Wednesday, March 5, 2008

Lembata Berpotensi Tenggelam

Jakarta–Setelah membaca peta rencana tambang oleh calon investor kelompok usaha Merukh Enterprises maka dikhawatirkan Pulau Lembata berpotensi musnah atau tenggelam. Apalagi, hampir seluruh wilayah pulau dan sebagian besar perairan pesisir Lembata diklaim sebagai wilayah tambang.

“Pulau sekecil itu menjadi sangat berharga dan sesungguhnya harus dipertahankan masyarakat Lembata,” ujar ahli pertambangan dan energi Indonesia Dr Hendro Sangkoyo saat berlangsung diskusi panel di Gedung Jakarta Media Center (JMC) Kebon Sirih, Jakarta Pusat Sabtu (1/3) lalu. Diskusi bertema Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik Usaha-Usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata, NTT Terhadap Industri Pertambangan diselenggarakan atas kerja sama JPIC-OFM, JPIC SVD Ende, dan masyarakat Lembata didukung Institute for Ecosoc Right, harian KOMPAS, dan Parrhesia Institute.

Panel dihadiri sejumlah perwakilan organisasi, masyarakat NTT dari berbagai wilayah di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) dan perwakilan masyarakat NTT di Yogyakarta. Tampak hadir Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Tommy Jebatu, Ketua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Natalis Situmorang, Ketua Keluarga Besar Mahasiswa Lembata (KBML) Jakarta Justin Bala Labaona, dan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Tampak pula sejumlah sesepuh masyarakat Lembata seperti Anton Enga Tifaona, Petrus Boli Warat, Josep Pattyona, Albert Oleona dan lain-lain. Tampak pula sejumlah imam seperti Provinsial OFM Indonesia Pastor Paskalis Bruno Syukur, OFM, Pastor Gabriel Maing, OFM, dan Pastor Joseph Peleba Tolok, OFM.

Dalam pemaparan berjudul Lembata sebagai ruang hidup bersama, Sangkoyo menelaah tiga hal penting. Pertama, bagaimana rencana pembongkaran perut Lembata. Kedua, mengapa rakyat Lembata menolak. Ketiga, bagaimana mengurus pemulihan kehidupan.

Menurut Sangkoyo, jejak pengusaha Yusuf Merukh ada di mana-mana di kepulauan di Republik ini namun selalu menyisahkan persoalan buram terhadap masyarakat dan lingkungan. Sangkoyo mengisahkan, dua bulan lalu pihaknya baru kembali dari Aceh. Di Aceh Merukh mendapat satu konsesi tambang di Sungai Woyla. “Saya mendapat informasi bahwa kapalnya menabrak jembatan milik pemda dan Merukh disuruh memberikan ganti rugi sebesar Rp. 3 miliar. Oleh karena tidak mau bayar maka diusir dari Aceh dan perusahaannya pindah tangan,” kata Sangkoyo.

Ahli pertambangan dan energi ini sekadar memberi contoh kecil bahwa di mana-mana di Indonesia jika ada kesempatan Merukh akan masuk. Sepuluh tahun lalu, jelas Sangkoyo, mencuat skandal Busang di Kalimantan antara perusahaan milik Yusuf Merukh dengan pihak Kanada yang ternyata hanya pepesan kosong. “Mengapa hanya pepesan kosong karena yang terpenting adalah putaran uangnya. Jadi antara finansir, calo, rentenir, itu yang diurus. Kalau tidak beres maka ia akan menyerahkan kepada orang lain untuk mengurusnya,” lanjut Sangkoyo.

Begtu pula PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Hingga kini, masih menyisahkan persoalan yang besar sekali. Bahkan saat ini ada penelitian baru yang dilakukan sejumlah ahli di Jepang dengan menggunakan cara yang lebih canggih. Hasil Penelitian itu membuktikan bahwa ternyata ada sisa-sisa racun arsenik di tubuh korban. “Ini juga ulah Merukh. Jadi, yang buka pintu (masuk ke suatu wilayah-Red) dan bersih-bersih adalah Jusuf Merukh. Di NTB, sampai sekarang aktivis LSM Olah Hidup Yani Sagaroa masih mendekam di penjara karena ia terus-menerus menemani dan mempertanyakan persoalan lingkungan yang diklaim sudah beres,” jelas Sangkoyo.

Ia juga heran dengan hasil studi banding rombongan Pemerintah Kabupaten, DPRD, dan masyarakat Lembata di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), NTB di Batu Hijau menyebutkan bahwa gross domestic product daerah setempat (NTB) naik. Begitu pula income per kapitanya naik, dan lain sebagainya.

Hanya Broker

Peneliti yang juga aktivis HAM Dr George Junus Aditjondro mengatakan, Yusuf Merukh hanyalah seorang broker karena ia sendiri tidak mengurusi perusahaan tambangnya. Bahkan George juga mengatakan, dalam konflik internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Merukh juga ikut bermain.

Menurutnya, Merukh adalah orang yang hanya mengumpulkan saham sekalipun minoritas dari sekian banyak perusahaan kontrak karya (KK) tambang emas sehingga ia tentu seorang broker. Sekarang, katanya, tentu muncul pertanyaan. Apakah ia (Merukh) beroperasi sendiri atau atas nama orang lain?

