Thursday, February 28, 2008

Lumpur Lapindo, Lumpurnya "Tuhan"?

Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)

Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan. Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)


Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?

Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.

Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

Definisi

Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.

Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.


Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”


Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)

Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas- universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

Istilah bencana alam

Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.

Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku) .

Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.

Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu.
Jonatan Lassa Ph.D
Researcher Kajian Disaster Risk Governance-BIGS- DR-ZEF University of Bonn-Bonn; Co- editor Journal of NTT Studies; Anggota Forum Academia NTT

Sumber: KOMPAS, 28 Februari 2008

Wednesday, February 27, 2008

Dengarkan Suara Rakyat: Gagasan Berbasis Budaya Seputar Konflik Tambang di Lembata

Semenjak munculnya ide rencana tambang, masyarakat Lembata dipecahkan ke dalam kelompok pro tambang, kelompok menolak tambang dan kelompok yang belum menentukan sikap untuk menerima atau menolak tambang. Setiap kelompok melakukan aktivitas masing-masing untuk mendukung keberadaan kelompoknya. Warga yang menerima tambang bersedia dibayar untuk berdemo dan mengikuti studi banding DPRD Lembata ke Minahasa dan Sumbawa Barat. Masyarakat yang menolak tambang menggelar beberapa kegiatan budaya untuk mengekspresikan gejolak penolakan.

Pertama, membuat ritus adat. Hakikat ritus adat adalah menghadirkan kembali peristiwa berdarah yang telah terjadi pada masa lampau. Intensi setiap ritus adat adalah memohon sesuatu dari Yang Ilahi, menolak bala (bencana) dan mempertahankan hak. Ritus adat yang digelar dalam kerangka mempertahankan hak mengungkapkan kesiapan masyarakat untuk berperang, untuk menumpahkan darah dan siap untuk membunuh atau dibunuh. Masyarakat hanya akan menyerahkan hak milik yang dipertahankan ketika telah mengalami kekalahan dalam peperangan. Mereka yakin bahwa penyerahan hak milik yang mesti dipertahankan kepada pihak lain tanpa perlawanan akan menerima ganjaran kosmis.

Kedua, warga yang menolak tambang melakukan demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi ke Pemkab Lembata dan DPRD. Aksi ini dijalankan berdasarkan keyakinan bahwa bupati, wakil bupati dan anggota dewan dipilih oleh masyarakat. Warga menyapah “orang” yang dipilih itu dengan “bapak.” Sapaan ini mengungkapkan sebuah harapan agar “orang yang dipilih” itu melindungi hak dan mendengarkan suara. Sapaan itu menuntut masyarakat untuk bertindak santun terhadap mereka. Tetapi apa yang kita saksikan dalam demonstrasi beberapa waktu lalu di Lewoleba? Masyarakat datang dalam jumlah besar untuk menyampaikan aspirasi penolakan tambang.

Hampir tidak ada salam dan ungkapan kata-kata bernuansa kekeluargaan. Warga hanya berdiri sepanjang hari di tengah terik siang dan akhirnya “bermalam” di halaman kantor bupati dalam persahabatan erat dengan aparat Polres Lembata. Fenomena ini saja sudah menunjukkan retaknya relasi antara warga dan “bapak.” Saya pikir, masyarakat tahu dan sadar akan resiko dari perbuatannya. Tetapi mereka berani melakukannya. Apakah karena mereka bodoh? Apakah karena diprovokasi seperti yang selalu diungkapkan oleh kelompok pro tambang? Menurut saya, warga berani dan tegar melakukannya karena nilai yang selama ini menghidupi mereka yaitu lewotana. Orang Lama Holo memahami bahwa lewotana memiliki empat unsur konstitutif yaitu rerawulan-tanaekan dan kaka bapa ama nene/kodakewoko-malaike (Allah dan roh nenek moyang), ribu ratu-mauk lalan (rakyat), koten kelen-hurit maran (dewan adat) dan lein lau weran rae-hikun tetai wanan lali (tanah ulayat).

Penulis berupaya menggagas aksi penolakan rencana tambang dengan berfokus pada uraian seputar tanah ulayat. Orang Lama Holo memiliki beberapa pandangan tradisionil tentang tanah ulayat. Pertama, tanah adalah ibu yang melahirkan (tana jadi ekan dewa) dan memelihara (tana pao-ekan gota, tanapuli toben-ekan ale bua). Kedua, tanah adalah lambang yang suci. Orang Lama Holo menyebut langit itu rerawulan dan bumi itu tanaekan. Kedua tempat ini diyakini menjadi ruang hadirnya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Maka orang Lama Holo menjadikan keduanya, nama dan lambang dari wujud tertinggi. Tanah adalah suci sebab bersama langit ia melambangkan dan menghadirkan wujud tertinggi (rerawulan-tanaekan). Ketiga, tanah adalah pemberian wujud tertinggi.

