Sunday, October 7, 2007

Dirjen; “Kita Bisa Bikin MoU di Warteg dan Itu Tidak Mengikat”

Koalisi Jakarta untuk Tolak Tambang di Lembata mulai membuka katup-katup pusat guna membantu perjuangan masyarakat Lembata, menolak rencana tambang. Di Ditjen Minebapabum, mereka mendapatkan penjelasan yang sesungguhnya. Ada optimisme, tambang batal demi rakyat.

Gedung berlantai empat di Jalan Dr. Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan, Senin 1 Oktober 2007 pagi itu tampak tenang. Jam sudah menunjukan pukul 09.00. Di lantai II Kantor Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi (Ditjen Minebapabum), beberapa warga Lembata tampak sedang berkumpul di ruang tunggu. Pastor Mikhael Peruhe OFM dari JPIC OFM, tiga orang staf dari Padma Indonesia, Valens, staf JPIC OFM, Seorang Pengurus Pusat PMKRI, F.X. Namang dari Keluarga Mahasiswa Lembata-Jakarta dan Ferdinand Lamak (Eddie Lamak), seorang wartawan asal Lembata di Jakarta. Mereka datang untuk melakukan pertemuan dengan Dirjen Minebapabum, Dr. Ir. Simon F. Sembiring, menyampaikan aspirasi masyarakat Lera Gere dan Kedang di Lembata, NTT, yang intinya adalah menolak rencana pertambangan yang dibuat Pemkab Lembata.
Sekitar pukul 09.10 menit, rombongan ini kemudian dipersilahkan masuk ke dalam ruangan rapat. Salah seorang anggota rombongan nyeletuk, “Ini tidak ada tanda-tanda seperti kantor pemerintah,” setelah melihat bagaimana suasana di dalam lingkungan kantor yang jauh dari potret kantor-kantor pemerintahan lainnya. Semua pegawai terlihat larut dalam kesibukannya, ruang-ruang yang bebas asap rokok serta fasilitas ruang rapat yang lebih mirip kantor perusahaan swasta. Kesan pertama di kantor ini, begitu menggoda.
Tidak menunggu lama, sekitar 5 menit, Dirjen Simon dan Sekretaris Dirjen Bambang, masuk ruang rapat. Kesan terasa kian baik, ketika keduanya mulai dengan manyapa satu persatu dan menjabat tangan dengan hangat semua anggota rombongan yang tadinya ‘rada tegang.’ Simon kemudian langsung memulai pertemuan, dengan menggenggam selembar surat di tangan. “Ya, ini surat permohonan audiensi dari bapak-baak sekalian,” mulainya. “
Simon rupanya telah mempelajari sedikit banyak mengenai rencana pertambangan emas di Lembata. Itu sebabnya, ia langsung memulai pertemuan dengan mengisahkan sedikit tentang bagaimana kondisi pertambangan di era otonomi daerah. Menurutnya, dengan adanya UU Otonomi Daerah dan PP no. 32 yang diperbaharui dalam PP No. 75 tahun 2003, maka kewenangan perijinan pertambangan sepenuhnya menjadi kewenangan bupati (kepala daerah).
Meskipun perijinan itu kewenangan Bupati, namum ada unsur yang paling hakiki dalam aturan tersebut adalah partisipasi masyarakat setempat dalam perencanaan pertambangan. Pemberian ijin kuasa pertambangan tersebut harus didahului dengan pengumuman kepada masyarakat dimana usaha pertambangan itu dilakukan. Artinya, masyarakat harus terlebih dahulu mengetahui rencana tersebut dan mereka harus diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya sebelum ijin kuasa pertambangan itu diberikan kepada pihak investor.
“Saya tidak tahu apakah ini sudah ditempuh oleh Bupati atau tidak. Saya jujur saja mengatakan bahwa banyak Bupati yang tidak memberikan laporan ke kita. Jadi bukan hanya Lembata saja, di daerah lain juga sudah amburadul”, tegas Simon. Sembiring bahkan menyesalkan praktek-praktek penyimpangan yang dilakukan Daerah dalam sejumlah kasus berkaitan dengan ijin kuasa pertambangan. Dalam kasus seperti ini biasanya pihak Direktorat Jenderal langsung turun tangan untuk menertibkan praktek penyelewengan proses perijinan kuasa pertambangan.
