Monday, January 21, 2008

Andaikan saya bupati


"CHANGE, We Can Believe in" tema sentral kampanye kandidat Presiden AS, Senator Barrack Obama untuk Pemilu November 2008. Tema pokok tersebut akan diaktualisir dalam aneka sektor kehidupan rakyat AS, jika senator yang pernah mengenyam pendidikan di Indonesia ini menang pemilu. Pemimpin negara, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan pemimpin lain pada akar rumput juga mempunyai tema dan agenda pembangunan untuk 2008. Mendaftarkan semua pemimpin dengan renungan dan rencana mereka, niscaya ruwet dan mungkin tidak berhasil. Kemarahan bisa meluap jika beberapa posisi terlupakan. Karena itu, izinkan aku mengandai.

Andaikan aku Bupati Lembata. Daerah-daerah terisolir di seantero pulau diretas. Proyek-proyek jalan baru diperhatikan. Mutu jalan-jalan lama terus dijaga. Komunikasi antar komunitas desa, komunitas desa dengan kota terjangkau dengan sedikit lebih mudah. Tentu aspek lain patut diberi perhatian dan ditindaklanjuti pula. Aparat yang bersih dan berwibawa, bebas dari momok besar masyarakat - korupsi.

Lagi-lagi tambang emas. Ia menghantui tidurku. Aku perlu berdamai dengan masyarakat dan menghindar diri dari larangan seorang Charles Beraf yang dialamatkan kepada mereka, 'Jangan Berpikir Bodoh' (Pos Kupang, 18/6/2007). Sekiranya aku berdamai dengan mereka, apakah aku menjadi musuh PT Merukh Lembata Copper? Tuhan tolonglah aku! Aku juga anak tanah ini.

Masalah tanah menjadi salah satu agenda kepemimpinanku, andaikata aku Bupati Flores Timur. Di Nusa Tadon Adonara, tanah, ibu kehidupan terus melahap perhatian dan kehidupan masyarakat dan pemerintah. Tidak kalahnya dengan beberapa desa di daratan Flores Timur. Misalnya antara Desa Lamatou dan Riangkemie yang berada di belakang Gunung Mandiri. Cara apa yang harus diambil agar tanah sumber dan pemberi kehidupan tidak menjadi penelan kehidupan masyarakatku? Mencari 'solusi menang' untuk setiap pihak yang bertikai sungguh merisauhkan. Meski demikian, aku tegar memperjuangkan yang terbaik buat mereka semua. Muslihat setan korupsi harus dibendung dan digilas. Kiranya aku tidak jatuh ke dalam rahang korupsi pendahuluku.

Menggilas korupsi penting, demikian juga meyakinkan para bupati di Flores dan di Lembata serta figur politik lain, andaikata aku Bupati Sikka. Sekiranya Flores dan Lembata berdiri sebagai satu propinsi baru, aku jadikan Maumere ibu kotanya. Mendukung iktiar demikian, iklim perpolitikan, mutu pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas transportasi - darat, laut dan udara - perlu diperbaiki. Kebersihan dan keindahan kota termasuk pusat perbelanjaan Barata, seyogianya mendapat perhatian khusus. Aku juga berjuang meningkatkan daya beli masyarakat agar keberadaan pusat perbelanjaan terjamin.

Pasti, masyarakat yang tengah berjuang mengisi perut dengan ondo tak terlupakan. Dapatkah KFC (Kentucky Fried Chicken) pendatang baru Kota Maumere memuaskan lapar mereka? Namun aku tidak menginginkan generasi muda Sikka kegemukan karena KFC. Apa lagi yang harus kuperbuat bagimu Sikka?

Ende, andaikata aku bupatinya, identitas historis, kultur dan pariwisatanya dilestarikan. Soekarno, menurut cerita, menelorkan butir-butir Pancasila di sini. Juga dulu, Ende berperan sebagai pusat pemerintahan Flores (Pos Flores, 8/6/2007). Menarik jika sejarah ini dihidupkan kembali. Yakin, ia kujadikan calon ibu kota bila Propinsi Flores dibentuk. Kiat dan strategi akan dikembangkan dan diterapkan demi mendapat sematan ibu kota propinsi. Kukembangkan e-government program guna mewujudkan pelayanan publik yang efektif, efisien dan transparan. Program mentereng, tetapi aku kurang yakin entah masyarakat siap merangkulnya. Proyek Desa Siaga kuperbanyak dan jejaringannya diperkuat. Rakyat berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Aku sedih. Di awal 2007, lahan tanaman rakyatku seluas 6.953,5 hektar dilahap kekeringan dan hama (Kompas, 28/2/2007). Aku belajar untuk mengantisipasi, jika ada gelagat petaka ulang menimpa. Harap, rakyat terkena musibah 2007 dilayani secara manusiawi. Aku pun gundah kala data statistik HIV/AIDS merujuk pada angka yang meningkat. Tercatat 12 wargaku teridentifikasi HIV/AIDS di 2007. Mereka akhirnya berkalang tanah (Pos Kupang). Aku harus mendirikan VCT (Voluntary Counselling and Testing), seperti di Kabupaten Sikka, untuk mereka yang merasa diri mengidap HIV/AIDS dan ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS).