“Dugaan saya dan itu kaitannya dengan terbentuknya Kabupaten Lembata. Walaupun, misalnya orang-orang yang memperjuangkan Lembata jadi kabupaten tak mengeluarkan uang sepeser pun. Tetapi upaya menggolkan kabupaten itu (Lembata) ke DPR RI dan Depdagri memerlukan dana. Nah, siapa yang menyandang dana itu? Ya, mungkin saja Yusuf Merukh atau orang-orang lain juga. Masyarakat pro maupun anti investasi pertambangan di Lembata lebih banyak melakukan sosialisasi. Masyarakat juga harus menjadi payung sekaligus penyeimbang jika dimainkan lewat jalur SARA. Kesaksian Abu Samah (pemangku ulayat Puakoyong) menunjukkan bahwa dia mengerti ada usaha memainkan rencana tambang lewat SARA tetapi ia bisa menetralisirnya,” kata staf pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.

Alasan penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang oleh pengusaha Yusuf Merukh karena masih ada alternatif lain di luar pertambangan. Selama ini masyarakat tidak hidup dari emas tetapi dari hasil pertanian dan laut. Pertambangan hanya akan menghancurkan tanah, lahan pertanian, dan merusak ekosistem laut. “Masyarakat juga telah banyak belajar dari industri pertambangan di Atanila dan Tanah Merah di Kedang yang telah merusak mata air dan sumber penghidupan mereka,” kata Dr Peter C Aman, Direktur JPIC-OFM Indonesia.

Selain Sangkoyo dan George, pada sesi kedua tampil juga dosen Unika Atmajaya yang praktisi hukum pertambangan Edy Danggur SH, MH dan Direktur Parrhesia Institute yang juga staf pengajar Ilmu Politik UI Boni Hargens.


Mainkan Sentimen Publik


Tokoh muda Lembata di Jakarta Ferdinand Amajari Lamak melihat, saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata sedang memolitisir isu tambang dengan memainkan sentimen publik terkait otonomi Lembata. Hal ini, tampak jelas dari pernyataan Bupati Andreas Duli Manuk yang mengindikasikan bahwa otonomi Lembata sedang dievaluasi Pemerintah Pusat.

“Memang benar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah bertemu Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita akhir Januari lalu. Mereka juga sudah sepakat dengan DPR untuk menghentikan sementara pemekaran wilayah. Evaluasi atas wilayah-wilayah yang dimekarkan jelas ada. Demikian juga dengan kemungkinan penggabungan kembali. Tetapi SBY sendiri kan mengatakan bahwa keputusan untuk menggabungkan kembali daerah yang dimekarkan tidak serta merta dilakukan dengan cepat,” kata Edie Lamak kepada FLORES POS di sela-sela diskusi. Dikatakan, saat itu SBY mengatakan bahwa penggabungan kembali itu memang dimungkinkan tetapi tidak boleh terlalu cepat. Artinya, setelah dinilai negatif langsung digabungkan, tetapi dilihat terlebih dahulu mengapanya.

“Saya menilai Pemkab Lembata tengah memolitisir kasus tambang. Hal ini terbukti dari statemen Bupati Manuk yang secara gamblang mengatakan Lembata dimekarkan dari kabupaten induk Flores Timur menjadi daerah otonom sedang dievaluasi pemerintah pusat. Nampaknya ada skenario untuk menakut-nakuti rakyat Lembata, kalau tidak ingin kembali bergabung dengan Flotim, maka tambang harus jalan supaya PAD naik dan Lembata dianggap berhasil dari sisi kemandirian secara ekonomi. Kan begitu sasaran tembak Pemkab Lembata. Seolah-olah jika rencana tambang ini batal maka Lembata akan bergabung kembali dengan Flotim. Ini upaya politisasi yang sudah melampaui batas,” tegas Edie Lamak, Pemimpin Redaksi BISNIS PROPERTI Jakarta.

Ia justru mempertanyakan, teori siapa yang mengatakan bahwa PAD Lembata akan serta merta naik jika investasi tambang terlaksana. Pemkab Lembata silau dengan iming-iming lonjakan PAD tanpa mempertimbangkan bahwa pada saat PAD melonjak, maka elemen cost of economy dan social cost yang harus ditanggung pemda dan rakyat. Baik yang tangible maupun intangible (terlihat maupun tidak terlihat) pun akan melonjak bersamaan dengan investasi itu.

“Masyarakat Lembata sebaiknya jangan termakan dengan isu penggabungan kembali Lembata ke Flotim jika tambang ini tidak dilaksanakan. Justru, pola kerja dan salah urus kabupaten yang selama ini dipertontonkan secara telanjang dan vulgar, yang saat ini dirasakan masyarakat setiap hari itulah yang telah membuat PAD Lembata hanya bertengger di angka Rp 9.6 miliar,” lanjut sarjana ekonomi jebolan Universitas Persada Indonesia (UPI) Jakarta ini.

Ia mengimbau agar lebih bijak Bupati dan DPRD Lembata berkonsentrasi dulu untuk menuntaskan simpang siur berita soal uang Rp 12 miliar yang 'lenyap' secara ajaib dari rekening bank Pemda Lembata. Apalagi, berdasarkan berita yang beredar di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berdasarkan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari 12 rekening, 9 di antaranya atas nama Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk.

