Tuesday, January 29, 2008

Aleta Ba’un, Berjuang demi Lingkungan


Raut wajah Aleta Ba’un sedih ketika ditemui di Desa Tune, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Juni lalu.

Rambutnya kusam tak terurus. Rupanya sudah setahun ia tak bersua keluarganya. Pada Jumat (24/8), saat muncul di Jakarta, wajahnya berseri karena menerima Anugerah Saparinah Sadli.

Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan untuk "pencapaian perempuan Indonesia" di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. Aleta meraih penghargaan itu terutama untuk komitmennya terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan.

Ia adalah Koordinator Oat dan penggiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di Kabupaten SoE, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Jadi, di lapangan, orang mendapati Aleta yang berpenampilan lusuh. Dia harus kerap bepergian, meninggalkan keluarga, karena diancam akan dibunuh pihak yang merasa dirugikan. "Bahkan, preman bayaran pernah mengancam nyawa saya," katanya. Sampai Juni lalu, Aleta masih dicari-cari preman bayaran.

"Sejak Juni 2006 itulah saya meninggalkan rumah. Hidup berpindah dari satu desa ke desa lain. Masyarakat desa menampung saya, memberi makan-minum sekaligus mengamankan," cerita ibu tiga anak ini.

Semua itu bermula saat ia bergabung dengan Yayasan Sanggar Suara Perempuan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tahun 1993. Lembaga yang menangani masalah perempuan, seperti jender, kematian ibu melahirkan, kekerasan rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan perdagangan perempuan ke luar negeri.

"Kehidupan perempuan di desa-desa sangat memprihatinkan. Mereka hampir tak punya kekuatan untuk bangkit memperjuangkan hak sebagai warganegara," ucapnya.

Belum selesai perjuangan tersebut, tahun 1999 ia dihadapkan pada persoalan lain, yaitu perusakan sejumlah bukit batu milik suku besar Molo yang meliputi tujuh kecamatan di TTS. Bukit batu itu habis dikuras, tetapi tak ada upaya rehabilitasi hutan. Kondisi masyarakat tetap miskin dan harus menanggung akibat ulah pengusaha. Padahal, pengusaha tak membayar kompensasi apa pun untuk masyarakat.

Kalangan pengusaha secara serampangan merobohkan sejumlah bukit batu. Bahan itu diproses menjadi marmer. Ini membuat masyarakat berang sebab bukit itu sejak lama diyakini sebagai tempat arwah nenek moyang, keramat, pusat kuburan, dan altar sesajian atau tempat ritual adat.

Misalnya, bukit batu di Desa Nesus yang hancur setelah dirobohkan. Hutan sabana di sekitar bukit pun lenyap, menimbulkan kekeringan di sejumlah sumber air. Beberapa jenis burung endemik yang tinggal dalam liang batu pun punah. Selain itu, terjadi erosi, pencemaran air, kerusakan tanah rakyat, penyempitan lahan pertanian, dan kehilangan humus tanah.

Maka, atas permintaan para tetua adat, Aleta dan sejumlah pemuda Molo bergabung dengan Yayasan Oat atau Organisasi Kelompok Kerja Atemamus masyarakat adat Molo. Cakupan kerjanya lebih luas, termasuk lingkungan. Atemamus dalam bahasa Dawan artinya pengayoman, perlindungan, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup.

Sebagai keturunan Majelis Pemilih Raja (MPR) masyarakat Molo, Aleta ditunjuk menjadi koordinator Yayasan Oat. Ia dianggap mampu mempersatukan masyarakat Molo, berkomunikasi dengan tetua adat dan membangkitkan budaya setempat.

Bersama ribuan warga adat dari 42 desa di empat kecamatan, ia menolak pertambangan pada gunung batu Nausus pada 3 Juni 2000. Selama dua bulan mereka tinggal di lokasi pertambangan, tidur di hutan tanpa alas tikar, kecuali dedaunan. Dalam aksi itu, setiap saat ada tembakan peringatan dari polisi. Para pendamping pun diintimidasi dan ditahan.

Akan tetapi, mereka berhasil. Izin pengelolaan tambang perusahaan dicabut Gubernur NTT. Tahun 2002 ia bersama masyarakat Desa Bonleu dan Tune berhasil mempertahankan tanah adat yang diklaim Dinas Kehutanan TTS.

