasarkan penelitian lain, maka eksplorasi dijalankan. Sebab itu, apabila sebuah kegiatan penambangan sudah masuk pada tahap eksplorasi, maka itu berarti sudah ada arah yang jelas untuk dikejar. Rencana sudah matang, tinggal dikuatkan lagi dengan hasil eksplorasi. Dalam arti ini, eksplorasi memang "hanya" melengkapi data penelitian terdahulu, namun justru karena itu dia tidak lagi menjadi "hanya" eksplorasi yang bisa dibiarkan tanpa komentar hingga mulainya eksploitasi.

Kita dapat menganalogikan eksplorasi dengan studi banding para anggota DPR/DPRD. Apabila kita mempunyai para wakil rakyat yang serius, maka studi banding hanya dilakukan apabila mereka telah membuat studi yang mendalam di tempat sendiri tentang apa yang mau dibangun dan memiliki sebuah rencana yang jelas. Jika tidak, studi banding hanya merupakan sebuah kegiatan penghamburan. Namun, apabila kita memiliki anggota DPR yang membuat studi banding hanya berdasarkan undangan dari pusat, atau sekadar ada variasi di tengah berbagai persoalan daerah, tanpa memiliki satu rencana yang jelas dari daerahnya sendiri, maka tidak heran apabila para wakil rakyat seperti ini bisa dengan gampang berbicara tentang eksplorasi tanpa ikatan yang kuat dengan eksploitasi. Kalau para wakil rakyat membuat studi banding tanpa ada rencana yang jelas dan matang untuk daerahnya, maka mereka juga akan mudah terjebak dalam pemikiran, bahwa sebuah perusahaan pun dengan gampang melakukan eksplorasi tanpa ada rencanayang matang untuk melakukan eksploitasi.

Logika di atas pun mencemaskan karena cara pikir seperti ini berakibat pada berbagai proyek pembangunan yang mubazir. Sejumlah politisi dan pejabat terperangkap dalam pemikiran bahwa sebuah bangunan akan dengan sendirinya mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari pemikiran seperti ini, orang membangun pasar di tempat tertentu tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Bayangannya, kalau sudah ada sarana yang dibangun, masyarakat dengan sendirinya akan hijrah ke sana. Kalaupun nanti tidak demikian, kesalahannya ada pada masyarakat yang terlalu bodoh untuk menangkap maksud baik pemerintah. Dengan cara pikir seperti ini, orang berpikir bahwa masyarakat pasti akan menjadi terbiasa dan akhirnya menerima tambang, atau apabila nanti mereka tetap tidak menerima, pemerintah dengan mudah saja dapat menghentikan investasi sebuah perusahaan.

Argumentasi seperti ini menjadi sangat meresahkan ketika disampaikan oleh orang-orang yang menyebut diri pandai dan berperan sebagai pembisik penguasa. Tampaknya mereka menyederhanakan persoalan. Kegiatan tambang, dalam pandangan mereka, sepertinya dapat dianalogikan dengan aksi seorang penjual korek api ajaib yang sanggup membakar hanya objek-objek terpilih. Misalnya, objek terpilih itu adalah rambut uban di kepala. Si penjual korek api ajaib menjamin bahwa api dari korek apinya hanya akan membakar dan menghanguskan rambut uban. Penjualan dilakukan secara bersyarat. Jika ternyata yang terbakar dan hangus bukan rambut uban, tetapi semua rambut, maka penjualan dibatalkan. Tentu sebuah tawaran yang menarik. Namun, apa artinya pembatalan kalau rambut sudah terbakar dan hangus seluruhnya? Lebih parah lagi kalau yang dijual adalah sebilah parang yang dijamin tidak akan memenggal kepala kalau ditebas pada leher. Penambangan pun bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dianalogikan dengan mengisi teka-teki silang menggunakan pensil. Kalau salah, maka dengan mudah jawaban dihapus. Taruhannya terlalu besar, yakni kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesejahteraan masyarakat.

Rakyat Leragere sudah menyatakan kehendaknya, atas cara apa mereka yang menjadi sejahtera. Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan mereka mesti memperhatikan sikap ini. Bobot pernyataan sikap masyarakat ini harus dinilai jauh berat daripada segala macam tawaran kemudahan yang dijanjikan pengusaha. Kalau penguasa di Lembata sungguh menimbang rakyatnya, memasukkan ke dalam kerangka pertimbangannya kehendak masyarakat, maka mereka tidak akan memaksakan tambang. Memaksakan tambang dengan argumen demi kesejahteraan rakyat, padahal rakyat sendiri menolaknya, tentu saja merupakan sebuah kontradiksi. Tak ada kesejahteraan di bawah paksaan. Rakyat Leragere yang dipandang bodoh sudah melihat kontradiksi ini. Bagaimana mungkin parapolitisi dan penguasa serta orang cerdik pandainya di Lembata tidak melihatnya?

Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 23 Juni 2007

Etika Ekologi yang Biosentris

DEWASA ini, hubungan manusia dengan alam mulai rusak. Manusia telah mendominasi alam. Alam dijadikan sebagai obyek eksploitasi demi kepentingan manusia. Eksistensi alam kurang diperhitungkan lagi sebagai yang otonom dan memiliki nilai intrinsik (intrinsic value) di dalam dirinya. Alam tidak lagi dihargai sebagai suatu fenomen yang mempunyai orde kosmik di dalam dirinya. Alam kurang lagi dipahami sebagai realitas yang mengandung nilai kehidupan di dalam dirinya. Nilai alam dikenakan atau diberikan dari luar. Alam bernilai hanya sejauh berfungsi menunjang kebutuhan hidup manusia.

Bahaya Antroposentrisme

Tak dapat disangkal bahwa dominasi manusia terhadap alam telah lama dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Sejak René Descartes, manusia dipandang sebagai res cogitans - makhluk berpikir yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, lebih luhur dan lebih mulia dari alam. Di pihak lain, alam atau realitas non human hanya dilihat sebagai res extensa - perluasan dari kumpulan benda-benda yang tidak bernilai, karena tidak mempunyai kemampuan berpikir dan berkesadaran di dalam dirinya.

Akhir-akhir ini, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan pelbagai kebijakan condong lebih mementingkan nilai-nilai yang humand oritented. Interese manusia dalam segala aspek kehidupan menjadi orientasi utama. Sistim sosial dan politik diciptakan hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianpun kegiatan ekonomi dalam skala besar selalu menjadikan manusia sebagai sentral. Kalau toh ada kebijakan yang disebut environmental policy, tampak juga bahwa kebijakan itu berorientasi untuk melayani kepentingan manusia juga.

Dalam hubungan dengan alam, mesti diakui, bahwa manusia menjadi sangat egois dan serakah. Filsuf Emmanuel Levinas menggunakan term totalitè untuk melukiskan totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Dalam egoismenya, manusia memandang realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenanganku. Sesungguhnya sikap seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah satu-satunya yang paling utama. Levinas menyebutnya le Moi comme singularitè (Levinas, Entre Nous, 1991, 36). Memang benar, di jagat raya ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang paling ekspansif, progresif dan bahkan destruktif.

Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007 memperlihatkan suatu kecemasan yang besar. Sikap manusia yang memproduksi dan mengonsumsi energi di luar batas-batas yang wajar telah menimbulkan bahaya pemanasan global (emisi CO2) sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kenaikan temperatur yang drastis dan perubahan musim yang tidak menentu dapat mengancam kehidupan manusia. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya. Dari pelbagai bencana yang melanda dunia dewasa ini (terlepas dari bencana karena proses natural seperti gempa bumi, tsunami, gunung api), bencana banjir atau lumpur, bencana tanah longsor dan kebakaran hutan harus dilihat sebagai bencana yang disebabkan oleh sikap manusia yang sewenang wenang terhadap alam. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat moderen yang terlalu menekankan atribut-atribut manusia seperti self consciousness, rationality dan free will sebagai identitas dan jati dirinya.

Kant mengajarkan satu prinsip moralitas yang tak terlupakan: manusia tidak seharusnya melihat sesamanya (orang lain) bermakna, hanya apabila dia memiliki nilai dan tujuan di dalam dirinya. Lebih dari itu, dan paling penting di atas segalanya: manusia memonopli nilai. Konsekuensi dari pandangan ini adalah jelas: manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia. Ia beroposisi dan bahkan berbeda dari alam. Ia bukan bagian dari alam. Alam adalah bagian darinya.

Hal ini kemudian menjadi dasar yang membedakan konsep yang disebut view of nature dan self view of humans. Perbedaan konsep seperti dapat memberi justifikasi tentang sikap bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam bertolak dari pandangan tentang dirinya. "The way I see myself, expresses something about the way I have of nature" (Wim Zweers, Participating With Nature, 2000, 15).

Kembali ke Nilai Intrinsik Alam

Meskipun manusia mempunyai kehendak bebas dan sering bersikap sewenang-wenang terhadap alam, manusia seharusnya menerima dan mengakui kenyataan yang satu ini: dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah bahwa, dia berada dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan terkondisi oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam.

Tentu hal utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah merubah orientasi dasar. Sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented harus beralih kepada cara pandang dan sikap yang lebih nature oritented. Kembali ke alam. Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistim tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada subordinasi. Alam dunia tidak dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah, karena, "this world is already full of values, purposes and meanings" (J. Dryzek, Enviromental Ethics, 1990, 205).

Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Dalam terminologi Latin, alam disebut natura. Akar kata kerjanya adalah nascere yang berarti melahirkan. Alam sering dipersonifikasi sebagai ibu yang memiliki kodrat melahirkan. Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam) yang termasyur, menyapa alam sebagai la madre terra, yaitu ibu bumi yang memberi kelimpahan segala. Tetapi ibu dari sang purwa waktu, demikian kata Kahlil Gibran, adalah sang kehidupan itu sendiri.

Hidup atau kehidupan adalah fakta niscaya yang terkandung di dalam alam. Fakta ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan bila kita hendak berbicara tentang nilai. Prinsip umum yaitu, segala yang hidup, di dalam dirinya mempunyai nilai. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).

Dengan merujuk pada nilai intrinsik secara khusus, kita sampai pada pengertian bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang berada di dalam (in se) dan untuk dirinya sendiri (per se). Pengertian ini seharusnya menjadi dasar bagi pertimbangan apabila kita hendak berbicara tentang nilai ekologi. Kita dapat berbicara tentang ekologi dalam pengertian yang sesungguhnya hanya sejauh bila, pertama, kita harus mengakui bahwa kita adalah bagian dari sistim tata semesta secara umum. Kedua, hendaknya kita mempunyai kesadaran bahwa hidup atau kehidupan adalah nilai intrinsik yang berada di dalam setiap organisme di muka bumi ini. Dengan berpatok pada pertimbangan ini, maka kita dapat sampai pada pemahaman tentang pandangan ekologi yang lebih biosentris.

