Tuesday, November 27, 2007

Ada Pertambangan Ada Masalah


Pesawat Merpati Boeing 737 jurusan Makassar, Sulawesi Selatan – Timika, Papua sudah dua lebih menjelajahi angkasa pada 3 Oktober 2007. Tepat pukul 13. 45 WITA, melalui pengeras suara, pramugari mengumumkan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin Timika, Papua.

Aku yang tertidur setelah satu jam pesawat lepas landas Bandara Hassanudin, terbangun oleh suara pramugari. Kuarahkan pandangan ke luar lewat kaca jendela pesawat. Dari jauh kulihat di bawah sana hutan Papua yang masih hijau dan sungai berkelok-kelok laksana ular air. Aku duduk di dekat jendela. Oleh karenanya dengan leluasa mataku memanah mutiara hijau hutan papua dan kelokan sungai.

Tetapi pemandangan itu hanya sesaat karena pesawat sudah mendekat ke Bandara Mozes Kilangin. Pesawat semakin mendekati bumi Papua. Dari kaca jendela mataku memanah keluar ke arah Kampung Kwamki Lama. Bukan mutiara hijau (hutan) yang kutemukan. Melainkan bentangan tailing (lumpur limbah pertambangan) yang maha luas dan panjang. Sungai besar dan kecil penuh dengan lumpur limbah. Pohon-pohon meranggas bagaikan orang-orang telanjang di tengah kepanasan. Sejauh mataku memandang, yang kutemukan hanyalah lumpur limbah berwarna putih dan bukan warna hijau khas hutan Papua.

Pesawat yang kutumpangi akhirnya mencium bumi Papua. Goncangan badan pesawat saat roda-roda pesawat menyentuh landasan Bandara Mozes Kilangin, laksana sebuah sapaan selamat datang di tanah Timika.

Beberapa saat kemudian, aku sudah menginjakkan kakiku di bandara yang sering disebut sebagai bandara internasional karena berada di area konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia. Tetapi kenyataan fisik bandara sungguh berbeda 180 derajat dengan bandara internasional pada umumnya. Jalan menuju ruang tunggu penuh dengan kerikil dan debu beterbangan saat mobil melaju di atasnya. Ruang tunggu kedatangan jauh dari kriteria sebuah bandara internasional. Sebagian lantainya terbuat dari ubin hitam dan sebagian lagi terbuat dari semen kasar. Tidak ada air conditioner. Beberapa bangku kayu yang penuh debu di pasang dalam ruangan itu. Sebuah tempat sampah besar diletakkan tidak jauh dari tempat duduk penumpang. Jendelanya pun dibatasi dengan kawat yang biasa dipakai untuk membuat kandang ayam di banyak tempat. Barang bawaan penumpang dilempar begitu saja ke atas tempat bagasi yang terbuat dari papan yang penuh debu. Toilet pun kotor dan bau meskipun ada air. Tidak ada monitor jadual kedatangan pesawat.

Di ruang tunggu keberangkatan, setali tiga uang. Sama saja. Bahkan lebih parah. Tingkat keparahannya sungguh kualami ketika hendak membeli tiket pesawat Merpati jenis foker (9 penumpang) ke Agats-Asmat. Sehari sebelum keberangkatan (Jumat, 5/10) aku minta tolong pada seorang staf Keuskupan Timika untuk membeli tiket. Informasi yang didapat bahwa tiket habis atau pesawat sudah penuh. Tetapi staf keuskupan ini mengatakan, tiket bisa didapat saat di bandara saat keberangkatan. Pada keesokan harinya (Sabtu, 6/10), kami ke bandara.

