Raut wajah Aleta Ba’un sedih ketika ditemui di Desa Tune, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Juni lalu.
Rambutnya kusam tak terurus. Rupanya sudah setahun ia tak bersua keluarganya. Pada Jumat (24/8), saat muncul di Jakarta, wajahnya berseri karena menerima Anugerah Saparinah Sadli.
Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan untuk "pencapaian perempuan Indonesia" di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. Aleta meraih penghargaan itu terutama untuk komitmennya terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan.
Ia adalah Koordinator Oat dan penggiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di Kabupaten SoE, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Jadi, di lapangan, orang mendapati Aleta yang berpenampilan lusuh. Dia harus kerap bepergian, meninggalkan keluarga, karena diancam akan dibunuh pihak yang merasa dirugikan. "Bahkan, preman bayaran pernah mengancam nyawa saya," katanya. Sampai Juni lalu, Aleta masih dicari-cari preman bayaran.
"Sejak Juni 2006 itulah saya meninggalkan rumah. Hidup berpindah dari satu desa ke desa lain. Masyarakat desa menampung saya, memberi makan-minum sekaligus mengamankan," cerita ibu tiga anak ini.
Semua itu bermula saat ia bergabung dengan Yayasan Sanggar Suara Perempuan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tahun 1993. Lembaga yang menangani masalah perempuan, seperti jender, kematian ibu melahirkan, kekerasan rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan perdagangan perempuan ke luar negeri.
"Kehidupan perempuan di desa-desa sangat memprihatinkan. Mereka hampir tak punya kekuatan untuk bangkit memperjuangkan hak sebagai warganegara," ucapnya.
Belum selesai perjuangan tersebut, tahun 1999 ia dihadapkan pada persoalan lain, yaitu perusakan sejumlah bukit batu milik suku besar Molo yang meliputi tujuh kecamatan di TTS. Bukit batu itu habis dikuras, tetapi tak ada upaya rehabilitasi hutan. Kondisi masyarakat tetap miskin dan harus menanggung akibat ulah pengusaha. Padahal, pengusaha tak membayar kompensasi apa pun untuk masyarakat.
Kalangan pengusaha secara serampangan merobohkan sejumlah bukit batu. Bahan itu diproses menjadi marmer. Ini membuat masyarakat berang sebab bukit itu sejak lama diyakini sebagai tempat arwah nenek moyang, keramat, pusat kuburan, dan altar sesajian atau tempat ritual adat.
Misalnya, bukit batu di Desa Nesus yang hancur setelah dirobohkan. Hutan sabana di sekitar bukit pun lenyap, menimbulkan kekeringan di sejumlah sumber air. Beberapa jenis burung endemik yang tinggal dalam liang batu pun punah. Selain itu, terjadi erosi, pencemaran air, kerusakan tanah rakyat, penyempitan lahan pertanian, dan kehilangan humus tanah.
Maka, atas permintaan para tetua adat, Aleta dan sejumlah pemuda Molo bergabung dengan Yayasan Oat atau Organisasi Kelompok Kerja Atemamus masyarakat adat Molo. Cakupan kerjanya lebih luas, termasuk lingkungan. Atemamus dalam bahasa Dawan artinya pengayoman, perlindungan, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup.
Sebagai keturunan Majelis Pemilih Raja (MPR) masyarakat Molo, Aleta ditunjuk menjadi koordinator Yayasan Oat. Ia dianggap mampu mempersatukan masyarakat Molo, berkomunikasi dengan tetua adat dan membangkitkan budaya setempat.
Bersama ribuan warga adat dari 42 desa di empat kecamatan, ia menolak pertambangan pada gunung batu Nausus pada 3 Juni 2000. Selama dua bulan mereka tinggal di lokasi pertambangan, tidur di hutan tanpa alas tikar, kecuali dedaunan. Dalam aksi itu, setiap saat ada tembakan peringatan dari polisi. Para pendamping pun diintimidasi dan ditahan.
Akan tetapi, mereka berhasil. Izin pengelolaan tambang perusahaan dicabut Gubernur NTT. Tahun 2002 ia bersama masyarakat Desa Bonleu dan Tune berhasil mempertahankan tanah adat yang diklaim Dinas Kehutanan TTS.
"Meski upaya itu tidak diakui pihak pemerintah kabupaten, masyarakat sudah menguasai tanah seluas 2.000 hektar, lalu mulai menanam jagung dan umbi-umbian. Kami tidak akan menyerahkan tanah itu kepada pemerintah," ujarnya tegas.
Eksploitasi
Tahun 2002 Aleta bersama rekan-rekan berjuang menggagalkan eksploitasi tambang marmer di Nuankolo. Seusai itu, ia bergabung bersama masyarakat Desa Naetapan mengusir pengusaha pertambangan marmer dari Naetapan.
Ini mengingat lokasi pertambangan berada di tengah kampung sehingga terjadi kerusakan hutan, sumber mata air keruh, tanaman rakyat hancur dan hilang karena erosi.
Bersama masyarakat, ia menduduki lokasi pertambangan selama sebulan. Pada waktu aksi, ia membawa anaknya yang berusia dua bulan untuk tinggal bersama masyarakat adat di hutan.
"Kami tidak lakukan kekerasan, tetapi dialog, demo, dan aksi keprihatinan lain, sampai tambang ditutup," katanya.
Akan tetapi, perusahaan itu beroperasi lagi setelah bekerja sama dengan kepolisian dan pemerintah daerah setempat yang didukung ratusan preman dari kota TTS.
Hasilnya? Juni 2006 sebanyak 16 warga ditangkap dan ditahan di Kepolisian Resor (Polres) TTS. Kini, ke-16 warga itu telah dibebaskan atas perjuangan Aleta dan kawan-kawan.
Dia juga memimpin warga untuk menolak penambangan marmer di sejumlah lokasi, termasuk di Dusun Kuanoel. Perjuangan itu berhasil, setelah hampir 1.000 warga memblokir lokasi pertambangan, dilanjutkan demo di Kantor DPRD TTS. Dalam setiap aksi menolak tambang, kaum perempuan Molo ikut aktif terlibat.
"Tambang itu kini tidak beroperasi lagi. Tetapi, masyarakat terpecah jadi dua kelompok. Satu kelompok ikut pengusaha kembali ke kota SoE dan kelompok lain menetap di Fatumnasi. Ulah pengusaha membuat hubungan harmonis antar-anggota masyarakat rusak. Mereka kini saling bermusuhan," ujar Aleta.
Malah, di SoE, pengusaha membayar preman untuk bergabung dengan pekerja tambang. Tujuannya membunuh Aleta.
Perempuan ini lalu melapor kepada Polres TTS terkait intimidasi, teror, pelemparan rumah, dan pengejaran yang dilakukan para preman, tetapi tak digubris.
"Anak saya yang berumur empat tahun sempat kena lemparan di kepala sampai bocor," ujarnya.
Demi menghindari teror, ia dan keluarga dua kali berpindah tempat. "Ini melelahkan. Tetapi, setiap saat warga mendatangi rumah kami, mengadukan masalah mereka. Ini menguatkan kami untuk terus berjuang," tuturnya.
Hingga kini ia masih terpisah dari suami dan ketiga anaknya. Meski rindu kepada keluarga, Aleta tetap berjuang demi kebenaran. (KORNELIS KEWA AMA dan EVY RACHMAWATI)
Sumber: KOMPAS, 29 Agustus 2007