Etika Ekologi yang Biosentris

Pertanyaan bagaimana manusia harus berpikir tentang dan bersikap terhadap alam adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari etika. Pertanyaan ini menuntut jawaban moral yang menjadi dasar bagi sikap manusia dalam membangun relasi dengan alam. Di sini kita tentu tidak hanya merefleksikan prinsip-prinsip moral abstrak yang menjadi pegangan kita.

Etika pada umumnya berhubungan dengan refleksi tentang nilai dari tindakan dan perbuatan manusia. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila kita berbicara tentang nilai. Pertama, tentang sumber nilai. Dari mana asal suatu nilai? Kedua, berkaitan dengan isi suatu nilai. Apa saja yang terkandung di dalam suatu nilai? Apa saja yang menjadi bagian dari suatu nilai? Ketiga, berhubungan dengan fungsi nilai. Apakah kita memahami nilai sesuatu (lingkungan hidup) hanya sejauh sesuatu itu berfungsi bagi manusia? Apabila ketiga pertanyaan ini kita bicarakan dalam konteks ekologi, maka terhadap pertanyaan pertama, yaitu tentang asal usul suatu nilai, kita dapat menelusurinya di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: alam atau lingkungan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Terhadap pertanyaan kedua, kita hanya bisa memberikan jawaban dengan bertolak dari realitas kehidupan yang terkandung di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: nilai intrinsik yang terkandung di dalam alam adalah hidup atau kehidupan. Dalam hubungan dengan pertanyaan ketiga, yaitu tentang fungsi nilai. Kita tidak dapat memahami nilai alam hanya sejauh alam berfungsi bagi manusia. Tesis utama adalah: alam memiliki nilai yang otonom di dalam dirinya sendiri. Semua ini dapat menjadi pagangan kita, dan bisa membantu kita untuk menghindari kecendrungan kembali jatuh ke dalam cara pandang dan sikap yang antropsentris.

Kalau etika secara umum berhubungan dengan refleksi tentang baik buruknya tindakan manusia, maka etika lingkungan hidup berkaitan dengan refleksi tentang baik buruknya sikap manusia terhadap alam. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan sikap atau perbuatan manusia terhadap lingkungan hidup. Pertama, sikap yang paling mendasar adalah respek terhadap alam (respect for nature). Bahwa alam mempunyai nilai intrinsik di dalam dirinya, maka manusia berkewajiban memiliki respek atas semua bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Kedua, agar sikap respek terhadap alam menjadi kenyataan, maka manusia harus merubah pandangan dan sikapnya, yaitu dari pandangan yang antroposentris menjadi pandangan dan sikap yang lebih bisosentris. Berpusat pada kehidupan. Inilah cita-cita yang luhur bagi siapapun. Ketiga, apapun penghargaan terhadap setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini, tetaplah harus ada norma yang mengikat dan mengatur setiap tidakan dan perbuatan sikap manusia. Dalam hubungan dengan kehidupan, tidak dikenal norma, pandangan etik dan sikap moral yang relatif atau permisif. Hidup bukan hal yang relatif. Hidup adalah hidup. Persoalan tentang hidup, bukanlah satu satunya persoalan yang berkaitan dengan interese manusia belaka. Manusia bukan lagi satu-satunya titik acuan bila kita mau secara nyata menghargai seluruh bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Tugas utama manusia yaitu mewujudkan dirinya secara ideal serta menciptakan keharmonisan dengan semua tata kehidupan di dalam semesta ini. Manusia tidak boleh menonjolkan atau mencari kepentingan diri, sambil tidak mengindahkan eksistensi kehidupan yang lain. Manusia secara kolektif harus mengakui diri sebagai bagian dari alam. Manusia adalah anggota Komunitas Dunia Kehidupan (earth community of life). Spesies manusia, sejauh berada bersama dengan spesies yang lain, dia merupakan bagian integral dalam suatu sistim tata semesta yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sikap manusia yang tepat adalah menaruh respek terhadap seluruh bentuk kehidupan di muka bumi ini. Wujud konkret dari respek adalah sikap bertanggung jawab. Respek dalam responsibility, inilah yang menjadi cita-cita dan ideal bersama. Panggilan manusia adalah panggilan untuk bertanggungjawab atas setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini. Panggilan ini lahir dari kesadaran utama bahwa, tugas manusia adalah menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan. Sebaliknya merusakan bumi sama halnya dengan merusakan kehidupan. Selamatkan bumi kita! Salva il nostro mondo!

Felix Baghi, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 27 April 2008

Monday, April 14, 2008

Menyelamatkan TNGHS, Memberdayakan Warga

Di sebuah jalan kampung di pinggir hutan belasan laki-laki dewasa meminta mobil jip yang kami tumpangi berhenti. Salah seorangnya dengan wajah kaku membentak Mamat Surahmat, yang duduk di samping sopir. Lalu, kata orang itu, ”Jangan cuma lewat-lewat. Kami baru saja memperbaiki jalan yang longsor di sana. Buat bronjong, pakai uang swadaya masyarakat di sini. Taman nasional pengertian dong. Mana uang rokok?”

Mamat, karyawan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), menjawab, dirinya tidak membawa uang karena hanya bertugas mengantar tamu-tamu TNGHS yang akan melakukan penelitian hutan. Setelah berlalu dari orang-orang itu, Mamat mengatakan, sebagian warga kampung tersebut masih marah dengan TNGHS sebagai buntut dari perluasan kawasan TNGHS.

”Dulu, sewaktu mereka masih boleh masuk dan menggarap hutan produksi milik Perhutani, mereka ramah-ramah. Sekarang hutannya masuk kawasan taman nasional. Jadi, tadi itu karena konflik lahan hutan, bukan karena masalah jalan rusak. Mereka tahu, jalan kampung rusak karena truk pengangkut batu kali, truk-truk mereka sendiri,” katanya.

Kehilangan mata pencarian atau lahan garapan memang membuat gamang masyarakat di seputar TNGHS, yang sebagian besar adalah petani. Apalagi, kalau ternyata lahan kampung mereka pun benar-benar masuk kawasan TNGHS. Dari 314 kampung (99.982 jiwa) yang ada, 52 kampung benar-benar berada di dalam kawasan TNGHS. Kampung itu ada di 108 desa. Menyelamatkan TNGHS berarti harus pula memberdayakan perekonomian mereka, yang selama ini sangat bergantung pada lahan-lahan dan hutan di seputar atau di dalam TNGHS.

Salah satu upaya memberdayakan masyarakat itu adalah program Sistem Dukungan Pembangunan Masyarakat Hulu (Sisduk PMH), yang kini tengah disosialisasikan ke masyarakat Desa Cipeutey, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kampung-kampung di desa itu berada di sekitar atau di dalam kawasan TNGHS. Program di desa itu adalah yang pertama kalinya dan akan diterapkan di dua desa lain, dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010).

Program itu kerja sama Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan, sekaligus turut melestarikan hutan.

”Dari uji coba selama tiga tahun nanti akan dievaluasi, apabila hasilnya kurang baik, program bisa dihentikan. Tolok ukur keberhasilan adalah pada hasil. Program ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat, jadi nanti akan dilihat sejauh mana hasil usaha yang dilakukan,” kata Pelaksana Harian Tim Koordinasi Sisduk MPH Kabupaten Sukabumi Asep Sudrajat.

Untuk tahun ini, pihak JICA mengucurkan dana untuk tiga desa tersebut sebesar Rp 100 juta. Tahun 2009 dan 2010 akan dilakukan oleh Pemkab Sukabumi dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah minimal sekitar Rp 100 juta per tahun.

Kampung konservasi

Program Sisduk PMH itu merupakan pengembangan atau tindak lanjut dari Model Kampung Konservasi (MKK) untuk memanfatkan lahan garapan di zona khusus TNGHS. Zona khusus adalah salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat keterlanjuran lahan garapan masyarakat. Lahan garapan itu dibuka pada lahan eks Perum Perhutani. Pihak Balai TNGHS membuat nota kesepahaman MKK selama lima tahun dengan warga kampung yang akan memanfaatkan zona khusus itu.

Balai TNGHS merencanakan seluruh kampung di dalam kawasan ataupun yang berbatasan dengan taman nasional menjadi MKK. Namun, sejauh ini MKK yang terbentuk baru sembilan kampung, yaitu tujuh kampung di wilayah Sukabumi dan dua kampung di Lebak. Namun, yang sudah menandatangani nota kesepahaman baru Kampung Sukagalih, Sukabumi.

Dalam kesepakatan MKK disebutkan antara lain warga dapat memanfaatkan lahan garapannya dengan menanam tanaman sela antara lain padi huma ataupun palawija. Namun, warga juga diwajibkan menanam tanaman asli, seperti puspa, rasamala, pasang, dan juga huru secara bertahap. (SEM/RTS)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008

Halimun-Salak Juga untuk Kepentingan Jakarta

Sejak tahun 2003 masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten sebetulnya boleh merasa lega. Ini karena terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak atau TNGHS. Dengan surat keputusan tersebut, TNGHS bertambah luas hampir tiga kali, dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.

Artinya, pemerintah pusat akhirnya ”sadar” juga pentingnya menjaga ekologi di kawasan tersebut. Kawasan hutan di Pegunungan Halimun dan Gunung Salak itu adalah ”benteng terakhir” hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, yang masih menyisakan sekitar 99 persen keaslian sebuah hutan pegunungan.

TNGHS secara administratif berada di wilayah Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air sekaligus gudang air untuk memenuhi kebutuhan air bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Perusahaan air leding Jakarta dan Bogor jelas-jelas menyedot air bersih dari ”gudang-gudang” air di kawasan itu, untuk barang dagangannya ke masyarakat.

Begitu juga dua perusahaan air minum kemasan terkemuka, yang salah satunya menyedot air bersih 3 juta meter kubik per tahun, atau 44,99 persen dari kapasitas gudang air Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibaregbeg, salah satu daerah aliran sungai yang berhulu di TNGHS.

Pada kawasan TNGHS terdapat 117 hulu sungai ataupun anak sungai yang bermuara ke Laut Jawa di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Sungai dan anak sungai itu membentuk 12 daerah aliran sungai, yang mengatur tata air di wilayah-wilayah pelintasannya.

Aliran air sungai dari setiap DAS itu digunakan masyarakat umum secara langsung untuk mengairi lahan pertanian dan perikanan, kegiatan rumah tangga, pembangkit listrik mikrohidro, industri, serta wisata seperti arung jeram, air terjun, dan pemancingan. Salah satu DAS-nya yang sangat populer adalah DAS Cisadane. Agar DAS berfungsi baik, airnya mengalir dengan baik, ekologi hulunya haruslah berupa hutan asli (primer).