Dari penjelasan Simon, diketahui, ternyata proses perijinan kuasa pertambangan itu sering sarat KKN atau amplop. Sembiring mengatakan bahwa ada banyak hal yang aneh-aneh. Ia menyadari bahwa ada banyak muatan kepentingan yang mewarnai sebuah proses perijinan kuasa pertambangan. “ Saya bisa mengerti, ada dua hal yang terjadi di Republik ini. Pertama, Pilkada ‘kan sistemnya bapak-bapak sudah tahu, setoran! Kedua, dia (seorang Bupati) hanya memikirkan lima tahun. Dia pikirkan dirinya, warisan diri saja ketika ia menjadi Bupati. Dia tidak pikir 10 atau 12 tahun lagi.” Kata Simon bersungguh-sungguh.
Kendati demikian, Simon menambahkan, penolakan masyarakat ini sebaiknya juga disertai dengan kasadaran bahwa sesungguhnya pertambangan itu memiliki manfaat juga bagi kehidupan masyarakat. Pertambangan memang perlu dikembangkan tetapi harus bisa dipertanggungjawabkan demi kepentingan masyarakat. Karena itu seyogjanya masyarakat harus mendapat tempat pertama untuk menyampaikan pendapatnya sebelum sebelum sebuah rencana industri pertambangan itu diimplementasikan. Kendati seorang Bupati diberi wewenang untuk menerbitkan ijin kuasa pertambangan tetapi dia juga harus sungguh-sungguh bertanggungjawab dan melaksanakan fungsi pengawasan yang optimal. Siapa pun memang tidak bisa begitu saja tunduk pada investor.

Pesan Kepada Rakyat Lembata
“Komitmen kita sebenarnya bahwa masyarakat tidak usah takut, bapak boleh bilang kami sudah ketemu dirjen. Nggak ada hak mereka (Bupati dan Perusahaan)”, ungkap Simon menanggapi P. Mikhael dalam sessi tanya jawab. Diskusi terbuka pun dimulai dan suasana yang berlangsung cair. Di tengah-tengah diskusi itu, muncul Aloyius U. Murin, satu-satunya dari 20 anggota DPRD Lembata yang hingga detik ini masih kukuh menolak rencana pertambangan, hingga konon kabarnya dia sedang terancam direcall oleh partainya, PNBK.
Simon kemudian mengakui, pihak Ditjen Minebapabum di Jakarta sudah menerima surat permohonan dari Bupati Lembata untuk menyiapkan sejumlah orang dari Ditjen, sebagai anggota tim terpadu dalam urusan rencana tambang Lembata. Namun, Simon ditimpali Bambang menyatakan, pihaknya belum merespon isi surat itu. Selain surat permohonan dari Pemerintah Daerah Lembata, ada juga surat penolakan rencana tambang dari para pastor sedekenat Lembata dan materi-materi keberatan dari Koalisi Tolak Tambang Lembata di Jakarta. Beberapa surat keberatan ini membuat Dirjen akan bertindak lebih bijaksana dalam kasus Lembata. Kepada koalisi Dirjen berjanji untuk membantu menyikapi persoalan ini karena Pemerintah Pusat tidak serta merta menyetujui semua proses perijinan.
Menurut Simon, ada beberapa celah yang dapat dikawal dari sekarang, adalah pada studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kendati menyadari bahwa AMDAL adalah sebuah proses studi ilmiah dan obyektif, Simon mengingatkan bahwa AMDAL pun bisa dibeli untuk kepentingan memuluskan rencana tambang, apalagi komisi AMDAL menjadi kewenangan daerah. “Makanya saya bilang, sistem kita ini belum dibarengi dengan kematangan berpolitik”, ungkap Simon
Ditengah-tengah dialog, Simon sempat tertawa keras ketika mendengar pertanyaan dari Eddie Lamak mengenai sesungguhnya mekanisme perijinan itu sendiri seperti apa? Sebab sudah ada kesepakatan atau MoU antara Pemda dan Investor. “Tidak ada kekuatan hukum Mou. Jangan takut. Sejuta Mou pun tidak punya kekuatan hukumnya. Kita bisa bikin Mou itu di warteg (warung tegal) tidak mengikat” jelas Simon.
Karena itu, ia mengimbau agar masyarakat tidak perlu takut dengan semua isu yang berkaitan dengan perijinan-perijinan. “Kami di pusat akan selalu bersikap obyektif. Terakhir kan di DPR, dan mereka juga tidak gampang. Dan di sana ada Sony Keraf. Saya kira bapak mereka jangan langsung khawatir, kami di sini juga walau sudah ada surat resmim dari pemda, kami tidak langsung percaya. Saya kira kantor ini, siapa pun yang bawa amplop, akan kita tolak, di pinggir jalan sudah ditolak, pak”.