"Meski upaya itu tidak diakui pihak pemerintah kabupaten, masyarakat sudah menguasai tanah seluas 2.000 hektar, lalu mulai menanam jagung dan umbi-umbian. Kami tidak akan menyerahkan tanah itu kepada pemerintah," ujarnya tegas.


Eksploitasi


Tahun 2002 Aleta bersama rekan-rekan berjuang menggagalkan eksploitasi tambang marmer di Nuankolo. Seusai itu, ia bergabung bersama masyarakat Desa Naetapan mengusir pengusaha pertambangan marmer dari Naetapan.

Ini mengingat lokasi pertambangan berada di tengah kampung sehingga terjadi kerusakan hutan, sumber mata air keruh, tanaman rakyat hancur dan hilang karena erosi.

Bersama masyarakat, ia menduduki lokasi pertambangan selama sebulan. Pada waktu aksi, ia membawa anaknya yang berusia dua bulan untuk tinggal bersama masyarakat adat di hutan.

"Kami tidak lakukan kekerasan, tetapi dialog, demo, dan aksi keprihatinan lain, sampai tambang ditutup," katanya.

Akan tetapi, perusahaan itu beroperasi lagi setelah bekerja sama dengan kepolisian dan pemerintah daerah setempat yang didukung ratusan preman dari kota TTS.

Hasilnya? Juni 2006 sebanyak 16 warga ditangkap dan ditahan di Kepolisian Resor (Polres) TTS. Kini, ke-16 warga itu telah dibebaskan atas perjuangan Aleta dan kawan-kawan.

Dia juga memimpin warga untuk menolak penambangan marmer di sejumlah lokasi, termasuk di Dusun Kuanoel. Perjuangan itu berhasil, setelah hampir 1.000 warga memblokir lokasi pertambangan, dilanjutkan demo di Kantor DPRD TTS. Dalam setiap aksi menolak tambang, kaum perempuan Molo ikut aktif terlibat.

"Tambang itu kini tidak beroperasi lagi. Tetapi, masyarakat terpecah jadi dua kelompok. Satu kelompok ikut pengusaha kembali ke kota SoE dan kelompok lain menetap di Fatumnasi. Ulah pengusaha membuat hubungan harmonis antar-anggota masyarakat rusak. Mereka kini saling bermusuhan," ujar Aleta.

Malah, di SoE, pengusaha membayar preman untuk bergabung dengan pekerja tambang. Tujuannya membunuh Aleta.

Perempuan ini lalu melapor kepada Polres TTS terkait intimidasi, teror, pelemparan rumah, dan pengejaran yang dilakukan para preman, tetapi tak digubris.

"Anak saya yang berumur empat tahun sempat kena lemparan di kepala sampai bocor," ujarnya.

Demi menghindari teror, ia dan keluarga dua kali berpindah tempat. "Ini melelahkan. Tetapi, setiap saat warga mendatangi rumah kami, mengadukan masalah mereka. Ini menguatkan kami untuk terus berjuang," tuturnya.

Hingga kini ia masih terpisah dari suami dan ketiga anaknya. Meski rindu kepada keluarga, Aleta tetap berjuang demi kebenaran. (KORNELIS KEWA AMA dan EVY RACHMAWATI)



Sumber: KOMPAS, 29 Agustus 2007

Aleta Ba’un, Berjuang demi Lingkungan


Raut wajah Aleta Ba’un sedih ketika ditemui di Desa Tune, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Juni lalu.

Rambutnya kusam tak terurus. Rupanya sudah setahun ia tak bersua keluarganya. Pada Jumat (24/8), saat muncul di Jakarta, wajahnya berseri karena menerima Anugerah Saparinah Sadli.

Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan untuk "pencapaian perempuan Indonesia" di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. Aleta meraih penghargaan itu terutama untuk komitmennya terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan.

Ia adalah Koordinator Oat dan penggiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di Kabupaten SoE, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Jadi, di lapangan, orang mendapati Aleta yang berpenampilan lusuh. Dia harus kerap bepergian, meninggalkan keluarga, karena diancam akan dibunuh pihak yang merasa dirugikan. "Bahkan, preman bayaran pernah mengancam nyawa saya," katanya. Sampai Juni lalu, Aleta masih dicari-cari preman bayaran.

