RAFAEL lahir di Desa Dikesare (sekarang Lewolein). Ia lahir dari pasangan Niko Nuho (alm) dan Bernadete Jawa di tahun 1968. Anak ke-9 dari 11 bersaudara itu hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah menengah atas. Tapi tidak sempat menyelesaikannya. Mengapa? Rafael bilang, saat dia di bangku SMA, sang ayah keburu dipanggil yang kuasa. “Kondisi ekonomi keluarga kami sangat buruk, Ama. Para sekali. Jad saya DO (drop out) dari SMA,” kenangnya.
Keputusan untuk menentang kebijakan rencana tambang Pemda Lembata dan PT Merukh Lembata Copper bukan tanpa dasar. Ia melihat kebijakan rencana tambang itu keputusan sepihak (top down). “Bayangkan, kami yang kepala desa saja baru tahu kalau ada rencana tambang itu dari Lembata Center yang di akhir tahun 2006 sosialisasi tambang di wilayah kami. Saya jadi heran. Kenapa ini kita kita tidak pernah tahu.”
Namun, Rafael tidak berhenti dengan hanya mendengar. Sebagai kades, ia merasa perlu memperkaya diri dengan pengetahuan tambahan tentang tambang. Setidak-tidaknya untuk bekal diri kalau-kalau ditanya masyarakat tentang tambang. Pelbagai sumber informasi coba dikumpulkan. Dari situ, ia mengaku cukup banyak mendapat informasi tentang tambang. Termasuk di dalamnya tentang dampak negatif dari tambang.
Pilihan Berat
Pro-kontra terhadap rencana tambang di Lembata mulai bergejolak. Masyarakat Dikesare, 99 % tidak menyetujui industri tambang itu ada. Rafael berada dalam kondisi sulit. Apa keputusan yang harus dia ambil? Apa sikapnya berhadapan dengan program induk birokrasi dan aspirasi masyarakat di desa yang ia pimpin?
Pilihan Rafael, akhirnya jatuh ke masyarakat. Ia berada bersama masyarakat. Kades yang selama kurang lebih dua tahun sebagai penjual es di Waiwerang, Adonara Timur itu sadar kalau keputusannya itu bertentangan dengan keberadaan dirinya sebagai aparatur negara, meski hanya di tingkat desa. Tapi di sisi seberang, ia disadarkan kalau ia adalah pemimpin di kampungnya. Antara ketaatan terhadap birokrasi dan kesetiaan terhadap rakyat, memang merupakan dua pilihan yang berat. “Saya sadar, kalau berada dalam sistem. Tapi saya tidak bisa meninggalkan masyarakat saya. Hari-hari mereka berada bersama saya. Saya tidak pikir soal jabatan. Jabatan memang ada dalam sistem. Tapi kita harus lihat sisi-sisi lain. Jangan karena dalam sistem kita tidak bicara tentang aspirasi masyarakat.”
Meski menentang kebijakan tambang, alumnus Sekolah Demokrasi angkatan pertama itu punya alasan yang cukup rasional. Selain program yang top down, hal lainnya adalah SDM Lembata yang belum siap menerima kehadiran industri pertambangan. Jika pertambangan diterima sekarang, janji perekrutan tenaga lokal tidak lebih dari sekadar tukang sapu. Masyarakat harus kehilangan kearifan lokal.
Dasar lain keperpihakannya terhadap masyarakat adalah dengan melihat kondisi Lembata sebagai pulau kecil. Lembata sangat berbeda dengan Freeport di Pulau Irian yang besar. Kondisi Lembata sebagai pulau kecil sangatlah tidak pas untuk tambang.
Sikap keberpihakan yang jelas terhadap rakyat ini, bisa menjadi alasan kenapa ia dipilih oleh masyarakat tiga desa pesisir yaitu Lewolein, Tapobaran, dan Tapolangu untuk menjadi Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Desa Pesisir (Forkumdisir) pada Agustus 2006 lalu. “Saya minta untuk semua kades di lokasi calon tambang untuk berpikir lebih matang, jujur dengan diri sendiri dan masyarakat tentang kepentingan lebih besar dan lebih banyak orang. Jangan takut jabatan.”
Sebagai kades sejak 2002 hingga 2007, Rafael bertahan hidup tidak hanya dari tunjangan seorang kades sebesar Rp. 600.ribu tiap bulan. Ia juga ulet sebagai seorang petani. Sambilannya adalah melaut. Ia tidak bergantung hanya pada tunjangannya itu. Tapi hidup juga dari alam. Meski kondisi alam yang tidak terlalu menjanjikan, Rafael dan orang-orang di Dikesare percaya kalau alam tidak pernah berhenti memberikan rezeki. Alam dan kehidupan manusia di Dikesare telah menyatu padu. Sulit diceraikan. Keterikatan yang kuat dengan alam ini terus memperkokoh dirinya berada bersama rakyat pesisir untuk menentang kebijakan tambang.
Rafael mengungkapkan mengapa dia tidak mau tinggalkan para sahabat sekampungnya untuk berjuang sendiri tolak tambang. Ia bilang kalau pengalamannya sebagai seorang penjual es keliling Waiwerang sebagais salah satu kesan hidup terindah yang tak terlupakan. Uang hasil jualan es ia sumbangkan untuk pendidikan kakaknya yang ketika itu mengenyam pendidikan guru (SPG) di Lewoleba. Di Waiwerang, ia tinggal dengan orang sekampungnya yang seharian bekerja sebagai tukang cincang kelapa (proses pengeringan kopra). Bahkan ia pernah mengalami hidup seorang perantau di Malaysia. Rafael di Malaysia Barat bekerja di perkebunan kelapa sawit selama kurang lebih setahun (1989-1990). Pengalaman orang-orang kecil ini membuat dia sulit meninggalkan orang-orang kecil.
Meski pernah menjadi hanya seorang ketua RT, kepala urusan kesejahteraan Desa Dikesare, ia tetap tidak sombong. Ia tetap sama seperti para sahabat sekampungnya yang seluruhnya petani dan nelayan. Dari 478 jiwa (terhitung anak-anak) hanya tiga orang yang PNS guru. Kondisi kemasyarakatan seperti ini juga tidak lolos dari pertimbangannya untuk buka-bukaan tolak tambang. Mau dikemanakan petani-petani, jika hampir seluruh lokasi di sekitar Dikesare ini dijadikan wilayah tambang. Apakah mereka akan mendapat lagi yang sama dengan di Dikesare jika direlokaskan? Pengalaman-pengalaan hidup sebagai orang kecil di antara para orang kecil memaksa Rafael untuk berpikir ulang. Tidak pernah ada kecewa dengan keputusannya. Ia yakin, perjuangan dengan nurani tidak pernah menerima kehampaan. Pada Agustus lalu, dirnya kembali terpilih sebagai Kades Dikesare untuk lima tahun ke depan.
Keputusan menolak tambang pada diri seorang pejabat pemerintahan, di sebagian orang dipandang sebagai satu tindakan bodoh, bunuh diri sendiri. Tapi Rafael tidak peduli semua itu. Prinsipnya, ia tetap berada bersama rakyat.
Jos Hadjon
Sumber: Mingguan FLORES POS Jakarta edisi 10 – 17 Oktober 2007