“Jangan-jangan persoalan tambang ini akan berhenti dibicarakan bukan karena Lembata kembali ke pelukan induknya, Flotim tetapi justru karena bencana besar yang ditimbulkan oleh Rp12 miliar yang raib secara ajaib itu. Sepatutnya, rakyat Lembata sudah harus mulai menghentikan sikap tak acuh terhadap berbagai macam penyelewengan hak-hak publik yang dilakukan oleh penguasa,” lanjut Edie. Selain Sangkoyo dan George, pada sesi kedua tampil juga dosen Unika Atmajaya yang praktisi hukum pertambangan Edy Danggur SH, MH dan Direktur Parrhesia Institute yang juga staf pengajar Ilmu Politik UI Boni Hargens. (Ansel Deri)

Sumber: FLORES POS Ende,6 Maret 2008

Distamben NTB Kaji Peluang Retribusi `Tailing" Newmont

Mataram–Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah mengkaji peluang retribusi dari aktivitas pembuangan limbah tambang (tailing) PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di palung laut Teluk Senunu, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).

"Dalam proses pengkajian kami berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk manajemen Newmont agar tidak menyalahi aturan yang berlaku," kata Kasubdin Pertambangan Umum Distamben NTB, M. Husni, di Mataram, Rabu.

Dikatakannya, para wakil rakyat di DPRD NTB menghendaki pendapatan daerah dari aktivitas pembuangan limbah perusahaan tambang emas dan tembaga di Pulau Sumbawa itu.

Keinginan tersebut telah dikoordinasikan dengan Distamben NTB hingga dilakukan pengkajian dari berbagai aspek, termasuk dampak yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah tambang itu.

"Kami mencoba mengakomodir keinginan DPRD NTB terkait pembuangan limbah konsentrat itu, namun perlu dipahami bahwa penarikan retribusi `tailing` rentan masalah karena berkaitan dengan ijin usaha penambangan dan perijinan lainnya," ujarnya.

Husni mengaku pesimis retribusi pembuangan `tailing` Newmont yang menjadi kehendak DPRD NTB itu dapat direalisasi, karena erat kaitannya dengan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam aktivitas pembuangan limbah tambang itu.

Sejauh ini, hanya pihak Newmont yang terlibat dalam aktivitas pembuangan `tailing` itu, Pemerintah Provinsi NTB dan KSB hanya menjalankan fungsi koordinasi, terutama jika mencuat persoalan yang ada hubungannya dengan masyarakat.

"Kalau dipaksakan retribusi `tailing` itu, maka akan ada konsekuensi bagi pemerintah daerah. Itu yang harus dipertimbangkan, bukan hanya mengacu kepada upaya peningkatan PAD lalu pertimbangan lain terabaikan," ujarnya.

PT NNT juga telah merealisasikan kewajibannya dalam mendukung pendapatan daerah, antara lain pungutan administrasi umum, sewa air permukaan dan pajak kendaraan bermotor, imbuhnya.

Pungutan administrasi umum yang sudah diberikan Newmont kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah sejak usaha penambangan tahun 1999 telah mencapai Rp 1,91 miliar lebih, kepada Kabupaten Sumbawa sebesar Rp 2,29 miliar lebih.

Biaya sewa air permukaan yang disetor Newmont ke kas negara sampai tahun 2007 telah mencapai Rp 5,6 miliar.

"Khusus pajak kendaraan bermotor/alat berat baru direalisasi dalam tahun 2007 yang diberikan kepada Pemerintah NTB telah lebih dari Rp 30 miliar. Itu bagian dari PAD," ujar Husni.

Sumber: ANTARA, 5 Maret 2008

Pemerintah dan Newmont Siapkan Arbiter

Jakarta-Pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menyiapkan para arbiternya dalam persidangan arbitrase yang digelar dalam waktu dekat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa pemerintah menyiapkan arbiter, Newmont juga akan menunjuk arbiternya.

"Kedua belah pihak juga akan memutuskan bersama siapa arbiternya," katanya.

Pemerintah telah menunjuk arbiternya, yakni pakar hukum dari National University of Singapore (NUS), Prof M. Sornarajah.

Sementara itu, usai bertemu Purnomo, juru bicara NNT, Martiono Hadianto, mengatakan bahwa pihaknya memiliki waktu selama 30 hari guna menentukan arbiter dan tempat pelaksanaan pengadilan arbitrase.

Pemerintah sudah menentukan tempat pengadilan arbitrase berlangsung di Jakarta.

Meski berlangsung di Jakarta, arbitrase tetap menggunakan peraturan-peraturan konsiliasi sesuai Uncitral (Arbitration Rules of the United Nations Commision on International Trade Law).

Purnomo mengatakan, apabila arbitrase memutuskan Newmont lalai, maka Newmont harus mengoreksi kelalaiannya.

Selanjutnya, jika pengadilan menyatakan kontrak Newmont bisa diputus, maka pemerintah akan memutus kontrak tersebut.

Namun, sebaliknya apabila Newmont dinyatakan tidak lalai, maka kontrak dan proses divestasi tetap berlanjut.

Purnomo juga menambahkan, pemerintah mengambil langkah arbitrase karena Newmont tidak melaksanakan kewajiban divestasi yakni tiga persen saham tahun 2006 dan tujuh persen saham divestasi tahun 2007.

Menurut dia, pemerintah tidak ingin saham divestasi itu terakumulasi seperti halnya PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Sesuai kontrak karya, Newmont berkewajiban mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pihak nasional yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan nasional sampai tahun 2010.