Menurut tuturan sejarah suku-suku, ketika berziarah mencari tana (seba ni genak lagan), orang selalu menggunakan alat-alat bantu untuk mengetahui tanah mana yang diberikan rerawulan-tanaekan untuk dihuni. Alat bantu pertama adalah sepasang alat musik yang dibuat dari bulu. Alat ini dibunyikan dengan menggunakan udara yang keluar dari kedua lubang hidung peniupnya. Alat itu akan dibunyikan ketika mereka tiba pada suatu tempat. Jika rerawulan-tanaekan tidak menghendaki mereka mendiami tempat itu maka meski dibunyikan berulangkali, suara alat itu tidak akan serasi dan harmoni (alan geretu hala-ran geruba kurang). Alat bantu kedua adalah mimpi. Rerawulan-tanaekan memberikan tempat diam kepada para pencari melalui mimpi (nuren tutu ledan marin. Nuren rerawulan). Alat bantu ketiga ialah jangkar. Saat perahu layar tiba pada suatu tempat, para pencari berusaha menjatuhkan jangkar. Kalau rerawulan-tanaekan tidak merestui, meski jangkar dijatuhkan berulangkali, tidak akan tersangkut pada karang/batu (niwan bakera lali ha puken halasao baera lali rubu lolon kurang).

Alat bantu keempat adalah bunyi binatang. Bila para pencari tiba pada suatu tempat dan kambing atau ayam bawaan berbunyi dan tidak disambung oleh binatang yang sama dari darat, itu sinyal bahwa rerawulan-tanaekan tidak memberikan tempat itu untuk dihuni. Maka, para pencari yang berada dalam perahu hanya dapat mendaratkan perahu ketika ada petunjuk dari wujud tertinggi. Keempat, tanah adalah gumpalan darah yang mengering. Ketika para pencari mendapatkan kepastian tanah yang akan dihuni, mereka akan mendaratkan perahu (tena gera gee-laya adan purin). Tindakan pertama yang harus dibuat adalah melakukan upacara membeli tanah (hope tana-awe ekan).

Menurut cerita yang sangat dirahasiakan orang tua, yang dikorbankan dalam upacara itu adalah seorang manusia seorang manusia (hamba/kunoa nawamao meka). Manusia itu dikuburkan dalam keadaan hidup. Di atas kuburan itu ditanam batu yang disebut nuba (nuba watan lolon-nara ena lein). Jika mereka tidak menemukan air payau di pantai, mereka akan berjalan ke arah gunung atau minimal mengumpulkan embun di pagi hari dan mendapatkan air dari dalam bambu muda (tobo sasa apun-pae hore ibo) atau mendapatkan air dari pisang hutan (baki wa’in). Warga akan bergerak ke gunung untuk mencari tempat diam yang aman. Menurut kepercayaan, pada masa itu pelindung yang baik adalah bukit yang tinggi dan lembah yang dalam (lewo belikun wolo belolon-tana belapaken lungun lemen).

Hal kedua yang mereka lakukan adalah membuat upacara untuk membeli tanah di gunung (hope tana rae ile-awe ekan rae woka). Kisah itu kembali menuturkan bahwa korban kali ini juga seorang manusia yang dikuburkan dalam keadaan hidup. Di atas kubur ditanam batu yang disebut nuba (nuba wuhun wutun-nara wolo matan). Ritus ini juga diikhtiarkan sebagai pembayar harga kerusakan tanah yang akan terjadi (tana bunga bai-ramut geto wote). Kelima, tanah adalah kenangan akan perjuangan nenek moyang. Nenek moyang berjuang berlayar untuk mencari tanah. Mereka berjuang dalam peperangan melawan penghuni terdahulu yang menolak kehadiran pendatang.

Nenek moyang juga berjuang dalam peperangan untuk mempertahankan tanah dari gangguan pendatang baru atau usilan warga kampung tetangga. Di dalam tanah ulayat terdapat batu keramat (nuba-nara), rumah adat (lango uma-kuru kawa), tanaman umur panjang (duli pali-onge laran), tempat garapan (nura newa kayo tale dan belatan), pantai untuk mencari ikan dan daratan untuk berburu binatang hutan (metin watan-ile wolo).