Berbarengan dengan perluasan TNGHS, terkuak pula kerusakan yang terjadi di kawasan hutan hujan pegunungan tersebut. Data yang dikeluarkan Balai TNGHS menyebutkan, degradasi kawasan itu, berupa fragmentasi dan deforestasi. mencapai 19,4 persen atau sekitar 22.000 hektar. Fragmentasi, yaitu hutan asli berubah struktur tegakannya (pohon kayu) menjadi hutan sekunder, hutan produksi, dan hutan tanaman.

Adapun deforestasi adalah hutan berubah menjadi semak belukar dan padang lalang. Deforestasi ini yang paling mengkhawatirkan karena luasnya mencapai 8.323,5 hektar. Hutan jadi mudah terbakar.

Kepala Balai TNGHS Bambang Supriyanto mengatakan, degradasi yang mencapai 22 hektar itu terjadi dalam kurun waktu 15 tahun, yakni dari tahun 1989 sampai 2004. ”Laju kerusakannya rata-rata 1,3 persen per tahun. Sejak tahun 2004 hingga sekarang relatif belum ada kegiatan restorasi yang memadai dan penelitian yang menyeluruh. Jadi, bisa diasumsikan, degradasi kawasan Halimun Salak semakin besar saja,” kata Bambang.

Asumsi itu ada benarnya mengingat titik-titik kerusakan itu berada di perbatasan dengan lahan permukiman atau pertanian milik masyarakat. Belum lagi, di dalam kawasan atau di lahan ”tetangga” TNGHS ada aktivitas perkebunan, pertambangan geotermal dan emas, serta tertancap sebelas menara penyangga kabel tegangan listrik ultratinggi. Apalagi, tenaga pengawas (polisi hutan) hanya 52 orang.

Permadani Paku Andam

Mengikuti aktivitas delapan peneliti ekologi hutan dari LIPI dan IPB pekan lalu di Koridor Halimun, terbukti nyata terjadi deforestasi di TNGHS. Hutan di kawasan tersebut menjadi hutan semak belukar, yang banyak dikuasai pohon eksotis, seperti kaliandra, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pertumbuhan populasi tanaman asli di koridor tersebut.

Koridor Halimun merupakan areal memanjang dari barat ke timur yang menghubungkan dua ekosistem Gunung Halimun dan Gunung Salak. Hal itu penting bagi terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati ataupun sebagai sistem penyangga kehidupan ekologi kawasan. Ini menjadi kawasan yang paling mendesak untuk segera dihutankan kembali.

Menurut Bambang, berdasarkan data citra satelit yang dimilikinya, koridor tersebut pada tahun 1990 masih sepanjang 1,4 kilometer dengan lebar sekitar 4 kilometer. Pada tahun 2001 lebar koridor itu tinggal 0,7 kilometer, atau terdegradasi 347,5 hektar.

”Kondisi koridor yang tersisa itu berupa hutan semak belukar. Di sana pun masih banyak pohon kayu bukan asli kawasan, misalnya, agatis dan mahoni, yang sengaja ditanam di sana sebagai aktivitas pengolahan hutan produksi. Untuk kembali sebagai hutan sekunder, memerlukan waktu puluhan tahun. Perlu ratusan tahun lagi untuk menjadi hutan hujan pegunungan utuh atau hutan primer,” kata Purwaningsih, salah seorang peneliti itu.

Purwaningsih dan para koleganya merasa khawatir, koridor itu makin rusak. Saat melakukan penelitian di tiga zona koridor itu, mereka tetap menemukan penambangan liar. ”Kami malah melihat penebangnya, yang langsung lari begitu didekati. Di lokasi itu ada belasan pohon yang sudah ditebang. Jalan ke arah sungai untuk membawa kayu itu sudah ada,” kata Suparno, peneliti lain.

”Pengecekan lapangan yang kami lakukan tahun 2006 menunjukkan ladang-ladang yang dulu sudah menjadi semak belukar karena ditinggalkan penggarapnya kini menjadi ladang-ladang pertanian kembali. Urusannya untuk segera menanam pohon keras di situ jadi sulit karena kini harus berhadapan dengan manusia lagi,” kata Dones Rinaldi, juga peneliti.

Selain kaliandra, koridor juga dijajah belukar paku andam (Dicranopteris linearis). Bahkan sebuah permukaan bukit di sana sudah menjadi ”permadani” hijau belukar, yang tingginya 1-2 meter dan sulit untuk diterobos. ”Keberadaan paku andam sebenarnya dapat memenuhi penutupan lahan, dan menjalankan fungsi menahan erosi. Tapi, kekuatannya untuk menyimpan air tentu tak sekuat pohon-pohon besar,” lanjut Dones.

Butuh pencari 4 juta bibit


Selain belukar, terlihat juga lahan terbuka cukup luas di koridor itu akibat tanah longsor. Dari jarak beberapa kilometer, warna merah kecoklatan tanah itu terlihat kontras di tengah warna hijau hutan. Penanaman pohon keras dan restorasi hutan belukar di kawasan itu menjadi suatu keharusan.

Untungnya, tim peneliti dari LIPI dan IPB itu juga mengatakan, bibit pohon kayu asli kawasan itu, seperti puspa, rasamala, saninten, dan berbagai jenis huru, berlimpah di hutan primernya. Jadi kebutuhan akan bibit bisa didapat dari sana. Yang jadi soal, bibit yang dibutuhkan untuk merestorasi 8.323,5 hektar adalah sekitar empat juta bibit. Jelas, 52 polisi hutan dan 57 karyawan TNGHS lainnya tidak mampu melakukan hal itu, tanpa dukungan banyak pihak.

Sekarang, apakah kita sebagai pemanfaat sumber daya alam TNGHS, baik secara langsung maupun tidak langsung, tergerak untuk membantu mencari bibitnya? (Ratih P Sudarsono dan Samuel Oktora)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008

Friday, April 11, 2008

Longsor di Kolilanang, Tim LP2M ITN Malang Rekomendasikan Penelitian Lanjutan

Laporan Peren Lamanepa
Larantuka, NTT Online - Tim peneliti dari Lembata Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang merekomendasikan bagi dilakukan penelitian tanah dan pengujian laboratorium dengan pemboran contoh inti 5 lubang dengan kedalaman masing-masing 20 meter, pengambilan contoh setiap interval kedalaman 2 meter serta pengujian laboratorium sifat fisik dan mekanis tanah, terkait bencana tanah longsor yang melanda Desa Kolilanang Kecamatan Adonara Kabupaten Flores Timur – NTT pada 23 Februari 2008 lalu.

Demikian laporan yang dibuat tim peneliti yang terdiri dari Ir. Setyo Adiwidjono (ahli geologi) dan Ir, Eding Iskak Imananto MT (ahli geoteknik) pada 11 April 2008, usai meninjau secara langsung lokasi bencana.
Tim itu juga menyarankan adanya rancang bangun (design) pengatasan longsoran terutama berkaitan dengan tata drainase lahan di puncak, badan dan kaki longsoran. Penghitungan analisa stabilitas lereng asli dan rencana untuk dasar kawasan bebas / tanah kosong, dan gambar-gambar tipikal perbaikan dan system drainase kawasan serta kanalisasi ke sungai pematus utama.

Usulan lain terkait rencana penanggulangan ke depan adalah perlu dilakukan perencanaan yang matang mengenai pemetaan topografi 1 : 200 dengan plane table mapping di daerah longsoran dan sekitarnya sekitar 10 ha.
Tim itu juga mencatat, luasan longsoran saat ini sudah mencapai sekitar 3 ha dengan panjang retakan sekitar 1 km, lebar 2,5 m dengan kedalaman antara 3 – 4 m serta menimbulkan 4 buah rumah, 1 buah fondasi rumah dan makam menjadi korban. Lahan yang longsor berupa kebun warga yang ditanami kelapa, coklat dan pepohonan karang kitri lainnya. Terdapat pula prasarana jalan desa berupa pengerasan dan beton sepanjang 150 meter.
Hasil pengamatan tanggal 9 April 2008, stratigrafi daerah longsoran Kolilanang terdiri dari lapisan atas (overburden) berupa tanah pasir dan lempungan berbatu apung dominant. Ketebalan lapisan atas ini berkisar antara 3 – 5 m. Kondisinya tidak terkonsolidasi baik, kerikil/lapili batu apung, ringan dan porous.
Lapisan sela (interburden) terdiri dari lempung putih montmorilonit, bentonitan, dengan ketebalan 1 meter, serta talus bongkah andesit, basalt dan dasit dengan ketebalan mencapai 2 m. Lapisan ini bersifat setempat membentuk alur bawah tanah bermata air. Dan lapisan terdalam berupa lava andesit breksi volkanik. Lapisan ini bersifat batu dasar yang kokoh dan kedap air serta tersemen baik dan keras di bagian dalam.

Tim juga mengevaluasi penyebab terjadinya longsoran pada areal seluas sekitar 3 ha itu, dimana disebutkan bahwa pergeseran tanah bergerak kea rah barat laut, hamper sejajar dengan aliran sungai kering di Koli Petung. Gejala minor / sekunder berupa rekahan melintang atas longsoran utama berupa nendatan (tersendat-sendat) sebanyak 10 rekahan.
Fenomena longsoran Kolilanang adalah geseran tanah (sliding) yang berputar (rotational) atau dikenal sebagai nenderan (slumping). Proses geseran menurut laporan itu tergolong gerakan cepat (rapid) tanpa ditandai gejala rayapan (creep) seperti keretakan fondasi rumah, pohon-pohon miring.
Laporan itu juga menyebutkan, penyebab longsoran itu adalah alami yang terjadi pada lapisan bagian permukaan, sehingga menambah berat massa tanah pada musiom hujan. Selain itu, lapisan gelincir dari lempung putih bentonitan yang licin akibat pelumasan oleh aliran air tanah.
Penyebab lainnya, drainase lingkungan yang jelek dari bagin hulu menyebabkan aliran bawah tanah pada massa tanah apung dan lempung licin., serta tata tanam yang heterogen antara kelapa dan kakao yang lebat pada lahan berkemiringan lereng asli yaitu 25 derajat. Beban berat rumah baru serta makam yang meluas, diperberat oleh konstruksi beton yang berat dan kaku.
Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin menjawab NTT Online terkait laporan tim LP2M ITN Malang itu mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti laporan itu. “Saya sendiri belum membaca secara menyeluruh rincian dari isi laporan itu, tapi kalau perlu penelitian lebih lanjut, maka pemerintah akan sikapi.”
Wabup juga mengatakan, pemerintah juga telah menyalurkan bantuan berupa bahan makanan kepada warga yang berada di daerah longsoran.
Sebelumnya, Bupati Flores Timur Simon Hayon seperti yang pernah diberitakan sebuah Koran lokal menyatakan kasus di Kolilanang itu bukan merupakan bencana alam. Pernyataan Bupati Simon itu sempat menimbulkan berbagai tanggapan beragam di masyarakat, yang menilai bupati mengabaikan kondisi yang dialami warganya sendiri.

