Friday, October 26, 2007

Rafael Suban Ikun, Kades yang Tolak Tambang

Di tengah kontroversi tambang emas di Lembata, muncul sosok Rafael Suban Ikun. Ia adalah satu dari sekian kepala desa di Lembata yang berani menolak secara terang-terangan kebijakan Pemerntah Daerah yang memberi ijin eksplorasi tambang kepada PT Merukh Lembata Copper.


RAFAEL lahir di Desa Dikesare (sekarang Lewolein). Ia lahir dari pasangan Niko Nuho (alm) dan Bernadete Jawa di tahun 1968. Anak ke-9 dari 11 bersaudara itu hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah menengah atas. Tapi tidak sempat menyelesaikannya. Mengapa? Rafael bilang, saat dia di bangku SMA, sang ayah keburu dipanggil yang kuasa. “Kondisi ekonomi keluarga kami sangat buruk, Ama. Para sekali. Jad saya DO (drop out) dari SMA,” kenangnya.


Keputusan untuk menentang kebijakan rencana tambang Pemda Lembata dan PT Merukh Lembata Copper bukan tanpa dasar. Ia melihat kebijakan rencana tambang itu keputusan sepihak (top down). “Bayangkan, kami yang kepala desa saja baru tahu kalau ada rencana tambang itu dari Lembata Center yang di akhir tahun 2006 sosialisasi tambang di wilayah kami. Saya jadi heran. Kenapa ini kita kita tidak pernah tahu.”


Namun, Rafael tidak berhenti dengan hanya mendengar. Sebagai kades, ia merasa perlu memperkaya diri dengan pengetahuan tambahan tentang tambang. Setidak-tidaknya untuk bekal diri kalau-kalau ditanya masyarakat tentang tambang. Pelbagai sumber informasi coba dikumpulkan. Dari situ, ia mengaku cukup banyak mendapat informasi tentang tambang. Termasuk di dalamnya tentang dampak negatif dari tambang.


Pilihan Berat


Pro-kontra terhadap rencana tambang di Lembata mulai bergejolak. Masyarakat Dikesare, 99 % tidak menyetujui industri tambang itu ada. Rafael berada dalam kondisi sulit. Apa keputusan yang harus dia ambil? Apa sikapnya berhadapan dengan program induk birokrasi dan aspirasi masyarakat di desa yang ia pimpin?


Pilihan Rafael, akhirnya jatuh ke masyarakat. Ia berada bersama masyarakat. Kades yang selama kurang lebih dua tahun sebagai penjual es di Waiwerang, Adonara Timur itu sadar kalau keputusannya itu bertentangan dengan keberadaan dirinya sebagai aparatur negara, meski hanya di tingkat desa. Tapi di sisi seberang, ia disadarkan kalau ia adalah pemimpin di kampungnya. Antara ketaatan terhadap birokrasi dan kesetiaan terhadap rakyat, memang merupakan dua pilihan yang berat. “Saya sadar, kalau berada dalam sistem. Tapi saya tidak bisa meninggalkan masyarakat saya. Hari-hari mereka berada bersama saya. Saya tidak pikir soal jabatan. Jabatan memang ada dalam sistem. Tapi kita harus lihat sisi-sisi lain. Jangan karena dalam sistem kita tidak bicara tentang aspirasi masyarakat.”


Meski menentang kebijakan tambang, alumnus Sekolah Demokrasi angkatan pertama itu punya alasan yang cukup rasional. Selain program yang top down, hal lainnya adalah SDM Lembata yang belum siap menerima kehadiran industri pertambangan. Jika pertambangan diterima sekarang, janji perekrutan tenaga lokal tidak lebih dari sekadar tukang sapu. Masyarakat harus kehilangan kearifan lokal.


Dasar lain keperpihakannya terhadap masyarakat adalah dengan melihat kondisi Lembata sebagai pulau kecil. Lembata sangat berbeda dengan Freeport di Pulau Irian yang besar. Kondisi Lembata sebagai pulau kecil sangatlah tidak pas untuk tambang.


