Thursday, March 27, 2008

Walhi Jatim Tolak Tambang Emas Banyuwangi

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menolak keras rencana penambangan emas di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpangpitu (HLGTP) Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi.

Alasannya, rencana penambangan emas itu sangat berpotensi menimbulkan bencana ekologis dan sosial. Dismaping itu, Walhi Jatim juga melihat indikasi penambangan itu nanti akan merambah wilayah konservasi yang dikelola oleh Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang berdekatan dengan kawasan Gunung Tumpangpitu.

Apalagi, dalam catatan Walhi Jatim, PT. Indo Multi Cipta (IMC) yang menjadi investor dalam penambangan itu merupakan perusahaan emas yang bernaung di bawah bendera salah satu pemegang 20 % saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) pimpinan Yusuf Merukh yang pernah gagal melakukan eksplorasi emas di kawasan TNMB di Jember tahun 2000 silam.

"Kami mengutuk rencana eksplorasi itu. Dan bila pemkab Banyuwangi serta investor tetap melanjutkan, kami akan melakukan perlawanan," kata Dewan Pakar Departemen Walhi Institute-Jawa Timur, M.Lukman Hakim di kampus Universitas Jember (Unej), Rabu (26/03).

Lukman menambahkan, hasil sementara kajian dan investigasi yang telah dilakukan Walhi Jatim baru-baru ini menyimpulkan setidaknya ada empat (4) alasan penolakan itu. Pertama, soal rencana pembuangan limbah. PT. Indo Multi Niaga (IMN) yang menjadi investor dalam eksplorasi itu mengungkapkan akan menerapkan sistem STD ((Submarine Tailing Disposal-STD) dalam pengolahan limbahnya. Rencana STD juga dapat dilihat pada Amdal yang telah dibuat PT. IMN di mana block tailing direncanakan dibangun ditengah laut yang berdekatan dengan pulau merah yang kini menjadi salah satu andalan pariwisata Banyuwangi.

Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu. Pembuangan tailing dengan model STD ( ke laut) tidak saja akan mengancam ratusan nelayan pancer, akan tetapi ribuan nelayan mulai dari Pancer, Rajegwesi, Grajakan, Muncar, Puger, bahkan Sendang Biru dipastiakan akan terancam
limbah Tailing. Sebab arus dari pancer akan mengarah ke tempat-tempat itu. Puluhan perusahaan pengalengan ikan yang ada di Muncar juga terancam oleh ontaminasi limbah tailing.

"Kalaupun limbah emas itu dibuang di darat, model under ground mining sebagaimana yang kerap ditegaskan oleh Bapedalda Banyuwangi tidak ada garansi untuk tidak mengalir kelaut apalagi dimusim hujan mengingat blok Tumpang Pitu tersebut berdempetan dengan laut,'katanya.

Kedua, daya rusak ekologi akibat eksplorasi itu. Dalam jangka panjang separoh dari kawasan Banyuwangi diprediksi akan terancam krisis air yang sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija.

Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur menyebutkan bahwa HLGTP merupakan kawasan potensi air bawah tanah kategori sangat tinggi atau setara dengan 30 liter perdetik. Sementara Desa Pesanggaran, desa Sumber Agung yang juga masuk kapling rencana tambang emas Blok Tumpang Pitu, adalah kawasan potensi air bawah tanah kategori sedang atau 15-20 liter perdetik.

Begitu pula Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Curah Manis Sempolan, dan Hutan Lindung Baban Silosanen yang terancam bahaya yang sama dari renteten penambangan emas di Blok Tumpang Pitu.

Alasan ketiga dan keempat adalah bahaya konflik sosial dan kemiskinan di kalangan warga sekitar lokasi penambangan itu. Walhi Jatim, kata Lukman, melihat rencana penambangan emas itu mengarah pada dimungkinkannya terjadi konflik sosial pertambangan. Disamping itu, Pelanggaran Ham, intimidasi, kekerasan dan pembunuhan yang kerap terjadi di banyak pertambangan di Indonesia dikhawatirkan akan terjadi di Banyuwangi. "Buktinya, sekarang muncul penolakan dari nelayan pantai pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer Sumber Agung Pesanggaran Banyuwangi. (Mahbub)

Sumber: KORAN TEMPO, 26 Maret 2008

Wednesday, March 26, 2008

Harga Hutan Alam

Ketetapan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor 2 Tahun 2008, dianggap terlampau murah. Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong. Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar.

Lalu, berapa harga yang pantas untuk nilai hutan sehingga diperoleh angka yang tepat dan bertanggung jawab? Dalam kondisi seperti sekarang, ketika semua orang sudah pandai berhitung, dengan kepentingan yang berbeda, harga ini akan sangat bervariasi karena perbedaan persepsi. Selama ini para pengambil kebijakan di bidang kehutanan, misalnya, hanya menghitung hasil hutan melalui rente ekonomi kayu (log). Hal ini karena ekonomi pasar tidak menghargai ranah publik yang lain, seperti nilai air sungai yang mengalir, fungsi hutan sebagai regulasi iklim, penyedia tanaman obat-obatan, dan sumber stok genetik, serta nilai-nilai yang tidak tampak lainnya. Karena itu, selama tidak ada nilai jual yang konkret yang menghasilkan pemasukan dan pendapatan negara, perhitungannya pun akan diabaikan.