Manusia meninggal dan pohon-pohon pun mati. Aneka flora di Cagar Alam Watuata ditelanjangi. Mereka menangis kesakitan dan mati dibakar rakyat desa Naru dan Bomari. Tidak tahu, kebijakan dan peraturan mantap apa yang patut diambil, andaikata aku Bupati Ngada. Bagaikan buah simalakama dimakan ibu mati tidak dimakan pun ayah mati. Lahan pertanian tidak mencukupi kebutuhan komunitas Naru dan Bomari. Sepertinya program KB belum berhasil. Penduduk bertambah sementara luas tanah tetap. Terciptalah jenis-jenis petani: petani pemilik lahan, petani pemilik dan penggarap lahan, petani yang hanya sebagai penggarap lahan dan petani serabutan. Nasib kedua kelompok terakhir patut diperhatikan secara khusus. Jangan-jangan mereka diperas kedua kelompok pertama.

Kelompok-kelompok berdiskusi. Argumen-argumen bergulir dan bergelinding di antara mereka. Tentu mereka mencari strategi terbaik untuk kabupaten baru mereka - Nagekeo. Seandainya aku bupati mereka, aku menjadi pendengar dan pelaksana strategi yang mereka ambil. Jelas aku tidak membeo. Aku mengawinkan pemikiran dan strategi mereka dengan kepunyaanku. Kami bergotong royong untuk menghidupkan dan mendewasakan Kabupaten muda kami.

Kabupaten mudaku relatif aman. Demikian juga kabupaten-kabupaten lain di sekitarnya. Karena itu, janggal kalau aku menyetujui dibukanya Korem baru di tanah kabupaten ini. Sekiranya aku menyetujui rencana ini, aku pasti dicaci maki dan ditertawakan oleh kelompok antagonis. Bagi kaum protagonis, aku sahabat mereka. Benarkah aku mau menjadi sahabat mereka? Sekali-kali tidak. Meski aku dipaksa dan dijepit, aku mau berada di seberang jalan kaum protagonis. Kuyakinkan rakyatku untuk berada sepihak denganku. Tuhan lindungilah aku dan rakyatku dari rantai dan perangkap orang yang bermaksud jahat.
Gergaji rantai (chain saw) melahap dan menumbangkan pohon-pohon secara tidak sah. Benar bahwa kayu mendatangkan keuntungan bagi perambah bergergaji rantai. Namun malang untuk semua yang berdomisili di sepanjang daerah aliran sungai Wae Mese. Rakus para pemilik gergaji rantai itu. Sudah butakah mata hati mereka? Mereka patut disadarkan dengan peraturan-peraturan daerah yang jelas dan tegas. Ini misiku, seandainya aku Bupati Manggarai Barat. Dana dikucurkan, petugas kehutanan dikerahkan dan para perambah liar dibawa ke meja hijau untuk diproses. Kuingatkan dan kukenalkan kembali kepada masyarakatku kosmologi Patola yang diwariskan leluhur.

Mudah-mudahan, dengan ini, sungai Wae Mese bersahabat dengan kami. Hubungan kami dengan alam langgeng. Dana bencana dapat digunakan untuk kebutuhan lain. Kabupaten Belu juga mempunyai dana bantuan dan penanggulangan bencana. Andaikan aku bupatinya, kuperintahkan para kepala desa dan camat untuk memantau dan melaporkan bencana apa saja yang terjadi di daerah mereka. Dengan demikian bantuan dapat dengan cepat diberikan kalau memang malang menimpah. Apakah seharusnya demikian? Bukankah lebih baik mencegah dari pada memerintah untuk memantau apa yang bakal terjadi? Adalah lebih baik mendesain program pencegahan bencana, dari pada menanggulanginya. Adalah lebih bijaksana kalau aku menggunakan para ahli untuk bekerja sama dengan masyarakat demi mencegah banjir yang terjadi hampir setiap tahun di sepanjang daerah aliran sungai Benanain, wilayah selatan kabupatenku. Bersama kita membuat perubahan yang menyejahterakan masyarakat dan alam.

Silvinus Lado Ruron
staf pengajar di beberapa lembaga pendidikan di Australia.
Kini tinggal di Melbourne
Sumber: POS KUPANG, 21 Januari 2008

Menembus Isolasi Infrastruktur Jalur Ekonomi


Pada HUT RI ke-62, 17 Agustus 2007, saya menerima satu SMS, “Aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangimu, aku rela bekorban untukmu, apapun akan kuserahkan padamu INDONESIAKU”. Sens of love yang menjadi spirit di balik permenungan itu hanya baru bisa mimpi. Seorang anak yang baru belajar kutak-katik HP pun bisa juga ikut-ikutan mengirim pesan itu kepada temannya. Aksi spontanitas dan manual itu kadang terjadi tanpa satu daya rohani yang terinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berakar dari sejarah perjuangan yang menggetarkan banyak orang di masa lalu. Pesan yang beredar tanpa penjiwaan itu lalu hanya akan menjadi sebuah pesan berantai yang datar tak bermakna.