Sumber: ANTARA, 4 Maret 2008

Siti Maemunah: Rencana Tambang Lembata Layak Ditolak

Jakarta-Rencana Pemerintahn Kabupaten (Pemkab) Lembata mengijinkan tambang oleh Merukh Enterprises layak ditolak masyarakat Lembata. Pasalnya, tambang merupakan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak dasyat bagi masyarakat dan lingkungan.

“Semua orang tahu, bahwa pertambangan merupakan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak begitu dasyat bagi manusia dan lingkungan. Apalagi, Lembata merupakan pulau yang teramat kecil dan berpotensi rusak akibat pertambangan,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemumah kepada FLORES POS di Jakarta, Rabu (27/2) kemarin.

Menurut Siti, seharusnya Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata belajar dari kasus-kasus penderitaan masyarakat dan lingkungan akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan pertambangan. Selain itu, Bupati dan DPRD setempat perlu mewaspadai upaya-upaya investor yang mengalihkan Kuasa Pertambangan (KK) menjadi Kontrak Karya dalam kasus rencana tambang di hampir seluruh wilayah Lembata.

“Saya melihat, pihak Merukh Enterprises mengusulkan hal-hal yang tidak masuk di akal dari Kuasa Pertambangan menjadi Kontrak Karya. Ini justru menimbulkan persoalan bagi Pemda dan masyarakat Lembata di kemudian hari. Saya sempat berada di Kedang dan beberapa wilayah di Lebatukan. Hampir seluruh masyarakat tegas menolak kehadiran perusahaan pertambangan. Saya salut karena mereka masih memegang teguh kearifan lokal yang diwariskan leluhurnya. Jadi mengapa rencana itu harus dipaksakan?” kata Siti retoris.

Siti yang juga pemerhati dan penulis artikel kemanusiaan dan pertambangan merasa heran dengan janji-janji yang ditawarkan perusahaan pertambangan Merukh Enterprises yang berniat memindahkan masyarakat di lokasi prospek tambang ke tempat lain di wilayah Lembata. Begitu juga rencana membangun apartemen lengkap dengan fasilitasnya bagi para pemangku ulayat. “Hal ini sangat aneh. Tak mungkin petani Leragere mau tinggal di apartemen,” ujarnya.

Pada bagian lain, jika Bupati dan DPRD memaksakan diri menerima investor itu maka justru mereka tengah mewariskan masalah lingkungan dan kemausiaan lainnya di Lembata kepada pemimpin berikutnya. Apalagi, hampir semua wilayah di Lembata ditengarai sudah masuk areal konsesi Merukh Enterprises. “Mestinya Bupati dan DPRD menghargai penolakan masyarakatnya. Jangan sampai terjadi pemaksaan kehendak,” lanjut Siti.


Tak Kaya dengan Tambang

Menanggapi rencana tambang di Lembata, Sekretaris Jenderal (Sekjen) BUMN Watch Konradus Danggur, SH, MH menegaskan, Bupati dan DPRD harus lebih berpihak kepada masyarakat yang selama ini menyuarakan aspirasi penolakannya. Penolakan masyarakat mengandaikan bahwa mereka semakin cerdas melihat mana investasi yang bertujuan mensejahterakan mereka.

“Banyak pengalaman membuktikan, tambang tidak pernah membuat masyarakat di sekitar menjadi kaya. Justru yang kaya adalah pejabat dan perusahaan bersangkutan. Masyarakat justru berada dalam penderitaan berkepanjangan,” kata Danggur kepada FLORES POS melalui telepon genggamnya, Rabu (27/2) siang.

Ia mengusulkan, jika pemerintah Lembata mau memajukan daerahnya maka potensi pertanian harus diberdayakan secara maksimal. Saat masih bergabung dengan Flores Timur, jelas Danggur, Lembata merupakan salah satu pulau yang menyumbang PAD terbesar. Salah satunya berasal dari sektor pertanian.

“Pariwisata Lembata juga begitu memukau. Dunia internasional juga tahu. Penangkapan ikan paus dengan peralatan tradisional hanya terdapat di Desa Nelayan Lamalera. Begitu juga dengan Kedang yang begitu unik dan menjadi obyek penelitian para peneliti asing. Di Ile Ape ada Pesta Kacang setiap tahun. Pantai Pasir Putih Mingar tak kalah dengan Pantai Kuta, Bali. Nah, ini harus dipikirkan untuk dikembangkan. Makanya, jalan raya harus dibangun agar akses ke obyek-obyek wisata di Lembata menjadi mudah. Jangan pikir urus tambang memajukan daerah karena untungnya hanya investor dan orang-orang tertentu,” kata Danggur, praktisi hukum asal NTT. (Ansel Deri)
Sumber: FLORES POS, 5 Maret 2008

Monday, March 3, 2008

Newmont Sayangkan Langkah Pemerintah Ajukan Arbitrase

Jakarta-PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menyayangkan langkah Pemerintah Indonesia yang telah mengambil opsi penyelesaian sengketa divestasi ke badan Arbitrase International.

"Kami sayangkan langkah pemerintah ini. Karena proses divestasi telah mencapai kemajuan setelah ditandatanganinya perjanjian penjualan saham dengan pemerintah Kabupaten Sumbawa," kata juru bicara NNT Rubi Purnomo di Jakarta, Senin.