“Saya akan membalas surat Pemda, dan saya akan bilang selesaikan dulu masalah yang ada. Kalau dia (Bupati) teruskan, sudah dari awal sudah cacat hukum ‘kan? Berarti kembali ke kami ‘kan? Ke Menteri baru ke DPR. Akhirnya ke sini juga dia. Apa berani dia?”, tandas Simon bersungguh-sungguh.

Investor PT. Merukh? Masyarakat Jangan Takut!
Semua elemen masyarakat harus mewaspadai investor yang akan menanamkan modal usahanya di suatu wilayah. Kita memang butuh investasi, tetapi investasi juga tidak boleh meniadakan aspek yang lain sebagai daya dukung atas investasi. Kewaspadaan ini perlu ditingkatkan untuk sebuah investasi di bidang pertambangan. Kita tidak perlu menjadi insan anti pertambangan, tetapi kita juga tidak bisa begitu saja dibodohi oleh investor pertambangan yang demi investasi pertambangan ingin menyulap kehidupan ini menjadi sebuah kemilau emas yang temporal sifatnya dan meninggalkan kerusakan dan penderitaan yang bersifat permanen. Kita juga tidak perlu anti pembangunan, namun strategi pembangunan yang bertolak belakang dengan visi pembangunan berkelanjutan tidak bisa diterima begitu saja tanpa suatu sikap kritis. Baik Pemerintah, DPRD, masyarakat maupun elemen lainnya perlu kritis terhadap propaganda investor, khususnya investor pertambangan. Dan dalam persoalan Lembata, tentu semua orang perlu bersikap kritis terhadap kehadiran investor pertambangan, dalam hal ini PT. Merukh Enterprises.
De fakto, Rencana Pembangunan Industri Pertambangan di Lembata telah melahirkan kegelisahan masyarakat dengan pelbagai isu yang dihembuskan. Namun pertanyaannya, mengapa masyarakat mesti gelisah? Gelisah akan lahan pertanian, tanah ulayat dan semua tanaman komoditi, pusat-pusat ritual adat. Bahkan terakhir ini, masyarakat gelisah atas informasi yang terkait dengan relokasi penduduk.
Menghadapi kenyataan ini, dirjen meminta agar masyarakat tidak perlu gelisah. Hingga saat ini, Investor belum memiliki ijin apa pun untuk mengusir masyarakat dari kampung halaman mereka. Dalam konteks persoalan Lembata, “Sekarang ijin apa yang dimiliki Bapak Jusuf Merukh untuk mengusir mereka?”, tanya Direktur Jenderal Minebapabum.
Sembiring meminta agar pertemuan dengan Koalisi Jakarta untuk Tolak Tambang Lembata, khususnya berkaitan dengan nasib masyarakat yang sedang gelisah sebaiknya dipublikasikan ke koran lokal. “Ada koran lokal di sana? Bilang aja, masyarakat tidak perlu takut. Makanya, saya bilang, ini komitmen kita sebenarnya bahwa masyarakat tidak usah takut. Katakan saja bahwa kami sudah ketemu Dirjen”, pintanya sambil menunjuk kearah Murin.

STUBA, Apanya yang Distubakan?
Untuk dapat meyakinkan rakyat Lembata dan memenuhi birahi investor untuk menanamkan modalnya di Lembata, Pemda dan DPRD pun serta merta melakukan sebuah studi banding. Mereka pergi bersama sekelompok masyarakat dan sejumlah wartawan lokal ke lokasi pertambangan PT Newmont Minahasa Raya dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Khusus untuk rombongan yang melakukan Stuba di NMR, tim Koalisi menemukan dan dapat membuktikan bahwa rombongan di atas, tidak pernah tiba dan melihat langsung lokasi penambangan emas di Buyat, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Namun, sekembelinya mereka, di depan Sidang Paripurna DPRD Lembata, mereka memberikan laporan dengan sebuah kesimpulan akhir bahwa tambang memberikan banyak manfaat bagi rakyat, sebagaimana mereka saksikan langsung di lapangan.