Umumnya kita berharap, pesan itu mesti memiliki kekuatan yang menjiwai setiap orang dalam bertutur dan berperilaku sebagai warga negara yang tahu bersyukur. Bagaimana upaya menjadikan pesan sejarah perjuangan bangsa itu benar-benar menjiwai dan memberdayakan orang untuk bersyukur dan berpartisipasi dalam pembangunan saat ini? Kita perlu berusaha menggali dan menemukan pesan itu dalam akar sejarah kemalangan dan penderitaan nenek moyang bangsa ini. Setelah menemukan pesan, bagaimana caranya menghadirkan pesan itu secara lebih hidup dalam diri setiap anak cucu bangsa ini melalui ceritera.

Unsur penentu hidup tidaknya sebuah ceritera adalah pencerita. Sejauh mana ia mendayagunakan segenap kemampuannya, hati dan pikirannya untuk mengapresiasi ceritera itu dengan semua kekayaannya, nilai-nilainya yang mau ia batinkan ke dalam hati dan pikiran pendengarnya. Sekian sering pencerita harus berceritera seola-olah dia sendiri adalah saksi mata dari sebuah kisah sejarah yang memilukan. Pada 62 tahun silam, gelora perjuangan cinta tanah air bertumbuh dari satu pengalaman di mana terjadi perendahan martabat manusia oleh manusia.

Nenek moyang kita hidup dalam penderitaan. Mereka melakukan kerja paksa. Tenaga mereka habis terkuras, bukan hanya dalam kerja rodi tetapi juga ketika mereka harus mengalami perlakuan sewenang-wenang dalam rupa-rupa penyiksaan dan penganiayaan dari kaum kolonial. Di tanah ini para pahlawan secara tulus dan heroik nerjuang membela ranah air dan semua yang menjadi hak hidupnya. Jenderal Soedirman, misalnya bangkit memimpin perang gerilia menumpas penjajah. Ceritera tentang Jendral besar itu sangat hidup dalam ingatanku oleh guru sejarahku dulu di bangku sekolah. Hati dan jiwa sang Jendral itu terusik derita bangsanya. Ia bukan seorang Jendral dan pahlawan yang ikut-ikutan berjuang dan kemudian mengkhianati saudara-saudaranya sendiri!! Dialah pahlawan sejati, kusuma bangsa, saudara bagi anak cucu tanah ini.

Darah dan air mata para kusuma bangsa telah tercurah di tanah ini. Olehnya tanah tempat kita berada, tempat kita berpijak dan menghirup udara kemerdekaan sesungguhnya adalah tempat keramat. Ia telah terbayar mahal dengan tetesan darah, keringat dan air mata leluhur kita, para pahlawan bangsa kita. Di atas persada ini, kita terpanggil untuk memaknai semangat perjuangan mereka dengan hidup dan pengabdian kita yang harus tulus, jujur dan terhormat!! Itulah pengabdian yang lebih bermakna dari sekadar mengutakatik pesan, mempermainkan kata cinta dan pengorbanan tanpa penjiwaan di dalam dan melalui kesaksian hidup.

Sudah terlalu banyak orang mempermainkan kata cinta dan pengorbanan itu secara retoris dalam pelbagai kesempatan dan media. Mulai pada moment pemaparan visi-misi seorang calon kepala Desa, calon Bupati dan wakil Bupati, atau pada kesempatan kampanye pemilihan calon Legislatip daerah hingga pusat. Para pendengar sesungguhnya mau mendengar dan merasakan sejauh mana kesaksian hidup si pembawa pesan itu. Semua sepak terjang kehidupan dan keterlibatannya di masa lalu, akan berpengaruh pada sejauh mana pesan cinta dan pengorbanan lebih membatin dan mendorong para pendengarnya mencintai dan kemudian berpartisipasi dalam tugas pengabdian bersama dia di atas tanah keramat ini dengan gembira.

Wujud konkret sebuah kesaksian hidup yang tulus, jujur dan terhormat dalam konteks NTT fokus 2007 adalah berpartisipasi aktif dalam program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (Pos Kupang,14/8/2007). Bertempat di Palu Sulawesi utara pada 30 April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan dua program untuk orang miskin yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan P2DTK (Peluncuran Program Percepatan Daerah Tertinggal dan Khusus). Untuk NTT tahun 2007, PNPM mencakup 16 kabupaten/kota pada 93 kecamatan dan 1.347 desa/kelurahan dengan total bantuan langsung masyarakat Rp 96.3 M dengan rincian: PNPM Mandiri Perkotaan dan P2KP Rp 37, 7 M. Sedangkan PNPM Mandiri Pedesaan Rp 58,6 M.