Di lain pihak, akibat hilangnya fungsi-fungsi tersebut, masyarakat mulai sadar, sebesar apa pun pendapatan yang diperoleh pemerintah, ketika terjadi bencana lingkungan, harga tersebut ternyata tidak mampu membawa penawar dan mengembalikan kehidupan mereka. Belum lagi biaya eksternalitas yang harus ditanggung oleh penduduk akibat limbah industri dan pertambangan yang mengakibatkan penurunan jasa ekosistem baik secara lokal maupun global.

Orientasi para pengambil keputusan di bidang kehutanan semacam ini--meminjam kata Emil Salim--masih berorientasi pada pembangunan konvensional yang antroposentris. Menyadari kesenjangan itu, para ahli lingkungan melakukan pendekatan penghitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) terhadap hutan alam dan ekosistem alami yang ditinjau dari berbagai aspek. Secara teoretis, Indrawan dkk (2007) menghitung nilai ekonomi sumber daya dengan berbagai masukan. Pertama, nilai langsung, yaitu nilai-nilai ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan, misalnya perolehan ikan, daging, kayu bakar, bahan bangunan, tumbuhan obat, dan rumput serta tumbuhan yang dapat dimakan oleh ternak.

Kedua, nilai tidak langsung. Misalnya kontrol banjir, kesuburan tanah, penyerap karbon atau regulasi iklim, air minum, rekreasi, dan wisata alam, termasuk jasa misalnya pengamatan burung, jasa biologi seperti pengontrol hama, dan keberadaan serangga penyerbuk. Ketiga, perhitungan juga dilakukan untuk nilai pilihan masa depan, yaitu sebagai sumber obat, sumber daya genetik, wawasan biologi, dan suplai air. Dan keempat, nilai kehidupan, misalnya perlindungan keanekaragaman hayati, memelihara budaya penduduk lokal, melanjutkan proses evolusi, serta ekologi.

Berdasarkan penilaian ini, setiap daerah dan kawasan tentu akan berbeda-beda. Karena itu, valuasi ekonomi lingkungan biasanya mengambil jalan tengah untuk tidak memberikan kompensasi yang dipukul rata, dengan dan mempertimbangkan dampak ekologi yang dapat dikaitkan oleh pembangunan pada potensi dan kajian nilai-nilai ekonomi di daerah sekitarnya. Karena itu, apabila peraturan ini dilakukan secara nasional, ketentuan lain hendaknya memberikan keleluasaan kepada aturan di bawahnya berupa peraturan daerah dan peraturan menteri secara lebih terperinci dengan melihat berbagai pertimbangan ekologis yang turut dihitung.

Hendaknya kita belajar, ketika harga tersebut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang tengah melanda kita, seperti tanah longsor, banjir, kehilangan fungsi hutan sebagai regulasi ekosistem, bahkan dari peristiwa lumpur Lapindo yang ketika terjadi kerusakan dan bencana, harga yang diterima pasti tidak sebanding. Karena itu, wajarlah jika ada penolakan dari beberapa pemerintah daerah dalam penetapan harga tersebut. Sebab, pemda mulai sadar, masyarakat di daerahlah yang menjadi korban akibat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Sejak awal ditandatanganinya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pertambangan di Hutan Lindung oleh Presiden Megawati yang kemudian menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004, masih segar di ingatan kita perdebatan yang berpihak pada kebijakan untuk mengorbankan alam sebagai subyek dan sumber pendapatan ekonomi instan. Para pencinta lingkungan masih dapat berharap ada lagi skema lain yang bisa diandalkan untuk benar-benar memperketat penambangan di hutan lindung tersebut dengan peraturan ketat. Bahkan Departemen Kehutanan berjanji ingin memperketat peraturannya antara lain dengan meminta penambang membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang, menyediakan tanah lain kepada Departemen Kehutanan, menanggung biaya reboisasi, dan mereklamasi kawasan hutan lindung yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan penambangan.

Anjuran para ahli ekologi adalah, dalam mengambil prinsip perhitungan ini, pertimbangan harus diadakan berdasarkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit) dengan menghitung segala jasa ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Namun, dalam prakteknya, cara perhitungan ekonomi-ekologi ini sangat sulit dihitung karena biaya dan manfaat selalu berubah dan sulit diukur.

Sebagai pencinta lingkungan, saya menghargai pemerintah daerah yang kini cenderung kritis dan menahan diri dan mengaplikasikan prinsip pencegahan. Pada prinsipnya--untuk situasi yang tidak stabil dengan alam yang sensitif seperti Indonesia--prinsip kehati-hatian lebih baik diterapkan. Bila perlu, lebih baik berbuat keliru dengan terlalu berhati--dan membatalkan sebuah proyek--daripada membuka kemungkinan terjadinya bencana di masa depan. (Fachruddin Mangunjaya, Pendiri Borneo Lestari Foundation, Kalimantan Tengah)

Sumber: KORAN TEMPO, 18 Maret 2008

Tuesday, March 25, 2008

Arbitrase Newmont dan Kepentingan Nasional

Pemerintah RI akhirnya mengajukan PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional setelah berlarut-larutnya proses divestasi sejak dua tahun lalu (Kompas, 3/3). Sinyal yang keluar kelihatan sekali berbeda dengan sinyal akomodasi Perpres No 2/2008 tentang pinjam pakai hutan yang baru dikeluarkan.