Sikap keberpihakan yang jelas terhadap rakyat ini, bisa menjadi alasan kenapa ia dipilih oleh masyarakat tiga desa pesisir yaitu Lewolein, Tapobaran, dan Tapolangu untuk menjadi Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Desa Pesisir (Forkumdisir) pada Agustus 2006 lalu. “Saya minta untuk semua kades di lokasi calon tambang untuk berpikir lebih matang, jujur dengan diri sendiri dan masyarakat tentang kepentingan lebih besar dan lebih banyak orang. Jangan takut jabatan.”


Sebagai kades sejak 2002 hingga 2007, Rafael bertahan hidup tidak hanya dari tunjangan seorang kades sebesar Rp. 600.ribu tiap bulan. Ia juga ulet sebagai seorang petani. Sambilannya adalah melaut. Ia tidak bergantung hanya pada tunjangannya itu. Tapi hidup juga dari alam. Meski kondisi alam yang tidak terlalu menjanjikan, Rafael dan orang-orang di Dikesare percaya kalau alam tidak pernah berhenti memberikan rezeki. Alam dan kehidupan manusia di Dikesare telah menyatu padu. Sulit diceraikan. Keterikatan yang kuat dengan alam ini terus memperkokoh dirinya berada bersama rakyat pesisir untuk menentang kebijakan tambang.


Rafael mengungkapkan mengapa dia tidak mau tinggalkan para sahabat sekampungnya untuk berjuang sendiri tolak tambang. Ia bilang kalau pengalamannya sebagai seorang penjual es keliling Waiwerang sebagais salah satu kesan hidup terindah yang tak terlupakan. Uang hasil jualan es ia sumbangkan untuk pendidikan kakaknya yang ketika itu mengenyam pendidikan guru (SPG) di Lewoleba. Di Waiwerang, ia tinggal dengan orang sekampungnya yang seharian bekerja sebagai tukang cincang kelapa (proses pengeringan kopra). Bahkan ia pernah mengalami hidup seorang perantau di Malaysia. Rafael di Malaysia Barat bekerja di perkebunan kelapa sawit selama kurang lebih setahun (1989-1990). Pengalaman orang-orang kecil ini membuat dia sulit meninggalkan orang-orang kecil.


Meski pernah menjadi hanya seorang ketua RT, kepala urusan kesejahteraan Desa Dikesare, ia tetap tidak sombong. Ia tetap sama seperti para sahabat sekampungnya yang seluruhnya petani dan nelayan. Dari 478 jiwa (terhitung anak-anak) hanya tiga orang yang PNS guru. Kondisi kemasyarakatan seperti ini juga tidak lolos dari pertimbangannya untuk buka-bukaan tolak tambang. Mau dikemanakan petani-petani, jika hampir seluruh lokasi di sekitar Dikesare ini dijadikan wilayah tambang. Apakah mereka akan mendapat lagi yang sama dengan di Dikesare jika direlokaskan? Pengalaman-pengalaan hidup sebagai orang kecil di antara para orang kecil memaksa Rafael untuk berpikir ulang. Tidak pernah ada kecewa dengan keputusannya. Ia yakin, perjuangan dengan nurani tidak pernah menerima kehampaan. Pada Agustus lalu, dirnya kembali terpilih sebagai Kades Dikesare untuk lima tahun ke depan.


Keputusan menolak tambang pada diri seorang pejabat pemerintahan, di sebagian orang dipandang sebagai satu tindakan bodoh, bunuh diri sendiri. Tapi Rafael tidak peduli semua itu. Prinsipnya, ia tetap berada bersama rakyat.

Jos Hadjon

Sumber: Mingguan FLORES POS Jakarta edisi 10 – 17 Oktober 2007

Mengapa Pemkab Lembata Berkeras?