Semua ini mengandung nilai yang dalam bagi warga Lama Holo yaitu nilai agama, budaya, politik, ekonomi dan relasi sosial. Nilai-nilai inilah yang membingkai dan menjamin keberadaan, eksistensi masyarakat ulayat. Bagi masyarakat Lembata, khususnya kawasan Leragere dan Kedang, rencana tambang emas dan tembaga adalah bencana yang akan menghancurkan dan melenyapkan seluruh nilai itu. Kehadiran tambang emas dan tembaga serentak menghilangkan keberadaan mereka. Ketika merasakan luhurnya nilai-nilai budaya-religi yang selama ini dihidupi dan dipertahankan yang tercermin dalam gambaran ritus adat menolak tambang maka kita dapat memastikan bahwa masyarakat tidak akan mundur setapak pun dari perjuangannya untuk menolak tambang.

Di pihak lain, tampak bahwa pemerintah akan mempergunakan berbagai sarana dan jalur, bahkan boleh jadi jika terdesak akan menggunakan “timah panas” untuk memaksakan kehendak arogansinya. Ada dua kekuatan yang bertarung dalam konflik tambang. Bahkan belakangan ini, pemerintah berusaha masuk melalui kelompok suku tertentu untuk mengacaukan keharmonisan dan merekayasa dukungan yang manipulatif'. Bukan tidak mungkin akan terjadi duel “jual beli” antara rakyat yang dikandung dari rahim ulayat rakyatnya. Kita harapkan agar pemerintah masih memiliki sedikit ruang hati untuk mendengarkan suara jerit teriakan rakyat yang kian parau.


Laurensius Useng,
anggota tim pastor Paroki Hokeng, Keuskupan Larantuka
Sumber: svdende.org

Pemerintah Jual Murah Hutan Lindung

Jakarta–Kalangan LSM menilai pemerinah menjual murah hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, dengan hanya mengenakan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp3 juta per hektare per tahun.

"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp120 hingga Rp300 per meter. PNBP itu lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran pers yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta.

Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat.

Menurut dia, perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Pelsart jelas diuntungkan PP ini, seperti juga perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya.

Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung meliputi luasan sekitar 11,4 juta hektare. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp 1,8 juta hingga Rp 3 juta per hektare.

Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

Yang menyesakkan, PP ini keluar di tengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha.

Juga di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi, tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.

"PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisiatif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jatam.

Sumber: ANTARA,18 Februari 2008

Tuesday, February 26, 2008

Bedah Rencana Tambang Lembata

Jakarta-Sejumlah pembicara yang terdiri dari para pakar, akademisi, dan pekerja sosial akan membedah rencana tambang di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dalam diskusi panel yang diselenggarakan Justice Peace and Integrity for Creation, Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia di Gedung Juang 45 Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (1/3).

Menurut Direktur JPIC-OFM Indonesia Dr Peter C Aman, diskusi panel bertajuk Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik Usaha-usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata Terhadap Industri Pertambangan. “Diskusi panel akan menghadirkan sejumlah pakar dan akademisi di bidangnya. Topik-topik yang akan dibahas terkait aspek kebijakan politik pemerintah lokal terkait, aspek hak-hak asasi manusia, hukum pertambangan, dan proses pendampingan masyarakat lokal selama ini,” kata Peter Aman kepada FLORES POS di Jakarta, Selasa (26/2) kemarin.

Sejumlah pembicara dipastikan hadir. Di antaranya pejuang hak-hak asasi manusia (HAM) yang juga staf pengajar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Dr George Junus Aditjondro, sosiolog UI Dr Francisia Erry Seda, ahli pertambangan dan energi Dr Hendro Sangkoyo, Direktur Parrhesia Institute yang juga dosen Ilmu Politik UI Boni Hargens, praktisi hukum Eddy Danggur, SH, MH, Direktur JPIC-OFM Indonesia Dr Peter Aman, dan Pastor Marselinus Vande Raring, SVD dari JPIC-SVD Ende.

Diskusi panel itu, lanjut staf pengajar STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya Jakarta ini, bertolak dari gagasan dasar gencarnya kampanye investasi di berbagai bidang kehidupan di Indonesia belakangan ini. Tujuannya, aset-aset dan kekayaan negara dimaksimalkan guna membangun bangsa dan negara guna mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Salah satunya adalah masalah investasi di bidang pertambangan.