Mengapa perlu program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja? Dari analisis data pembangunan (PK,14/8/2007), ternyata area dan kuantitas masyarakat miskin itu masih jauh berbanding terbalik dengan masyarakat sejahtera. Di NTT saja, pemetaan wilayah masyarakat miskin mencakup hampir semua Kabupaten yang terkategori sebagai kabupaten tertinggal kecuali kota Kupang. Ketertinggalan itu meliputi antara lain: kurangnya fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Kita patut bertanya, mengapa pembangunan yang telah menghabiskan sekian ratus ribu miliart bahkan triliunan rupiah selama 62 tahun HUT RI itu tidak mampu memperluas area kesejahteraan masyarakat di NTT?

Lawan dari kata memperluas adalah memperkecil. Siapa yang berupaya memperkecil area dan kuantitas masyarakat miskin di daerah kita? Secara struktur, kita boleh mengatakan kualitas jaringan struktur birokrasi pembangunan kita masih jauh dari harapan. Sumber daya manusia kita yang duduk dalam posisi strategis pembangunan belum memiliki hati nurani yang benar-benar berpihak dan mau berbagi dengan orang lain khusus mereka yang lemah dan miskin pada waktunya.

Misalnya saja, pengelolaan dana pembangunan yang tidak tepat waktu karena alasan tertentu. Dana-dana pembangunan itu oleh pengelolah untuk sementara waktu harus diparkir dulu di “tempat tertentu”. Kata orang yang ahli di bidang pengelolaan keuangan, dana sekian ratus miliar atau triliun yang tersimpan di bank apapun dalam hitungan hari saja sudah bisa menghasilkan bunga puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Lalu untuk siapa bunga uang siluman itu? Bukankah bunga siluman itu lari ke ‘dompet si pimpro atau si pengelolah atau penabung siluman? ’Sangat memalukan! We Cannot love others, nor can we be honest with them, if we are not able to love or be honest with ourselves! Kita tidak bisa mencintai yang lain atau mungkin mampukah kita berlaku jujur terhadap mereka jika kita -yang memegang posisi strategis dalam pembangunan- belum mampu mencintai dan jujur terhadap diri sendiri!.

Jika bunga uang siluman dan bahkan dana pokok pembangunan yang tersimpan di bank itu sendiri dialirkan ke kocek pribadi maka sesungguhnya tidak keliru kalau hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang penyelewengan dana pembangunan di NTT justru muncul dari sikap mental ini. Pos Kupang 5 April 2007, menegaskan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2006 tentang dana milik pemerintah sebesar Rp 791,88 M tidak jelas penggunaannya kusus di NTT. Data penyimpangan itu mau mengungkap betapa merosotnya kualitas hati nurani manusia dalam net birokrasi pembangunan kita di NTT.

Dari sudut pandang itu, kita boleh memahami persoalan mengapa fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur dari 16 kabupaten tertinggal di Propinsi NTT masih jauh dari harapan? Kita perlu secara jujur mengakui, masih ada banyak jalur perekonomian masyarakat yang hancur berantakan. Kualitas sistem agregasi dan pengaspalan oleh para kontraktor kita jauh merosot dan tidak sesuai bestek. Kita boleh prihatin dan merasa sedikit ganjil ketika kita menyaksikan badan jalan yang baru saja dikerjakan misalnya minggu lalu, atau bulan lalu mulai berlubang sana sini. Kualitas jalan itu ternyata tidak tahan uji terhadap beban kendaraan maupun erosi. Siapa yang harus melihat semuanya itu dan membuat evaluasi terhadap para kontraktor kita?

Terkait dengan itu kita perlu juga mempersoalkan sistem pengawasan oleh DPRD kita. Boleh kita katakan pola pengawasan dan evaluasi yang yang serius dan sangsi terhadap para kontraktor kita tidak tegas bahkan kurang nampak karena justru si pengawasas pembangunan itu sendiri juga yang menjadi kontraktornya. Siapa lagi yang bisa kita andalkan kejujuran dan sikap tegasnya untuk menertibkan arah pembangunan yang amburadul itu di lapangan kalau harapan kita pada DPRD sudah tidak mungkin lagi ketika mereka sendiri berlomba-lomba menjadi kontraktor. Sebaiknya Lembaga terhormat itu namanya dimodifikasi saja dengan sebutan ‘Lembaga Urusan Kontraktor Keluarga’, dan bukan lembaga yang mengurus kepentingan rakyat.

Belum lagi kalau kita mau melihat soal perhatian pemerintah untuk infrastruktur jalur jalan perekonomian yang sangat potensial tetapi tetap terisolasi. Di Kabupaten Lembata misalnya saja, jalur perkonomian Atadei menuju pantai selatan Lembata. Jalur ekonomi ini sangat potensial menghubungkan arus ekonomi masyarakat Lembata tengah dan selatan ternyata masih terus terisolasi dalam kurang lebih 12 tahun terakhir sejak terbentuknya Otonomi Daerah Kabupaten Lembata. Apakah sudah ada dana untuk membuka isolasi itu dan di mana dana itu sekarang diparkir atau dialihkan oleh DPRD kita ke pos pembangunan mana? Apabila dalam musrembang Desa dan Kecamatan setahun silam, jalur ekonomi itu diperjuangkan ke Prioritas satu dalam pembangunan infrastruktur ekonomi, mengapa oleh DPRD jalur ekonomi itu dipending? Apa alasannya? Mengapa isolasi itu tetap menjadi mimpi yang tidak jelas kapan menjadi kenyataan yang membawa berkat bagi masyarakat kecil di Lembata bagian tengah dan selatan?