Mengomentari studi banding tersebut, Dirjen berkomentar, kalau fakta yang terjadi seperti itu maka jelas-jelas ada kebohongan publik yang di lakukan dalam kegiatan studi banding. “Untuk saya, ini pembohongan publik. Walaupun itu studi banding, tapi itu (perusahaan) ‘kan belum tentu operasi ‘kan? Masih eksplorasi. Buang-buang energi, buang uang. Apa yang mau dibandingkan? Yang dibandingkan apple to apple. Itu saja bagi saya sudah salah. Kalau sebenarnya duduk persoalan yang harus dibicarakan aturan mainnya gimana sih, itu saja”, komentar Simon menanggapi stuba tersebut.
Dirjen berharap bahwa dalam persoalan ini, baik Bupati maupun DPRD harus bersikap mengayomi masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan penjelasan yang memadai agar memahami duduk persoalan dan aturan main, tanpa unsur manipulasi di dalamnya. Dalam persoalan Lembata, sikap mengayomi juga menjadi salah satu unsur penting agar tidak terkesan kecenderungan memihak perusahaan dan mengabaikan masyarakat dan segenap aspirasinya. Sebab pertambangan itu bukanlah anti pada masyarakat, justru sebaliknya. Di sinilah obyektivitas informasi yang dipublikasikan perlu dijunjungi tinggi oleh siapa pun.
Di akhir pertemuan, Eddie Lamak satu dari sedikit orang Lembata di Jakarta yang sejak awal konsisten mengkritisi rencana industri pertambangan di Lembata, menyampaikan, “Kita yang datang ke sini (Koalisi Jakarta) mencoba menyambungkan suara masyarakat yang terlampau jauh di sana (lembata) dengan Bapak-bapak di Pusat, barangkali nanti pada saatnya proses itu sampai ke kantor Bapak, mungkin (rencana) itu bisa dipertimbangkan,” pinta Lamak.
Menanggapi harapan Eddie, Simon menitipkan pesan untuk masyarakat di lokasi prospek tambang agar tidak gelisah dengan semua isu yang beredar. Bahkan Dirjen mengajak Koalisi Jakarta agar selalu bisa membangun komunikasi dan diskusi bersama pihaknya dalam menyikapi persoalan ini. “Kita sudah di koridor ini, kita harus tegar menghadapinya”, kata Sembiring mengakhiri pertemuan sambil mengucapkan terima kasih atas masukan dari Koalisi Jakarta.
(KOALISI JAKARTA, edited by Eddie Lamak)

LAIN DI PETEN INA, LAIN PULA DI SENAYAN

Di Peten Ina, sembilan belas anggota dewan mengkhianati rakyatnya. Di Senayan, rakyat mendapat suntikan peneguhan untuk terus berjuang melawan pemerintah dan investor.

Setelah pagi hari bertemu dengan Dirjen Minebapabum Departemen ESDM, rombongan yang sama langsung berangkat menuju Gedung DPR di Senayan. Hanya Alwi Murin dan Eddie Lamak yang berpisah dari rombongan, baru pada pukul 14.00, keduanya bergabung kembali dengan rombongan di Senayan.
Setelah menunggu sekitar dua jam, Koalisi Jakarta baru dipersilahkan masuk ke dalam ruang sidang Komisi VII DPR.
Di depan pintu masuk, Ketua Komisi VII, Agusman Efendi yang pernah menjadi pembicara dalam diskusi soal tambang Lembata di marga PMKRI, langsung menyapa P. Mikhael. Di dalam ruangan, sudah ada Sony Keraf, beserta anggota komisi VII DPR RI lainnya, yakni Erlangga, Ben Vinsen, Simon Patrismorin, Ismayatun, Ade Nasution, Budi Harsono, dan Pacul.
Wakil rombongan Koalisi Tolak Tambang Jakarta Pastor Mikel Peruhe, OFM mengungkapkan bahwa masyarakat yang ada di calon lokasi prospek tambang di Lembata saat ini merasa gelisah oleh kebijakan Bupati Lembata yang terkesan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi lebih memihak kepentingan investor yang akan melaksanakan usaha pertambangan di daerah tersebut. Karena merasa menjadi bagian dari masyarakat maka Koalisi ingin menyambungkan aspirasi masyarakat Lembata ke Bapak-bapak dewan yang mewakili rakyat dan meminta kepada Komisi VII DPR RI menyikapi persoalan tersebut.