“Kampanye atau sosialisasi bahwa pertambangan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bertolak belakang dengan kenyataan empirik di lapangan. Justru, yang terjadi dengan masyarakat dan lingkungan di lokasi pertambangan adalah penderitaan dan kehancuran. Kasus pertambangan di Papua dan pencemaran Teluk Buyat di Kabupaten Minahasa Tenggara merupakan contoh nyata timbulnya kehancuran dan penderitaan masyarakat akibat pertambangan,” jelas Peter, doktor moral lulusan Universitas Gregoriana, Roma.


Dukung Masyarakat

Rencana tambang di Lembata dengan dalih mensejahterakan rakyat mendapat penolakan mayoritas masyarakat Lembata, terutama yang tinggal di prospek tambang seperti Kecamatan Omesuri, Buyasuri, dan Lebatukan. Konggregasi OFM Indonesia melalui lembaganya, JPIC telah berkomitmen berada di belakang masyarakat yang menolak rencana tersebut.

”Kami berada bersama masyarakat yang sedang dalam kecemasan dan ketakutan tatkala hak-hak hidupnya dilanggar. Pilihan kami sebagai saudara dina mendorong kami untuk tetap bersama mereka,” kata Provinsial OFM Indonesia Pastor Paskalis Bruno Syukur, OFM di Jakarta.

Menurut Pastor Bruno, setelah meneliti secara saksama rencana tambang maka pihaknya memutuskan berada bersama masyarakat. Pilihan ini, katanya, beralasan karena di sana ditemukan suatu pilihan yang oleh Fransiskus Asisi menyatakan bahwa saudara dina (OFM) mesti berada bersama masyarakat lemah dan tertindas yang sedang membela hak-haknya.

Otoriter

Sebelumnya, anggota DPR RI Cypri Aur menilai, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata terkesan sangat otoriter dalam kaitan dengan rencana tambang di Lembata sekalipun ditolak hampir seluruh elemen masyarakat. “Aspirasi masyarakat yang menolak tidak boleh diabaikan, tetapi harus dihargai. Jangan sampai terjadi pemaksaan kehendak dalam rencana tembang di wilayah itu. Kita tahu, hampir mayoritas masyarakat sudah menolaknya,” kata Cypri Aur.

Bupati Manuk, ujar Cypri, harus segera membuka ruang dialog yang terbuka dan jujur soal rencana ini. Apalagi, selama ini hampir mayoritas masyarakat menolak dengan menggelar berbagai ritual adat. “Jangan sampai aspirasi masyarakat yang menolak rencana itu tak didengar dan digubris serius oleh Pemda Lembata. Mestinya, aspirasi masyarakat yang menolak harus dihargai. Salah satu jalan adalah duduk bersama terlebih dahulu. Seharusnya pula potensi pertanian Lembata yang harus diberdayakan,” tegasnya.

Sr Maria Sipriana, PRR menambahkan, seharusnya Bupati Manuk dan DPRD Lembata mempertimbangkan serius rencana tembang karena sejak awal sudah mendapat perlawanan masyarakat. “Tidak mungkin Pemda yang berniat mulia mensejahterakan masyarakat tetapi masyarakat justru menolak. Ini menjadi pertanyaan reflektif yang harus dijawab. Bupati dan DPRD Lembata keliru mengambil langkah. Kan bisa belajar dari kasus-kasus pertambangan seperti Freeport di Papua atau Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara,” kata Sr Sipriana, mahasiswa Universitas Kusuma Negara Jakarta. (Ansel)

Sumber: FLORES POS Ende, 27 Februari 2008

Petugas Periksa Limbah

Semarang, Kompas - Petugas dari Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi atau LHPE Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/2), memeriksa limbah pabrik tisu dan kapas, PT Taruna Kusuma Puri Nusa, di Klepu, Kecamatan Pringapus. Petugas menemukan beberapa kandungan melebihi batas baku mutu yang diperkenankan.

Sebelumnya, sejumlah warga mengeluhkan limbah cair yang menyebabkan kerusakan ekosistem di sungai yang digunakan untuk pengairan sebagian areal persawahan warga Klepu.

Tim yang dipimpin Wiwoho, Kepala Seksi Analisis Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas LHPE Semarang, meminta keterangan pengelola pabrik. Dalam dokumen pelengkap pengajuan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), yaitu hasil uji laboratorium tahun 2008 terhadap limbah pabrik itu, diketahui kandungan pH atau keasaman dan kebutuhan oksigen untuk proses kimiawi (chemical oxygen demand/COD) melebihi baku mutu.