Ternyata betul. Tiket diperoleh dengan harga Rp. 750. 000. Harga sebenarnya Rp. 650. 000. Saat dalam pesawat, ternyata jumlah penumpang hanya enam orang. Masih banyak kursi yang kosong. Jelas sekali bahwa praktik pelayanan publik seperti itu adalah praktik kotor dan culas.
Kalau kondisinya seperti itu, apakah masih layak disebut sebagai bandara internasional? Atas dasar apa bandara itu disebut bandara internasional? Apakah karena puluhan negara yang memiliki saham di PT Freeport Indonesia sehingga bandara itu dikategorikan sebagai bandara internasional? Atau apakah karena ada logo bendera puluhan negara yang tertera di ambang atas pintu masuk ruang tunggu kedatangan sehingga menjadi bandara internasional? Beragam pertanyaan itu menggelayut dalam pikiranku.

Sudah puluhan tahun PT Freeport beroperasi di Kabupaten Mimika Papua. Tetapi mengapa sampai sekarang bandara masih seperti sebuah tanah lapang yang lebih cocok untuk menggembalakan kambing atau sapi? Inilah pertanyaan lanjutannya. Kondisi itu menjadi sebuah penegasan bahwa janji-janji manis investor pertambangan belum tentu dapat dipenuhi di kemudian hari.

Pengalaman mengamati dari udara areal pembuangan lumpur limbah pertambangan yang luasnya mencapai ratusan kilometer persegi dan kondisi bandara yang lebih mirip areal penggembalaan ternak, mendorongku untuk memastikan fakta itu kepada orang-orang setempat. Orang-orang yang berkompeten di tempat itu harus kutanya. Setelah dua hari di Timika, akhirnya aku berhasil mewawancarai Uskup Timika, Mgr Jhon Philip Saklil Pr, Wakil Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO) Canisius Yosep Amareyau (68), dan Kepala Bidang Adat dan Budaya LEMASKO Fransiskus Yoseph Waraopea (67).

Banyak masalah sosial

Kepada Mgr Jhon Philip Saklil Pr, aku bertanya tentang keuntungan dan dampak negatif dari pertambangan terhadap orang-orang Papua khsusnya Kabupaten Mimika. “Tingkat kehidupan orang-orang Papua khususnya di Kabupaten Mimika jauh dari sejahtera meskipun di sini ada pertambangan besar,” jawab Mgr Saklil tegas.

Yang lebih parah adalah, lanjut Mgr Saklil, makin banyak permasalahan sosial yang timbul. Pelacuran semakin marak, penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun, hampir tiap hari ada orang Papua yang mati dipukul aparat keamanan, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah-daerah lain di Indonesia. “Kalau orang bilang pertambangan mensejahterakan orang Papua, seharusnya dari dulu orang Papua sudah sejahtera. Tetapi sekarang kenyataan berbicara lain. Ini artinya negara (pemerintah) memang tidak sanggup dan tidak mau mengurus masyarakat Papua,” jelasnya.

Menurut Mgr Saklil, juga menyoroti aparat keamanan (polisi dan tentara) yang selalu menempel dengan industri pertambangan. Di mana ada pertambangan di situ ada aparat keamanan. Aparat keamanan dibayar dengan harga tinggi untuk menjaga aset-aset milik perusahaan pertambangan. Karena dibayar tinggi, tugas aparat bukan lagi melindungi dan mengayomi masyarakat sipil melainkan menyembah pemilik modal demi lembaran-lembaran rupiah dan dolar. “Aparat keamanan di sini adalah salah satu pemilik saham di Freeport,” seloroh Mgr Saklil.

Tentang keterlibatan aparat keamanan dalam pengamanan aset-aset militer di PT Freeport Indonesia, seorang staf Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika yang meminta namanya dirahasiakan, mengatakan, “Militer juga ikut menambang secara liar. Bila ada masyarakat yang mau ikut menambang di area pertambangan liar, harus bayar sekali masuk Rp. 1 juta rupiah,” kata pemuda yang pernah menyamar sebagai penambang liar di area konsesi pertambangan PT. Freeport Indonesia ini.