"Sejak Juni 2006 itulah saya meninggalkan rumah. Hidup berpindah dari satu desa ke desa lain. Masyarakat desa menampung saya, memberi makan-minum sekaligus mengamankan," cerita ibu tiga anak ini.

Semua itu bermula saat ia bergabung dengan Yayasan Sanggar Suara Perempuan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tahun 1993. Lembaga yang menangani masalah perempuan, seperti jender, kematian ibu melahirkan, kekerasan rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan perdagangan perempuan ke luar negeri.

"Kehidupan perempuan di desa-desa sangat memprihatinkan. Mereka hampir tak punya kekuatan untuk bangkit memperjuangkan hak sebagai warganegara," ucapnya.

Belum selesai perjuangan tersebut, tahun 1999 ia dihadapkan pada persoalan lain, yaitu perusakan sejumlah bukit batu milik suku besar Molo yang meliputi tujuh kecamatan di TTS. Bukit batu itu habis dikuras, tetapi tak ada upaya rehabilitasi hutan. Kondisi masyarakat tetap miskin dan harus menanggung akibat ulah pengusaha. Padahal, pengusaha tak membayar kompensasi apa pun untuk masyarakat.

Kalangan pengusaha secara serampangan merobohkan sejumlah bukit batu. Bahan itu diproses menjadi marmer. Ini membuat masyarakat berang sebab bukit itu sejak lama diyakini sebagai tempat arwah nenek moyang, keramat, pusat kuburan, dan altar sesajian atau tempat ritual adat.

Misalnya, bukit batu di Desa Nesus yang hancur setelah dirobohkan. Hutan sabana di sekitar bukit pun lenyap, menimbulkan kekeringan di sejumlah sumber air. Beberapa jenis burung endemik yang tinggal dalam liang batu pun punah. Selain itu, terjadi erosi, pencemaran air, kerusakan tanah rakyat, penyempitan lahan pertanian, dan kehilangan humus tanah.

Maka, atas permintaan para tetua adat, Aleta dan sejumlah pemuda Molo bergabung dengan Yayasan Oat atau Organisasi Kelompok Kerja Atemamus masyarakat adat Molo. Cakupan kerjanya lebih luas, termasuk lingkungan. Atemamus dalam bahasa Dawan artinya pengayoman, perlindungan, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup.

Sebagai keturunan Majelis Pemilih Raja (MPR) masyarakat Molo, Aleta ditunjuk menjadi koordinator Yayasan Oat. Ia dianggap mampu mempersatukan masyarakat Molo, berkomunikasi dengan tetua adat dan membangkitkan budaya setempat.

Bersama ribuan warga adat dari 42 desa di empat kecamatan, ia menolak pertambangan pada gunung batu Nausus pada 3 Juni 2000. Selama dua bulan mereka tinggal di lokasi pertambangan, tidur di hutan tanpa alas tikar, kecuali dedaunan. Dalam aksi itu, setiap saat ada tembakan peringatan dari polisi. Para pendamping pun diintimidasi dan ditahan.

Akan tetapi, mereka berhasil. Izin pengelolaan tambang perusahaan dicabut Gubernur NTT. Tahun 2002 ia bersama masyarakat Desa Bonleu dan Tune berhasil mempertahankan tanah adat yang diklaim Dinas Kehutanan TTS.

"Meski upaya itu tidak diakui pihak pemerintah kabupaten, masyarakat sudah menguasai tanah seluas 2.000 hektar, lalu mulai menanam jagung dan umbi-umbian. Kami tidak akan menyerahkan tanah itu kepada pemerintah," ujarnya tegas.


Eksploitasi


Tahun 2002 Aleta bersama rekan-rekan berjuang menggagalkan eksploitasi tambang marmer di Nuankolo. Seusai itu, ia bergabung bersama masyarakat Desa Naetapan mengusir pengusaha pertambangan marmer dari Naetapan.

Ini mengingat lokasi pertambangan berada di tengah kampung sehingga terjadi kerusakan hutan, sumber mata air keruh, tanaman rakyat hancur dan hilang karena erosi.