KOALISI Jakarta-Lembata yang dimotori oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) OFM menolak rencana tambang yang direncanakan oleh Pemkab Lembata. Mereka menyatakan sikap berada bersama rakyat. Pilihan profetis ini dilakukan setelah sebuah investigasi komprehensif yang melibatkan semua komponen yang berkaitan dengan rencana tambang di Lembata. Masyarakat menolak karena rencana itu bertentangan dengan kosmologi masyarakat dan kearifan lokal. Industri pertambangan memutuskan hubungan rakyat dengan tanah, leluhur, dan lingkungan alam. Logikanya, kalau rencana itu berikhtiar mensejahterakan masyarakat, mengapa muncul reaksi penolakan yang radikal?

Aksi penolakan warga merupakan keputusan yang cerdas. Keputusan itu lahir dari rahim akal sehat. Warga tahu resiko dan akibat dari sebuah industri pertambangan. Sejarah pertambangan du dunia mana pun tidak pernah mensejahterahkan warga sekitar. Hanya keserakahan konglomerat dan penguasa yang terlihat nyata. Malah industri pertambangan menghancurkan hidup dan masa depan. Rakyat kehilangan kekuatan untuk hidup. Tersingkir dari areal hak ulayat yang telah menggariskan persatuan turun temurun. Berbagai filsafat dan kearifan lokal hilang. Warga terlempar ke tempat berlainan.

Meski gelombang penolakan mengalir deras, Pemerintah Lembata tak bergeming sedikit pun dari rencananya. Berbagai pernyataan sikap, dialog, dan demonstrasi telah digelar. Opini dan tulisan terkait resiko negatif tambang yang tersebar pada berbagai media massa telah disebarluaskan. Tetapi pemerintah tampaknya memaksakan kehendak dan rencana. Proses perencanaan yang tertutup menimbulkan tanda tanya di benak rakyat. Apakah rencana ini diikhtiarkan untuk mensejahtarahkan rakyat atau memenuhi ambisi politik dan keserakahan bisnis penguasa yang telah membangun relasi dengan konglomerat?

Di balik kekukuhan sikap pemerintah ini kita baca bahwa rencana pertambangan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Argumen bahwa masuknya investasi akan meningkatkan PAD tidak masuk akal sehat. Rakyat di kabupaten lain pun sejahtera tanpa investasi tambang.

Kita harapkan agar keserakahan politik-bisnis tidak menumbalkan rakyat. Suara rakyat mesti diberi ruang apreasiasi oleh pemerintah. Mencabut rakyat dari tanahnya membawa resiko pertumpahan darah. Memaksakan kehendak akan menuai kehancuran. Biarkan rakyat hidup terhormat di atas tanahnya sendiri.


Sumber: Mingguan FLORES POS Jakarta edisi 10 – 17 Oktober 2007

Komisi Keadilan dan Perdamaian Bertemu Bupati

Komisi Keadilan dan Perdamaian (KP) Keuskupan Larantuka, Selasa (18/9), bertemu Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan menyampaikan aspirasi masyarakat yang menolak rencana tambang terpadu Pemda Lembata. Aspirasi tolak tambang itu disampaikan oleh Ketua Komisi KP Romo Marsel Lamuri di ruang kerja Bupati Manuk.

ROMO Marsel mengatakan, Komisi hanya membantu masyarakat, khususnya yang menolak rencana tambang. Menurutnya, dalam kunjungan kepada masyarakat Tapobaran, Tapolangu, dan Lewolein, Komisi menemukan bahwa masyarakat kecewa karena tidak ada penjelasan dari pemerintah secara lebih mendetail seperti bagaimana nasib dan jaminan hidup dan dampak dari pertambangan. Proses itu baru terungkap di permukaan di akhir tahun 2006 dan awal 2007.

“Akibat dari ketertutupan itu, masyarakat akhirnya menentukan sikap untuk menolak tambang sebagai harga mati. Jadi kalau saya boleh bilang, masyarakat punya sikap tolak karena hal ketertutupan itu. Sampai saat ini, sikap masyarakat di tiga tempat itu tetap dengan harga mati yaitu tolak tambang. Sementara pemerintah tetap dengan sikap bahwa pertambangan harus jadi sebagai satu harga mati,” katanya.