Pemerintah sekali lagi diuji untuk menyeimbangkan kepentingan penanaman modal asing dan kepentingan nasional dalam proses ini.

Kepentingan nasional

Orde Baru mengundang penanam modal asing dengan alasan teknokratis: mereka membawa management know-how, sumber daya, teknologi, barang dan jasa, yang akan menggerakkan roda ekonomi.

Secara normatif, politik ekonomi Indonesia mengakomodasi partisipasi penanaman modal asing (PMA) selama pemerintah mampu mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ini berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam, di mana negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Mahkamah Konstitusi kemudian dalam beberapa putusannya menegaskan tafsir Hak Menguasai Negara ini.

PMA dalam industri per- tambangan diakomodasi de- ngan perjanjian (kontrak) kar- ya yang mengatur kerja sama antara pemerintah dan kon- traktor pertambangan, yang memerinci semua hak dan kewajiban, termasuk keten- tuan peningkatan kepenting- an nasional (promotion of national interest), di antaranya: pertama, divestasi kepada pihak dalam negeri. Kontrak karya generasi pertama dan kedua mensyaratkan 20 persen dan terus meningkat sampai generasi ketujuh. Lazimnya pemegang opsi utama pembeli adalah pemerintah, dan jika pemerintah menolak dapat ditenderkan ke swasta nasional.

Kedua, peningkatan pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri. Ketiga, peningkatan porsi karyawan nasional pada posisi manajemen maupun pelaksana. Keempat, dana pengembangan masyarakat.

Kontrak karya tidak memberikan target tertentu untuk ketiga hal di atas. Hanya saja, dalam kajian tahunan kegiatan dan anggaran, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam selalu meminta peningkatan angka dari tahun sebelumnya.

Apakah peningkatan kepentingan nasional dalam industri pertambangan ini sudah memadai? Melihat konteks sentralisasi kekuasaan dan kapitalisme negara Orde Baru saat itu bisa dikatakan sudah optimal.

Dengan kerangka konstitusi yang lebih terdesentralisasi saat ini, perlu dibangun kerangka penciptaan nilai tambah sebesar-besarnya dari industri pertambangan bagi kepentingan nasional tanpa menafikan kontrak yang masih berlaku. Sayangnya DPR sendiri terus-menerus menunda pengesahan RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Divestasi dalam bisnis

Dipandang dari teori organisasi industrial, insentif perusahaan multinasional melakukan divestasi (exit) adalah karena laba rendah, rugi yang disebabkan oleh biaya tinggi, menurunnya permintaan secara permanen, atau masuknya pemain baru yang agresif (Siegfried dan Evans, 1994).

Sebaliknya, asset specifity, misalnya investasi raksasa yang tidak mudah dipindahkan karena lokasi pertambangan yang terpencil, menjadi disinsentif untuk divestasi (Williamson, 1985). Ini mungkin salah satu alasan mengapa Newmont mengulur-ulur proses divestasinya.

Perspektif daur hidup produk memandang divestasi sebagai salah satu pilihan strategis untuk keluar dari industri yang menurun (Benito, 1995). Divestasi adalah salah satu jalan dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Opsi divestasi keseluruhan ini dipakai BP dan Rio Tinto tahun 2003 ketika proses divestasi PT Kaltim Prima Coal macet karena saling gugat antarpemerintah daerah, memilih menjual seluruh sahamnya dan memilih fokus pada proyek lainnya.

Dalam kasus Newmont, karena divestasi sudah dijadwalkan dalam kontraknya, maka seharusnya divestasi diperlakukan sebagai investasi untuk menjaga sustainabilitas bisnis dan bukannya menciptakan konflik.

Konflik dengan pemerintah sebagai regulator maupun pemberi kontrak jelas menyebabkan citra Newmont semakin buruk. Apalagi, ingatan masyarakat atas Buyat belum hilang.

Model keiretsu Jepang, di mana kepemilikan silang anta- ra perusahaan dalam satu grup dari hulu ke hilir (Wan, Hoskisson, Kim, Yiu, 2005), mungkin diacu Newmont dengan menawarkan perusahaan nasional mitranya sebagai pembeli sahamnya atau penyandang dana pemerintah daerah. Tetapi, hal ini tidak bisa dijadikan alasan menghalangi divestasi ke pemerintah daerah.

Model divestasi ke depan

Ketua Indonesian Mining Association Arif Siregar menyatakan, agar kasus seperti ini tidak terulang, divestasi sebaiknya dilakukan melalui pasar modal. Ini patut didukung supaya masyarakat dapat menikmati nilai tambah dan proses divestasi berlangsung transparan dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik.

Pasar modal juga memungkinkan masyarakat adat, LSM lingkungan, dan semua pemangku kepentingan menjadi pemegang saham. Dengan menjadi shareholder activists mereka dapat belajar berdebat menentukan arah perusahaan dan pertanggungjawaban manajemen di rapat umum pemegang saham.