Ini baru satu contoh problem isolasi infrastruktur jalur ekonomi di salah satu dari 16 Kabupaten yang berstatus daerah tertinggal di NTT. Membongkar problem itu sama artinya dengan mengurai benang kusut dari sebuah sistem birokrasi yang macet. Menanggapi soal itu, kita mesti mengevaluasi sistem, pola kerja, pola pengawasan dan terlebih manusia yang menjalankan mesin birokrasi itu sendiri. Penataan sistem, pola kerja dan pemberdayaan sumber daya manusia akan sangat membantu upaya kita membongkar isolasi dan meningkatan infrastruktur jalur ekonomi di daerah-daerah tertinggal.

Evaluasi mesti diikuti dengan rencana tindak lanjut yang tegas dan harus benar-benar termotivasi oleh pemikiran, bahwa prasarana jalan adalah urat nadi perekonomian masyarakat kita. Rencana tindak lanjut yang tegas bisa berupa membangun sikap tobat. Misalnya dengan melakukan ‘shock-terapy’ dalam bentuk sangsi hukum bagi yang melanggar aturan dengan cara ‘mem-blac list’ kontraktor yang mengerjakan proyek asal jadi. Hal ini hanya mungkin kalau ada kerjasama yang utuh, tegas dan jujur antara komponen terkait dalam hal ini: Bupati, DPRD, Dinas Kimpraswil, pengawas teknis proyek Perlu diawasi agar tidak terjadi perselingkuhan antara unsur-unsur itu. Perselingkuhan dalam tugas dan tanggungjawab antar pelbagai unsur itu akan menyebabkan usaha tobat itu sia-sia, hanya menghabiskan waktu, tenaga dan dana.

Jalur ekonomi yang terisolasi itu bagaikan urat saraf dalam tubuh manusia yang tersumbat karena kolesterol atau lemak dalam darah. Jika tidak diatasi, maka akan timbul persoalan baru berupa sakit penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, serangan jantung dan akhirnya kematian dan dukacita. Analogi ini pas untuk mengungkapkan betapa lambannya pertumbuhan ekonomi dan krisis demi krisis yang dihadapi masyarakat kecil di daerah yang masih terisolasi dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Masyarakat kecil di daerah itu akan terbebas dari krisis apabila isolasi urat nadi perekonomian itu benar-benar terbuka dan berkualitas. Perputaran barang dan jasa akan semakin lancar dan meningkat dari waktu ke waktu. Dengan demikian masyarakat kecil benar-benar akan memiliki uang dari usaha mereka sendiri. Dengan modal yang ada dan ditopang oleh infrastruktur jalan yang kondusif, mulailah mereka membuka usaha-usaha produktif.

Akhirnya, NTT fokus 2007 hanya bisa berhasil apabila ada partisipasi semua pihak. Tetapi hanya orang yang mapu mencintai dan jujur dengan diri sendiri saja yang bisa menjadi pelopor sejati suatu perubahan menembus isolasi infrastruktur jalur ekonomi menuju masyarakat sejahtera. Lahir-batin.

ROMO ANTONIUS PRAKUM KERAF, PR
Pastor Paroki Kalikasa Lembata
Nusa Tenggara Timur
Sumber: POS KUPANG, 12 November 2007

OPINI: Menembus Isolasi Infrastruktur Jalur Ekonomi

Oleh ANTONIUS PRAKUM KERAF *)

Pada HUT RI ke-62, 17 Agustus 2007, saya menerima satu SMS, “Aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangimu, aku rela bekorban untukmu, apapun akan kuserahkan padamu INDONESIAKU”. Sens of love yang menjadi spirit di balik permenungan itu hanya baru bisa mimpi. Seorang anak yang baru belajar kutak-katik HP pun bisa juga ikut-ikutan mengirim pesan itu kepada temannya. Aksi spontanitas dan manual itu kadang terjadi tanpa satu daya rohani yang terinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berakar dari sejarah perjuangan yang menggetarkan banyak orang di masa lalu. Pesan yang beredar tanpa penjiwaan itu lalu hanya akan menjadi sebuah pesan berantai yang datar tak bermakna.

Umumnya kita berharap, pesan itu mesti memiliki kekuatan yang menjiwai setiap orang dalam bertutur dan berperilaku sebagai warga negara yang tahu bersyukur. Bagaimana upaya menjadikan pesan sejarah perjuangan bangsa itu benar-benar menjiwai dan memberdayakan orang untuk bersyukur dan berpartisipasi dalam pembangunan saat ini? Kita perlu berusaha menggali dan menemukan pesan itu dalam akar sejarah kemalangan dan penderitaan nenek moyang bangsa ini. Setelah menemukan pesan, bagaimana caranya menghadirkan pesan itu secara lebih hidup dalam diri setiap anak cucu bangsa ini melalui ceritera.