Keasaman limbah mencapai 10,34, dari batas yang diperkenankan antara 6-9. COD dalam limbah juga mencapai 1.453 miligram per liter, jauh lebih tinggi dari batas 150 miligram per liter. Petugas juga mengambil contoh limbah untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium Dinas LHPE.

Pengelola pabrik tidak bersedia dikonfirmasi oleh wartawan. Menurut Wiwoho, dalam pertemuan, pengelola pabrik mengakui adanya kelebihan kandungan.

Sementara itu, Pemerintah Kota Bitung, Sulawesi Utara, mencatat lebih dari 1.000 ekor ikan ditemukan mati sepekan belakangan di perairan Lembeh. Ikan milik nelayan di keramba juga mengalami nasib sama.

Wali Kota Bitung Hanny Sondakh menduga ikan mati akibat pencemaran air laut oleh sebuah perusahaan minyak kelapa.

Pemantauan pada Selasa menunjukkan, perairan di Selat Lembeh tampak berminyak. Kepala Kelurahan Paudean Hendrik Sologia mengatakan, Rabu lalu perairan Lembeh Selatan mendadak berwarna hitam. Lalu ratusan ekor ikan mati. (ZAL/GAL)

Sumber: KOMPAS, 27 Februari 2008

Monday, February 25, 2008

Pertambangan tembaga dan emas di Lembata: Investor diminta segera lakukan studi kelayakan

"Saya ngotot perjuangkan pertambangan ini bisa masuk karena saya telah menerima uang miliaran rupiah. Hidup saya masih seperti ini. Lopo (Moting Lomblen) dari dulu sampai sekarang tak banyak berubah. Kalau uang miliar, mestinya saya bangun rumah sampai tiga lantai". ------Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk ------

LEWOLEBA, PK--Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata meminta investor Merukh Enterprises segera melakukan studi kelayakan industri pertambangan tembaga dan emas di Lembata. Kegiatan ini dilaksanakan setelah eksplorasi diselesaikan lebih cepat dari dari jadwal yang direncanakan, yakni 31 Desember 2008.

"Kita minta segera studi kelayakan. Setelah Paskah, investor sudah bisa datang lagi ke Lembata melakukan kajiannya. Kita harapkan seluruh proses studi kelayakan berjalan lancar sehingga pertambangan bisa berjalan mulus dan mendapat dukungan masyarakat," kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, pada kegiatan penyerahan tanah ulayat oleh pemilik ulayat Tuamado, Desa Panama dan pernyataan sikap netral pemilik ulayat Peamole, Desa Bean, Kecamatan Buyasuri, di Lopo Moting Lomblen, Kamis (20/2/2008). Penegasan itu disampaikan lagi saat jumpa pers, Jumat (22/2/2008).

Andreas menjelaskan, memasuki tahapan studi kelayakan berarti dua tahapan kegiatan telah dilaksanakan investor yakni penyelidikan umum dan eksplorasi. Yang terpenting adalah kerelaan dan kemauan pemilik ulayat melepaskan haknya dan menyerahkannya kepada investor. Hasil kajian terhadap seluruh aspek sangat menentukan apakah industri pertambangan tembaga dan emas bisa dilakukan di Lembata.

Dikatakannya, studi banding akan terkonsentrasi pada daerah-daerah endapan mineral yang pernah dieksplorasi untuk mengetahui berbagai dampak positif dan negatif pada spek lingkungan, sosial dan budaya. Kajian para pakar ini sangat menentukan, apakah investasi ini bisa berlangsung atau tidak. "Kajian studi kelayakan akan dipresentasikan secara terbuka kepada masyarakat. Yang kaji itu memang pakar yang jago dalam bidangnya," tandas Andreas.

Dia menambahkan, studi kelayakan akan menghasilkan rekomendasi yang tegas apakah deposit mineral yan terkandung bernilai ekonomis atau tidak.

Andreas didampingi Wabup, Drs.Andreas Nula Liliweri mengakui, banyak sekali perlawanan yang diorganisir lembaga swadaya masyarakat dan kaum cerdik pandai yang cenderung memberi pemahaman yang negatif tengang industri pertambangan. Rakyat seolah siap menjadi korban dari usaha ini. Tetapi cepat atau lambat, industri ini akan terjadi. Sejalan dengan perkembangan waktu, rakyat akan sadar dan menentukan pilihannya.