Thursday, April 10, 2008

Bupati Tak Berwenang Terbitkan KP

Ternate, Kompas - Kepala daerah kabupaten/kota di Indonesia tidak berwenang menerbitkan izin atau kuasa pertambangan yang berlokasi di kawasan hutan atau kawasan konservasi. Izin harus diajukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan harus mendapat persetujuan DPR.

Hal itu dinyatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alami Departemen Kehutanan Darori menanggapi penerbitan kuasa pertambangan (KP) eksploitasi oleh Bupati Halmahera Barat atas 10.000 ha lahan hutan lindung dan hutan produksi terbatas kepada sebuah perusahaan pertambangan asing. ”Jika itu kawasan taman nasional, jangan coba-coba, daripada nanti berhadapan dengan kami,” kata Darori di Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, Kamis (10/4).

Sejak akhir 2007, sebuah perusahaan pertambangan asing melakukan eksplorasi di areal 10.000 ha hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Tanahputih, Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.

Hutan itu adalah habitat burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei), burung kakaktua putih (Cacatua alba), dan sejumlah burung endemik Maluku Utara lainnya. Eksplorasi itu dilakukan atas dasar kuasa pertambangan yang diterbitkan Bupati Halmahera Nanto Huiroba.

Darori mengungkapkan proses panjang pencarian izin. ”Harus ada rekomendasi bupati, gubernur, lalu diajukan ke menteri. Jika memenuhi kriteria, diajukan ke DPR yang membentuk tim independen. Jika laporan disetujui DPR baru izin dikeluarkan menteri. Setiap tambang di hutan lindung atau hutan produksi tanpa melalui mekanisme ini adalah pelanggaran,” katanya.

Jika eksplorasi di Tanahputih dilakukan di hutan lindung, maka harus dihentikan. Dia saat ini sedang survei untuk kemungkinan perluasan kawasan Taman Nasional Lalobata-Aketajawe di Halmahera.

Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Halmahera Barat Djalal Fara membenarkan, perusahaan pertambangan PT KNIG memegang izin kuasa pertambangan eksplorasi di 20.000 ha hutan di Halmahera Barat untuk tambang diatomite.

”Sekarang sedang tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam proses amdal diusulkan memperkecil kawasan menjadi 10.000 ha saja. Sebagian lokasi eksplorasi memang di dalam kawasan hutan lindung, tetapi lokasi pertambangan belum ditentukan,” katanya.

Penanggung jawab studi amdal PT KNIG, Imron Hasan, mengakui kegiatan eksplorasi dilakukan di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Namun, ia membantah PT KNIG pernah melakukan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.

”Memang ada tujuh titik singkapan potensi diatomite di dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, PT KNIG tidak pernah mengebor di dalam kawasan tersebut. Luasan kuasa pertambangan eksplorasi yang diterbitkan Bupati Halmahera Barat hanya 10.000 ha. Studi amdal kami hanya meliputi kawasan seluas 10.000 ha. Dalam amdal, kami justru mengusulkan, Gunung Bidadari, yang termasuk dalam areal 10.000 ha itu, dijadikan kawasan konservasi sebab gunung itu adalah habitat burung bidadari yang endemik,” katanya.

Menurut Imron, dari laporan lima tahap eksplorasi, diperkirakan lokasi eksploitasi luasannya tidak mencapai 5.000 ha. ”Semua lokasi dipilih yang di luar hutan lindung,” katanya. (row)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008

Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo

Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.

Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.

Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.

Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.

Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat. ”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.

Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan. Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.

Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.

Dampak sosial ekologis

Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.

Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.

Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.

Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.

Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.

Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.

Penghancuran

”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.

”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.

Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.

”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008

Wednesday, April 9, 2008

Tambang dan demokrasi di Lembata

MENDIANG Romo Mangun sering berbicara mengenai pentingnya kosmologi yang melatari segala setiap rencana konkret pembangunan. Pemahaman tentang dunia (tentu saja termasuk manusia) macam mana yang sebenarnya menjadi konsep dasar yang melahirkan rencana pembangunan seperti itu? Ada rencana tertulis, tetapi yang penting justru apa yang disebut sebagai hidden konsep atau paradigma dasar yang tidak muncul secara eksplisit, yang terselubung, namun efektif mewujudkan dan mewarnai seluruh rencana. Paham dasar inilah yang perlu diangkat dan dibahas, dipertegas kalau memang tepat, dan diubah kalau ternyata mengangkangi sejumlah nilai ekologis dan kemanusiaan universal.

Rencana tambang di Lembata yang memunculkan reaksi keras dari masyarakat Lembata dan mengundang perhatian publik luar Lembata merupakan kasus yang tidak muncul begitu saja. Dia lahir dari satu rahim pemahaman dasar tentang kekuasaan yang perlu disikapi secara cermat. Dari kasus ini dapat dielaborasi, konsep kekuasaan macam mana yang dimiliki para penguasa di Lembata? Apakah ini demokrasi? Atau justru satu feodalisme yang tersisa dari masa lalu? Dan kasus ini bukan hanya selesai dengan pembatalan atau berjalannya tambang, tetapi memiliki dampak yang jauh lebih luas, yakni mengubah paradigma penyelenggaraan kekuasaan.

Sudah terlampau klasik rumusan demokrasi sebagai penyelenggaraan kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Ketiga kata depan ini mempunyai nilai yang sejajar dan sama penting. Demokrasi tidak bisa dikatakan ada kalau hanya ditekankan masalah proseduralnya (dari dan oleh), tanpa memperhatikan substansinya (untuk). Demikian pula, demokrasi belum terwujud, jika penyelenggaraan kekuasaan itu dikatakan demi rakyat (untuk), namun sama sekali mengabaikan rakyat dalam proses pengambilan keputusannya (dari dan oleh). Dalam kasus pertama kita berhadapan dengan penguasa yang korup, dalam kasus kedua kita berusan dengan penguasa yang arogan. Dan tentu soalnya menjadi lebih parah, apabila baik proses maupun substansi penyelenggaraan kekuasaan sama sekali menyepelekan rakyat. Rakyat tidak dilibatkan dalam proses, dan tidak diperhitungkan sebagai sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Di sini kita menjumpai sosok penguasa yang feodal, yang memiliki pemahaman dasar: negara adalah saya, atau kabupaten adalah saya. Rakyat? Mereka dipandang terlalu lemah untuk menggalang kekuatan, dan terlalu bodoh guna memahami kedalaman pemikiran dan keluhuran cita rasa sang penguasa.

Paradigma feodalisme sangat kuat dalam masa Orde Baru. Reformasi tidak lain adalah gerakan masyarakat yang lahir dari pemahaman dasar rakyat akan dirinyasebagai sumber dan arah penyelenggaraan kekuasaan. Namun reformasi hanya dikatakan berhasil, apabila gerakan ini sanggup mengubah pemahaman dasar dalam diri para pemangku kekuasaan. Selama konsep dasar para penguasa ini masih feodalistis, maka reformasi sebenarnya masih jauh panggang dari api. Dan di banyak tempat di republik ini, kenyataannya masih seperti itu.

Memperhatikan kasus Lembata, tampaknya masih menjadi tugas yang penting dan serius dari semua elemen masyarakat untuk menjadi demokratis. Rakyatnya sudah sadar akan perannya, dan telah menunjukkan diri sebagai warga yang tidak lemah dan tidak bodoh. Mereka sanggup dan mampu menggalang kekuatan, dan merasa dilecehkan saat haknya tidak diperhatikan. Perjuangan tanpa kekerasan yang terjadi hingga sekarang merupakan bukti, bahwa mereka adalah warga yang cerdas, yang mempertimbangkan matang-matang cara perjuangannya, agar tidak gampang dibelokkan oleh siapapun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa warga masyarakat sudah mulai menjadi warga yang demokratis, yang menolak bentuk-bentuk penyelenggaraan kekuasaan yang feodalistik. Hal ini merupakan satu basis kekuatan ke arah demokratisasi.

Menanggapi desakan massa pada tanggal 23 Juli yang lalu agar bupati dan Wakil Bupati Lembata menyampaikan sikapnya secara tegas, jawaban yang diberikan melalui Kasat Pol-PP dan Kabag Binamitra Polres Lembata adalah ‘akan mempelajari pernyataan tersebut’. Artinya, mereka minta waktu untuk membuat studi lagi mengenai pernyataan sikap masyarakat penolak tambang. Pernyataan bupati ini memang sangat lemah untuk memberikan harapan bagi langkah demokratisasi, namun betapapun lemahnya, pernyataan ini toh dapat memancing api harapan. Sebab, demokrasi memang hidup dari harapan para pejuangnya. Namun, harapan ini akan diperkokoh dan tetap dipercaya, apabila studi tersebut menempatkan rakyat sebagai pemilik dan sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Rakyat sudah menyatakan sikapnya secara tegas untuk menolak tambang, maka sikap inilah yang hendaknya menentukan pertimbangan pemerintah di Lembata selanjutnya. Dalam alam demokrasi, merevisi sebuah keputusan karena desakan masyarakat, betapapun beratnya, bukanlah sebuah kekalahan penguasa. Penguasa toh tidak sedang berperang melawan rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis akan mengaku keliru menafsir kehendak masyarakat dan bersedia memperbaikinya atas desakan eksplisit dari masyarakat. Tetapi, Lembata akan kembali ke alam feodalisme Orde Baru seandainya langkah susulan setelah pernyataan kesediaan tersebut adalah merancang taktik memecahbelah masyarakat, menyumbat mulut-mulut kritis dan melumpuhkan kegesitan serta menumpulkan ketajaman insan pers dengan berbagai hadiah dan janji.

Jalan ke arah demokratisasi juga sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap DPRD. Paradigma penyelenggaraan kekuasaan macam mana yang ada dalam benak dan hati para wakil rakyat tersebut? Adanya DPRD tidak dengan sendirinyaberarti sudah ada demokrasi. Dalam era Orde Baru, lembaga perwakilan adalah bagian dari proses absolutisasi kekuasaan di tangan seorang penguasa. Bukan pengalaman baru di negara ini, bahwa lembaga perwakilan rakyat mengingkari hakikatnya sebagai perwakilan, dan memahami diri sebagai tuan atas rakyat, yang dinilai tak bisa apa-apa dan tak tahu apa-apa. Pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, bahwa para wakil rakyat beranggapan, rakyat telah menanggalkan pikirannya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kebijaksanaan para wakilnya. Para wakil rakyat seperti ini pun sebenarnya bersifat feodal.

