BUYAT Pante hanya dusun kecil di sepotong Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Tempat ini mungkin tak akan pernah dikenal luas bila tak meledak jadi headline media massa dalam dan luar negeri pada medio Juli 2004.
Pemukiman nelayan yang berjarak sekitar 40 mil arah barat daya Manado ini pun sontak jadi isu panas yang melibatkan banyak pihak, yang jejaknya terasa hingga kini.
Perusahaan tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang beroperasi di Messel, Sulawesi Utara, dituding mencemari lingkungan perairan Teluk Buyat. Dan kematian Andini Lensun, seorang bayi berusia enam bulan, yang kedua orang tuanya adalah pemukim di Dusun Buyat Pante, mengangkat tudingan ini ke permukaan.
Sejak itu Buyat Pante diziarahi dengan prihatin. Jurnalis dalam dan luar negeri, aktivis LSM, pejabat pemerintah, politisi, dan bahkan masyarakat biasa menyambangi dusun ini. Potretnya disodorkan sebagai wajah yang murung dan guncang. Dan mereka yang dituduh sebagai penyebab terpaparnya penyakit pada masyarakat setempat di seret ke meja hijau.
Isu pencemaran Teluk Buyat sungguh dramatis atau bahkan memang sengaja didramatisir. Seorang jurnalis foto dari sebuah majalah terkenal di Jakarta pernah datang ke Manado dan bermaksud berkunjung ke Buyat Pante. Terhalangan kesibukannya, niat itu tak kesampaian.
Akhirnya, salah seorang warga dari dusun itu yang kebetulan berada di Manado diajak untuk dipotret di pantai yang ada di sepanjang Barat kota. Kenapa pantai? Untuk memunculkan kesan dramatis tentang korban yang menetap di pinggir perairan yang tercemar.
Barangkali yang membuat masyarakat Indonesia berpaling dan agak melupakan Buyat Pante adalah tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh. Namun, bukan berarti media massa beranjak dari menyoroti tempat ini. Buyat Pante dan isu pencemaran lingkungan yang menyertainya tetap memiliki daya pikat tersendiri. Tentu, dengan guratan nasib yang muram.
Gambaran itu juga yang kental pada buku fotografi dan puisi Denny Taroreh dan Jamal Rahman (sekaligus karya pertama mereka tentang Buyat Pante), Eksodus ke Tanah Harapan, yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2006. Masih segar dalam ingatan, pada 25 Juli 2005, oleh beberapa LSM sebagian pemukim di Buyat Pante diboyong pindah ke Duminanga, sebuah tempat di sisi lain ujung pulau Sulawesi yang berjarak lebih 300 km dari Teluk Buyat.
Saat itu Denny dan Jamal hadir dan giat menerkamkan jempretan kameranya ke setiap detil aktivitas warga setempat yang akan bertolak ke Duminanga --seperti menuju "tanah yang (mungkin) di(men)janjikan". Denny dan Jamal yang juga aktivis LSM, tentu saja, datang tak hanya dengan semangat seorang fotografer, melainkan aktivis lingkungan yang terhasut dan geram. Apalagi kunjungan mereka ketika itu adalah kali pertamanya.
Beberapa hasil jepretan Denny itu, dibumbui "sajak" Jamal, diterbitkan dalam Eksodus ke Tanah Harapan. Sayangnya, upaya pembukuannya terkesan asal jadi. Dan karena itu, dalam satu kesempatan saya pernah mengatakan pada Jamal, "Cara paling nyaman untuk menikmati buku ini adalah dengan merobek lembar per lembar." Buku itu pada akhirnya hanya nampak sebagai onggokan pamflet yang buram.
Berbeda dengan buku pertama, menyimak Buyat: Hari Terus Berdenyut (Banana, Maret 2007), tampak Denny Taroreh dan Jamal Rahman membawa kita pada nuansa lain tentang Buyat Pante. Muka lain dari pemukiman yang, barangkali, sebagian besarnya tak sempat kita pelototi dari tayangan televisi atau lembaran media cetak. Mereka tak lagi datang dengan semangat aktivis, tetapi pembanding yang mencoba bersikap obyektif. Hasilnya, harus diakui, lebih baik, jernih, dan serius dibanding dengan buku pertama. Pengantar oleh AS Laksana, sastrawan terbaik Tahun 2004 versi Tempo, bisa menjadi salah satu penanda keseriusan mereka.