Pencemaran parah

Dari Canisius Yosep Amareyau dan Fransiskus Yoseph Waraopea aku mendapat informasi penting tentang lumpur limbah pertambangan. Lumpur limbah mencemari sebagian besar tanah ulayat milik suku Kamoro, yakni sungai-sungai dan pesisir pantai. (Sebagian besar tanah yang menjadi lokasi pertambangan di Tembagapura merupakan milik Suku Amungme). “Sungai-sungai yang dulu biasa kami lewati dengan sampan dan rakit sekarang tidak bisa lagi karena penuh dengan Lumpur. Kami juga tidak bisa mencari ikan dan kepiting di sungai dan pesisir karena sudah tercemar limbah,” jelas Canisius dan Fransiskus.

Terkait dana 1 persen dari keuntungan PT. Freeport untuk pembangunan masyarakat setempat, Canisius dan Fransiskus mengatakan dana itu masih bermasalah. “Hanya tipu-tipu saja. Rancana bulan November ini, kami akan ke Jakarta untuk membicarakan hal ini dengan pemerintah pusat dan pihak perusahaan,” kata mereka.

Area pembuangan lumpur limbah sangat luas. Luas areal itu kupastikan lagi dengan melihat dari udara saat pergi dan pulang Timika-Ewer Asmat pada Sabtu 6/10 dan Sabtu 31/10. Salah satu muara dari pembuangan limbah adalah Timika (di sekitar bandara dan kampung Kwamki Lama). Jarak antara Timika dan Tembagapura (lokasi pertambangan) mencapai kurang lebih 100 KM. Dengan jarak itu, bisa dibayangkan luas areal yang tercemar.

Kalaupun ada argumentasi bahwa lumpur limbah bisa diolah menjadi air minum, itu membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang mahal. Mungkinkah investor pertambangan mau melakukan itu? Walahualam. Hanya ada satu yang jelas, di mana ada pertambangan di situ ada masalah.

Catatan Perjalanan Jurnalistik Alexander Aur,
wartawan Tabloid Flores Pos Jakarta ke Timika, Papua

Sumber: harian Flores Pos edisi, 27 November 2007

Jebakan Maut Corporate Social Responsibility


Dalam Kertas Kerja Sosialisasi Industri Pertambangan Terpadu Lembata yang ditujukan kepada masyarakat Lembata, PT Merukh Lembata Copper mengungkapkan bahwa akan melakukan pengembangan masyarakat (community development). Wujud konkrit pengembangan masyarakat yang akan dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, penyerapan tenaga lokal, pengembangan mutu pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan mengutamakan kesempatan usaha dan bekerja bagi penduduk lokal Lembata.
Dalam dunia korporasi atau perusahaan (khususnya korporasi pertambangan), pengembangan masyarakat (community development) merupakan perwujudan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan/korporasi (corporate social responsibility/csr). Di banyak tempat, corporate social responsibility – selanjutnya disebut CSR – merupakan langkah jitu dari perusahaan untuk menarik simpati dan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut di satu tempat. Sebagai contoh, PT Inco – sebuah perusahaan pertambangan nikel dari Canada – yang melakukan aktivitas pertambangan di Sorowako Sulawesi Selatan. Perusahaan ini mewujudkan CSR dalam beberapa aspek seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, pengembangan ekonomi (pertanian dan peternakan).

Bila dilihat secara sekilas, perwujudan CSR merupakan suatu langkah yang mulia. Hasilnya bisa langsung mengena (dirasakan/dinikmati) masyarakat setempat. Tetapi, sesuatu yang dilihat secara sepintas baik, ternyata mengandung jebakan-jebakan mematikan.