Pada akhirnya, kepastian hukum adalah kata kunci industri pertambangan agar bisa merealisasikan potensinya menyejahterakan rakyat. Semua pihak perlu menghormati pilihan arbitrase agar kepastian hukum bisa ditegakkan. (Agam Fatchurrochman, bekerja di bagian External Relations perusahaan pertambangan Indonesia-Kanada 2005-2007; Alumnus FE UGM dan Nottingham University)

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2008

PP Nomor 2/2008, Menyelamatkan Bumi?

Secara jelas, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang keliru, bukan pada dasar pemikiran kelestarian lingkungan hidup atau kelestarian hutan.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PP ini bertujuan meningkatkan kontribusi bagi pendapatan negara dari 13 perusahaan tambang yang memang sudah berada di kawasan hutan lindung. Presiden juga sempat menyatakan bahwa di satu sisi PP ini dimaksudkan untuk mendatangkan penerimaan negara, sementara di sisi lain untuk menyelamatkan Bumi agar hutan Indonesia selamat (Kompas, 23/2).

PP No 2/2008 oleh Presiden diklaim merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian ditetapkan lewat UU No 19/2004, yang merupakan revisi dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Menteri Kehutanan MS Kaban pernah menyatakan, PP No 2/2008 tidak terlepas dari Keppres No 41/2004 yang diterbitkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menjadi dasar beroperasinya 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung tersebut.

Klaim itu jelas hendak menyesatkan masyarakat. Karena hierarki peraturan perundang-undangan, PP lebih tinggi daripada peraturan presiden atau keputusan presiden. Karenanya, PP ini akan dijadikan dasar hukum bagi semua penggunaan kawasan hutan yang digunakan di luar kegiatan kehutanan. Jadi, tidak berlebihan jika PP ini disebut PP ”Penyewaan Hutan”.

Selanjutnya, PP No 22/1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diubah dengan PP No 52/1998, sebagai dasar hukum diterbitkannya PP No 2/2008. Hakikatnya, materi PP berisi materi untuk menjalankan UU. Karena itu, PP ini pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamatkan hutan atau berpretensi menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak menjadi dasar pertimbangan dari PP No 2/2008 ini.

Penolakan kepala daerah

Salah satu penolakan muncul dari Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin. Ia menyatakan, pihaknya tidak akan pernah memberikan rekomendasi untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan (21/2).

Penolakan juga muncul dari Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan. Menurut Narang, ia akan tetap mempertahankan kawasan hutan lindung yang memang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan serta penolakan juga disampaikan Bupati Pasir dan Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur.

Siapa pun yang ada di belakang formulasi PP ekonomi yang tidak ekonomis ini, mereka punya niat mengadu domba pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah secara otomatis akan berhadap-hadapan dengan masyarakatnya sendiri. Karena itu, dapat dimaklumi munculnya penolakan dari para kepala daerah tersebut.

Mesti maju ke depan

Ke depan, PP No 2/2008 bukan malah memberi pemasukan kepada negara, tapi malah membebani APBN. Akibat semburan lumpur panas Lapindo, per Maret tahun lalu saja perkiraan kerugian sementara yang dibuat Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo telah mencapai Rp 7,6 triliun.

Bukan maju ke depan, yang patut disayangkan, malah Presiden justru meneruskan kebijakan yang bermasalah yang dikeluarkan pemerintahan sebelumnya. Sampai saat ini, banyak pemilik modal (pemohon) yang berminat untuk ”menyewa” hutan di Indonesia. Dalam materi PP tidak ada pembatasan secara eksplisit berlaku hanya untuk 13 perusahaan yang sudah mendapat izin.

Dengan diterbitkannya PP ini, semakin jelaslah watak kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, yakni sama seperti kebijakan fiskal yang menggunakan dasar ekonomi sebagai pertimbangan utama. Celakanya, pertimbangan ekonomi pun keliru. Pihak Departemen Kehutanan sendiri menargetkan PNBP sebesar Rp 600 miliar sebagai akibat penerbitan PP ini, yang tak sebanding dengan potensi kerugian yang akan membebani APBN dan membebani generasi mendatang.

Greenomics Indonesia sempat menyatakan kerugian ekologi-ekonomi akibat PP ini bisa mencapai tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun. Belum lagi potensi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang terjadi pascasemburan lumpur panas Lapindo, atau kerugian yang diderita masyarakat di kemudian hari akibat pertambangan di kawasan hutan lindung.

Jika mau arif, Presiden sebaiknya mengadopsi ideologi politik hukum dalam UU No 41/1999 yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie, yang jelas-jelas melarang pertambangan terbuka di hutan lindung (Pasal 38 Ayat 4). Bukan malah menerbitkan PP yang ketinggalan zaman, di mana banyak kepala negara lain ”mencontoh” UU No 41/1999 tersebut.

Pada Agustus 2002, Presiden Kosta Rika Abel Pacheco melarang pertambangan terbuka. Disusul Pemerintah Argentina. Bahkan, Pemerintah Kanada tahun 2007 membatalkan kontrak pertambangan karena dinilai terlalu berisiko. Sementara Presiden Ekuador dan parlemen negeri itu mengubah konstitusinya untuk memuat larangan pertambangan terbuka di hutan lindung. Ini baru bisa dibilang menyelamatkan Bumi! (Patra M Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia)

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2008

Monday, March 24, 2008

Tambang di Lembata: Tak Sudi Asing di Lewotana

Bupati dan DPRD Lembata berkukuh menggolkan rencana tambang guna menggenjot kas daerah. Mayoritas masyarakat menolak tegas karena trauma masa lalu. Rencana itu pun ditengarai sarat manipulasi.

