Friday, December 14, 2007

Jendela Lain Menengok Buyat Pante


BUYAT Pante hanya dusun kecil di sepotong Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Tempat ini mungkin tak akan pernah dikenal luas bila tak meledak jadi headline media massa dalam dan luar negeri pada medio Juli 2004.

Pemukiman nelayan yang berjarak sekitar 40 mil arah barat daya Manado ini pun sontak jadi isu panas yang melibatkan banyak pihak, yang jejaknya terasa hingga kini.

Perusahaan tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang beroperasi di Messel, Sulawesi Utara, dituding mencemari lingkungan perairan Teluk Buyat. Dan kematian Andini Lensun, seorang bayi berusia enam bulan, yang kedua orang tuanya adalah pemukim di Dusun Buyat Pante, mengangkat tudingan ini ke permukaan.

Sejak itu Buyat Pante diziarahi dengan prihatin. Jurnalis dalam dan luar negeri, aktivis LSM, pejabat pemerintah, politisi, dan bahkan masyarakat biasa menyambangi dusun ini. Potretnya disodorkan sebagai wajah yang murung dan guncang. Dan mereka yang dituduh sebagai penyebab terpaparnya penyakit pada masyarakat setempat di seret ke meja hijau.

Isu pencemaran Teluk Buyat sungguh dramatis atau bahkan memang sengaja didramatisir. Seorang jurnalis foto dari sebuah majalah terkenal di Jakarta pernah datang ke Manado dan bermaksud berkunjung ke Buyat Pante. Terhalangan kesibukannya, niat itu tak kesampaian.

Akhirnya, salah seorang warga dari dusun itu yang kebetulan berada di Manado diajak untuk dipotret di pantai yang ada di sepanjang Barat kota. Kenapa pantai? Untuk memunculkan kesan dramatis tentang korban yang menetap di pinggir perairan yang tercemar.

Barangkali yang membuat masyarakat Indonesia berpaling dan agak melupakan Buyat Pante adalah tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh. Namun, bukan berarti media massa beranjak dari menyoroti tempat ini. Buyat Pante dan isu pencemaran lingkungan yang menyertainya tetap memiliki daya pikat tersendiri. Tentu, dengan guratan nasib yang muram.

Gambaran itu juga yang kental pada buku fotografi dan puisi Denny Taroreh dan Jamal Rahman (sekaligus karya pertama mereka tentang Buyat Pante), Eksodus ke Tanah Harapan, yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2006. Masih segar dalam ingatan, pada 25 Juli 2005, oleh beberapa LSM sebagian pemukim di Buyat Pante diboyong pindah ke Duminanga, sebuah tempat di sisi lain ujung pulau Sulawesi yang berjarak lebih 300 km dari Teluk Buyat.

Saat itu Denny dan Jamal hadir dan giat menerkamkan jempretan kameranya ke setiap detil aktivitas warga setempat yang akan bertolak ke Duminanga --seperti menuju "tanah yang (mungkin) di(men)janjikan". Denny dan Jamal yang juga aktivis LSM, tentu saja, datang tak hanya dengan semangat seorang fotografer, melainkan aktivis lingkungan yang terhasut dan geram. Apalagi kunjungan mereka ketika itu adalah kali pertamanya.

Beberapa hasil jepretan Denny itu, dibumbui "sajak" Jamal, diterbitkan dalam Eksodus ke Tanah Harapan. Sayangnya, upaya pembukuannya terkesan asal jadi. Dan karena itu, dalam satu kesempatan saya pernah mengatakan pada Jamal, "Cara paling nyaman untuk menikmati buku ini adalah dengan merobek lembar per lembar." Buku itu pada akhirnya hanya nampak sebagai onggokan pamflet yang buram.

Berbeda dengan buku pertama, menyimak Buyat: Hari Terus Berdenyut (Banana, Maret 2007), tampak Denny Taroreh dan Jamal Rahman membawa kita pada nuansa lain tentang Buyat Pante. Muka lain dari pemukiman yang, barangkali, sebagian besarnya tak sempat kita pelototi dari tayangan televisi atau lembaran media cetak. Mereka tak lagi datang dengan semangat aktivis, tetapi pembanding yang mencoba bersikap obyektif. Hasilnya, harus diakui, lebih baik, jernih, dan serius dibanding dengan buku pertama. Pengantar oleh AS Laksana, sastrawan terbaik Tahun 2004 versi Tempo, bisa menjadi salah satu penanda keseriusan mereka.