Bersama masyarakat, ia menduduki lokasi pertambangan selama sebulan. Pada waktu aksi, ia membawa anaknya yang berusia dua bulan untuk tinggal bersama masyarakat adat di hutan.

"Kami tidak lakukan kekerasan, tetapi dialog, demo, dan aksi keprihatinan lain, sampai tambang ditutup," katanya.

Akan tetapi, perusahaan itu beroperasi lagi setelah bekerja sama dengan kepolisian dan pemerintah daerah setempat yang didukung ratusan preman dari kota TTS.

Hasilnya? Juni 2006 sebanyak 16 warga ditangkap dan ditahan di Kepolisian Resor (Polres) TTS. Kini, ke-16 warga itu telah dibebaskan atas perjuangan Aleta dan kawan-kawan.

Dia juga memimpin warga untuk menolak penambangan marmer di sejumlah lokasi, termasuk di Dusun Kuanoel. Perjuangan itu berhasil, setelah hampir 1.000 warga memblokir lokasi pertambangan, dilanjutkan demo di Kantor DPRD TTS. Dalam setiap aksi menolak tambang, kaum perempuan Molo ikut aktif terlibat.

"Tambang itu kini tidak beroperasi lagi. Tetapi, masyarakat terpecah jadi dua kelompok. Satu kelompok ikut pengusaha kembali ke kota SoE dan kelompok lain menetap di Fatumnasi. Ulah pengusaha membuat hubungan harmonis antar-anggota masyarakat rusak. Mereka kini saling bermusuhan," ujar Aleta.

Malah, di SoE, pengusaha membayar preman untuk bergabung dengan pekerja tambang. Tujuannya membunuh Aleta.

Perempuan ini lalu melapor kepada Polres TTS terkait intimidasi, teror, pelemparan rumah, dan pengejaran yang dilakukan para preman, tetapi tak digubris.

"Anak saya yang berumur empat tahun sempat kena lemparan di kepala sampai bocor," ujarnya.

Demi menghindari teror, ia dan keluarga dua kali berpindah tempat. "Ini melelahkan. Tetapi, setiap saat warga mendatangi rumah kami, mengadukan masalah mereka. Ini menguatkan kami untuk terus berjuang," tuturnya.

Hingga kini ia masih terpisah dari suami dan ketiga anaknya. Meski rindu kepada keluarga, Aleta tetap berjuang demi kebenaran. (KORNELIS KEWA AMA dan EVY RACHMAWATI)

Sumber: KOMPAS, 29 Agustus 2007

Monday, January 28, 2008

Chris John Vs Rionet Caballero Jurado: Menunggu Kejutan The Dragon Banjarnegara

Tarung wajib atau mandatory fight antara petinju kelas bulu versi WBA Chris John (27) melawan Rionet Caballero Jurado (24) akan digelar di Istora Senayan Jakarta, Sabtu, (26/1) malam. Mampukah the Dragon mengkanvaskan Caballero?

SEMUA belum pasti karena masih harus dibuktikan Chris John saat berduel maut dengan petinju asal Panama Rionet Caballero Jurado. Pastinya, jauh sebelum itu petinju kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah yang mendapat julukan the Dragon ini sudah bermimpi menjadi petinju kelas dunia. Itu pun sudah ia wujudkan dalam beberapa mandatory fight sebelumnya. Misalnya, dengan Derrick Gainner asal Amerika Serikat di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kemudian dengan Juan Manuel Marques di Tenggarong, dan terakhir dengan Jose Cheo Rojas dari Venezuela di Lapangan Tenis Indoor Senayan Jakarta, Sabtu 3 Maret 2007 lalu.

Publik tinju Indonesia mungkin masih ingat. Saat menghadapi Rojas, Chris John menang angka dalam laga 12 ronde tersebut. Saat itu, tigas wasit: Fransisco Martinez dari Selandia Baru memberi angka 118–108, Levi Martinez dari Amerika Serikat: 117–107, dan Uriel Aguilera: 116–110 untuk Chris–Rojas. Tapi, akankah suami Anna Maria Megawati ini mengulang suksesnya saat menghadapi Rionet Caballero Jurado? Belum bisa dipastikan. Tapi, pria bernama lengkap Yohannes Christian John kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, 14 September 1981 ini mengungkapkan akan memukul rubuh Caballero jika memang ada peluang. “Saya berfokus sampai 12 ronde. Tapi, saya tidak akan melewatkan kesempatan jika ada peluang untuk meng-KO-kan dia,” kata Chris John saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (23/1) kemarin. Saat itu, Chris John didampingi Craig Christian, manajer sekaligus pelatihnya asal Australia. Bahkan Craig yakin, anak asuhnya itu akan mendulang sukses menghadapi Caballero. “Ini akan menjadi pertandingan yang seru dan Chris sebagai juara dunia akan menjadi juara,” kata Craig seumbar.