Di Lembata, para wakil rakyat mengambil keputusan untuk membuat studi banding ke dua tempat. Apakah ini sebuah keputusan yang lahir dari satu pemahaman diri sebagai wakil rakyat dalam satu bingkai demokrasi? Pertanyaan ini penting, karena terlampau lumrah di republik ini bahwa studi banding adalah nama lain dari jalan-jalan atas ongkos rakyat. Kalau hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, studi banding tidaklah gampang. Studi saja sudah berat, apalagi studi banding! Kasus tambang adalah kasus yang berat, maka studi banding harus dilakukan dengan kesungguhan.

Perlu disadari bahwa studi banding hanya bermafaat apabila sekurang-kurangnya dua syarat berikut dipenuhi. Pertama, yang membuat studi tersebut memiliki pemahaman yang benar tentang kondisi wilayahnya sendiri. Tanpa pemahaman ini, tidak ada yang bisa dibandingkan. Kondisi geografis dan keadaan ekologis dari wilayah sendiri perlu diketahui. Termasuk dalam pemahaman wilayah sendiri adalah mengetahui kondisi masyarakat dan mengenal kecemasan serta kegelisahan mereka. Bagaimana kebudayaan mereka, konsep mereka tentang tanah, persoalan kepemilikan tanah dalam tradisi asli merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan entahkah sebuah proyek pembangunan itu populis atau represif. Kenyataan, DPRD Lembata tidak bersedia memberikan jawabannya yang pasti terhadap masyarakat pesisir dan Leragere yang menolak tambang, yang datang untuk menyampaikan sikapnya pada sejak Desember 2006. Janji untuk mengadakan sidang paripurna khusus terhadap masyarakat yang datang tanggal 11 sampai 13 Juni 2007, tidak dipenuhi. Yang diterima secara hangat hanyalah kelompok masyarakat yang menyetujui penambangan pada tanggal 25 Juni 2007. Kalau sikapnya seperti itu, apakah para anggota DPRD Lembata sungguh memahami kegelisahan dan kecemasan masyarakatnya yang menolak tambang? Dalam kondisi seperti ini, apakah DPRD Lembata berada dalam situasi yang tepat untuk membuat studi banding? Boleh jadi para anggota DPRD sudah merasa paham akan persoalan masyarakatnya. Perasaan memang merupakan satu kapasitas manusia yang penting. Harapan kita, semoga perasaan itu tidak keliru.

Kedua, sebuah studi banding perlu terarah kepada semua hal yang dipandang krusial bagi wilayah sendiri. Dalam kasus tambang, yang perlu mendapat perhatian dalam studi banding adalah persoalan proses pembuatan keputusanpenambangan, masalah kesejahteraan rakyat, dan dampak ekologis serta sosial yang ditimbulkannya. Persoalan proses pembuatan keputusan menjadi penting, karena ini juga menjadi soal krusial di Lembata. Demikian pula tujuan yang dicapai dengan penambangan tersebut. Apakah penambangan di tempat studi banding sungguh mendatangkan kesejahteraan para warga? Dan apa dampak ekologis dan sosialnya? Sasaran studi banding ini akan menentukan, siapa yang didekati sebagai nara sumber dalam studi. Tidak hanya perusahaan penambang, tetapi juga pemerintah, LSM-LSM yang berkomitmen terhadap masalah kebudayaan dan lingkungan serta mayarakat yang mendukung dan menolak tambang. Di Lewoleba DPRD Lembata tidak bersedia menerima masyarakat penolak tambang. Kiranya mereka juga membuat studi tentang sikap mereka ini, dan di lokasi studi banding bersedia mendengarkan masyarakat penolak tambang.

Sebuah studi banding dapat melahirkan dua alternatif keputusan. Akan dibuat sesuatu seperti yang terjadi di lokasi studi banding, atau tidak akan dibuat sesuatu seperti yang dilakukan di lokasi studi banding. Ungkapan keputusan bisa berbunyi: "Kita buat seperti yang mereka lakukan di sana", atau "Kita tidak akan lakukan seperti yang mereka buat di sana". Hasil inilah yang akan menunjukkan konsep dasar para wakil rakyat Lembata, entahkah demokratis atau tidak. Keputusan itu jugalah yang akan menyingkapkan, atas nama siapa para wakil rakyat Lembata pergi membuat studi banding. Artinya, keputusan itulah yang menyatakan, siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ungkapan di atas. Kalau para anggota DPRD pergi atas nama perusahaan, maka mereka akan mempelajari apa yang perlu dilakukan lembaganya agar keinginan perusahaan dapat diwujudkan. Apabila mereka pergi atas nama dan demi rakyat Lembata, yang di lokasi rencana penambangan sudah menyatakan sikap tegas menolak tambang, maka yang dipelajari adalah strategi mana yang perlu ditempuh DPRD supaya sikap masyarakat ini direalisasikan. Rakyat penolak tambang di lokasi studi banding kalah berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Kalau DPRD Lembata sungguh pro rakyat, maka mereka akan sungguh-sungguh belajar tentang kelemahan DPRD lokasi studi banding agar dapat bertindak lebih tepat guna membela rakyat. Langkah studi banding dinilai sebagai langkah penting bagi DPRD dalam menentukan sikapnya. Kita berharap bahwa sikap itu sungguh demokratis.

Konsep dasar yang melatari dan menjiwai pemikiran seseorang tampak ketika terjadi benturan dengan gagasan dan rencana orang lain. Benturan-benturan itu dapat membantu seseorang untuk mengoreksi dan mengubah paradigma berpikirnya, kalau memang paradigma itu tidak dapat lagi dipertahankan. Atas desakan masyarakat Bupati Lembata menyatakan akan mempelajari dulu tuntutan masyarakat. Dan DPRD Lembata membuat studi banding. Akankah ada perubahan sikap setelah bupati membuat studi atas tuntutan masyarakat danDPRD melakukan studi banding? Akankah ada perubahan sikap sehingga bisa dibuat perbandingan? Sangat berarti bagi demokratisasi, apabila ada sikap yang jelas dan sungguh pro rakyat dalam rangka demokrasi. Kalau demikian, nanti bisa dibuat studi banding di Lembata sendiri, tak usah jauh-jauh. (P Dr Paul Budi Kleden SVD, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)

Sumber: POS KUPANG, 4 Agustus 2007

Tuesday, April 8, 2008

Pemerintah Lembata Tetap Buka Diri Bagi Investasi Tambang

Lembata–Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyatakan tekad untuk tetap membuka diri bagi investor yang akan melakukan investasi tambang tembaga dan emas di Lembata.

Bagi pemerintah, hal yang paling penting langkah yang diambil pemerintah itu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat daerah dan tidak merugikan orang lain, kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, di Lembata, Senin.

Dia mengemukakan hal itu menjawab wartawan perihal kontroversi seputar rencana usaha investasi tambang emas dan tembaga yang dilakukan oleh Grup Merukh Enterprises Jakarta melalui anak perusahaannya, PT Merukh Lembata Copper di Lembata.

“Kami tetap jalan. Pada prinsipnya kami menerima rencana investasi tambang di daerah ini sepanjang tidak merugikan orang lain,” kata Bupati yang didampingi Wakil Bupati Lembata, Andreas Liliweri.

Menurut dia, pemerintah tidak pernah merampas hak orang lain, dan sepanjang seluruh proses investasi itu berada dalam tataran aturan maka reaksi apapun yang disampaikan tidak akan mengubah keputusan pemerintah.

Dalam hubungan dengan rencana investasi di Lembata, semua pihak harus melihat dari sisi positifnya karena perusahan akan membangun infrastruktur jalan, dermaga dan juga air bersih. Selain itu, akan berdampak pada seluruh sektor kehidupan di wilayah itu dan pada gilirannya akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Lembata.

Menurut dia, bahwa ada sisi negatifnya memang harus diakui, karena setiap investasi harus ada diantara kita yang dikorbankan. Dalam pembukaan jalan baru misalnya, harus ada warga yang menjadi korban karena kebun atau tanaman mereka rusak. “Itu namanya sisi negatifnya, jadi tidak hanya ada sisi positifnya saja, tetapi harus dijalani,” katanya.

Belum tentu

Bupati menambahkan, rencana investasi tambang tembaga dan emas di Lembata belum tentu jadi karena tergantung hasil studi kelayakan. “Jadi masih ada tahapan-tahapan yang harus dijalani sebelum dilakukan investasi. Jadi belum tentu investasinya dilakukan di Lembata,” katanya.

Karena itu, tidak ada manfaatnya kalau masyarakat terus dipengaruhi untuk menolak rencana investasi tambang tembaga dan emas di Lembata, katanya. (ANTARA, 7 April 2008)

Thursday, March 27, 2008

Walhi Jatim Tolak Tambang Emas Banyuwangi

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menolak keras rencana penambangan emas di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpangpitu (HLGTP) Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi.

Alasannya, rencana penambangan emas itu sangat berpotensi menimbulkan bencana ekologis dan sosial. Dismaping itu, Walhi Jatim juga melihat indikasi penambangan itu nanti akan merambah wilayah konservasi yang dikelola oleh Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang berdekatan dengan kawasan Gunung Tumpangpitu.

Apalagi, dalam catatan Walhi Jatim, PT. Indo Multi Cipta (IMC) yang menjadi investor dalam penambangan itu merupakan perusahaan emas yang bernaung di bawah bendera salah satu pemegang 20 % saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) pimpinan Yusuf Merukh yang pernah gagal melakukan eksplorasi emas di kawasan TNMB di Jember tahun 2000 silam.

"Kami mengutuk rencana eksplorasi itu. Dan bila pemkab Banyuwangi serta investor tetap melanjutkan, kami akan melakukan perlawanan," kata Dewan Pakar Departemen Walhi Institute-Jawa Timur, M.Lukman Hakim di kampus Universitas Jember (Unej), Rabu (26/03).

Lukman menambahkan, hasil sementara kajian dan investigasi yang telah dilakukan Walhi Jatim baru-baru ini menyimpulkan setidaknya ada empat (4) alasan penolakan itu. Pertama, soal rencana pembuangan limbah. PT. Indo Multi Niaga (IMN) yang menjadi investor dalam eksplorasi itu mengungkapkan akan menerapkan sistem STD ((Submarine Tailing Disposal-STD) dalam pengolahan limbahnya. Rencana STD juga dapat dilihat pada Amdal yang telah dibuat PT. IMN di mana block tailing direncanakan dibangun ditengah laut yang berdekatan dengan pulau merah yang kini menjadi salah satu andalan pariwisata Banyuwangi.

Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu. Pembuangan tailing dengan model STD ( ke laut) tidak saja akan mengancam ratusan nelayan pancer, akan tetapi ribuan nelayan mulai dari Pancer, Rajegwesi, Grajakan, Muncar, Puger, bahkan Sendang Biru dipastiakan akan terancam
limbah Tailing. Sebab arus dari pancer akan mengarah ke tempat-tempat itu. Puluhan perusahaan pengalengan ikan yang ada di Muncar juga terancam oleh ontaminasi limbah tailing.