Denny Taroreh, seorang aktivis di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, dan Jamal Rahman mantan aktivis Yayasan Lestari (LSM yang bergiat dalam kampanye penyelamatan lingkungan) yang alih profesi menjadi wartawan, tampaknya telah belajar membedakan apa yang disebut advokasi dan sekadar hasutan. Rentang waktu antara Juli 2005 dan Oktober 2006 (di mana keduanya datang dan bermukim bersama warga Buyat Pante), membuka mata mereka terhadap perspektif berbeda dari isu pencemaran Teluk Buyat.

Sejatinya, isu itu adalah kisah lama yang bermula pada 11 Agustus 1995, ketika sebuah koran lokal mempublikasi kedatangan 30 kepala keluarga (KK) pemukim Buyat Pante ke LBH Manado. Warga yang didampingi Walhi mengadukan bahwa perairan Teluk Buyat yang berhadapan dengan pemukiman mereka dicemari limbah tambang PT NMR.

Isu ini begulir hingga paruh 2000 lalu surut terlupakan. Tiba-tiba di tengah 2004 meledak lagi ketika sebuah media massa nasional menjadikan headline di halaman depannya dengan isu panas bahwa ada ''Minamata di Minahasa''.

Sayangnya tak ada jurnalis yang sungguh-sungguh pernah menapak-tilasi tuduhan tercemarnya Teluk Buyat. Andai itu dilakukan, rekam jejak isu ini bisa diwaspadai --sebagaimana yang diungkapkan AS Laksana --jangan-jangan hanyalah hasutan. Karna pada Agustus 2005, saat tuduhan pencemaran pertama kali dilontarkan, jangankan pipa tailing (pembuangan limbah), bahkan pabrik pemrosesan bahan tambang PT NMR pun masih berupa fondasi. PT NMR baru mulai berproduksi pada April 1996. Dari mana penduduk Buyat Pante menyimpulkan mereka tercemar limbah yang bahkan belum ada?

Namun oleh fotografer dan penulisnya buku ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam kelindang isu pencemaran Teluk Buyat. Buyat: Hari Terus Berdenyut lebih tepat disebut sebagai muka lain atau potret yang jarang disingkap tentang mereka yang memilih tetap bermukim di dusun yang diributkan. Gambaran yang lepas dari debat dan tengkar selama ini yang menyiratkan perbedaan pandangan tentang isu pencemaran. Debat yang sudah terlalu melelahkan untuk diikuti, sebab telah menjadi semacam pertengkaran masalah "teologis", penuh klaim, dan cenderung absurd.

Foto-foto yang ditampilkan Denny dan Jamal lebih bak rekaman wisata bagi mereka yang tak pernah menjejakkan kaki di dusun dengan bentang alam yang indah itu. Demikian juga dengan keseharian orang-orang yang memilih tetap tinggal di dusun tersebut. Bahwa di sana masih ada canda, denyut kehidupan yang biasa, dan impresi lain yang dilekatkan ke benak kita ketika datang berkunjung.

Semua hal yang lumrah yang bisa kita dapati juga di dusun serupa di tempat lain. Seperti kata AS Laksana dalam pengantarnya: "Ini hanyalah secuil upaya untuk mewakili ketidakhadiran kita --sebuah ikhtiar untuk meringkus jarak dan mendekatkan kita pada apa yang saat ini berlangsung di tanah yang pernah diributkan."

Setelah kepindahan ke Duminanga, bukan tak ada eks pemukim Buyat Pante yang kembali. Sebagian besar, memang, terus bertahan dengan "kepercayaan" yang kukuh sebagai korban. Mungkin, sesekali dihinggapi rindu terhadap dusun yang lama menjadi teman bercengkerama dengan handai-tolan; atau ''luka'' mengingat keintiman yang retak dengan kerabat.

Namun kacamata melihat persoalan yang melilit mereka telanjur hitam-putih. Mereka telah menarik garis demarkasi yang "tegas" dengan mereka yang dianggap "musuh". Kerinduan itu tinggal membuncah seperti orang-orang Israel yang berdiaspora yang senantiasa merindukan Bukit Zion.