Pemerintah Indonesia mengugat NNT ke Arbitrase Internasional karena dinilai gagal melaksanakan kewajiban divestasi saham perusahaan tambang tersebut.
Surat gugatan dikirimkan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mewakili Pemerintah Indonesia.

Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam siaran pers mengatakan, gugatan arbitrase merupakan tindak lanjut peringatan yang telah berkali-kali disampaikan dan juga keputusan lalai ("default").

"Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah RI perlu mengambil langkah aribitrase karena Newmont tidak pernah menunjukkan itikad baik bahkan sengaja mempermainkan pemerintah dan masyarakat Indonesia," kata Purnomo.

Menurut Rubi, NNT berharap dapat terus melanjutkan pembicaraan dengan Menteri ESDM.

"Kami juga ingin memperoleh arahan lebih lanjut sehubungan perjanjian rahasia dengan Bumi Resources dan mempertanyakan integritas proses divestasi ini," ujarnya.

Rubi melanjutkan, tindakan tersebut juga mendorong NNT dan pemegang asing untuk mengajukan gugatan arbitrase guna memastikan seluruh haknya terlindungi.

Selain itu, langkah aribitrase juga menunjukkan bahwa NNT tidak melanggar kontrak karya dan pemerintah tidak berhak memutuskan kontrak karya.

Namun, ia juga menambahkan, NNT tetap berkomitmen menyelesaikan proses divestasi sesuai dengan ketentuan kontrak karya.

"Kami berharap agar sengketa ini dapat diselesaikan melalui penyelesaian perjanjian prinsip," ujarnya.

Sumber: ANTARA, 3 Maret 2008

Pemerintah Gugat Newmont ke Arbitrase

Jakarta–Pemerintah Indonesia mengugat PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke Arbitrase Internasional, karena perusahaan itu dinilai gagal melaksanakan kewajiban divestasi saham.

Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Sembiring, di Jakarta, Senin, mengatakan surat gugatan dikirimkan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang mewakili Pemerintah Indonesia. "Pemerintah telah kirim surat gugatan ke Arbitrase Internasional," katanya.

Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam siaran pers menjelaskan gugatan arbitrase merupakan tindak lanjut peringatan yang telah berkali-kali disampaikan dan juga keputusan lalai (default).

"Semua ini merupakan ulah Newmont yang mengulur waktu hingga divestasi tertunda selama satu tahun," katanya.

Purnomo melanjutkan, "Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah RI perlu mengambil langkah aribitrase karena Newmont tidak pernah menunjukkan itikad baik bahkan sengaja mempermainkan pemerintah dan masyarakat Indonesia."

Langkah arbitrase merupakan upaya terbaik dalam menyelesaikan divestasi tersebut, imbuh Purnomo. "Kami punya posisi yang kuat karena telah menuruti seluruh kesepakatan dan prosedur dalam kontrak karya," katanya.

Apabila gugatan dikabulkan, maka pemerintah dapat saja meminta Arbitrase Internasional agar memutuskan kontrak karya dengan NNT.

Sumber: ANTARA, 3 Maret 2008

Sunday, March 2, 2008

Masyarakat Bulat Menolak Pertambangan di Lembata

Jakarta, Kompas - Pembukaan tambang secara besar-besaran di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, ditolak warga setempat. Mereka menilai kegiatan pertambangan hanya akan merusak lingkungan dan peradaban di daerah tersebut, sementara tidak semua penduduk di sekitarnya dapat terserap sebagai tenaga kerja.

Usaha pertambangan tersebut tidak akan membawa manfaat bagi penduduk di kawasan itu, sebaliknya justru akan memiskinkan masyarakat. Apalagi, dalam catatan kegiatan pertambangan di Indonesia belum ada yang mampu menyejahterakan masyarakat lokal.

Demikian terungkap dalam Diskusi Panel Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik Usaha-usaha Pertambangan, Sabtu (1/3) di Jakarta. Diskusi itu menyoroti kisruh pembukaan tambang tembaga di Lembata.

Diskusi menampilkan pembicara Vande Raring, SVD (dari Office for Justice Peace and Integrity of Creation-JPIC SVD Ende), Peter C Aman, OFM (Direktur JPIC), Philipus Muda (tua adat Leragere, Lembata), Abu Achmad (tua adat Kedang, Lembata), George Junus Aditjondro (dosen Sanata Dharma Yogyakarta), Hendro Sangkoyo (ahli pertambangan dan energi), Edy Danggur (konsultan hukum pertambangan), dan Boni Hargens (dosen FISIP UI).

Edi Danggur mengatakan, janji pemerintah bahwa kegiatan pertambangan mampu menaikkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat tidak akan membawa hasil. Ia mencontohkan, pertambangan di Provinsi Riau menyumbang 80 persen pendapatan asli daerah, namun tenaga kerja yang terserap hanya 3 persen dari seluruh angkatan kerja di sana.

”Pertambangan butuh modal besar dan teknologi tinggi sehingga butuh tenaga kerja berkualitas yang masih sulit didapat dari penduduk lokal,” kata Edi.

Sementara pembebasan lahan masyarakat dan lahan ulayat untuk pembukaan kawasan tambang membuat rakyat kehilangan mata pencarian dan lahan.

Ahli mineral dan pertambangan, Hendro Sangkoyo, mengatakan, ”Pemerintah seharusnya mengerem laju pertumbuhan industri keruk jika tidak mampu mengatur dan mengelolanya. Yang terjadi selalu lingkungan dihabisi dan masyarakat lokal tersingkir.”