Setelah mendengar laporan dari Koalisi, Ketua Komisi VII DPR RI Agusman Effendi menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Koalisi berkaitan sikap tegas penolakan yang dilakukan masyarakat Lembata penting menjadi bahan kajian bagi Komisi VII yang sedang membuat rancangan undang-undang pertambangan, yang berhubungan dengan hak-hak ulayat dan hak-hak adat masyarakat setempat. Anggota DPR RI yang juga Ketua Pansus dari Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batubara ini menyatakan kasus-kasus seperti Lembata di mana warga masyarakat sudah menolak pertambangan sejak awal karena terkait hak-hak ulayat dan hak-hak adat merupakan masukan menarik sebagai kajian untuk membantu pembuatan undang-undang pertambangan yang baru.
“Saya sepakat bahwa suatu saat kita akan, kalau masalahnya yang sudah sampai ke tingkat kami di DPR RI ini, saya yakin kita semua melihat itu sebagai bagian dari tanggung jawab kami untuk bagaimana hak-hak ulayat, hak-hak adat ini kita lakukan” ujar Agusman Effendi kepada Koalisi.

Pemimpin Jangan Berpikir Hari Ini Saja
Sementara itu, Ben Vinsen dari Fraksi PDIP menilai kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya mau menghabiskan segala isi perut bumi. Pemerintah hanya berpikir saat ini tetapi tidak memperhitungkan 50 tahun mendatang. Menurut Ben Vinsen kita perlu menghemat demi masa depan. Vinsen sepakat dengan masyarakat Lembata yang menolak masuknya industri pertambangan di wilayah itu. “Untuk sekarang, dari sisi penghematan dari sisi untuk persedian kita ke masa depan, wajar saja kalau masyarakat tidak membolehkan”.
Senada dengan Vinsen, Simon Patrismorin dari Fraksi Golkar menilai apa yang dipaparkan Koalisi Jakarta kepada DPR RI merupakan cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan apa yang diinginkan oleh investor. “Saya kira apa yang disampaikan masyarakat kita ini, ini kan sudut pandang yang berbeda. Seorang investor membuat perhitungan ekonomis dan mendapat sekian dari hasil pengolahan tambang. Tapi apakah perhitungan-perhitungan itu juga memperhitungkan rakyat kita yang miskin yang kehidupan mereka tiba-tiba berubah karena dia harus tercabut dari akar-akarnya dan dia harus mencari kehidupan yang lain. Itu juga persoalannya” ujar Simon.
Menurut Simon, dalam pembangun ada dua kepentingan besar yang saling tarik menarik yaitu kepentingan masyarakat dan investor. Tapi seorang pemimpin harus memandang kepentingan masyarakat menjadi prioritas utama, bukan kepentingan investor. “Menjadi pemimpin itu harus bijaksana untuk melihat bahwa membuat rakyat itu sejahterah harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan. Merekalah yang harus menjadi perhitungan, menjadi faktor utama yang diperhitungkan bukan pemegang saham seperti Jusuf Merukh” kata Simon.
Lebih lanjut, Beliau mengatakan bahwa masyarakat menjadi prioritas utama karena merekalah yang terkena dampak langsung dari suatu proyek pembangunan. Karena itu pengambil kebijakan harus sungguh-sungguh memperhitungkan mereka yang paling menderita, rentan dari seluruh proses pembangunan.
Apa yang terjadi selama ini, menurut Simon, ialah masyarakat selalu menjadi pertimbangan terakhir. Setelah masyarakat tersisih, ribut, memberontak barulah kita mulai cari jalan keluar. Sikap tegas masyarakat Lembata menolak pertambangan merupakan kasus yang menarik untuk di sikapi.
Masyarakat Punya Hak
Sementara itu, Sony Keraf menjelaskan, persoalan tambang di Lembata sudah lama didengarnya. Bupati dari Partai Golkar dan dipilih secara langsung oleh rakyat dan Pimpinan DPRD Lembata yang juga kakak kandung Sony Keraf pernah bertemu dengan dirinya untuk berdiskusi tentang rencana Pemkab membuka industri pertambangan di Pulau Lembata. Saat itu Mantan Menteri Lingkungan hidup ini menyatakan penolakannya atas rencana Pemerintah Kabupaten Lembata tersebut.
“Mereka pernah bertemu dengan saya, diskusi dengan saya. Jelas saya mengatakan bahwa secara pribadi saya sangat tidak setuju dengan tambang di Lembata karena pulau kecil dan berbagai permasalahan tambang diberbagai daerah yang selalu saya cermati dari sisi lingkungan, sisi kesejahteraan masyarakat setempat” katanya.