Ahmad Alheid, Penggemar Buku
Sumber: Koran Tempo, edisi 30 Mei 2007

Tuesday, December 11, 2007

Tak Ada Gunanya Tambang di Lembata

Semarang-Pemangku adat Suku Amungtau yang berdiam di sekitar areal PT Freeport Indonesia (FI), Timika, Provinsi Papua, Diaz Gwijangge menegaskan, tidak ada gunanya mengijinkan sebuah perusahaan pertambangan beroperasi di Lembata, NTT karena pulau itu sangat kecil dan beresiko terhadap lingkungan hidup.

Diaz yang juga aktivis Lembaga Studi Advokasi dan Hak-hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua diminta tanggapannya terkait rencana PT Merukh Lembata Coopers (MLC), kelompok usaha Merukh Enterprise, melakukan kegiatan pertambangan di Lembata yang disetujui Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata namun ditolak keras masyarakat dan beberapa elemen, termasuk para pastor se-Dekanat Lembata.

“Kita lihat saja Papua. Pulau itu secara geografis sangat luas tetapi setelah PT Freeport Indonesia (PT FI) beroperasi sekian puluh tahun, limbahnya membuat tumbuhan rusak dan masyarakat sekitar areal pertambangan justru pindah dari tempat tinggal mereka,” ujar Diaz Gwijangge kepada FLORES POS di Hotel Patra Semarang, Jawa Tengah belum lama ini.

Kenyataan ini, ujar Diaz, sangat merugikan masyarakat sehingga ia menyarankan agar jika ada perusahaan yang berencana melakukan pertambangan di Lembata sebaiknya masyarakat adat atau komponen-komponen yang ada di sana menolak. Ini sangat penting karena jangan sampai Pulau Lembata menjadi Freeport kedua.

“Saya ini salah satu korban kekerasan ketika Freeport hadir di wilayah kami. Selama ini kami sudah berusaha mengadakan advokasi tetapi perusahaan begitu kuat karena bermain mata dengan pemerintah. Perusahaan menggunakan uang untuk membeli semua kekuatan sehingga perjuangan kami selama ini tak pernah digubris dan perusahaan beroperasi terus. Saya ingatkan agar jangan sampai hal ini dialami lagi oleh masyarakat Lembata,” tegas sarjana Antropologi jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Cendrawasi (Uncen) ini mengingatkan.

Diaz Gwijangge adalah salah satu korban yang ditabrak hingga cacat kakinya karena dianggap sebagai tokoh yang menentang PTFI dan pemerintah setempat. Ia menceritakan, banyak sanak familinya meninggal karena berjuang mempertahankan hak ulayat. Mereka malah dituding terlibat dalam gerakan separatis padahal ingin mempertahankan tanah ulayatnya.

Ia mengingatkan, DPRD Lembata mestinya bicara untuk menyuarakan penolakan masyarakat terhadap perusahaan pertambangan. DPRD semestinya menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat kepada perusahaan pertambangan yang berniat menanamkan investasinya di sana (Lembata).

“Di alam demokrasi saat ini, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal menjadi sangat penting. Hal itu juga menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Jangan membuat sebuah kebijakan investasi tanpa persetujuan pemangku ulayat dan masyarakat. Ini sangat berbahaya,” tegas Diaz.

Pemerintah Kabupaten Lembata dan masyarakat perlu banyak belajar dari sejarah kelam kehadiran perusahaan pertambangan di Papua. Kehadiran sebuah perusahaan pertambangan tak hanya mengambil emas, perak, tembaga, dan lain-lain tetapi masyarakat akan terancam mempertahankan hak-hak ulayatnya karena pendekatan represif menjadi sangat dominan.

“Saya pikir pengalaman perusahaan pertambangan di Papua dapat dijadikan cermin bagi Pemkab dan masyarakat Lembata dan di manapun di Indonesia ini. Masyarakat Lembata yang hidup dari bertani dan nelayan justru akan kehilangan mata pencahariannya. Mereka juga akan tercerabut dari akar budayanya dan menjadi orang asing di kampung sendiri. Ini tentu sangat menyakitkan,” ujarnya.

Janji Perusahaan

Sementara itu, pemangku ulayat lainnya di Timika Melkianus Kiwang mengingatkan agar masyarakat Lembata mewaspadahi janji-janji manis yang diumbar oleh perusahaan pertambangan. Ini penting karena jika sudah beberapa tahun beroperasi dan mengeruk banyak keuntungan dari tanah ulayat masyarakat maka masyarakat akan ditinggalkan dan tetap hidup dalam balutan kemiskinan.