Penambangan emas yang akan dilakukan PT Merukh Enterpris itu rencananya dilakukan di wilayah Kedang dan Leragere 91.595 hektar atau 72,32 persen dari total luas areal Lembata (126.638 hektar). Mereka melakukan sumpah adat sebelum menolak. Tokoh masyarakat Leragere, Philipus Muda, menegaskan, ”Penolakan tambang di Lembata adalah harga mati.”

Terhitung Januari-Juli 2007, beberapa tetua adat Lembata menggelar enam kali ritual adat penolakan tambang. Pemangku adat di Kedang, Abu Achmad, mengatakan, kebijakan pemerintah telah mengabaikan rakyat karena tanpa sosialisasi.

Peter Aman mengatakan, pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, apalagi wilayah Flores bagian dari lintasan jalur gunung api.

Ancaman terutama pada ekologi hilir yang akan mengancam populasi ikan paus di Laut Sawu sekaligus berpotensi menghancurkan peradaban lokal yang memiliki tradisi menombak ikan paus dengan etika kecukupan demi kelangsungan hidup.

”Pertambangan tidak menjawab persoalan masyarakat. Semestinya program pembangunan berbasis potensi masyarakat lokal. Di Lembata banyak ikan laut, mutiara, dan masyarakat tani, itulah yang harus dikembangkan,” kata Peter Aman.

Sementara itu, Aditjondro menyarankan mekanisme ”de-lingking” untuk perjuangan pembatalan rencana investasi pertambangan itu. Misalnya dengan mengidentifikasi mitra-mitra asing maupun pialang nasional untuk membantu pengarahan advokasi antitambang secara cermat dan efektif. (LKT/NAW)

Sumber: KOMPAS, 3 Maret 2008

Menghancurkan Surga

Penduduk-penduduk desa di Indonesia menghadapi buldozer milik perusahaan pertambangan raksasa, sepertinya lebih dari 120 ribu orang terpaksa harus mengungsi ke pulau lain.

Tadinya Gabriel berpikir bahwa hal seperti itu sudah dialaminya semua. Kakek dari empat orang cucu, yang tinggal di sebuah pulau terpecil di Indonesia - bernama Lembata, ia sudah pernah mengalami penjajahan kolonial Belanda serta masa pendudukan Jepang. “Sekarang kelihatannya rumah saya akan dihancurkan oleh seorang pebisnis dari Jakarta,” katanya.

Lembata, yang berada di ujung Timur Nusa Tenggara Timur, sering disebut-sebut sebagai “surga terakhir” dalam berbagai promosi yang dilancarkan pemerintah daerah, untuk membujuk para turis berpetualang, keluar dari jalur yang biasa dilalui para turis lainnya. Berkat kebijakan pemerintah yang sama, Gabriel percaya, surga itu tak lama lagi akan hilang tergilas buldozer dan mesin pengeruk tanah milik pengusaha pertambangan, Yusuf Merukh.

Merukh, seorang tokoh yang dianggap tak bersalah dalam skandal tambang Bre-X tahun 1997 –skandal penipuan terbesar sepanjang sejarah pertambahan dimana jutaan dolar uang investor internasional melayang akibat berita burung tentang emas yang ditemukan di Borneo– memegang hak untuk melakukan eksplorasi pertambangan mineral – setidaknya pada sepertiga wilayah Lembata. Ia bermaksud membuka lahan untuk tambangnya mulai tahun depan, dan memulai produksinya di tahun 2011.

Menurut pengusaha tersebut, survey menunjukkan adanya kandungan besar emas dan tembaga di pulau seluas 1.300 meter persegi itu. Dalam konferensi press yang dilakukan belum lama ini, ia bahkan dilaporkan pernah mengatakan bahwa jumlah kandungan tersebut cukup besar untuk membantu ‘mengalahkan dominasi AS’ terhadap harga-harga logam dunia.

Merukh sangat memahami bisnisnya. Dengan dukungan dari pemerintah dan kerjasama dengan mitra macam raksasa pertambangan AS, Newmont, ia telah menghabiskan beberapa tahun setelah peristiwa Bre-X untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia -dan menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini.

“Masalahnya bukan soal saya menjadi lebih kaya dari sebelumnya; tapi lebih ke soal berbagi keuntungan,” tegasnya. “Saya pernah berhadapan dengan 15.000 demonstran saat kami (Newmont dan anak perusahaan miliknya, Pukuafu Indah) membuka tambang Batu Hijau di Sumbawa.”

“Namun sebagian besar pekerja dan manajer tingkat menengah diambil dari masyarakat lokal. Sekarang mereka naik Mercedes, bukan lagi delman dan kuda…. dan saat saya berkunjung, mereka berkata, ‘Raja kita datang.’

Yang pasti, di Lembata tidak ada Mercedes. Lagipula, di sana hanya ada sedikit sekali jalan raya yang bisa dilalui. Namun sebelum mobil-mobil mewah itu bisa didatangkan dari Jerman, banyak penduduk pulau yang populasinya 120 ribu, dan sebagian besar pemeluk agama Katolik itu, yang harus bersiap-siap kehilangan rumah dan mata pencarian.

Rencana awalnya, Merukh, dengan dukungn pemerintah Lembata, secara luas menyatakan bahwa para penduduk akan dipindah, untuk membuka jalan bagi perusahaan tambang , mereka akan diberikan tempat tinggal di wilayah lain di pulau tersebut, dengan biaya dari perusahaannya. Menurut LSM, setidaknya 60.000 orang dari 49 desa harus bersiap-siap untuk digusur.