"Kalaupun limbah emas itu dibuang di darat, model under ground mining sebagaimana yang kerap ditegaskan oleh Bapedalda Banyuwangi tidak ada garansi untuk tidak mengalir kelaut apalagi dimusim hujan mengingat blok Tumpang Pitu tersebut berdempetan dengan laut,'katanya.

Kedua, daya rusak ekologi akibat eksplorasi itu. Dalam jangka panjang separoh dari kawasan Banyuwangi diprediksi akan terancam krisis air yang sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija.

Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur menyebutkan bahwa HLGTP merupakan kawasan potensi air bawah tanah kategori sangat tinggi atau setara dengan 30 liter perdetik. Sementara Desa Pesanggaran, desa Sumber Agung yang juga masuk kapling rencana tambang emas Blok Tumpang Pitu, adalah kawasan potensi air bawah tanah kategori sedang atau 15-20 liter perdetik.

Begitu pula Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Curah Manis Sempolan, dan Hutan Lindung Baban Silosanen yang terancam bahaya yang sama dari renteten penambangan emas di Blok Tumpang Pitu.

Alasan ketiga dan keempat adalah bahaya konflik sosial dan kemiskinan di kalangan warga sekitar lokasi penambangan itu. Walhi Jatim, kata Lukman, melihat rencana penambangan emas itu mengarah pada dimungkinkannya terjadi konflik sosial pertambangan. Disamping itu, Pelanggaran Ham, intimidasi, kekerasan dan pembunuhan yang kerap terjadi di banyak pertambangan di Indonesia dikhawatirkan akan terjadi di Banyuwangi. "Buktinya, sekarang muncul penolakan dari nelayan pantai pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer Sumber Agung Pesanggaran Banyuwangi. (Mahbub)

Sumber: KORAN TEMPO, 26 Maret 2008

Wednesday, March 26, 2008

Harga Hutan Alam

Ketetapan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor 2 Tahun 2008, dianggap terlampau murah. Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong. Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar.

Lalu, berapa harga yang pantas untuk nilai hutan sehingga diperoleh angka yang tepat dan bertanggung jawab? Dalam kondisi seperti sekarang, ketika semua orang sudah pandai berhitung, dengan kepentingan yang berbeda, harga ini akan sangat bervariasi karena perbedaan persepsi. Selama ini para pengambil kebijakan di bidang kehutanan, misalnya, hanya menghitung hasil hutan melalui rente ekonomi kayu (log). Hal ini karena ekonomi pasar tidak menghargai ranah publik yang lain, seperti nilai air sungai yang mengalir, fungsi hutan sebagai regulasi iklim, penyedia tanaman obat-obatan, dan sumber stok genetik, serta nilai-nilai yang tidak tampak lainnya. Karena itu, selama tidak ada nilai jual yang konkret yang menghasilkan pemasukan dan pendapatan negara, perhitungannya pun akan diabaikan.

Di lain pihak, akibat hilangnya fungsi-fungsi tersebut, masyarakat mulai sadar, sebesar apa pun pendapatan yang diperoleh pemerintah, ketika terjadi bencana lingkungan, harga tersebut ternyata tidak mampu membawa penawar dan mengembalikan kehidupan mereka. Belum lagi biaya eksternalitas yang harus ditanggung oleh penduduk akibat limbah industri dan pertambangan yang mengakibatkan penurunan jasa ekosistem baik secara lokal maupun global.

Orientasi para pengambil keputusan di bidang kehutanan semacam ini--meminjam kata Emil Salim--masih berorientasi pada pembangunan konvensional yang antroposentris. Menyadari kesenjangan itu, para ahli lingkungan melakukan pendekatan penghitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) terhadap hutan alam dan ekosistem alami yang ditinjau dari berbagai aspek. Secara teoretis, Indrawan dkk (2007) menghitung nilai ekonomi sumber daya dengan berbagai masukan. Pertama, nilai langsung, yaitu nilai-nilai ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan, misalnya perolehan ikan, daging, kayu bakar, bahan bangunan, tumbuhan obat, dan rumput serta tumbuhan yang dapat dimakan oleh ternak.

Kedua, nilai tidak langsung. Misalnya kontrol banjir, kesuburan tanah, penyerap karbon atau regulasi iklim, air minum, rekreasi, dan wisata alam, termasuk jasa misalnya pengamatan burung, jasa biologi seperti pengontrol hama, dan keberadaan serangga penyerbuk. Ketiga, perhitungan juga dilakukan untuk nilai pilihan masa depan, yaitu sebagai sumber obat, sumber daya genetik, wawasan biologi, dan suplai air. Dan keempat, nilai kehidupan, misalnya perlindungan keanekaragaman hayati, memelihara budaya penduduk lokal, melanjutkan proses evolusi, serta ekologi.

Berdasarkan penilaian ini, setiap daerah dan kawasan tentu akan berbeda-beda. Karena itu, valuasi ekonomi lingkungan biasanya mengambil jalan tengah untuk tidak memberikan kompensasi yang dipukul rata, dengan dan mempertimbangkan dampak ekologi yang dapat dikaitkan oleh pembangunan pada potensi dan kajian nilai-nilai ekonomi di daerah sekitarnya. Karena itu, apabila peraturan ini dilakukan secara nasional, ketentuan lain hendaknya memberikan keleluasaan kepada aturan di bawahnya berupa peraturan daerah dan peraturan menteri secara lebih terperinci dengan melihat berbagai pertimbangan ekologis yang turut dihitung.

Hendaknya kita belajar, ketika harga tersebut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang tengah melanda kita, seperti tanah longsor, banjir, kehilangan fungsi hutan sebagai regulasi ekosistem, bahkan dari peristiwa lumpur Lapindo yang ketika terjadi kerusakan dan bencana, harga yang diterima pasti tidak sebanding. Karena itu, wajarlah jika ada penolakan dari beberapa pemerintah daerah dalam penetapan harga tersebut. Sebab, pemda mulai sadar, masyarakat di daerahlah yang menjadi korban akibat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Sejak awal ditandatanganinya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pertambangan di Hutan Lindung oleh Presiden Megawati yang kemudian menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004, masih segar di ingatan kita perdebatan yang berpihak pada kebijakan untuk mengorbankan alam sebagai subyek dan sumber pendapatan ekonomi instan. Para pencinta lingkungan masih dapat berharap ada lagi skema lain yang bisa diandalkan untuk benar-benar memperketat penambangan di hutan lindung tersebut dengan peraturan ketat. Bahkan Departemen Kehutanan berjanji ingin memperketat peraturannya antara lain dengan meminta penambang membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang, menyediakan tanah lain kepada Departemen Kehutanan, menanggung biaya reboisasi, dan mereklamasi kawasan hutan lindung yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan penambangan.

Anjuran para ahli ekologi adalah, dalam mengambil prinsip perhitungan ini, pertimbangan harus diadakan berdasarkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit) dengan menghitung segala jasa ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Namun, dalam prakteknya, cara perhitungan ekonomi-ekologi ini sangat sulit dihitung karena biaya dan manfaat selalu berubah dan sulit diukur.

Sebagai pencinta lingkungan, saya menghargai pemerintah daerah yang kini cenderung kritis dan menahan diri dan mengaplikasikan prinsip pencegahan. Pada prinsipnya--untuk situasi yang tidak stabil dengan alam yang sensitif seperti Indonesia--prinsip kehati-hatian lebih baik diterapkan. Bila perlu, lebih baik berbuat keliru dengan terlalu berhati--dan membatalkan sebuah proyek--daripada membuka kemungkinan terjadinya bencana di masa depan. (Fachruddin Mangunjaya, Pendiri Borneo Lestari Foundation, Kalimantan Tengah)

Sumber: KORAN TEMPO, 18 Maret 2008

Tuesday, March 25, 2008

Arbitrase Newmont dan Kepentingan Nasional

Pemerintah RI akhirnya mengajukan PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional setelah berlarut-larutnya proses divestasi sejak dua tahun lalu (Kompas, 3/3). Sinyal yang keluar kelihatan sekali berbeda dengan sinyal akomodasi Perpres No 2/2008 tentang pinjam pakai hutan yang baru dikeluarkan.

Pemerintah sekali lagi diuji untuk menyeimbangkan kepentingan penanaman modal asing dan kepentingan nasional dalam proses ini.

Kepentingan nasional

Orde Baru mengundang penanam modal asing dengan alasan teknokratis: mereka membawa management know-how, sumber daya, teknologi, barang dan jasa, yang akan menggerakkan roda ekonomi.

Secara normatif, politik ekonomi Indonesia mengakomodasi partisipasi penanaman modal asing (PMA) selama pemerintah mampu mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ini berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam, di mana negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Mahkamah Konstitusi kemudian dalam beberapa putusannya menegaskan tafsir Hak Menguasai Negara ini.

PMA dalam industri per- tambangan diakomodasi de- ngan perjanjian (kontrak) kar- ya yang mengatur kerja sama antara pemerintah dan kon- traktor pertambangan, yang memerinci semua hak dan kewajiban, termasuk keten- tuan peningkatan kepenting- an nasional (promotion of national interest), di antaranya: pertama, divestasi kepada pihak dalam negeri. Kontrak karya generasi pertama dan kedua mensyaratkan 20 persen dan terus meningkat sampai generasi ketujuh. Lazimnya pemegang opsi utama pembeli adalah pemerintah, dan jika pemerintah menolak dapat ditenderkan ke swasta nasional.

Kedua, peningkatan pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri. Ketiga, peningkatan porsi karyawan nasional pada posisi manajemen maupun pelaksana. Keempat, dana pengembangan masyarakat.

Kontrak karya tidak memberikan target tertentu untuk ketiga hal di atas. Hanya saja, dalam kajian tahunan kegiatan dan anggaran, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam selalu meminta peningkatan angka dari tahun sebelumnya.

Apakah peningkatan kepentingan nasional dalam industri pertambangan ini sudah memadai? Melihat konteks sentralisasi kekuasaan dan kapitalisme negara Orde Baru saat itu bisa dikatakan sudah optimal.

Dengan kerangka konstitusi yang lebih terdesentralisasi saat ini, perlu dibangun kerangka penciptaan nilai tambah sebesar-besarnya dari industri pertambangan bagi kepentingan nasional tanpa menafikan kontrak yang masih berlaku. Sayangnya DPR sendiri terus-menerus menunda pengesahan RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Divestasi dalam bisnis

Dipandang dari teori organisasi industrial, insentif perusahaan multinasional melakukan divestasi (exit) adalah karena laba rendah, rugi yang disebabkan oleh biaya tinggi, menurunnya permintaan secara permanen, atau masuknya pemain baru yang agresif (Siegfried dan Evans, 1994).