ANASTASIA Gea dan Rafael Suban Ikun adalah dua sosok yang mengemban tugas sebagai pelayan masyarakat di desanya, Kecamatan Lebatukan, Lembata. Mereka tak mau kehilangan muka di hadapan masyarakatnya yang telah memilih mereka menjadi pemimpin. Gea adalah ibu rumah tangga. Ia dipercaya warga Lamadale menjadi kepala desa (kades).

Sedang Suban Ikun mengemban tugas sebagai Kepala Desa Dikesare. Segala kebijakan yang mereka jalankan benar-benar hasil urun rembuk warga desa. Karena itu, tak pernah mengkianati jabatan yang diembannya. Mereka sadar. Jabatan itu amanah rakyat. Jika ada kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat desa? Semua ada di tangan masyarakat. Kalau masyarakat menolak maka itu tak bisa diotak atik. Siapapun dia. Titik.

Sikap dua kades itu yang menyata saat Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata sepakat menerima kehadiran PT Merukh Lembata Coppers (Selanjutnya disingkat MLC) melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas, tembaga, bahan mineral ikutan lainnnya di perut Lembata. MLC adalah sebuah perusahaan patungan antara Pemkab Lembata dan PT Pukuafu Indah (PI) milik Yusuf Merukh. PT PI adalah salah satu perusahaan di bawah kendali kelompok usaha Merukh Enterprises (ME). Begitu pula dengan sosok Abu Samah, pemangku ulayat Puakoyong (wilayah prosepek tambang) dari Kampung Peu Uma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri.

Apa kata mereka? Kita dengar saja. “Saya tetap punya prinsip bahwa soal jabatan saya tidak pikir. Soal jabatan itu hanya sementara. Sehingga menyangkut rencana pertambangan itu saya lebih memihak masyarakat untuk tetap tolak tambang. Walaupun apa yang terjadi menyangkut jabatan, saya sendiri tidak takut. Kalau toh sikap penolakan saya dan masyarakat berdampak pada penghentian program pembangunan di desa ini, saya tidak menyesal. Saya dan masyarakat sudah hidup dari dulu sampai sekarang dengan hasil usaha dari pertanian, perkebunan, dan tanaman-tanaman komoditi,” ujar Gea.

Konsistensi sikap penolakan mulai nampak menuai akibat. “Upaya untuk dipersulit tetap ada, tapi saya berada di pihak rakyat. Bahwa saya berada dengan rakyat dan apapun saya di pihak rakyat, bersama rakyat. Jabatan ini tidak bertanggung jawab pada pejabat. Saya bersama rakyat karena mereka yang pilih saya sekitar 400-an,” tegas Ikun, penjual es keliling saat masih sekolah di Waiwerang, Adonara, Flores Timur (Flotim).

Sedang Abu Samah? “Emas itu tidak boleh dibongkar bangkir. Nanti tanah dan kampung ini jadi ringan. Nanti kita hancur sampai anak cucu-cece kita. Sebab saya tidak mau setelah 20 atau 30 tahun mendatang saya sudah jadi tulang belulang, musibah ini muncul. Mereka (anak cucu-cece) akan maki hancur saya. Sehingga bagaimanapun saya tetap pertahankan tanah kami. Pemali besar kalo kita jual tanah ini. Sebab, kita pasti tanggung akibatnya,” tegas Abu Samah (Kertas Posisi JPIC-OFM Indonesia, 2007).

Mengapa Ditolak

Mayoritas masyarakat di Kecamatan Lebatukan dan Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) yang merupakan merupakan wilayah prospek tambang, menolak tegas rencana itu. Di Kedang, misalnya, nuansa penolakan terasa sangat kuat. Mereka masih trauma dengan pengalaman buram kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah itu selama kurun waktu 1984–1990 seperti PT Baroid Indonesia (BI), PT Sumber Alam Lembata (SAL), dan PT Nusa Lontar Mining (NLM). Saat itu, Lembata masih bergabung dengan kabupaten induk, Flores Timur.

Setelah tiga berusahaan itu selesai beroperasi, justru hanya pepesan kosong. Janji rumah ibadah, sekolah, dan rumah tinggal bagi masyarakat lokal tak pernah terealisasi. Itu kesaksian Petrus Oha (67), bekas buruh tambang PT BI. Buruh lainnya, Petrus Bisa mengaku ia dan rekan-rekan harus masuk dalam lubang sedalam 23 meter dengan menggunakan tangga. Pada malam hari, jika lembur mereka hanya diberi kopi, pisang, dan telur ayam sebagai pengganti makanan. Sedang ia dan rekan-rekannya diupah Rp. 1000/hari. Bahkan janji perusahaan memberi genset atau bantuan air minum tak pernah terwujud. Sebuah sungai akhirnya tercemar dan tak bisa menjadi bahan baku warga sekitar.

Penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang oleh MLC didasarkan atas pertimbangan sosial-ekonomi dan ekologis. Mereka tak mau lahan pertanian musnah dan banjir melanda wilayahnya. Mereka juga tak mau dipindahkan ke tempat lain karena sudah menyatu dengan kampung halaman yang telah menghidupi mereka. Dan satu hal pasti bahwa masyarakat Lembata adalah masyarakat agraris sehingga sangat bijak kalau sektor pertanian diberdayakan jika mereka ingin dihargai.

Ongkos ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dibayar mahal akibat pertambangan di Atanila sejatinya memberikan pelajaran berharga. Dalam kasus ini, Bupati Manuk punya komentar. “Di Atanila, perusahaan bukan hanya mengangkut barit, tetapi sesungguhnya mereka (perusahaan) juga mengangkut emas,” kata Bupati Manuk saat berlangsung pertemuan dengan Keluarga Besar Lembata (KBL) Jakarta di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta Pusat, 22 Agustus 2007. Jadi, yang tersisa bagi masyarakat hanya rasa janji angin surga. Kekhawatiran bisa meluas. Jangan sampai usaha menggolkan rencana itu karena ambisi mengejar setoran sesaat namun menggadaikan masyarakat, alam, lingkungan, dan kearifan local.

Dalam konteks rencana tambang oleh MLC, Bupati dan DPRD Lembata akan sangat dihormati rakyatnya jika memutuskan membatalkan rencana tambang. Kemudian memikirkan masalah-masalah urgen seperti membangun ruas jalan memadai guna menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Tak perlu terhipnotis janji perusahaan membangun apartemen bagi para petani Leragere (Lebatukan) atau nelayan di Pantai Bean di Kedang. “Aneh, kalau seorang petani yang setiap hari hidup di kebun dengan tofa, parang, dan cangkul tiba-tiba hidup di apartemen lengkap dengan perabotnya. Petani mana yang keluar-masuk apartemen untuk pigi kebun?” ujar Pastor Marselinus Vande Raring, SVD retoris.

Pada 9-13 Agustus 2007 lalu, dua kelompok tim studi banding bentukan Bupati diterjunkan ke lokasi pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Pulau Sumbawa, NTB. Dua perusahaan ini sahamnya juga dimiliki Yusuf Merukh, yang bakal melebarkan sayap usahanya lewat MLC di Lembata. Tim itu akan melakukan studi banding bagaimana nantinya jika MLC jadi beroperasi di Lembata. Masalahnya, tim NMR tak ketahuan batang hidungnya di Mesel maupun Pantai Buyat. Bahkan seorang anggota tim studi banding mengaku jujur bahwa mereka tak sampai di lokasi karena kemalaman di jalan dan langsung kembali ke Manado. “Kami tak sampai di lokasi tambang PT Newmont Minahasa Raya di Mesel atau Pantai Buyat yang selama ini diberitakan tercemar,” katanya.

Koalisi Jakarta untuk Tolak Tambang Lembata yang terdiri dari JPIC OFM Indonesia dan PADMA Indonesia juga mendapatkan informasi serupa. Tiga personil koalisi diterjunkan ke Desa Ratatotok Timur (Pantai Buyat), Ratatotok maupun Mesel pun mendapat kabar tak ada tim studi banding dari Lembata. Seorang karyawan ex NMR, Berty Pontoh, mengaku kalau ada kunjungan pihak luar mereka harus diberitahu untuk memfasilitasi selama kunjungan di ex NMR. “Nyanda (tidak) ada kunjungan tim dari Lembata di sini. Biasanya, kalau ada kunjungan kami pasti diberitahu,” kata Berty Pontoh.

Bahkan Wakil Ketua BPD Ratatotok Timur Jafar Sarundayang pun memastikan bahwa tak ada kunjungan. “Kalau ada kunjungan tim dari Lembata maka hukum tua (kepala desa) akan beritahu kami untuk hadir dan menerima mereka. Tapi benar tidak ada kunjungan,” kata Jafar Sarundayang. Tim yang mampir di kantor Bupati Minahasa Tenggara juga memastikan bahwa tidak ada kunjungan tim studi banding di lokasi ex NMR. “Kalau ada kunjungan berarti tercatat dalam buku tamu kami. Pada tanggal 9, 10 dan 11 tak ada kunjungan masyarakat Lembata di Ratatotok. Kalau ada tentu mampir juga di kantor sini karena kami sudah jadi kabupaten baru,” kata Decy di Ratahan, kota Kabupaten Minahasa Tenggara.

Rayu Pemilik Ulayat

Meski ditolak, Pemkab Lembata melalui pihak-pihak tertentu terus berusaha merayu dan pemilik ulayat untuk menyerahkan tanahnya. Pemilik ulayat dijanjikan anak-anak mereka diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Ada orang suruhan bupati menyerahkan uang Rp. 1 juta kepada Abu Samah di rumahnya. “Saya sedang mencari pengacara untuk menggugat mereka,” kata Abu Samah berang. Bahkan di hadapan Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri yang bertandang ke rumahnya, Abu bicara tegas. “Saya bilang sama Wakil, saya ini bukan pisang yang dijual di pasar. Apa maksud kamu kasih uang sama saya dan diselipkan dengan kartu nama bupati,” tanya Abu kepada Wakil Bupati.