Saat ini Merukh memiliki rencana yang lebih dahsyat. “Untuk mendirikan rumah-rumah bagi keluarga-keluarga yang harus dipindahkan, saya berencana untuk membangun sebuah kota di pulau terdekat [di Timur Flores] dan penduduk Lembata akan dipindahkan [ke sana]. Letaknya hanya 30 menit dengan kapal ferry…. Saya akan membangun apartemen, sekolah dan rumah sakit, bahkan bandara tingkat internasional sebagai bentuk ganti rugi bagi mereka dan untuk melayani kebutuhan pertambangan.”

Yang lebih mengejutkan lagi, ia menambahkan: “Saya rasa pertambangan ini akan mengambil alih 70 persen dari seluruh pulau…. Mungkin bahkan seluruh pulau.”

Terbukanya fakta ini menyebabkan kemarahan di kalangan pengamat. Menurut Siti Maimunah, koordinator nasional dari Jatam, sebuah kelompok advokasi pertambangan, pemindahan seluruh populasi adalah suatu tindakan yang tidak sepadan, bahkan dalam sejarah kelam pertambangan di Indonesia.

Sonny Keraf, mantan menteri lingkungan hidup, sama terkejutnya, ia memiliki alasan kuat untuk itu. Ia beserta abangnya Peter, ketua DPRD Lembata, terlahir di Lamalera, suatu komunitas masyarakat yang bermata pencarian sebagai nelayan penombak ikan paus di pantai selatan pulau tersebut.

Kedua bersaudara ini, secara pribadi saling berhadapan dalam melakukan debat ideologis. Sonny Keraf berpendapat bahwa tindakan ini akan menghancurkan lingkungan, dan jangka waktunya sangat pendek, artinya hanya dalam waktu 20 tahun - baik tambang maupun keuntungan jangka pendek yang dihasilkannya akan pergi.

”Ada banyak bisnis jangka panjang yang dapat kita kita bangun di pulau tersebut, seperti turisme dan wisata air. Bisnis ini mungkin perlu waktu lama untuk dibangun, namun kita dapat bergantung pada bisnis-bisnis seperti ini selama beberapa generasi,” begitu alasannya.

Sebaliknya, Peter Keraf melihat lain, Tuan Merukh menawarkan suatu bantuan ekonomi pada komunitas miskin. “Saya ingin percaya bahwa proyek ini akan menyediakan ribuan lapangan kerja, infrastruktur dan masa depan yang lebih baik,” katanya. Namun ia pun bersikap skeptis: “Saya bukanlah pengikut Merukh. Saya lebih mirip seperti Thomas yang ada di Alkitab. Ia tidak percaya bahwa Yesus adalah putra Allah, sampai akhirnya ia melihat buktinya.”

Meskipun Sonny Keraf memiliki pengaruh yang cukup kuat di Jakarta sebagai wakil ketua pada Komisi Energi, Pertambangan dan Lingkungan Hidup di DPR RI, komisi ini memberikan hak pemerintah daerah mengeluarkan ijin pertambangan.

Dan menurut Merukh, anggota DPRD Lembata minggu lalu, telah melakukan voting dan 90 persen anggota legislatif tersebut setuju untuk melanjutkan operasi pertambangan.

Menyikapi demonstrasi yang meluas, Bupati Lembata, Anderas Duli Manuk, menghadapi kesulitan untuk menjaga kredibilitasnya. Ia berargumen bahwa Lembata dapat mendukung sebuah pertambangan, tradisi setempat, serta industri wisata secara bersama-sama.

Setelah berdialog dengan penduduk pulau selama dua minggu, jelas sekali terlihat sebagian besar penduduk tidak mempercayai kata-katanya. Dengan adanya ancaman penggusuran atas lahan dan rumah mereka, demi membuka sebuah pertambangan, masyarakat dari pulau kecil di Laut Sawu ini, dengan tegas mengusir Merukh dan antek-anteknya. Dalam sebuah pertemuan para aktivis dari Forum Komunikasi Tambang Lembata, sebuah LSM setempat, rasa frustrasi itu tergambar secara gamblang.

“Sebagai sebuah organisasi, kami tidak akan melakukan kekerasan, namun kami tidak bisa berbicara mewakili semua orang. Bila Anda melihat kembali pada catatan sejarah pertambangan di Indonesia, jelas sekali mengapa orang-orang ini begitu keras melakukan penolakan,” ujar Peter Balawukak, salah serang pimpinan kelompok.

Balawukak menunjuk pada kerusakan yang disebabkan oleh operasi pertambangan di seluruh negeri ini.

Data yang disediakan oleh Jatam menunjukkan, Newmont dan pertambangan yang dimiliki oleh Yusuf Merukh di Batu Hijau Sumbawa bertanggung jawab atas 120 ribu limbah tailing yang dibuang ke laut, setiap harinya.

Website milik Newmont menegaskan bahwa limbah batu-batuan ini tidak menimbulkan efek terhadap lingkungan dan hanya akan jatuh ke dalam laut. Namun dengan adanya penembangan cagar laut oleh WWF di Lembata, Merukh menegaskan bahwa limbah dari tambang barunya nanti akan diproses dulu di darat.