Sebaliknya, asset specifity, misalnya investasi raksasa yang tidak mudah dipindahkan karena lokasi pertambangan yang terpencil, menjadi disinsentif untuk divestasi (Williamson, 1985). Ini mungkin salah satu alasan mengapa Newmont mengulur-ulur proses divestasinya.

Perspektif daur hidup produk memandang divestasi sebagai salah satu pilihan strategis untuk keluar dari industri yang menurun (Benito, 1995). Divestasi adalah salah satu jalan dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Opsi divestasi keseluruhan ini dipakai BP dan Rio Tinto tahun 2003 ketika proses divestasi PT Kaltim Prima Coal macet karena saling gugat antarpemerintah daerah, memilih menjual seluruh sahamnya dan memilih fokus pada proyek lainnya.

Dalam kasus Newmont, karena divestasi sudah dijadwalkan dalam kontraknya, maka seharusnya divestasi diperlakukan sebagai investasi untuk menjaga sustainabilitas bisnis dan bukannya menciptakan konflik.

Konflik dengan pemerintah sebagai regulator maupun pemberi kontrak jelas menyebabkan citra Newmont semakin buruk. Apalagi, ingatan masyarakat atas Buyat belum hilang.

Model keiretsu Jepang, di mana kepemilikan silang anta- ra perusahaan dalam satu grup dari hulu ke hilir (Wan, Hoskisson, Kim, Yiu, 2005), mungkin diacu Newmont dengan menawarkan perusahaan nasional mitranya sebagai pembeli sahamnya atau penyandang dana pemerintah daerah. Tetapi, hal ini tidak bisa dijadikan alasan menghalangi divestasi ke pemerintah daerah.

Model divestasi ke depan

Ketua Indonesian Mining Association Arif Siregar menyatakan, agar kasus seperti ini tidak terulang, divestasi sebaiknya dilakukan melalui pasar modal. Ini patut didukung supaya masyarakat dapat menikmati nilai tambah dan proses divestasi berlangsung transparan dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik.

Pasar modal juga memungkinkan masyarakat adat, LSM lingkungan, dan semua pemangku kepentingan menjadi pemegang saham. Dengan menjadi shareholder activists mereka dapat belajar berdebat menentukan arah perusahaan dan pertanggungjawaban manajemen di rapat umum pemegang saham.

Pada akhirnya, kepastian hukum adalah kata kunci industri pertambangan agar bisa merealisasikan potensinya menyejahterakan rakyat. Semua pihak perlu menghormati pilihan arbitrase agar kepastian hukum bisa ditegakkan. (Agam Fatchurrochman, bekerja di bagian External Relations perusahaan pertambangan Indonesia-Kanada 2005-2007; Alumnus FE UGM dan Nottingham University)

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2008

PP Nomor 2/2008, Menyelamatkan Bumi?

Secara jelas, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang keliru, bukan pada dasar pemikiran kelestarian lingkungan hidup atau kelestarian hutan.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PP ini bertujuan meningkatkan kontribusi bagi pendapatan negara dari 13 perusahaan tambang yang memang sudah berada di kawasan hutan lindung. Presiden juga sempat menyatakan bahwa di satu sisi PP ini dimaksudkan untuk mendatangkan penerimaan negara, sementara di sisi lain untuk menyelamatkan Bumi agar hutan Indonesia selamat (Kompas, 23/2).

PP No 2/2008 oleh Presiden diklaim merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian ditetapkan lewat UU No 19/2004, yang merupakan revisi dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Menteri Kehutanan MS Kaban pernah menyatakan, PP No 2/2008 tidak terlepas dari Keppres No 41/2004 yang diterbitkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menjadi dasar beroperasinya 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung tersebut.

Klaim itu jelas hendak menyesatkan masyarakat. Karena hierarki peraturan perundang-undangan, PP lebih tinggi daripada peraturan presiden atau keputusan presiden. Karenanya, PP ini akan dijadikan dasar hukum bagi semua penggunaan kawasan hutan yang digunakan di luar kegiatan kehutanan. Jadi, tidak berlebihan jika PP ini disebut PP ”Penyewaan Hutan”.

Selanjutnya, PP No 22/1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diubah dengan PP No 52/1998, sebagai dasar hukum diterbitkannya PP No 2/2008. Hakikatnya, materi PP berisi materi untuk menjalankan UU. Karena itu, PP ini pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamatkan hutan atau berpretensi menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak menjadi dasar pertimbangan dari PP No 2/2008 ini.

Penolakan kepala daerah

Salah satu penolakan muncul dari Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin. Ia menyatakan, pihaknya tidak akan pernah memberikan rekomendasi untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan (21/2).

Penolakan juga muncul dari Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan. Menurut Narang, ia akan tetap mempertahankan kawasan hutan lindung yang memang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan serta penolakan juga disampaikan Bupati Pasir dan Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur.

Siapa pun yang ada di belakang formulasi PP ekonomi yang tidak ekonomis ini, mereka punya niat mengadu domba pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah secara otomatis akan berhadap-hadapan dengan masyarakatnya sendiri. Karena itu, dapat dimaklumi munculnya penolakan dari para kepala daerah tersebut.

Mesti maju ke depan

Ke depan, PP No 2/2008 bukan malah memberi pemasukan kepada negara, tapi malah membebani APBN. Akibat semburan lumpur panas Lapindo, per Maret tahun lalu saja perkiraan kerugian sementara yang dibuat Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo telah mencapai Rp 7,6 triliun.

Bukan maju ke depan, yang patut disayangkan, malah Presiden justru meneruskan kebijakan yang bermasalah yang dikeluarkan pemerintahan sebelumnya. Sampai saat ini, banyak pemilik modal (pemohon) yang berminat untuk ”menyewa” hutan di Indonesia. Dalam materi PP tidak ada pembatasan secara eksplisit berlaku hanya untuk 13 perusahaan yang sudah mendapat izin.

Dengan diterbitkannya PP ini, semakin jelaslah watak kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, yakni sama seperti kebijakan fiskal yang menggunakan dasar ekonomi sebagai pertimbangan utama. Celakanya, pertimbangan ekonomi pun keliru. Pihak Departemen Kehutanan sendiri menargetkan PNBP sebesar Rp 600 miliar sebagai akibat penerbitan PP ini, yang tak sebanding dengan potensi kerugian yang akan membebani APBN dan membebani generasi mendatang.

Greenomics Indonesia sempat menyatakan kerugian ekologi-ekonomi akibat PP ini bisa mencapai tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun. Belum lagi potensi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang terjadi pascasemburan lumpur panas Lapindo, atau kerugian yang diderita masyarakat di kemudian hari akibat pertambangan di kawasan hutan lindung.

Jika mau arif, Presiden sebaiknya mengadopsi ideologi politik hukum dalam UU No 41/1999 yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie, yang jelas-jelas melarang pertambangan terbuka di hutan lindung (Pasal 38 Ayat 4). Bukan malah menerbitkan PP yang ketinggalan zaman, di mana banyak kepala negara lain ”mencontoh” UU No 41/1999 tersebut.

Pada Agustus 2002, Presiden Kosta Rika Abel Pacheco melarang pertambangan terbuka. Disusul Pemerintah Argentina. Bahkan, Pemerintah Kanada tahun 2007 membatalkan kontrak pertambangan karena dinilai terlalu berisiko. Sementara Presiden Ekuador dan parlemen negeri itu mengubah konstitusinya untuk memuat larangan pertambangan terbuka di hutan lindung. Ini baru bisa dibilang menyelamatkan Bumi! (Patra M Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia)

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2008

Monday, March 24, 2008

Tambang di Lembata: Tak Sudi Asing di Lewotana

Bupati dan DPRD Lembata berkukuh menggolkan rencana tambang guna menggenjot kas daerah. Mayoritas masyarakat menolak tegas karena trauma masa lalu. Rencana itu pun ditengarai sarat manipulasi.

ANASTASIA Gea dan Rafael Suban Ikun adalah dua sosok yang mengemban tugas sebagai pelayan masyarakat di desanya, Kecamatan Lebatukan, Lembata. Mereka tak mau kehilangan muka di hadapan masyarakatnya yang telah memilih mereka menjadi pemimpin. Gea adalah ibu rumah tangga. Ia dipercaya warga Lamadale menjadi kepala desa (kades).

Sedang Suban Ikun mengemban tugas sebagai Kepala Desa Dikesare. Segala kebijakan yang mereka jalankan benar-benar hasil urun rembuk warga desa. Karena itu, tak pernah mengkianati jabatan yang diembannya. Mereka sadar. Jabatan itu amanah rakyat. Jika ada kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat desa? Semua ada di tangan masyarakat. Kalau masyarakat menolak maka itu tak bisa diotak atik. Siapapun dia. Titik.

Sikap dua kades itu yang menyata saat Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata sepakat menerima kehadiran PT Merukh Lembata Coppers (Selanjutnya disingkat MLC) melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas, tembaga, bahan mineral ikutan lainnnya di perut Lembata. MLC adalah sebuah perusahaan patungan antara Pemkab Lembata dan PT Pukuafu Indah (PI) milik Yusuf Merukh. PT PI adalah salah satu perusahaan di bawah kendali kelompok usaha Merukh Enterprises (ME). Begitu pula dengan sosok Abu Samah, pemangku ulayat Puakoyong (wilayah prosepek tambang) dari Kampung Peu Uma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri.

Apa kata mereka? Kita dengar saja. “Saya tetap punya prinsip bahwa soal jabatan saya tidak pikir. Soal jabatan itu hanya sementara. Sehingga menyangkut rencana pertambangan itu saya lebih memihak masyarakat untuk tetap tolak tambang. Walaupun apa yang terjadi menyangkut jabatan, saya sendiri tidak takut. Kalau toh sikap penolakan saya dan masyarakat berdampak pada penghentian program pembangunan di desa ini, saya tidak menyesal. Saya dan masyarakat sudah hidup dari dulu sampai sekarang dengan hasil usaha dari pertanian, perkebunan, dan tanaman-tanaman komoditi,” ujar Gea.

Konsistensi sikap penolakan mulai nampak menuai akibat. “Upaya untuk dipersulit tetap ada, tapi saya berada di pihak rakyat. Bahwa saya berada dengan rakyat dan apapun saya di pihak rakyat, bersama rakyat. Jabatan ini tidak bertanggung jawab pada pejabat. Saya bersama rakyat karena mereka yang pilih saya sekitar 400-an,” tegas Ikun, penjual es keliling saat masih sekolah di Waiwerang, Adonara, Flores Timur (Flotim).

Sedang Abu Samah? “Emas itu tidak boleh dibongkar bangkir. Nanti tanah dan kampung ini jadi ringan. Nanti kita hancur sampai anak cucu-cece kita. Sebab saya tidak mau setelah 20 atau 30 tahun mendatang saya sudah jadi tulang belulang, musibah ini muncul. Mereka (anak cucu-cece) akan maki hancur saya. Sehingga bagaimanapun saya tetap pertahankan tanah kami. Pemali besar kalo kita jual tanah ini. Sebab, kita pasti tanggung akibatnya,” tegas Abu Samah (Kertas Posisi JPIC-OFM Indonesia, 2007).