Abu juga mengaku dirayu seorang wartawan sebuah mingguan yang terbit di Kupang. Wartawan itu melakukan negisiasi harga tanah ulayat sampai harga Rp. 10 miliar. Wartawan itu, konon mendapat fee Rp. 2.5 juta dari guna melobi Abu (Flores Pos, 31/10-7/11 2007).

Praktisi hukum asal Leragere, Lembata, Gabriel Suku Kotan, SH, M.Si meminta warga selalu waspada dengan berbagai siasat Pemkab Lembata mengadu domba warga yang telah sehati menolak. Apalagi, membuat seremoni adat guna menjaga lewotana, leu awuq (lewotana) dari kehancuran. Saat melakukan kunjungan pada Desember dan Januari lalu, warga tetap bertahan pada sikap penolakan atas rencana itu. “Nampaknya yang terjadi adalah pemutarbalikan informasi bahwa sebagian warga sudah menyetujui rencana tambang. Mereka (masyarakat) sudah melakukan sumpah adat menolak. Jadi, siapa yang berani mengambil resiko?” ujar Suku Kotan retoris.

FX Namang dari Keluarga Mahasiswa Lembata Jakarta menegaskan, sejak awal, rencana itu ditolak dan mestinya dipahami dengan bijak. Ia mempertanyakan, apa yang mau dicari. Rencana pertambangan yang konon bisa memakmurkan daerah menunjukkan kegagalan pemimpin selama Lembata jadi daerah otonomi enam tahun lebih. Rencana tambang hanya mengalihkan isu kegagalan pembangunan selama ini.

“Wajah Lewoleba saja tak pernah berubah. Belum lagi prasarana jalan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi ternyata tak tertangani dengan baik. Padahal, dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat nilainya sangat besar. Sedang di lain sisi korupsi merajalela. Ini situasi yang sangat membahayakan bagi kemajuan Lembata ke depan,” tandas Frans Namang. (Ansel Deri)

Sumber: Majalah TOMBOKILO, Maret 2008

Sunday, March 23, 2008

Penambangan Nikel di Kabaena Diprotes Warga

KENDARI, KOMPAS–Penambangan nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, diprotes warga Desa Dongkala. Mereka selain khawatir penambangan tersebut mengancam keberadaan mata air –sumber air minum bagi 1.115 penduduk– juga karena dana community development yang dijanjikan PT Billy Indonesia terlalu kecil, yakni Rp 1.000 per ton nikel yang dikapalkan.

Nilai dana community development itu berbeda jauh dari yang diberikan PT Aneka Tambang Tbk, badan usaha milik negara yang beroperasi di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), yakni Rp 18.000 per ton nikel yang dikapalkan.

Sejumlah warga Desa Dongkala dan sekitarnya, di Kecamatan Kabaena Timur, kepada Kompas, Minggu (23/3), mengatakan, beberapa bulan terakhir ini mereka sudah mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Amsir (32), anggota DPRD Bombana (Sultra), membenarkan fakta tersebut. ”Kekeringan atau menurunnya debit air secara drastis terjadi akibat penggalian nikel di daerah hulu,” ujarnya.

Dalam kaitan itu, akhir pekan lalu, Gubernur Sultra Nur Alam bersama Kepala Kepolisian Daerah Sultra Brigjen (Pol) Joko Satriyo meninjau penambangan tersebut. ”Saya mendapat laporan, terjadi kekeringan mata air akibat kegiatan penambangan ini. Potensi nikel di Kabaena memang harus kita olah tetapi tidak boleh mendatangkan masalah bagi rakyat. Sebaliknya, harus memberi kesejahteraan kepada warga,” katanya dalam tatap muka dengan warga.

Menurut Manajer Produksi PT Billy Indonesia Slamet Mudjiono, PT Billy Indonesia menambang nikel di Dongkala sejak Desember 2007. Bijih nikel itu diekspor langsung ke China. (YAS)

Sumber: KOMPAS, 24 Maret 2008

Erwiza, Ahli Sejarah Dunia Tambang

Mendiskusikan tambang dengan Erwiza Erman membawa kita pada perjalanan panjang keberadaan tambang di Indonesia. Tambang di tangan dia tak sekadar persoalan teknis mengambil kandungan mineral dari Bumi, tetapi juga catatan sejarah perjalanan hidup sebuah bangsa.

Kalau urusan teknis penambangan, sudah banyak ahlinya. Tapi, apa pernah ada yang mempelajari sejarah tambang? Berapa produksi yang dihasilkan tiap kepala setiap hari?” tutur peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Berangkat dari keingintahuan menelusuri perjalanan sejarah dunia tambang, Erwiza terjun ke dunia yang identik dengan dunia ”maskulin” yang tertutup itu. Puluhan buku dihasilkannya dari pergumulan dengan tambang. Persentuhan dengan dunia tambang membuat Erwiza berhasil menuliskan berbagai hal tentang sejarah tambang di Indonesia.

”Saya sedang menulis sejarah mafia timah di Bangka Belitung. Bagaimana perdagangan timah dikuasai oleh orang China di Belitung dan Singapura. Inilah yang membuat Indonesia kalah, karena kita hanya ekspor timah dalam bentuk mentah. Sementara Singapura mengirim timah yang sudah diolah ke Indonesia. Ini terjadi sejak zaman Belanda,” katanya.