Tulisan ini akan menyoroti dua jebakan mematikan dari CSR. Pertama, secara konseptual (pada tataran ide) CSR mengandung dilema, yakni pertarungan antara ide tentang politik balas budi dan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan tambang. Korporasi atau perusahaan sering kali memahami CSR dan perwujudannya sebagai tuntutan etis dan moral. Para aras ini, perwujudan CSR merupakan karya karitatif dari perusahaan. Gagasan yang melatarinya adalah politik balas budi (politik etis). Menurut perusahaan, politik balas budi harus dilakukan karena masyarakat sudah menyerahkan hak miliknya berupa tanah, air, udara, dan bahkan budaya kepada korporasi tambang. Politik balas budi ini pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, seperti pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi, dan kerajinan tangan. Pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) pada Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.

Ide politik balas budi tersebut bertentangan dengan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan – terutama perusahaan tambang. Ideologi ekonomi perusahaan tambang adalah mencari dengan berbagai cara sumber-sumber ekonomi dan mengelolanya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Orientasi keuntungan (profit oriented) menjadi matra utama dan pertama dari perusahaan. Jelas sekali, bahwa tidak ada titik sambung yang menghubungkan ide tentang politik etis dan ideologi ekonomi, yang kedua-duanya dijalankan oleh satu subjek, yakni perusahaan tambang. Sedang berkembang cara berpikir dan praktik oleh perusahaan tambang yang tidak logis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masuk akal, bila sebuah perusahaan yang berorientasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di satu sisi, dan di sisi lain melakukan politik etis bagi masyarakat setempat? Bukankah ini sebuah dilema moral yang mendasar? Bukankah CSR merupakan bentuk penaklukan secara halus terhadap masyarakat setempat agar tidak memprotes aktivitas pertambangan?
Jika demikian, maka, “CSR merupakan strategi pendekatan kaum neoliberal agar tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. Dengan kata lain CSR adalah alat penaklukan dalam kemasan berwajah sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah, yakni akumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,” (Sonny Sukada, 2007, hal. 19).
Kedua, Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), yang didalamnya mengatur juga CSR. Salah satu ketentuan dalam UU tersebut adalah kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Pengesahan UU tersebut dilakukan setelah sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, seperti di Buyat Sulawesi Utara (pertambangan emas oleh PT Newmont Minahasa), Abepura Papua (pertambangan emas oleh PT Freeport Indonesia), dan Porong Sidoarjo Jawa Timur (pertambangan gas oleh PT Lapindo Brantas Inc).
Langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beberapa asosiasi pengusaha. Alasannya, UU tersebut bisa menjadi dasar praktik-praktik pemungutan liar. Banyak perusahaan beranggapan bahwa CSR merupakan bentuk kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena itu CSR tidak bisa dilegalkan dalam UU. Kepedulian sosial sebagai tindakan sukarela tidak bisa dibakukan dalam UU sehingga menjadi kewajiban.
Jika perusahaan memahami CSR sebagai tindakan sukarela, maka dengan mudah perusahaan melepaskan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Mungkin juga akan mewujudkan CSR tetapi dalam batas waktu tertentu saja.
Jelas, bahwa tidak ada kesamaan konsep tentang CSR antara pemerintah dan perusahaan/korporasi. Ketidaksamaan konsep tersebut akan berujung pada praktik di lapangan. Perusahaan kapan saja bisa enggan melakukan CSR atau masa perwujudan CSR yang terlalu pendek yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang diderita masyarakat. Akibatnya konflik berkepanjangan bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah. Siapa pun yang terlibat dalam konflik, yang sering menjadi korban adalah masyarakat setempat.
Jebakan-jebakan maut tersebut perlu diperhatikan secara serius dan mendalam oleh masyarakat setempat, yakni di lokasi pertambangan secara khusus, dan kabupaten secara umum. Itu agar masyarakat tidak mudah jatuh dalam jebakan yang mematikan diri sendiri. Pemerintah daerah juga harus kritis dengan tawaran berupa CSR dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi.

Penulis, Alexander Aur, wartawan di Jakarta, asal Lembata

Sumber: Harian POS KUPANG, Edisi 29 September 2007