Ia mengakui bermacam tudingan dialamatkan kepadanya. "Saya ngotot perjuangkan pertambangan ini bisa masuk karena saya telah menerima uang miliaran rupiah. Hidup saya masih seperti ini. Lopo (Moting Lomblen) dari dulu sampai sekarang tak banyak berubah. Kalau uang miliar, mestinya saya bangun rumah sampai tiga lantai. Kalau kita tidak buat, kenapa mesti repot," kata Andreas.

Dikatakannya, Lembata dimekarkan dari kabupaten induk Flores Timur menjadi daerah otonom, sedang dievaluasi pemerintah pusat. Kemampuan daya saing utama daerah pemekaran akan menentukan apakah Lembata masih pantas dipertahankan menjadi kabupaten sendiri atau bergabung kembali dengan Flotim.

Kemampuan pendapatan asli daerah Rp 9,6 miliar pada tahun 2007, katanya, membuat Lembata sebenarnya tidak kuat berdiri sendiri. "Keuangan daerah kita ditopang pemerintah pusat melalui dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang dikucurkan setiap tahun anggaran," kata Andreas.

Ia berharap, industri pertambangan yang digalakkannya selama masa kepemimpinannya lima tahun mendatang bisa menjadi pertimbangan pemerintah pusat. "Kalau evaluasi pemerintah pusat menyatakan daerah ini tidak mampu berdiri sendiri, kita harus gabung lagi dengan Flores Timur. Kita upayakan supaya industri pertambangan ini bisa dilaksanakan di Lembata," kata Andreas. (ius)

Sumber: POS KUPANG, 25 Februari 2008

Pemkab tidak intevensi harga tanah

SETELAH para pemilik ulayat Tuamado, Desa Panama, Kecamatan Buyasuri menyerahkan kawasan endapan mineral tambangan Wae Puhe, pemerintah melalui panitia pembebasan tanah akan memfasilitasi pertemuan warga dengan investor untuk merundingkan harga ganti rugi tanah yang wajar.

Pemerintah tidak mengintervensi negosiasi harga tersebut. "Silahkan dinegosiasi dan tentukan harga. Panitia pembebasan tanah dibentuk pemerintah akan memfasilitasi perundingan ini. Kehadirannya menjadi mediator agar jangan sampai pemilik ulayat menerima harga yang terlalu murah atau sebaliknya investor membeli harga yang terlampau mahal," kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk didampingi Wabup, Drs. Andreas Nula Liliweri pada penyerahan tanah ulayat Tuamado di aula Moting Lomblen, Kamis (21/2/2008).

Menurut Andreas, proses ganti rugi tidak dilakukan dengan paksaan. Pemegang ulayat maupun pemilik lahan-lahan pribadi di atas ulayat tersebut memiliki hak yang sama mendapatkan ganti rugi yang pantas.

Dia menambahkan, penyerahan ulayat Tuamado bakal menuai kritik dari warga lain yang menentang usaha industri pertambangan ini. Kemungkinan LSM dan orang yang cerdik pandai akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mempengaruhi warga. Tetapi yang paling penting adalah kerelaan dan kesepakatan dari semua pemilik ulayat secara tulus melepaskan tanahnya. Fenomena yang terjadi selama ini yang membuat rusak dan menciptakan kondisi tidak nyaman di masyarakat adalah mereka yang tidak memiliki sesuatu di atasnya tetapi mempunyai kepentingan tertentu.

Meski masih banyak pihak tidak menyetujui industri pertambangan di Lembata, tetapi perbedaan pandangan dan pemahaman jangan menciptakan konflik antarmasyarakat. "Pemilik ulayat saja tidak mempermasalahkan, kenapa yang tak punya kepentingan ribut. Kalau tidak setuju, mari duduk bersama dan kita diskusikan, bukan dengan memprovokasi masyarakat. Silahkan saja LSM atau pihak yang pandai dari mana asalnya memberikan sosialisasi, tetapi jaga keutuhan masyarakat. Masyarakat jangan dipecah-belah," tandas Andreas.

Dia mengatakan, meski pemilik ulayat Peumole belum menyerahkan ulayatnya untuk dilakukan negosiasi ganti rugi, dengan pernyataan sikap netral tidak memihak pemerintah mendukung atau menolak industri pertambangan, telah membuka ruang diskusi dengan pemerintah dan investor. Hal yang selama ini tertutup sama sekali dan jadi perdebatan, kini ada titik cerah.