“Tanah kami yang begitu luas, saat ini tak bisa kami harapkan lagi untuk menjadi sumber kehidupan. Nah, bagaimana jika hal itu terjadi di Pulau Lembata? Lambat laun masyarakat akan habis jika mengijinkan perusahaan tambang beroperasi di wilayah itu,” tandas Kiwang yang juga Wakil Ketua I Sinode Gereja Papua.

Ia menegaskan, masyarakat tentu tidak akan bertahan hidup di mana pun jika dipindahkan secara paksa oleh karena hadirnya sebuah perusahaan pertambangan. Masyarakat sudah hidup menyatu dengan alam dan lingkungannya walaupun dalam kesederhanaan. Namun, itu merupakan bagian kehidupan mereka.

“Ya, hari ini perusahaan menjanjikan banyak hal hanya karena ingin mengeruk emas dan kandungan lainnya. Tetapi, setelah itu masyarakat akan diusir secara paksa. Ini pengalaman kami sebagai pemangku ulayat di areal Freeport. Sampai saat ini kami merasa bahwa hak ulayat kami diambil namun kami tidak pernah diperhatikan. Dulu kami banyak dijanjikan tetapi sampai dengan hari ini kami tidak pernah dapat apa-apa. Kalau masyarakat Lembata masih memikirkan bahwa mereka punya generasi berikut maka sebaiknya menolak tegas kehadiran perusahaan pertambangan,” ujarnya.
Ansel Deri
Sumber: harian Flores Pos edisi 11 Desember 2007