Chris John sudah melakukan latihan secara intensif di empat tempat. Di Sasana Mirah Boxing Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, Chris John melakukan sparring partner dengan petinju nasional asal Ngada, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, serta Williams dan Jacksen Asiku dari Australia. Selain itu, ia juga berlatih di Sasana Mirah Silver Boxing Gym, Kuta, Bali. Kemudian tempat ketiga dan keempat adalah Hery`s Gym Perth, Australia, kemudian Jakarta. Chris John mengatakan saat ini berat badannya berkisar antara 61-62 kilogram. Sedangkan berat ideal untuk bertarung di kelas bulu adalah 57,1 kilogram. Artinya, ia harus berusaha menurunkan berat badan karena saat ini masih mengalami kelebihan berat badan sekitar tiga kilogram. Meski demikian, ia disarankan Craig agar frekuensi menyantap makanan malah harus lebih diperbanyak.

Meski demikian, sang penantang Rionet Caballero Jurado tentu tak boleh dianggap sebelah mata. Rekor bertanding menang-kalah sebanyak 22–7–1 dengan 16 kemenangan KO sudah ia kantongi. Dan jauh-jauh dari Panama hanya satu dalam benak Caballero: menang. “Kami cukup bertahan sampai 12 ronde, tak peduli menang KO atau hukan. Yang penting kami datang sebagai penantang untuk menang,” ujar Caballero melalui penerjemahnya di X2 Plaza Senayan, Jakarta.

Kemauan dan Kerja Keras

Bagi putra pasangan Djohan Tjahyadi dan Warsini ini, dua hal yang jadi resep suksesnya adalah kemauan dan kerja keras. Karena itu, sejak usia 6 tahun Chris John sudah berlatih tinju. Sang ayah Djohan Tjahyadi, yang juga bekas juara tinju amatir, pertama kali memperkenalkan olahraga berat ini kepada Chris dan adiknya Andrian. Chris John mengaku, dari besutan ayah ia dan sang adik, Andrian, menjadi terbiasa dan mau berlatih secara intensif. Tapi, saat menyaksikan langsung sebuah pertandingan lokal semangatnya kembali berkobar. “Menyaksikan seorang petinju bertanding di atas ring dan mendapatkan support dari pendukung yang antusias merupakan hal yang membanggakan,” ujar Chris John. Nah, pada 1995 ia naik ring untuk pertama kalinya di Kejuaran Amatir Kabupaten Banjarnegara.

Bak air mengalir, dunia tinju mengantarnya menjadi petinju profesional. Chris John terus bersolo karir dan terus berlatih di Sasana Bank Buana Semarang untuk mewakili Jawa Tengah pada Kejuaraan Nasional Tinju Junior di Palangkaraya. Karirnya terus melangit hingga tingkat dunia (Sekilas tentang Chris John). Banyak petinju dunia takluk di bawah the Dragon ini. Tapi, apakah Chris John bakal membuat kejukan dengan menaklukkan Rionet Caballero Jurado di Istora Senayan Jakarta pada Sabtu (26/1) malam? Saksikan langsung di layar RCTI!