Ia menambahkan penyerahan ulayat suku Tuamodo dan pernyataan sikap netral ulayat Peumole merupakan pengorbanan yang harus dihargai. Bilamana industri ini telah beroperasi, yang menikmati hasilnya bukan hanya pemilik ulayat, tetapi seluruh rakyat Lembata."Sumbangannya bukan hanya untuk Lembata tetapi seluruh Propinsi NTT dan bangsa Indonesia," kata Andreas. (ius)

Sumber: POS KUPANG, 25 Februari 2008

Sunday, February 24, 2008

Penambang Pasir Tewas Tertimbun

JEMBER, KOMPAS - Muhammad (40) dan anaknya, Juhari (27), warga Desa Pakusari, Kecamatan Pakusari, Jember, Jawa Timur, tewas tertimpa longsoran batu ketika menambang pasir dan batu di kaki Bukit Sepikul, Sabtu (23/2). Proses evakuasi berjalan lamban karena lokasi korban tertutup bebatuan setinggi dua meter.

Kepala Kepolisian Sektor Pakusari Ajun Komisaris A Munir mengatakan, saat itu puluhan warga segera berupaya mengevakuasi korban. Mereka memindahkan bebatuan yang menutupi lubang, tempat korban terbenam, sedalam lebih kurang dua meter di kaki bukit tersebut.

Dia sendiri, katanya, langsung meminta bantuan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Jember untuk mendatangkan alat berat.

Tak lama kemudian, lanjut Munir, buldoser dan backhoe yang biasa dipakai untuk memindahkan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Pakusari pun tiba di lokasi. Namun, evakuasi tak secepat yang diharapkan. ”Perlu waktu sekitar lima jam untuk mengeluarkan korban dari timbunan bebatuan tersebut,” ujarnya.

Penyangga

Menurut Bunadi, rekan kerja korban, saat kejadian dia—yang sedang makan di pondok yang terletak tidak jauh dari tempat penggalian pasir dan batu itu— hanya mendengar suara gemuruh longsoran batu dan pasir serta teriakan teman-temannya. ”Ternyata Muhammad dan Juhari tertindih batu,” paparnya.

Awalnya, lanjut Bunadi, satu lubang atau gua tempat menambang pasir dan batu itu dikerjakan tiga orang, yaitu Muhammad, Juhari, dan Syamsul Arifin (menantu Muhammad). Namun, ketika longsoran terjadi, Syamsul berhasil menyelamatkan diri.

”Syamsul sebenarnya sudah mengingatkan mertuanya agar tidak mengangkat batu yang dipegangnya. Sebab, batu itu adalah penyangga bebatuan dan pasir yang ada di bagian atasnya. Namun, Muhammad tak menghiraukannya,” kata Bunadi.

Menurut Munir, kejadian itu adalah kecelakaan murni. Akan tetapi, sejumlah alat berupa pengungkit dan pemecah batu diamankan untuk dijadikan barang bukti.

Di kaki Bukit Sepikul itu ada tiga kelompok penambang. Hasil penambangan mereka jual Rp 50.000 per truk (batu) dan Rp 60.000 per truk (pasir). (SIR)

Sumber: KOMPAS, 25 Februari 2008

Kepedihan di Dekat Bukit-Bukit "Emas Hitam"

Tiga anak lelaki duduk santai di sebuah halte dalam areal tambang PT Indominco Mandiri, Kalimantan Timur, Kamis (21/2) sore. Sekitar 300 meter dari tempat mereka bersantai ialah lapangan penumpukan tempat batu bara yang membukit.

“Rumah saya itu,” kata Ismail (13), salah seorang anak. Dia menunjuk satu rumah panggung berdinding kayu yang berada di seberang pondok halte. Dari tempatnya bersantai mungkin tidak lebih dari 100 meter.

Ismail mengatakan, rumah itu masuk dalam wilayah Desa Segendis, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di arah berlawanan, ada jalan tanah yang menuju Desa Santan Ilir dan Desa Santan Tengah.

Ketiga desa tersebut berada dalam areal tambang yang sedang ‘dibongkar’ oleh anak perusahaan Banpu Group Company itu. Jarak antardesa berdekatan sehingga tidak jauh juga dari lapangan penumpukan atau stock pile.

Sebagian lokasi Indominco berada dalam areal Hutan Lindung Bontang dalam wilayah Kabupaten Kutai Timur. Indominco ialah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan menambang di hutan lindung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung.