Sunday, December 9, 2007

Kebingungan Klerus di Era Otonomi Daerah

Ada dua kejadian menarik akhir-akhir ini di daratan Flores-Lembata. Pertama, sikap diam Uskup Larantuka terkait rencana tambang di Lembata. Dalam sebuah kesempatan acara di Lembata beberapa waktu lalu, masyarakat bertanya tentang pendapat Uskup terkait rencana pertambangan. Uskup hanya mengatakan, tidak punya kompetensi tentang pertambangan. Perkataan Uskup ini sama artinya dengan sikap diam. Kedua, penolakan masyarakat di area bakal tambang terhadap Tim Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka yang menawarkan diri sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Dua kejadian tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis untuk masuk dalam sebuah persoalan yang muncul di berbagai Keuskupan di Indonesia, yakni kebingungan klerus (uskup, imam, dan diakon) di era otonomi daerah. Terkait hal ini, tulisan ini mencoba menyoroti dua hal penting. Pertama, peran penting klerus berdasarkan prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kedua, kebingungan klerus di era otonomi daerah.
Prinsip dasar
Prinsip universal yang dirumuskan dalam hampir semua dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah keberpihakkan pada masyarakat kecil dan tertindas. Keberpihakkan itu dalam bahasa ASG disebut “Pilihan Mengutamakan Orang Miskin” (Preferensial Option for the Poor). Kalimat pendek itu mengandaikan bahwa yang membuat dan memutuskan pilihan adalah komunitas atau orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal pendidikan, hati nurani yang tulus, semangat berbela rasa, memadai secara ekonomi, punya akses kepada pengambil kebijakan, dan sanggup mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.
Prinsip keberpihakkan di atas mencakup semua aspek kehidupan di dunia ini karena manusia adalah makhluk konkrit dengan locus hidup di dunia. Maka keberpihakkan pada orang miskin sebagai supaya perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah tidak semata-mata suatu peristiwa dan situasi eskatologis (hidup sesudah mati) tetapi juga merupakan peristiwa sosiologis, ekologis, antropologis, dan ekonomis. Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah hic et nunc, kini dan di sini (dimulai dari sekarang dan di dunia ini).
Pertanyaannya adalah apa itu Kerajaan Allah? Atau lebih tepat, apa ciri-ciri dari orang yang berada dalam situasi Kerajaan Allah di dunia ini? Ciri-cirinya adalah hak-hak dasar (asasi) manusia (masyarakat) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologis terpenuhi penuhi. Bila yang terjadi adalah hak-hak dasar tersebut tidak terpenuhi, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang tidak adil, hak-hak masyarakat adat yang diabaikan, perilaku koruptif para pengambil dan pelaksana kebijakan, maka kondisi seperti itu bukan tanda Kerajaan Allah. Bahasa teologis yang tepat untuk kondisi seperti itu adalah dosa.
Bila dosa itu dilakukan oleh sistem pemerintahan negara dengan segala unsur turunannya (provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun, RT/RW) maka Gereja Katolik terutama klerus, harus berpihak pada para korban. Keberpihakkan klerus itu berpijak pada prinsip dasar ASG yakni preferensial option for the poor. Terhadap segala bentuk dan situasi nir (ketiadaan) Kerajaan Allah, tidak ada tawar menawar dengan penjahat yang adalah pelakunya.
Dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita tarik ke konteks hidup masyarakat konkrit. Kita ambil contoh di Keuskupan Larantuka yang meliputi Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Yang terjadi di Keuskupan Larantuka adalah fakta-fakta ini: sampai saat ini masyarakat masih tetap hidup dalam taraf kemiskinan yang parah. Rawan pangan masih menjadi peristiwa berulang setiap tahun, TKI ilegal masih banyak berasal dari daerah ini, pemerintah daerah korup (contoh kasus: indikasi korupsi Pemkab Lembata sampai sekarang masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan dugaan korupsi mantan Bupati Flotim yang sekarang sedang diproses di KPK), serta masih banyak lagi fakta pilu lain. Fakta-fakta itu merupakan bentuk nyata kondisi dosa dan ketiadaan Kerajaan Allah.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dilakukan para klerus (uskup dan para imam) berhadapan dengan kondisi dosa seperti itu? Pertanyaan itu dikerucutkan lagi, apa yang harus dilakukan para klerus ketika berhadapan dengan para pelaku pemerintah daerah yang korup?
Kebingungan klerus
Pertanyaan-pertanyaan itu mari kita tempatkan dalam era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, pemerintah Kabupaten mempunyai wewenang yang diatur dalam UU Otonomi Daerah untuk mengatur keuangan daerah atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keuangan daerah di peroleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak, retribusi, sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK bersumber dari negara melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wewenang mengelola keuangan daerah ini menempatkan kabupaten menjadi lumbung uang. Wewenang itu merupakan salah satu keberuntungan dari otonomi daerah yang dinikmati Pemkab.
Di sisi lain, Gereja Lokal (Keuskupan) harus berusaha mandiri baik dalam reksa pastoral maupun dana. Dana merupakan hal krusial (penting). Dana dipakai untuk biaya operasional reksa pastoral dan biaya-biaya rutin lain. Dari mana dana Gereja Lokal (Keuskupan)? Dana diperoleh dari bantuan Kepausan dan donatur-donatur dari luar keuskupan. Keuskupan juga harus mencari dana lokal melalui iuran wajib umat. Tetapi dana dari sumber-sumber itu belum tentu bisa menutup seluruh kebutuhan dan keperluan Keuskupan, terutama Keuskupan yang sumber dana lokal sangat terbatas.
Dalam kondisi Keuskupan seperti itu, sering kali Pemerintah Kabupaten masuk dan memberi bantuan (subsidi) kepada Keuskupan. Bisa berupa uang atau barang. Karena dengan motivasi mendukung reksa pastoral Keuskupan, maka para klerus tentu tidak menampik bantuan itu. Pada titik inilah pemimpin Gereja Lokal berada pada posisi dilematis. Para klerus sering kali bingung. Apakah bersikap kritis terhadap pemerintah kabupaten yang korup atau berselingkuh dengan pemerintah supaya subsidi bisa lancar. Hal yang kedua inilah yang mempunyai peluang paling besar. Ada kecenderungan yang sangat kuat dan kasat mata bahwa di era otonomi daerah, para pemimpin (klerus) Gereja Lokal bukan lagi sebagai pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat) melainkan sebagai klerus pemburu rente (uang).
Otonomi daerah yang menciptakan kesempatan bagi Pemkab untuk menjadi lumbung uang, di satu sisi. Gereja lokal (Keuskupan) harus mandiri dalam hal dana, di sisi lain. Memang dua sisi yang jauh berbeda. Tetapi dua sisi itu sering kali bertemu dan memungkinkan aparat Pemkab dan klerus berselingkuh. Kalaupun klerus bersikap kritis, paling-paling hanya menjadi mediator sepihak. Maka benarlah pepatah kuno, “Kerbau berkelahi atau bercumbu, rumput tetap terinjak-injak.” Aparat Pemkab dan klerus berkelahi atau bercinta, umat (masyarakat) tetap saja menderita.
Alexander Aur, Putra Lembata dan wartawan tinggal di Jakarta
Sumber: harian FLORES POS Ende edisi 6 Desember 2007