Tak hanya timah yang diteliti Erwiza. Penelitian tambang batu bara di Sawahlunto merupakan catatan tersendiri selama kurun waktu satu abad lebih, 1892-1996.

Erwiza bertemu para pekerja tambang maupun keturunan penambang pada zaman Belanda di Sawahlunto. Dari keterangan mereka, ia mendapatkan potongan-potongan ”puzzle” yang dirangkai sebagai perjalanan sejarah kehidupan dalam lorong tambang sepanjang ratusan meter di bawah permukaan tanah itu.

Di Belanda ia berusaha melacak para elite tambang yang pernah bertugas di Ombilin. Erwiza menuliskan keinginannya mewawancarai mereka yang pernah bekerja di Ombilin lewat iklan pada majalah Moesoen Tijdschrift pada 1987.

”Tidak cuma satu-dua orang yang menghubungi saya. Tapi ratusan orang,” kata Erwiza takjub. Dia tak menyangka begitu tinggi animo masyarakat Belanda untuk berkisah tentang sejarah. ”Padahal, itu sejarah kelam mereka ketika menjajah Indonesia. Tapi, mereka tak malu berbagi,” katanya.

Ketertarikan masyarakat Belanda pada sejarah, termasuk tambang, dianggapnya luar biasa. Itu pula yang membuat sejumlah buku sejarah karya Erwiza diterbitkan di luar negeri. Dia pun kerap diundang ke luar Indonesia untuk mengupas dunia tambang Tanah Air.

Dunia yang tertutup

Dari berbagai penelitian sejarah tambang, Erwiza melihat adanya ketertutupan di bidang ini. Dunia tambang tak hanya sulit ditembus perempuan, tetapi juga tertutup untuk masyarakat di sekitarnya.

Dunia tambang yang dikuasai pemilik kapital itu, kata Erwiza, idealnya juga memberi kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di sekeliling pagar perusahaan tambang. Namun yang terjadi justru dunia tambang—terutama yang dikuasai jaringan perusahaan tambang internasional—menjadi ”negara bayangan” di Indonesia.

Dulu, zaman Belanda, para elite kolonial saja yang mendapat kemakmuran dari tambang. Kini, elite pemerintah (daerah) bersama perusahaan tambanglah yang meraup kelezatan mineral dari dalam Bumi ini. Kehidupan dunia tambang sangatlah mewah.

”Ketika masih mahasiswa dan hendak meneliti tambang timah di Belitung, saya disuguhi 10 macam makanan oleh perusahaan tambang. Mana mungkin saya habiskan semua,” cerita Erwiza yang tengah menyiapkan buku tentang ”negara bayangan” yang dihasilkan dunia tambang.

”Tetapi cobalah ke luar beberapa langkah dari pagar perusahaan, terlihatlah gambaran masyarakat yang miskin,” katanya.

Ada pula kesenjangan antara masyarakat pendatang yang direkrut untuk bekerja di tambang dan penduduk lokal. Politik pertambangan yang lebih banyak mempekerjakan pendatang pada tingkat struktural perusahaan daripada masyarakat lokal meninggalkan permasalahan etnisitas antara pendatang dan penduduk lokal.

Bila kandungan tambang di perut Bumi habis, tinggallah masyarakat hidup di lingkungan yang sudah rusak. ”Di Bangka banyak sekali lubang bekas tambang yang menjadi kolam. Problem kerusakan lingkungan akibat tambang belum mendapat perhatian pemerintah dan penambang. Kondisi serupa terjadi hampir di seluruh daerah tambang di Indonesia,” katanya.

Di sisi lain, ada buruh tambang. ”Para buruh tambang bukan obyek yang pasif, apakah mereka berada di bawah pemerintahan otoriter atau tidak,” ucap Erwiza.

Catatan sejarah dari Sawahlunto memberi gambaran, pada tahun 1926/1927 buruh terlibat aktif dalam pemberontakan Silungkang. Pemberontakan yang meletus akibat ketidakadilan strata pada masyarakat tambang. Alasan ekonomi dan ketidakadilan sosial merupakan salah satu penyebabnya.

Kondisi masyarakat di sekitar tambang pun hingga kini tak jauh berbeda, sebagian besar tetap miskin. Kesadaran untuk memerhatikan masyarakat sekitar lokasi penambangan mulai diperlihatkan perusahaan. Ini muncul dengan memperhitungkan kemungkinan perusakan aset tambang bila masyarakat mengamuk.

”Otonomi daerah justru membuat semakin banyak pemerintah yang hanya mengejar pendapatan dari keberadaan tambang. Mereka tak mau merancang sebuah dunia tambang yang mengakomodir semua kebutuhan,” katanya.

Fungsi tanggung jawab sosial dari perusahaan kepada masyarakat bisa menjadi cara untuk memecah kebekuan itu. ”Perlu ada lembaga yang otonom untuk menjalankan pemberdayaan masyarakat,” kata Erwiza.

Betapa pun, sebuah sejarah seharusnya membuat orang belajar menjadi yang lebih baik di hari esok. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sumber: KOMPAS, 19 Maret 2008