Jalan Berlumpur

Jangan membayangkan melewati jalan mulus di desa-desa itu. Untuk menuju jalan Santan Ilir dan Santan Tengah saja lumpurnya, hampir selebar sepuluh meter sehingga membuat mobil tergelincir ke kiri dan kanan. Belum lagi lubang-lubang berair yang bisa saja membuat mobil terjebak dan tidak mau jalan.

“Yang bukan tanah cuma sekitar satu kilometer,” kata Wade (28), warga Santan Ilir. Yang dimaksud ialah jalan beton dari depan warung miliknya hingga pertigaan persis di depan rumah H Abd Hamid T, kepala desa.

Itupun, lanjut Wade, pelapisan jalan tanah dengan beton baru dilakukan setahun terakhir. Sejak perusahaan masuk sekitar 1995 hingga saat ini, jaringan jalan di Santan Ilir dan Santan Tengah yang berdekatan tetap tanah.

“Kalau habis hujan, jalan pasti berlumpur,” kata Ibrahim (40), warga Santan Tengah, mengingatkan.

Kondisi itu bertolak belakang dengan jalan akses utama dari gerbang Indominco hingga ke lapangan penumpukan. Sekitar sepuluh kilometer jalan yang dilintasi truk-truk pengangkut batu bara itu berupa aspal mulus.

Namun, menurut Wade dan Ibrahim, mulai tahun ini, jaringan jalan desa yang tanah juga akan dilapisi entah dengan aspal atau beton. Menurut mereka, biaya pelapisan itu mungkin patungan antara perusahaan dengan pemerintah.

Wade mengatakan, jalan perusahaan yang aspal ialah akses utama warga desa menjangkau kota-kota terdekat yakni Bontang dan Samarinda. “Di desa memang ada pasar tetapi semua dipasok dari Samarinda,” katanya.

Untuk itulah, ketika melintasi jalan perusahaan, warga harus ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan. Selama mengemudi, lampu kendaraan harus dinyalakan sebagai tanda bagi kendaraan dari arah berlawanan. Kecepatan maksimum kendaraan 30 kilometer/jam hingga 60 kilometer/jam.

Perhatian

Wade mengatakan, lahir di Santan Ilir. Dia pernah bekerja di Indominco kurun 2000 hingga 2004. Selepas itu dia tidak bekerja karena kakinya nyaris hancur akibat kecelakaan motor. Sejak saat itu dia membuka warung makanan dan setahun terakhir juga menjual pulsa telepon selular.

“Modal dari gaji saya selama di Indominco,” kata Wade mengenang. Upah bekerja di perusahaan batu bara sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu sebabnya banyak warga desa yang kemudian menjadi pekerja di Indominco.

Menurut Ibrahim, Indominco sudah ada sejak 1995. Namun, saat itu, pengupasan dan produksi batu bara belum berlangsung. “Saya tidak tahu pasti kapan produksi dimulai,” katanya.

Menurut mereka, keberadaan Indominco memang berpengaruh terhadap kehidupan warga. Selain bisa menjadi pekerja, sejumlah sarana dan prasarana dibangun atas biaya perusahaan bersama dengan pemerintah.

Menurut Wade, kehidupan warga sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan ketika perusahaan belum ada. Kalau dikatakan sejahtera, lanjut dia, seharusnya rumah-rumah warga tidak lagi dari kayu, jaringan air tersedia, listrik menyala setiap saat, dan jaringan jalan beraspal.

Namun, pada kenyataannya, listrik kerap padam. Warga terkadang mandi bahkan memasak air hujan. Beberapa rumah warga sudah reyot. Di sisi lain, ada yang meski rumahnya dari kayu dan agak reyot tetapi punya parabola.

Yang tidak dapat dipungkiri, eksploitasi batu bara atau emas hitam menjadi primadona di Kaltim. Nyaris di semua kabupaten dan kota sebagian kawasan dikupas untuk kemudian diambil batu baranya dari dalam perut bumi.

Agak jauh dari Indominco terdapat tempat beroperasinya perusahaan tambang batu bara terbesar di dunia yakni PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur.

Santan Ilir dan Santan Tengah ialah satu dari ratusan desa yang berada dalam atau di sekitar tambang. Deru mesin truk-truk pengangkut batu bara dan debu beterbangan ialah pemandangan yang kerap mereka saksikan. Bisa jadi pula, gunung dalam ingatan mereka ialah gundukan besar hitam batu bara di lapangan penumpukan. (Ambrosius Harto)

Sumber: KOMPAS, 25 Februari 2008