Sekilas tentang Chris John

Nama : Yohannes Christian John
Lahir : 14 September 1981, Banjarnegara, Jawa Tengah
Pendidikan : SMU Yayasan Pancasila (lulus 1999)
Penghargaan :
-Juara Tinju Amatir Kejurda Jawa Tengah 1995
-Juara Tinju Amatir Piala Maesa 1997
-Gelar Interim Champion WBA (setelah menang angka atas Oscar Leon 25/9 2003)
-Peringkat 5 versi Fightnews dan peringkat 10 versi Boxrec (November 2004)
-Gelar juara dunia kelas bulu versi PBA (2001-2003)
-Gelar juara dunia kelas bulu versi WBA (2003-sekarang) Rekor 36 kali menang, 20 di antaranya KO, sekali seri.
-Medali emas kelas 52 kg di SEA Games Jakarta 1997 (wushu)
-Medali perunggu di SEA Games Kuala Lumpur 2001 (wushu)
-Medali emas kelas 56 kg PON Jakarta 2000 (wushu)
Keluarga
Orangtua : Djohan Tjahyadi (ayah), Warsini (ibu)
Pendidikan : SMU Yayasan Pancasila (lulus 1999
Ansel Deri
Sumber: Flores Pos 24 Januari 2008

Surat Untuk Uskup Diosis Larantuka: Tak Ada Lagi Orang Samaria yang Baik Hati

Bapak Uskup yang Terhormat. Salam sejahtera. Saya Sr. Hironima SSpS, anak asli tanah Lembata mau menyampaikan satu dua pendapat perihal perrnyataan Bapa Uskup dalam pertemuan dengan masyarakat tolak tambang dari Lembata dalam Flores Pos 20 Oktober 2007.

Saya sedih kecewa dan merasa tak berdaya. Sebagaimana masyarakat Lembata yang sedang cemas lantaran tanah tanah mereka bakal dicaplok oleh penguasa dan pengusaha untuk dijadikan industri pertambangan, mereka datang kepada Bapa Uskup mohon perlindungan dan minta dibela karena suara mereka tak pernah didengar lagi, tapi Bapa Uskup lebih memilih tidak memihak siapa siapa.

Bapa Uskup lebih memilih bersikap netral karena tak mau dibawa dalam satu kelompok kepentingan. Kepentingan masyarakat seperti apa dan kepentingan pemerintah seperti apa, di sana Bapa Uskup tidak memberikan penjelasan yang cukup masuk di akal.

Saya berpendapat Bapa Uskup hanya sekadar mencari rasa aman dan takut menanggung resiko. Pemerintah adalah penguasa dan karena merasa berkuasa mereka boleh berbuat apa saja, termasuk membuat kebijakan kebijakan yang tidak memihak masyarakat dan memaksa masyarakat untuk mematuhi kebijakan itu. Apalagi kalau mereka diboncengi pengusaha yang memiliki modal besar. Kepentingan mereka adalah duit, nama besar, pangkat dan jabatan, bukan kesejahteraan masyarakat.

Kepentingan masyarakat hanya diatasnamakan bukan yang utama diperjuangkan. Dan bagi masyarakat kecil kepentingan mereka seperti apa yang dimaksud Bapa Uskup. Mereka tak punya kekuatan apa apa lagi. Berbagai cara telah mereka tempuh dan semuanya tak berhasil. Sebagai masyaarakat tradisional mereka melakukan seremoni dan ritual adat untuk meminta bantuan dan perlindungan dari para leluhur.

Tak cukup hanya itu, sebagai orang tradisional yang beriman Katolik mereka datang kepada Gembalanya bukan dengan membawa kepentingan apa apa, tapi hanya satu harapan sederhana kepada Bapa Uskup agar Bapa Uskup membela hak hak hidup mereka yang paling asasi di muka bumi ini secara khusus di bumi Lembata.

Mereka hanya ingin agar Bapa Uskup turut berjuang bersama mereka tanpa kekerasan dan tanpa kekuatan senjata, cukup dengan mengatakan kepada Pemerintah Kabupaten Lembata: Tolak Tambang Harga Mati.

Tapi sayang! Bapa Uskup tak mau melakukan itu. Bapak Uskup hanya mengatakan, ”Ketika tanya saya setuju atau tidak, saya tidak punya kompetensi. Saya tidak memiliki kompetensi di bidang pertambangan karena tidak pernah belajar atau studi khusus tentang tambang.”

Supaya Bapa Uskup tahu, bahwa teknologi informasi dan komunikasi sudah menjangkau masyarakat bawah. Mereka menonton televisi dan membaca koran, mendengarkan radio, dan mereka mengerti dan tahu baik sekali bahwa tambang di manapun di seantero Indonesia tidak mendatangkan keuntungan sedikitpun bagi masyarakat. Tak perlu orang belajar khusus untuk itu.