Namun pernyataan ini sama sekali tidak membuat Balawukak tenang. ”Perusahan pertambangan sudah sering sekali gagal dalam memenuhi janji-janji mereka tentang lingkungan, mereka juga gagal menunjukkan penghormatan terhadap identitas budaya, dan mereka juga tidak membayar dan memberikan ganti rugi penuh untuk properti yang mereka beli secara paksa. Jadi mengapa kami harus meninggalkan rumah, tanah pemakaman keluarga, ladang, tempat menangkap ikan dan mata air milik kami? Hal itu hanya akan membawa kesengsaraan bagi masyarakat dan keturunan kami.”

Antropolog dari Universitas Bergen, Olaf Smedal, yang pernah melakukan riset terhadap pergerakan populasi di Indonesia selama lebih dari 20 tahun, sangat memahami kekhawatiran tersebut, terutama kekhawatiran mengenai kepercayaan, baik secara tradisi maupun agama.

“Agak salah kaprah bila dikatakan bahwa mereka adalah pemeluk Katolik pada hari Minggu dan pemuja leluhur di hari lainnya, namun mereka betul-betul percaya bahwa apa yang mereka miliki memang diturunkan dari para leluhur mereka.”

Merukh kelihatannya memandang rendah kepercayaan ini. Di wilayah Kedang, salah satu tempat di pulau ini, Gabriel menggarap sawahnya bersama dengan anak-anak laki-lakinya, Oriel dan Sofiel, keduanya sudah berusia 30 tahunan. Meskipun ada gambaran bahwa mereka bisa mendapatkan uang tunai untuk lahan seluas 2 hektar yang mereka miliki, dan pekerjaan yang menggiurkan di pertambangan, keduanya sama sekali tidak mau ikut ambil bagian.

“Kakek-nenek kami dikuburkan di desa dan ada 20 orang kerabat kami yang juga tinggal di sana,” kata mereka. “Sekarang keluarga kami sangat ketakutan, karena mereka merasa bahwa mereka tidak dapat menolak kebijakan pemerintah untuk membangun tambang itu—pilihan apa yang mereka miliki?”

Pesimisme seperti ini tidaklah mengejutkan bagi Profesor Smegal. Ia melihat adanya perbedaan mendasar antara transmigrasi secara sukarela dengan berbagai insiden, dimana suatu lahan diperuntukan untuk keperluan lain seperti tambang. “Karena nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka miliki, saya ragu apalah penolakan dari masyarakat dapat ditepis dengan berbagai janji (kompensasi),” ujarnya.

Balawukak mengamininya: “Masyarakat merasa dikecewakan. Tak seorangpun, kecuali para politisi, yang ingin melihat rumah dan tanah mereka tergusur oleh tambang. Anda bisa melihat kehilangan yang dialami oleh masyarakat, dan mau tak mau bertanya-tanya - apa yang akan didapatkan para politisi.”

Meskipun tidak ada bukti langsung tentang adanya korupsi dalam kasus Lembata, beredar cerita mengenai ketidak sesuaian prosedur dalam proses uji kelayakan oleh pemerintah.”

Pastor Michael Peruhe, spesialis rekonsiliasi yang bernaung di bawah Ordo Biarawan Frasiskus dari Justice, Peace and Integrity of Creation di Jakarta, mengingatkan bagaimana pemerintah dan anggota DPRD dari Lembata dilaporkan telah mengirim misi pencarian fakta di tambang Newmont lainnya, di Minahasa Raya di Sulawesi.

“Tambang ini sekarang sudah tidak beroperasi, dan intinya mereka kembali ke Lembata untuk menceritakan bagaimana dampak tambang tersebut terhadap desa-desa di sekitarnya,” ujarnya.

“Dua minggu kemudian saya dan dua orang rekan pergi untuk melakukan penelitian di wilayah yang sama, hanya saja saya mendapat informasi dari kantor Newmont bahwa tidak ada tim dari Lembata yang datang berkunjung.”

Saat berhadapan dengan Bupati Andreas Duli Manuk, pada Pastor Peruhe ditunjukkan sebuah laporan mengenai tambang Minahasa Raya yang sebelumnya telah dibeberkan di hadapan parlemen Lembata.

“Saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin pemerintah Lembata memberikan laporan palsu pada masyarakat dan menyajikannya sebagai suatu kebenaran? Saya sudah berbicara dengan Andreas mengenai masalah manipulasi ini, dan [ia] menolak untuk berkomentar.”

Merukh sendiri bersikap tidak terlalu tertutup: “[Protes-protes] ini, adalah masalah yang ditimbulkan oleh pihak Katolik. Saat Anda membangun tambang, maka tambang tersebut akan mengurangi pengaruh pihak gereja terhadap komunitas rakyat miskin, jadi itu hanya alasan saja. Sebetulnya ini merupakan propaganda….Saya tidak dapat membantu bila mereka menolak untuk melihat adanya keuntungan ekonomi.”

Dengan cara apapun, kelihatannya Merukh bertekad untuk tetap membuat lubang galian itu, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk masyarakat - kelompok masyarakat yang sekuat tenaga akan dihadapi oleh Gabriel dan penduduk lainnya untuk bebas dari kesulitan (Ivan Broadhead).
Sumber: www.jatam.org mengutip South China Morning Post edisi 16 Desember 2007
diterjemahkan bebas oleh Winni M Santoso atas permintaan JATAM