Unsur penentu hidup tidaknya sebuah ceritera adalah pencerita. Sejauh mana ia mendayagunakan segenap kemampuannya, hati dan pikirannya untuk mengapresiasi ceritera itu dengan semua kekayaannya, nilai-nilainya yang mau ia batinkan ke dalam hati dan pikiran pendengarnya. Sekian sering pencerita harus berceritera seola-olah dia sendiri adalah saksi mata dari sebuah kisah sejarah yang memilukan. Pada 62 tahun silam, gelora perjuangan cinta tanah air bertumbuh dari satu pengalaman di mana terjadi perendahan martabat manusia oleh manusia.

Nenek moyang kita hidup dalam penderitaan. Mereka melakukan kerja paksa. Tenaga mereka habis terkuras, bukan hanya dalam kerja rodi tetapi juga ketika mereka harus mengalami perlakuan sewenang-wenang dalam rupa-rupa penyiksaan dan penganiayaan dari kaum kolonial. Di tanah ini para pahlawan secara tulus dan heroik nerjuang membela ranah air dan semua yang menjadi hak hidupnya. Jenderal Soedirman, misalnya bangkit memimpin perang gerilia menumpas penjajah. Ceritera tentang Jendral besar itu sangat hidup dalam ingatanku oleh guru sejarahku dulu di bangku sekolah. Hati dan jiwa sang Jendral itu terusik derita bangsanya. Ia bukan seorang Jendral dan pahlawan yang ikut-ikutan berjuang dan kemudian mengkhianati saudara-saudaranya sendiri!! Dialah pahlawan sejati, kusuma bangsa, saudara bagi anak cucu tanah ini.

Darah dan air mata para kusuma bangsa telah tercurah di tanah ini. Olehnya tanah tempat kita berada, tempat kita berpijak dan menghirup udara kemerdekaan sesungguhnya adalah tempat keramat. Ia telah terbayar mahal dengan tetesan darah, keringat dan air mata leluhur kita, para pahlawan bangsa kita. Di atas persada ini, kita terpanggil untuk memaknai semangat perjuangan mereka dengan hidup dan pengabdian kita yang harus tulus, jujur dan terhormat!! Itulah pengabdian yang lebih bermakna dari sekadar mengutakatik pesan, mempermainkan kata cinta dan pengorbanan tanpa penjiwaan di dalam dan melalui kesaksian hidup.

Sudah terlalu banyak orang mempermainkan kata cinta dan pengorbanan itu secara retoris dalam pelbagai kesempatan dan media. Mulai pada moment pemaparan visi-misi seorang calon kepala Desa, calon Bupati dan wakil Bupati, atau pada kesempatan kampanye pemilihan calon Legislatip daerah hingga pusat. Para pendengar sesungguhnya mau mendengar dan merasakan sejauh mana kesaksian hidup si pembawa pesan itu. Semua sepak terjang kehidupan dan keterlibatannya di masa lalu, akan berpengaruh pada sejauh mana pesan cinta dan pengorbanan lebih membatin dan mendorong para pendengarnya mencintai dan kemudian berpartisipasi dalam tugas pengabdian bersama dia di atas tanah keramat ini dengan gembira.

Wujud konkret sebuah kesaksian hidup yang tulus, jujur dan terhormat dalam konteks NTT fokus 2007 adalah berpartisipasi aktif dalam program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (Pos Kupang,14/8/2007). Bertempat di Palu Sulawesi utara pada 30 April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan dua program untuk orang miskin yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan P2DTK (Peluncuran Program Percepatan Daerah Tertinggal dan Khusus). Untuk NTT tahun 2007, PNPM mencakup 16 kabupaten/kota pada 93 kecamatan dan 1.347 desa/kelurahan dengan total bantuan langsung masyarakat Rp 96.3 M dengan rincian: PNPM Mandiri Perkotaan dan P2KP Rp 37, 7 M. Sedangkan PNPM Mandiri Pedesaan Rp 58,6 M.

Mengapa perlu program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja? Dari analisis data pembangunan (PK,14/8/2007), ternyata area dan kuantitas masyarakat miskin itu masih jauh berbanding terbalik dengan masyarakat sejahtera. Di NTT saja, pemetaan wilayah masyarakat miskin mencakup hampir semua Kabupaten yang terkategori sebagai kabupaten tertinggal kecuali kota Kupang. Ketertinggalan itu meliputi antara lain: kurangnya fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Kita patut bertanya, mengapa pembangunan yang telah menghabiskan sekian ratus ribu miliart bahkan triliunan rupiah selama 62 tahun HUT RI itu tidak mampu memperluas area kesejahteraan masyarakat di NTT?

Lawan dari kata memperluas adalah memperkecil. Siapa yang berupaya memperkecil area dan kuantitas masyarakat miskin di daerah kita? Secara struktur, kita boleh mengatakan kualitas jaringan struktur birokrasi pembangunan kita masih jauh dari harapan. Sumber daya manusia kita yang duduk dalam posisi strategis pembangunan belum memiliki hati nurani yang benar-benar berpihak dan mau berbagi dengan orang lain khusus mereka yang lemah dan miskin pada waktunya.