Denny Taroreh, seorang aktivis di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, dan Jamal Rahman mantan aktivis Yayasan Lestari (LSM yang bergiat dalam kampanye penyelamatan lingkungan) yang alih profesi menjadi wartawan, tampaknya telah belajar membedakan apa yang disebut advokasi dan sekadar hasutan. Rentang waktu antara Juli 2005 dan Oktober 2006 (di mana keduanya datang dan bermukim bersama warga Buyat Pante), membuka mata mereka terhadap perspektif berbeda dari isu pencemaran Teluk Buyat.
Sejatinya, isu itu adalah kisah lama yang bermula pada 11 Agustus 1995, ketika sebuah koran lokal mempublikasi kedatangan 30 kepala keluarga (KK) pemukim Buyat Pante ke LBH Manado. Warga yang didampingi Walhi mengadukan bahwa perairan Teluk Buyat yang berhadapan dengan pemukiman mereka dicemari limbah tambang PT NMR.
Isu ini begulir hingga paruh 2000 lalu surut terlupakan. Tiba-tiba di tengah 2004 meledak lagi ketika sebuah media massa nasional menjadikan headline di halaman depannya dengan isu panas bahwa ada ''Minamata di Minahasa''.
Sayangnya tak ada jurnalis yang sungguh-sungguh pernah menapak-tilasi tuduhan tercemarnya Teluk Buyat. Andai itu dilakukan, rekam jejak isu ini bisa diwaspadai --sebagaimana yang diungkapkan AS Laksana --jangan-jangan hanyalah hasutan. Karna pada Agustus 2005, saat tuduhan pencemaran pertama kali dilontarkan, jangankan pipa tailing (pembuangan limbah), bahkan pabrik pemrosesan bahan tambang PT NMR pun masih berupa fondasi. PT NMR baru mulai berproduksi pada April 1996. Dari mana penduduk Buyat Pante menyimpulkan mereka tercemar limbah yang bahkan belum ada?
Namun oleh fotografer dan penulisnya buku ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam kelindang isu pencemaran Teluk Buyat. Buyat: Hari Terus Berdenyut lebih tepat disebut sebagai muka lain atau potret yang jarang disingkap tentang mereka yang memilih tetap bermukim di dusun yang diributkan. Gambaran yang lepas dari debat dan tengkar selama ini yang menyiratkan perbedaan pandangan tentang isu pencemaran. Debat yang sudah terlalu melelahkan untuk diikuti, sebab telah menjadi semacam pertengkaran masalah "teologis", penuh klaim, dan cenderung absurd.
Foto-foto yang ditampilkan Denny dan Jamal lebih bak rekaman wisata bagi mereka yang tak pernah menjejakkan kaki di dusun dengan bentang alam yang indah itu. Demikian juga dengan keseharian orang-orang yang memilih tetap tinggal di dusun tersebut. Bahwa di sana masih ada canda, denyut kehidupan yang biasa, dan impresi lain yang dilekatkan ke benak kita ketika datang berkunjung.
Semua hal yang lumrah yang bisa kita dapati juga di dusun serupa di tempat lain. Seperti kata AS Laksana dalam pengantarnya: "Ini hanyalah secuil upaya untuk mewakili ketidakhadiran kita --sebuah ikhtiar untuk meringkus jarak dan mendekatkan kita pada apa yang saat ini berlangsung di tanah yang pernah diributkan."
Setelah kepindahan ke Duminanga, bukan tak ada eks pemukim Buyat Pante yang kembali. Sebagian besar, memang, terus bertahan dengan "kepercayaan" yang kukuh sebagai korban. Mungkin, sesekali dihinggapi rindu terhadap dusun yang lama menjadi teman bercengkerama dengan handai-tolan; atau ''luka'' mengingat keintiman yang retak dengan kerabat.
Namun kacamata melihat persoalan yang melilit mereka telanjur hitam-putih. Mereka telah menarik garis demarkasi yang "tegas" dengan mereka yang dianggap "musuh". Kerinduan itu tinggal membuncah seperti orang-orang Israel yang berdiaspora yang senantiasa merindukan Bukit Zion.
Ahmad Alheid, Penggemar Buku
Sumber: Koran Tempo, edisi 30 Mei 2007