Terkait itu, perlu dibuka sebuah ruang dialog yang jujur antara pemerintah dan rakyat. “Komisi sedang dalam usaha untuk dialog itu. Dialog dengan masyarakat, dialog dengan pemerintah, dan kemudian dialog bersama antara pemerintah dan masyarakat. Tapi, bagaimanapun, keputusan untuk tolak tambang atau jadi tambang harus berdasarkan satu pemahaman yang lebih luas. Kalau pemerintah kurang sekali omong yang negatif, kenapa kita tidak sampaikan dalam satu forum dialog. Juga sebaliknya, supaya kita bisa saling melengkapi,” katanya.


Ia mengatakan, Komisi murni memfasilitasi, mencari solusi dari situasi kontroversi dalam permasalahan rencana tambang. Komisi tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling tahu dan paling mengerti tentang tambang. Tidak juga untuk mengubah atau mempengaruhi sikap masyarakat yang menolak tambang. “Maksud kita, kalau mereka punya sikap, kita siap fasilitasi ke pemerintah supaya bisa didengar. Kita sudah sampaikan ke Bupati Manuk. Apa jawaban pemerintah, bagaimana sikap pemerintah selanjutnya, kita serahkan ke pemerntah,” katanya.


Melalui Kabag Humas Setda Lembata, Ambros Leyn, Bupati menyampaikan bahwa Komisi KP sudah bertemu dengannya. “Pemerintah menghargai segala bentuk penyampaian pendapat. Terhadap sikap Komisi, pemerintah menilai langkah itu sangat bijak. Kita mendukung langkah yang telah dibuat komisi,” katanya. (Jos Hadjon)


Sumber: Mingguan FLORES POS Jakarta edisi 10 – 17 Oktober 2007

Thursday, October 25, 2007

Jelang Pembacaan Kesimpulan, Walhi Gelar Aksi

TEMPO Interaktif, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggelar aksi unjuk rasa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelum sidang dengan agenda pembacaan kesimpulan digelar, Kamis siang ini.

Walhi menjadi Tim Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat mendaftarkan gugatan perdata kepada PT Newmonth Minahasa Raya (NMR) karena diduga melakukan pencemaran lingkungan. Pendaftaran gugatan dilakukan di PN Jakarta Selatan pada Kamis 3 Mei 2007. Tim advokasi juga menggugat Menteri Sumber Daya Mineral dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Dalam orasinya, Kepala Divisi Kampanye Walhi Khalisah Khalid memberi dorongan kepada majelis hakim untuk menggunakan hati nurani dalam memeriksa perkara ini. Untuk diketahui, Ketua Majelis Hakim perkara ini adalah I Ketut Manike. "Tidak ada toleransi untuk kejahatan lingkungan," kata Khalisah.

Dalam aksinya, Walhi juga menggelar spanduk bertuliskan Newmont Melakukan Kejahatan Korporasi dan Pelanggaran HAM serta beberapa poster berjudul Newmont Meninggalkan Derita dengan gambar penyakit yang diakibatkan dari pembuangan limbah tailing Newmont, seperti kulit bersisik dan terjadi benjolan di sekujur tubuh.

Rini Kustiani

Sumber: www.tempointeraktif.com edisi Kamis, 25 Oktober 2007

Tuesday, October 23, 2007

Cagar Alam Mutis Yang Terusik Tambang

Jika sekali waktu anda mengayunkan kaki ke Pulau Timor, maka singgah lah barang sehari dua malam di kaki Gunung Mutis. Jika tak sempat baca lah tulisan Cor Sakeng, aktivis LSM yang bekerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Ia punya cerita sedih untuk kita. Simak liputannya.

Berkunjung ke Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis ungguh menarik. Sejuta flora dan fauna mempesona di dalamnya. Penampilan khas orang desa pun menambah kenangan tersendiri.

Seorang rekan jurnalis sebuah majalah besar di Jakarta terkagum-kagum menyaksikan pemandangan alam yang membentang di lereng Gunung Mutis, sesaat sebelum kami
memasuki Kapan, kota Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju Gunung Mutis.

