LEWOLEBA, PK--Pemerintahan Kabupaten (pemkab) Lembata mengabaikan rekomendasi DPRD Lembata memberi waktu tujuh hari kepada pemerintah untuk menyerahkan bukti slip atau cek pengeluaran dana Rp 12.317.045.760,90, (Rp 12,3 miliar) dari rekening dan kas pemerintah daerah untuk merealisasikan belanja yang terdapat dalam surat perintah membayar uang (SPMU). Meski telah diabaikan, DPRD masih berbaik hati menggelar rapat kerja mengundang pemerintah menjelaskan kasus ini.
Demikian kesimpulan paripurna internal DPRD Lembata, Jumat (28/12/2007), membahas hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kupang terhadap laporan keuangan pemda tahun anggaran 2006. Rapat dipimpin Ketua DPRD, Drs. Pieter Boliona Keraf didampingi Wakil Ketua, Frans Making dan Felianus Corpus.
Hampir tiga perempat anggota DPRD mengikuti rapat ini menyesalkan sikap masa bodoh pemda karena tidak mengakomodir permintaan DPRD pada paripurna internal tanggal 12 Desember 2007. Pieter Keraf menyatakan kasus Rp 12,3 miliar mirip kasus dugaan penyimpangan Rp 37 miliar dipersoalkan DPRD tahun 2005 silam. Uang tersebut resmi dikeluarkan, tetapi tidak lengkap pertanggunganjawaban.
"Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) juga heran, kenapa saldo hanya Rp 2 miliar dan Rp 12 miliar lebih tak diketahuinya. Tak ada sobekan perforasi cek atau slip. Padahal setiap pengeluaran uang daerah hanya dilakukan melalui BPKAD," kata Pieter.
Pieter mengaku malu menandatangani persetujuan DPRD dan tak dijawab Bupati Lembata, Drs.Andreas Duli Manuk. Apakah DPRD Lembata tidak dianggap penting oleh pemerintah atau karena pemerintah kesulitan menjawab.
Bernadus Sesa Manuk dari Fraksi Gabungan menambahkan, kasus Rp 12,3 miliar merupakan kasus lama sejak tahun 2004. Sejumlah dokumen asli pengeluaran uang tersebut masih disimpannya.
"Banyak surat kepala dinas dicap basah ada di tangan saya. Mereka dipaksa membuat surat pertanggunganjawaban (SPJ) uang yang tidak sesuai dengan jumlah yang diterimanya. Kalau kasus ini tidak bisa diselesaikan maka akan terbawa terus sampai tahun 2008 bahkan sampai akhir periode DPRD," tandas Manuk.
Ia tidak setuju rapat kerja, sebab jawaban pemetintah seperti memberikan "kuliah" kepada anggota DPRD. "Mitra seperti apa. Pemerintah tidak menghargai kami. Apakah kami datang menyembah lagi dan tidak bikin kami tambah malu. Kami akan ditertawai masyarakat," tandas Manuk.
Hyasintus Burin dari Fraksi PDIP menyesalkan sikap pemerintah yang meremehkan rekomendasi DPRD. Felicianus Corpus menambahkan, kalau pemerintah memahami makna kemitraan, semestinya ada komunikasi timbal balik dengan pemerintah. Dengan tidak memberikan tanggapan apapun, keberadaan DPRD disepelekan pemerintah.
Menurutnya, rapat kerja dengan pemerintah kemungkinan hanya menjadi ajang akal-akalan. DPRD menghendaki rekomendasinya dijawab lebih dahulu dengan memperlihatkan bukti-bukti pemanfaatan dana tersebut.
Yoseph Amuntoda, meminta DPRD tidak gegabah menentukan sikap menyerahkan kasus ini kepada penyidik, karena BPK tidak menyatakan sikap tegas apakah telah terjadi tindak pidana atau bukan. "Kami butuh forum rapat kerja untuk dapatkan data dan keterangan disandingkan dengan pengeluaran Rp 12,3 miliar tersebut. Tanpa dilengkapi data dan keterangan, DPRD akan kesulitan menelusurinya," kata Amuntoda.
Frans Making, mengatakan, DPRD juga harus bertanggung jawab karena telah menerima pertanggungjawaban pemerintah pengelolaan keuangan daerah. "Dana Rp 900 juta pembayaran tunjangan komunikasi informasi yang belum diperdakan," tandas Frans.
Ia menyarankan digelar rapat kerja dengan pemerintah. Bila DPRD mendapatkan kesimpulan terjadi penyelewenangan keuangan, dapat merekomendasikannya kepada penyidik untuk ditelusuri. (ius)
Sumber: Pos Kupang 8 Januari 2007