Mengapa Ditolak

Mayoritas masyarakat di Kecamatan Lebatukan dan Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) yang merupakan merupakan wilayah prospek tambang, menolak tegas rencana itu. Di Kedang, misalnya, nuansa penolakan terasa sangat kuat. Mereka masih trauma dengan pengalaman buram kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah itu selama kurun waktu 1984–1990 seperti PT Baroid Indonesia (BI), PT Sumber Alam Lembata (SAL), dan PT Nusa Lontar Mining (NLM). Saat itu, Lembata masih bergabung dengan kabupaten induk, Flores Timur.

Setelah tiga berusahaan itu selesai beroperasi, justru hanya pepesan kosong. Janji rumah ibadah, sekolah, dan rumah tinggal bagi masyarakat lokal tak pernah terealisasi. Itu kesaksian Petrus Oha (67), bekas buruh tambang PT BI. Buruh lainnya, Petrus Bisa mengaku ia dan rekan-rekan harus masuk dalam lubang sedalam 23 meter dengan menggunakan tangga. Pada malam hari, jika lembur mereka hanya diberi kopi, pisang, dan telur ayam sebagai pengganti makanan. Sedang ia dan rekan-rekannya diupah Rp. 1000/hari. Bahkan janji perusahaan memberi genset atau bantuan air minum tak pernah terwujud. Sebuah sungai akhirnya tercemar dan tak bisa menjadi bahan baku warga sekitar.

Penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang oleh MLC didasarkan atas pertimbangan sosial-ekonomi dan ekologis. Mereka tak mau lahan pertanian musnah dan banjir melanda wilayahnya. Mereka juga tak mau dipindahkan ke tempat lain karena sudah menyatu dengan kampung halaman yang telah menghidupi mereka. Dan satu hal pasti bahwa masyarakat Lembata adalah masyarakat agraris sehingga sangat bijak kalau sektor pertanian diberdayakan jika mereka ingin dihargai.

Ongkos ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dibayar mahal akibat pertambangan di Atanila sejatinya memberikan pelajaran berharga. Dalam kasus ini, Bupati Manuk punya komentar. “Di Atanila, perusahaan bukan hanya mengangkut barit, tetapi sesungguhnya mereka (perusahaan) juga mengangkut emas,” kata Bupati Manuk saat berlangsung pertemuan dengan Keluarga Besar Lembata (KBL) Jakarta di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta Pusat, 22 Agustus 2007. Jadi, yang tersisa bagi masyarakat hanya rasa janji angin surga. Kekhawatiran bisa meluas. Jangan sampai usaha menggolkan rencana itu karena ambisi mengejar setoran sesaat namun menggadaikan masyarakat, alam, lingkungan, dan kearifan local.

Dalam konteks rencana tambang oleh MLC, Bupati dan DPRD Lembata akan sangat dihormati rakyatnya jika memutuskan membatalkan rencana tambang. Kemudian memikirkan masalah-masalah urgen seperti membangun ruas jalan memadai guna menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Tak perlu terhipnotis janji perusahaan membangun apartemen bagi para petani Leragere (Lebatukan) atau nelayan di Pantai Bean di Kedang. “Aneh, kalau seorang petani yang setiap hari hidup di kebun dengan tofa, parang, dan cangkul tiba-tiba hidup di apartemen lengkap dengan perabotnya. Petani mana yang keluar-masuk apartemen untuk pigi kebun?” ujar Pastor Marselinus Vande Raring, SVD retoris.

Pada 9-13 Agustus 2007 lalu, dua kelompok tim studi banding bentukan Bupati diterjunkan ke lokasi pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Pulau Sumbawa, NTB. Dua perusahaan ini sahamnya juga dimiliki Yusuf Merukh, yang bakal melebarkan sayap usahanya lewat MLC di Lembata. Tim itu akan melakukan studi banding bagaimana nantinya jika MLC jadi beroperasi di Lembata. Masalahnya, tim NMR tak ketahuan batang hidungnya di Mesel maupun Pantai Buyat. Bahkan seorang anggota tim studi banding mengaku jujur bahwa mereka tak sampai di lokasi karena kemalaman di jalan dan langsung kembali ke Manado. “Kami tak sampai di lokasi tambang PT Newmont Minahasa Raya di Mesel atau Pantai Buyat yang selama ini diberitakan tercemar,” katanya.

Koalisi Jakarta untuk Tolak Tambang Lembata yang terdiri dari JPIC OFM Indonesia dan PADMA Indonesia juga mendapatkan informasi serupa. Tiga personil koalisi diterjunkan ke Desa Ratatotok Timur (Pantai Buyat), Ratatotok maupun Mesel pun mendapat kabar tak ada tim studi banding dari Lembata. Seorang karyawan ex NMR, Berty Pontoh, mengaku kalau ada kunjungan pihak luar mereka harus diberitahu untuk memfasilitasi selama kunjungan di ex NMR. “Nyanda (tidak) ada kunjungan tim dari Lembata di sini. Biasanya, kalau ada kunjungan kami pasti diberitahu,” kata Berty Pontoh.

Bahkan Wakil Ketua BPD Ratatotok Timur Jafar Sarundayang pun memastikan bahwa tak ada kunjungan. “Kalau ada kunjungan tim dari Lembata maka hukum tua (kepala desa) akan beritahu kami untuk hadir dan menerima mereka. Tapi benar tidak ada kunjungan,” kata Jafar Sarundayang. Tim yang mampir di kantor Bupati Minahasa Tenggara juga memastikan bahwa tidak ada kunjungan tim studi banding di lokasi ex NMR. “Kalau ada kunjungan berarti tercatat dalam buku tamu kami. Pada tanggal 9, 10 dan 11 tak ada kunjungan masyarakat Lembata di Ratatotok. Kalau ada tentu mampir juga di kantor sini karena kami sudah jadi kabupaten baru,” kata Decy di Ratahan, kota Kabupaten Minahasa Tenggara.

Rayu Pemilik Ulayat

Meski ditolak, Pemkab Lembata melalui pihak-pihak tertentu terus berusaha merayu dan pemilik ulayat untuk menyerahkan tanahnya. Pemilik ulayat dijanjikan anak-anak mereka diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Ada orang suruhan bupati menyerahkan uang Rp. 1 juta kepada Abu Samah di rumahnya. “Saya sedang mencari pengacara untuk menggugat mereka,” kata Abu Samah berang. Bahkan di hadapan Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri yang bertandang ke rumahnya, Abu bicara tegas. “Saya bilang sama Wakil, saya ini bukan pisang yang dijual di pasar. Apa maksud kamu kasih uang sama saya dan diselipkan dengan kartu nama bupati,” tanya Abu kepada Wakil Bupati.

Abu juga mengaku dirayu seorang wartawan sebuah mingguan yang terbit di Kupang. Wartawan itu melakukan negisiasi harga tanah ulayat sampai harga Rp. 10 miliar. Wartawan itu, konon mendapat fee Rp. 2.5 juta dari guna melobi Abu (Flores Pos, 31/10-7/11 2007).

Praktisi hukum asal Leragere, Lembata, Gabriel Suku Kotan, SH, M.Si meminta warga selalu waspada dengan berbagai siasat Pemkab Lembata mengadu domba warga yang telah sehati menolak. Apalagi, membuat seremoni adat guna menjaga lewotana, leu awuq (lewotana) dari kehancuran. Saat melakukan kunjungan pada Desember dan Januari lalu, warga tetap bertahan pada sikap penolakan atas rencana itu. “Nampaknya yang terjadi adalah pemutarbalikan informasi bahwa sebagian warga sudah menyetujui rencana tambang. Mereka (masyarakat) sudah melakukan sumpah adat menolak. Jadi, siapa yang berani mengambil resiko?” ujar Suku Kotan retoris.

FX Namang dari Keluarga Mahasiswa Lembata Jakarta menegaskan, sejak awal, rencana itu ditolak dan mestinya dipahami dengan bijak. Ia mempertanyakan, apa yang mau dicari. Rencana pertambangan yang konon bisa memakmurkan daerah menunjukkan kegagalan pemimpin selama Lembata jadi daerah otonomi enam tahun lebih. Rencana tambang hanya mengalihkan isu kegagalan pembangunan selama ini.

“Wajah Lewoleba saja tak pernah berubah. Belum lagi prasarana jalan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi ternyata tak tertangani dengan baik. Padahal, dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat nilainya sangat besar. Sedang di lain sisi korupsi merajalela. Ini situasi yang sangat membahayakan bagi kemajuan Lembata ke depan,” tandas Frans Namang. (Ansel Deri)

Sumber: Majalah TOMBOKILO, Maret 2008

Sunday, March 23, 2008

Penambangan Nikel di Kabaena Diprotes Warga

KENDARI, KOMPAS–Penambangan nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, diprotes warga Desa Dongkala. Mereka selain khawatir penambangan tersebut mengancam keberadaan mata air –sumber air minum bagi 1.115 penduduk– juga karena dana community development yang dijanjikan PT Billy Indonesia terlalu kecil, yakni Rp 1.000 per ton nikel yang dikapalkan.

Nilai dana community development itu berbeda jauh dari yang diberikan PT Aneka Tambang Tbk, badan usaha milik negara yang beroperasi di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), yakni Rp 18.000 per ton nikel yang dikapalkan.

Sejumlah warga Desa Dongkala dan sekitarnya, di Kecamatan Kabaena Timur, kepada Kompas, Minggu (23/3), mengatakan, beberapa bulan terakhir ini mereka sudah mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Amsir (32), anggota DPRD Bombana (Sultra), membenarkan fakta tersebut. ”Kekeringan atau menurunnya debit air secara drastis terjadi akibat penggalian nikel di daerah hulu,” ujarnya.

Dalam kaitan itu, akhir pekan lalu, Gubernur Sultra Nur Alam bersama Kepala Kepolisian Daerah Sultra Brigjen (Pol) Joko Satriyo meninjau penambangan tersebut. ”Saya mendapat laporan, terjadi kekeringan mata air akibat kegiatan penambangan ini. Potensi nikel di Kabaena memang harus kita olah tetapi tidak boleh mendatangkan masalah bagi rakyat. Sebaliknya, harus memberi kesejahteraan kepada warga,” katanya dalam tatap muka dengan warga.

Menurut Manajer Produksi PT Billy Indonesia Slamet Mudjiono, PT Billy Indonesia menambang nikel di Dongkala sejak Desember 2007. Bijih nikel itu diekspor langsung ke China. (YAS)

Sumber: KOMPAS, 24 Maret 2008