"Pemandangan alamnya sangat indah. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang berkesempatan mampir dan menikmati keindahan tanah Timor. Tapi semua ini butuh promosi dari Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten TTS," kata Rahmat, rekan jurnalis, saat kami merapat di Kapan.

Barangkali banyak orang yang belum tahu letak kawasan wisata andalan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) TTS ini. Padahal, kawasan wisata ini sudah sangat dikenal di
kalangan peneliti asing seperti Australia dan Belanda. Tapi dimana letak sesungguhnya Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis?

Secara geografis, Cagar Alam Gunung Mutis terletak di wilayah Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS. Kawasan yang berjarak sekitar 140 km sebelah Timur Laut Kota
Kupang, kota provinsi dan Kabupaten/Kodya Kupang ini memiliki luas sekitar 12.000 hektar. Untuk mencapai Mutis perjalanan dimulai dari Kota Kupang menuju SoE,
kota Kabupaten TTS dengan jarak 110 km dan waktu tempuh kurang lebih 2,5 jam.

Dari SoE, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang bus menuju Kapan sebelum ke Desa Fatumnasi. Perjalanan sejauh 15 km ke desa itu memakan waktu lima belas
menit. Saat memasuki Desa Fatumnasi pengunjung akan disuguhi pemandangan nan indah dan keramahan penduduk desa asli yang kebanyakan Suku Dawan.

Sebagian penduduk masih mengenakan sarung atau kain yang masih menempel di badannya. Hal ini beralasan karena cuaca di sekitar kawasan wisata ini sangat dingin. Awan putih masih bisa dilihat merayap di atas tanah dalam jarak sekitar 10-15 meter.

Yang tak kalah pentingnya adalah dahan dan ranting pohon-pohon besar di dalamnya yang menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat sekitar. Setiap dahan dan
ranting pohon dipenuhi madu hutan yang sudah menjadi milik setiap suku yang bermukim di sekitarnya. Dari madu hutan ini, masyarakat bisa berharap banyak untuk
menopang kehidupan ekonominya selain dari hasil ternak dan pertanian.

Peneliti Kawasan Wisata Cagar Alam Gunung Mutis dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr. Leo Banilodu, MS pun mengakui keindahan dan potensi
alam Mutis. Oleh karena itu Leo mengusulkan agar status cagar alam ini ditingkatkan menjadi taman nasional.

"Sejak dulu hingga saat ini kawasan wisata ini selalu dijadikan obyek penelitian dari berbagai peneliti lokal dan asing. Sayangnya, berbagai macam jenis satwa
dilindungi di kawasan wisata ini mulai terancam punah. Nah, kita harapkan agar status cagar alam ini segera ditingkatkan menjadi taman nasional," ujar Leo Banilodu di Desa Fatumnasi.

Flora dan Fauna


Data penelitian menunjukkan, Kawasan Wisata Gunung Mutis memiliki tipe vegetasi yang merupakan perwakilan hutan homogen daratan tinggi. Kawasan ini juga didominasi berbagai jenis ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh secara alami dan jenis cendana (Santalum album). Selain itu di sini dapat ditemui berbagai jenis pohon lainnya seperti hue (Eucalyptus alba), bijaema (Elacocarpus petiolata), haubesi (Olea paniculata), kakau atau cemara gunung (Casuarina
equisetifolia)
, manuk molo (Decaspermum fruticosum),
dan oben (Eugenia littorale).
Ada juga salalu (Podocarpus rumphii), natwon
(Decaspermum glaucescens), natbona (Pittospermum
timorensis)
, kunbone (Asophylla glaucescens), tune (Podocarpus imbricata), natom (Daphniphylum
glauceccens)
, kunkaikole (Veecinium ef.
Varingifolium), tastasi (Vitex negundo). Kemudian ada
juga manmana (Croton caudatus), mismolo (Maesa latifolia), kismolo (Toddalia asiatica), pipsau (Harissonia perforata), matoi (Omalanthus populneu) dan aneka jenis paku-pakuan dan rumput-rumputan.