Misalnya saja, pengelolaan dana pembangunan yang tidak tepat waktu karena alasan tertentu. Dana-dana pembangunan itu oleh pengelolah untuk sementara waktu harus diparkir dulu di “tempat tertentu”. Kata orang yang ahli di bidang pengelolaan keuangan, dana sekian ratus miliar atau triliun yang tersimpan di bank apapun dalam hitungan hari saja sudah bisa menghasilkan bunga puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Lalu untuk siapa bunga uang siluman itu? Bukankah bunga siluman itu lari ke ‘dompet si pimpro atau si pengelolah atau penabung siluman? ’Sangat memalukan! We Cannot love others, nor can we be honest with them, if we are not able to love or be honest with ourselves! Kita tidak bisa mencintai yang lain atau mungkin mampukah kita berlaku jujur terhadap mereka jika kita -yang memegang posisi strategis dalam pembangunan- belum mampu mencintai dan jujur terhadap diri sendiri!.

Jika bunga uang siluman dan bahkan dana pokok pembangunan yang tersimpan di bank itu sendiri dialirkan ke kocek pribadi maka sesungguhnya tidak keliru kalau hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang penyelewengan dana pembangunan di NTT justru muncul dari sikap mental ini. Pos Kupang 5 April 2007, menegaskan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2006 tentang dana milik pemerintah sebesar Rp 791,88 M tidak jelas penggunaannya kusus di NTT. Data penyimpangan itu mau mengungkap betapa merosotnya kualitas hati nurani manusia dalam net birokrasi pembangunan kita di NTT.

Dari sudut pandang itu, kita boleh memahami persoalan mengapa fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur dari 16 kabupaten tertinggal di Propinsi NTT masih jauh dari harapan? Kita perlu secara jujur mengakui, masih ada banyak jalur perekonomian masyarakat yang hancur berantakan. Kualitas sistem agregasi dan pengaspalan oleh para kontraktor kita jauh merosot dan tidak sesuai bestek. Kita boleh prihatin dan merasa sedikit ganjil ketika kita menyaksikan badan jalan yang baru saja dikerjakan misalnya minggu lalu, atau bulan lalu mulai berlubang sana sini. Kualitas jalan itu ternyata tidak tahan uji terhadap beban kendaraan maupun erosi. Siapa yang harus melihat semuanya itu dan membuat evaluasi terhadap para kontraktor kita?

Terkait dengan itu kita perlu juga mempersoalkan sistem pengawasan oleh DPRD kita. Boleh kita katakan pola pengawasan dan evaluasi yang yang serius dan sangsi terhadap para kontraktor kita tidak tegas bahkan kurang nampak karena justru si pengawasas pembangunan itu sendiri juga yang menjadi kontraktornya. Siapa lagi yang bisa kita andalkan kejujuran dan sikap tegasnya untuk menertibkan arah pembangunan yang amburadul itu di lapangan kalau harapan kita pada DPRD sudah tidak mungkin lagi ketika mereka sendiri berlomba-lomba menjadi kontraktor. Sebaiknya Lembaga terhormat itu namanya dimodifikasi saja dengan sebutan ‘Lembaga Urusan Kontraktor Keluarga’, dan bukan lembaga yang mengurus kepentingan rakyat.

Belum lagi kalau kita mau melihat soal perhatian pemerintah untuk infrastruktur jalur jalan perekonomian yang sangat potensial tetapi tetap terisolasi. Di Kabupaten Lembata misalnya saja, jalur perkonomian Atadei menuju pantai selatan Lembata. Jalur ekonomi ini sangat potensial menghubungkan arus ekonomi masyarakat Lembata tengah dan selatan ternyata masih terus terisolasi dalam kurang lebih 12 tahun terakhir sejak terbentuknya Otonomi Daerah Kabupaten Lembata. Apakah sudah ada dana untuk membuka isolasi itu dan di mana dana itu sekarang diparkir atau dialihkan oleh DPRD kita ke pos pembangunan mana? Apabila dalam musrembang Desa dan Kecamatan setahun silam, jalur ekonomi itu diperjuangkan ke Prioritas satu dalam pembangunan infrastruktur ekonomi, mengapa oleh DPRD jalur ekonomi itu dipending? Apa alasannya? Mengapa isolasi itu tetap menjadi mimpi yang tidak jelas kapan menjadi kenyataan yang membawa berkat bagi masyarakat kecil di Lembata bagian tengah dan selatan?

Ini baru satu contoh problem isolasi infrastruktur jalur ekonomi di salah satu dari 16 Kabupaten yang berstatus daerah tertinggal di NTT. Membongkar problem itu sama artinya dengan mengurai benang kusut dari sebuah sistem birokrasi yang macet. Menanggapi soal itu, kita mesti mengevaluasi sistem, pola kerja, pola pengawasan dan terlebih manusia yang menjalankan mesin birokrasi itu sendiri. Penataan sistem, pola kerja dan pemberdayaan sumber daya manusia akan sangat membantu upaya kita membongkar isolasi dan meningkatan infrastruktur jalur ekonomi di daerah-daerah tertinggal.