Atas dasar itu mereka datang meminta Bapa Uskup untuk bisa membela mereka cukup dengan cara yang sangat sederhana yaitu menghimbau Pemerintah Kabupaten Lembata untuk mengubah kebijakan mereka yang tidak memihak masyarakat. Itu saja. Tapi Bapa Uskup tidak memberikan sikap apa apa. Bapa Uskup mau sebagai gembala cukuplah berada di tengah tengah.

Dengan demikian ketika domba domba yang kuat menindas domba domba yang lemah maka sang gembala tak bisa berbuat apa apa. Ia hanya sebagai penonton tanpa memberikan andil apa apa. Ia tak mau membela kawanan yang lemah karena hanya mau mencari aman sendiri.

Lalu di mana peran Gereja sebagai pembela kaum kecil? Option for the poor tetap tersimpan dalam dokumen-dokumen resmi gereja dan buku-buku atau cukup dikhotbahkan di depan mimbar lalu selesai di atas altar? Bapa uskup mengandalkan JPIC Keuskupan Larantuka bisa jadi mediator antara pemerintah dan masyarakat.

Saya berpendapat JPIC Keuskupan Larantuka selama ini tidur nyenyak. Yang berperan di Lembata adalah JPIC SVD sejagat dan OFM yang datang jauh jauh dari Jakarta. Merekalah yang getol memperjuangakan nasib masyarakat Lembata di daerah bakal tambang.

Sebagian imam dekanat Lembatapun tak punya nyali. Hanya ada pernyataan sikap di atas kertas. Selebihnya tak ada. Masyarakat berjuang sendirian tanpa dibantu oleh para gembala di kandang mereka sendiri. Bapa Uskup menghendaki agar antara pemerintah dan masyarakat harus terbentuk satu wadah dialog karena masing masing pihak selama ini bersikap defensif.

Sikap defensif apa yang dimaksud? Masyarakat kecil hanya mau berusaha mempertahankan tanah mereka yang selama ini memberi mereka hidup. Mereka hanya mau mempertahankan tanah warisan leluhur agar tidak menjadi rusak karena tambang.

Keutuhan hidup mereka dengan alam ciptaan Tuhan dan warisan leluhur jangan diganggu gugat. Akar budaya mereka jangan tercabut serta kerukunan hidup yang selama ini tercipta jangan ternoda oleh adanya tambang.

Sikap defensif pemerintah terletak ketika mereka tetap bersikeras memaksa masyarakat menerima tambang dengan berbagai macam cara. Memberi uang, ajak studi banding, janji jadi PNS dan masih banyak cara arogan lain yang mereka pakai. Dua macam sikap defensif yang berbeda makna seperti ini lalu Bapa Uskup tetap memilih bersikap netral?

Upaya dialog itu bukan belum dilaksanakan. Masyarakat ingin bertemu Bupati tapi Bupati tak mau menemui masyarakat. Ia bersama wakilnya sudah meninggalkan kantor lewat pintu belakang. Masyarakat membuat pernyataan sikap secara tertulis, tak satu pejabat pun yang menerima pernyataan sikap mereka. Lembaran kertas pernyataan sikap itu hanya diletakkan di depan pintu kantor Bupati dan mungkin sudah masuk tong sampah.

Masyarakat tak usah ditawarkan apa apa lagi . Hanya satu yang mereka minta dari Yang Mulia Bapa Uskup: “Dukung mereka tolak tambang. Kalau tidak, kami tidak menemukan lagi orang Samaria di Lembata. Ketika kami dalam situasi dan kondisi yang sekarat, menahan sakit karena rasa keadilan dilukai, para Imam dan Lewi memandang kami dengan sinis dan melewati kami dari seberang jalan.”

Maafkan saya Yang Mulia karena terlalu lancang berbicara. Maafkan saya karena saya tak bisa bungkam, karena kalau saya bungkam maka batu batu akan berbicara. Semoga Tuhan memberkati Bapa Uskup dan mengaruniakan Roh-Nya agar lebih bijaksana dan berani menunjukkan keberpihakan pada kaum lemah dan tak berdaya.

Sr Hironima, SSpS
Anak Tanah Asli Lembata