Selain kaya dengan flora, kawasan wisata Mutis juga menyimpan aneka fauna khas Timor. Di sini pengunjung bisa menyaksikan rusa timor (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger orientalis), babi hutan (Sus Vitatus), biawak (Varanus salvator), biawak timor (Varanus timorensis). Di sini juga ada sanca timor (Phyton timorensis), ayam hutan (Gallus gallus), punai timor (Treon psittacea), betet timor (Apromictus
jonguilaceus)
, pergam timor (Ducula cineracea), perkici dada kuning (Trichoglosus haematodus).

Mantan Eksekutif Walhi NTT, Melkhior Koli Baran mengakui, Kawasan Wisata Gunung Mutis juga memiliki fungsi strategis sebagai daerah tangkapan air untuk bahan baku air bagi masyarakat di daratan Timor barat. Pasalnya, di kawasan Mutis terdapat beberapa hulu
sungai besar yaitu Sungai Noelmina, Benanain, dan Oebesi. Nah, karena menjadi sumber persediaan air bagi sebagian besar masyarakat di daratan Timor, maka kawasan wisata ini tetap terjaga hingga saat ini. Pihak Dinas Pariwisata TTS pun menyediakan Pondok
Wisata, Stasiun World Wide Fund for Nature (WWF) Program Nusa Tenggara dalam rangka penelitian keanekaragaman (biodiversity) sumber daya hayati kawasan tersebut. Tapi kini bukan hanya peneliti dan pecinta alam yang datang, Mutis pun mulai terganggu dengan aktivitas penambangan.


Tambang Datang Mengusik

Kekayaan Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur tidak terlepas dari hadirnya gunung-gunung batu yang oleh masyarakat setempat disebut Faut Kanaf dan mata air di bawah kaki Faut Kanaf yang disebut dengan nama Oe Kanaf atau air dari
batu. Arit Oematan seorang pemuda dari desa Tune wilayah Cagar Alam Mutis yang ditemui di desa Bonleu belum lama ini mengatakan bahwa bukit-bukit batu yang
merupakan batu marmer ini oleh masyarakat bermanfaat sebagai sumber kehidupan.

Namun para investor mulai datang mengusik kawasan Gunung Mutis. Mereka ingin mengeruk bukit-bukit batu marmer yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda. Hadirnya sejumlah perusahaan penambangan yang mendapat ijin eksploitasi dengan mengantongi sejumlah dokumen resmi menambah deretan kecemasan masyarakat Fatumnasi dan sekitarnya.

Sebut saja PT Sumber Alam Marmer (PT SAM) yang mengantongi Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) No. 82/SKEP/HK/2000 Tanggal 3 April 2000 berlokasi di
Bukit Naitapan, Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara dengan luas area eksploitasi 10,5 Ha. Menurut Kepala Bidang Operasional PT SAM Arnol T, ijin itu mempeunyai
tenggang waktu eksploitasi selama 30 tahun dan bisa diperpanjang. Bahkan ijin eksploitasi marmer ini juga diperkuat dengan SK Gubernur NTT Piet Talo, SH.

Aksi tolak tambang

Kehadiran PT SAM ini menuai aksi penolakan warga. Warga sekitar lokasi tambang mewujudkannya dengan menduduki lokasi tambang. Bahkan aksi pendudukan yang sama juga dilakukan masyarakat di kantor Daerah Kabupaten TTS sebagai pusat pengambil kebijakan.

Ibu Aleta Baun, seorang tokoh perempuan dari masyarakat adat Mollo- Fatumnasi mengaku kecewa dengan pemerintah yang memberikan ijin penambangan kepada PT SAM tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat. Mata air yang berada tepat di bawah kaki bukit marmer Naitapan sudah keruh dan tak dapat dikonsumsi oleh masyarakat Desa Tunua. Bahkan beberapa kuburan milik masyarakat di lokasi tambang tak digubris managemen PT SAM. Belum lagi pembuangan limbah yang tidak beraturan. Belum habis perjuangan masyarakat dalam aksi protesnya, datang lagi PT Teja Setia Kawan yang mendapat ijin eksploitasi tambang marmer di lokasi Fatlik desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi.
Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) di Jakarta merespons aksi protes masyarakat adat Mollo Fatumnasi dengan melaporkan perusahaan itu ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.