Evaluasi mesti diikuti dengan rencana tindak lanjut yang tegas dan harus benar-benar termotivasi oleh pemikiran, bahwa prasarana jalan adalah urat nadi perekonomian masyarakat kita. Rencana tindak lanjut yang tegas bisa berupa membangun sikap tobat. Misalnya dengan melakukan ‘shock-terapy’ dalam bentuk sangsi hukum bagi yang melanggar aturan dengan cara ‘mem-blac list’ kontraktor yang mengerjakan proyek asal jadi. Hal ini hanya mungkin kalau ada kerjasama yang utuh, tegas dan jujur antara komponen terkait dalam hal ini: Bupati, DPRD, Dinas Kimpraswil, pengawas teknis proyek Perlu diawasi agar tidak terjadi perselingkuhan antara unsur-unsur itu. Perselingkuhan dalam tugas dan tanggungjawab antar pelbagai unsur itu akan menyebabkan usaha tobat itu sia-sia, hanya menghabiskan waktu, tenaga dan dana.

Jalur ekonomi yang terisolasi itu bagaikan urat saraf dalam tubuh manusia yang tersumbat karena kolesterol atau lemak dalam darah. Jika tidak diatasi, maka akan timbul persoalan baru berupa sakit penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, serangan jantung dan akhirnya kematian dan dukacita. Analogi ini pas untuk mengungkapkan betapa lambannya pertumbuhan ekonomi dan krisis demi krisis yang dihadapi masyarakat kecil di daerah yang masih terisolasi dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Masyarakat kecil di daerah itu akan terbebas dari krisis apabila isolasi urat nadi perekonomian itu benar-benar terbuka dan berkualitas. Perputaran barang dan jasa akan semakin lancar dan meningkat dari waktu ke waktu. Dengan demikian masyarakat kecil benar-benar akan memiliki uang dari usaha mereka sendiri. Dengan modal yang ada dan ditopang oleh infrastruktur jalan yang kondusif, mulailah mereka membuka usaha-usaha produktif.

Akhirnya, NTT fokus 2007 hanya bisa berhasil apabila ada partisipasi semua pihak. Tetapi hanya orang yang mapu mencintai dan jujur dengan diri sendiri saja yang bisa menjadi pelopor sejati suatu perubahan menembus isolasi infrastruktur jalur ekonomi menuju masyarakat sejahtera. Lahir-batin.

*) Penulis adalah Pastor Paroki Kalikasa
Lembata, Nusa Tenggara Timur

Sunday, January 20, 2008

Masyarakat Jangan Lengah


Jakarta-Masyarakat Lembata, terutama di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri diminta untuk mengawal rencana masuknya perusahaan pertambangan di bawah kelompok usaha Merukh Enterprises di Lembata yang rencananya akan melakukan kegiatan eksploitasi tahun ini.

“Kita tahu, dukungan DPRD Lembata hanya bersifat politis yang tidak berpengaruh terhadap sikap masyarakat Kedang dan Lebatukan. Saya minta agar masyarakat Lembata, terutama yang tinggal di Lebatukan dan Kedang mengawalnya secara baik. Jangan lengah karena nampaknya, rencana itu terus dipaksakan oleh Bupati Lembata,” kata Gabriel Suku Kota, SH, M.Si, tokoh muda Lembata yang juga praktisi hukum NTT.

Menurut Suku Kotan, dalam pertemuannya dengan masyarakat di Leragere dan sekitarnya Desember hingga awal Januari ini, pihaknya tahu kalau masyarakat tetap pada sikapnya menolak tegas rencana itu.

“Nampaknya yang terjadi adalah pemutarbalikan informasi bahwa sebagian warga sudah menyetujui rencana tambang. Mereka (masyarakat) sudah melakukan sumpah adat menolak. Jadi, siapa yang berani mengambil resiko?” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Keluarga Besar Mahasiswa Lembata Jakarta (KBMLJ) Fransiskus Namang mengingatkan agar sebaiknya rencana investasi pertambangan tak perlu diteruskan oleh Pemkab dan DPRD Lembata.

“Kita tahu. Sejak awal, rencana pertambangan oleh Merukh Enterprises ditolak hampir sebagian elemen masyarakat. Para pastor seluruh Dekanat Lembata saja juga menolaknya. Jadi, apalagi yang mau dicari dari rencana investasi (pertambangan) ini?” kata Frans Namang.

Menurutnya, rencana investasi tersebut hanya menunjukkan kegagalan Pemkab Lembata selama lima tahun kepemimpinan sebelumnya. Karena itu, rencana tambang tersebut sekadar mengalihkan persoalan kegagalan pembangunan selama lima tahun sebelumnya.

“Wajah kota Lewoleba saja tak pernah berubah. Belum lagi prasarana jalan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi ternyata tak tertangani dengan baik. Padahal, dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat nilainya sangat besar. Sedang di lain sisi korupsi merajalela. Ini situasi yang sangat membahayakan bagi kemajuan Lembata ke depan,” tandas mahasiswa yang kritis ini.
Ansel Deri