Persoalannya menurut Sony ialah yang berhak mengeluarkan ijin ada di tangan pemerintah daerah sesuai dengan rezim otonomi daerah, sesuai dengan undang-undang yang ada. Kendati demikian pihaknya (DPR RI) akan memelajari bagaimana caranya mereka masuk. Sebab walaupun ijin itu ada di pemerintah daerah, namun kewenangan untuk menentukan apakah suatu wilayah bisa menjadi wilayah usaha pertambangan ada di pusat.
Sony juga menjelaskan sebenarnya ada celah yang dapat dipergunakan masyarakat yang menolak rencana pertambangan guna tetap mempertahankan wilayahnya. “Ada satu celah yang masih mungkin ada harapan bagi masyarakat yang menolak yaitu ada di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketentuannya ialah kalau AMDAL-nya disetujui baru ijinnya boleh dikeluarkan. Kalau AMDAL ditolak maka ijin batal dengan sendirinya. Salah satu aspek penting dari AMDAL ialah persetujuan masyarakat setempat, masyarakat di sekitar rencana usaha atau kegiatan tersebut. Inilah peluang yang masih mungkin bagi masyarakat Lembata kalau memang ijinnya masih bisa dihadang” jelas Sony.
Yang juga termasuk dalam studi AMDAL menurut Sony ialah terkait Pulau Lembata sebagai pulau kecil. Tambang di pulau kecil harus ada AMDAL khusus. Dan untuk itu ada mekanisme khusus yang digunakan dan kalau tidak dipenuhi maka bisa ditolak. Selain itu dampak yang terjadi ketika perusahaan membangun infrastruktur, misalnya masuknya alat alat-alat berat yang pasti akan merusak seluruh tatanan tanah dan ekosistem di Lembata juga masuk dalam studi AMDAL.
Dari berbagai kasus yang dipelajarinya selama ini, Mantan Menteri Lingkungan hidup ini menyatakan adakalanya investor yang sudah mengeluarkan uang untuk kegiatan awal eksplorasi dan seterusnya biasanya memaksa pejabat pemerintah, Bupati, dan pejabat-pejabat yang melakukan studi AMDAL untuk meloloskan AMDAL tersebut. Hal ini dilakukan investor ia tidak mau kehilangan uang yang sudah dikelurkannya untuk membiayai seluruh proses.
Menurut Sony dalam undang-undang pertambangan mineral, panas bumi dan batu baru yang satu dua bulan ke depan akan disahkan oleh DPR RI juga mengatur tentang pentingnya menyelesaikan persoalan tanah dengan masyarakat sebelum ijin eksploitasi dikeluarkan.
“Hal lain yang juga diatur dalam undang-undang yang sedang kami selesaikan sekarang adalah persoalan tanah harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam tahap produksi tahap eksploitasi. Perusahaan boleh saja punya ijin untuk eksplorasi, tetapi ketika ia akan melakukan eksploitasi, membangun infrastruktur untuk tambang, menggali, memprosesnya dia harus menyelesaikan dulu persoalan tanah dengan masyarakat setempat sebelum dikeluarkan ijin eksploitasinya, ijin operasi produksnya. Nah undang-undang yang dalam satu dua bulan akan kami sahkan itu sudah kami kunci di situ, soal tanah harus diselesaikan kalau tidak selesai dengan masyarakat setempat ijin operasi produksi tidak boleh dikeluarkan” jelas Sony.
Kepada Pemerintah Lembata, Sony meminta harus ada sosialisasi yang konprehensif kepada masyarakat. Pemerintah jangan tergiur oleh janji-janji yang disampaikan oleh investor khususnya Jusuf Merukh yang track recordnya tidak terlalu positif. Dan Sony Keraf meminta kepada Pimpinan Komisi VII dan teman-teman Komisi VII lainnya, khususnya dari Fraksi Golkar untuk memanggil Bupati dan menanyakan kepada Beliau tentang informasi rencana tambang di Lembata serta mungkin ada baiknya memberikan pressure politik untuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat.
Di akhir audensi, F. X. Namang, dari Koalisi menyerahkan sejumlah data ke Komisi VII DPR RI. Menanggapi hal itu, Komisi VII melalui pimpinan sidang Erlangga, berjanji akan mempelajari, mengkaji data-data yang ada dan menyampaikan hal-hal itu kepada pihak-pihak terkait. Beliau berharap dengan undang-udang pertambangan baru, hak-hak masyarakat dan hak-hak adat sangat dihargai dan apa yang menjadi kegelisahan masyarakat yang menolak tambang tidak akan terjadi. Masyarakat pantas diberi hak untuk memperoleh informasi.
(KOALISI JAKARTA edited by Eddie Lamak)