Karena itu, Komnas HAM meminta Bupati TTS Daniel Banunaek untuk memberikan penjelasan secara rinci tentang kasus penambangan marmer di kawasan pegunungan Mollo di Kecamatan Mollo Utara dan Kecamatan Fatumnasi.

Sementara anggota DPRD TTS Sefrits Nau menilai, langkah pemerintah menjual batu marmer dengan memotong bukit dengan maksud mendapat pemasukan bagi PAD adalah
tindakan yang sangat keliru. "Secara pribadi, saya mau katakan bahwa bukit batu itu adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Jika dipotong lalu
diambil, maka habis sudah. Sumber air dan hutan di bukit itu akan habis dan tempat adat seperti batu pemali (fatukanaf) dan air pemali (oekanaf) dicemari
oleh aktivitas tambang. Ini yang sangat disesali," ujar Nau seperti dikutip sebuah harian di NTT. Dia menyarankan agar kawasan itu dijadikan pariwisata dengan pemandangan di Fatumnasi yang sangat indah dan udaranya yang sejuk. Masyarakat juga akan mendapatkan manfaat luar biasa dari situ.

Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Nusa Candana Kupang yang melakukan Studi Aspek Lingkungan Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Mutis Menjadi Kawasan Taman Nasional dalam laporan akhirnya kepada pemerintah Kabupaten TTS juga menyatakan, penambangan marmer yang sedang dan akan datang dapat menimbulkan kerusakan habitat, menurunkan produktivitas lahan dan mengancam tata air
yang dapat mengakibatkan penurunan produksi tani seperti perladangan, tegalan dan sawah. Hal itu juga akan menimbulkan kecemburuan sosial dan keresahan di
kalangan masyarakat. Selain itu penambangan juga dapat
menimbulkan kerusakan prasarana transportasi.

Bersandar Pada Faut Kanaf

Masyarakat Mollo - TTS pada khususnya atau Timor (Barat) pada umumnya pasti mengenal karakteristik Gunung Mutis. Demikian juga apa pandangan masyarakat Mollo terhadap Gunung Batu yang berkandungan Marmer itu?

Secara turun temurun yang dituturkan dari generasi ke generasi, masyarakat yang mendiami wilayah mutis dan sekitarnya sangat mengagungkan batu-batu yang
menjulang tinggi ibarat pohon itu dikenal dengan nama Faut Kanaf/Batu Nama. Di bawah Faut Kanaf keluarlah mata air yang disebut Oe Kanaf/Air Batu Nama. Faut
Kanaf yang diyakini masyarakat yang mendiami kawasan Mutis telah membentuk mata air-mata air yang mengalir dan menyatuh dalam kebersamaan membentuk DAS Benain
dan DAS Noelmina. Kedua DAS yang bersumber dari Faut Kanaf ini telah memberikan kehidupan bagi masyarakat Timor Barat pada khususnya.

Dengan demikian Faut Kanaf atau Batu Nama bukanlah sembarangan Batu tetapi batu yang memiliki makna lebih dalam kaitan dengan pembentukkan hidrology. Karena itu, Faut Kanaf dan Oe Kanaf, oleh masyarakat Mollo dinilai sebagai sumber kehidupan. Maka batu yang menjulang tinggi ibarat pohon itu tetap dipelihara masyarakat sebagai sumber kehidupan.

Dari berbagai penelitian yang akhirnya diketahui bahwa Faut Kanaf ternyata memiliki nilai milyaran bahkan triliunan jika dieksploitasi. Pada gilirannya Faut Kanaf menjadi kejaran para investor untuk meraup keuntungan.

Bagi masyarakat di wilayah Mollo, gunung batu (marmer) memiliki nilai yang sangat tinggi untuk menjamin kelangsungan hidup, seperti ketersediaan air. Tidak
saja bagi masyarakat di wilayah itu namun juga untuk masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara keseluruhan.

Secara ekologis, posisi atau letak batu yang berada di puncak gunung merupakan salah satu wilayah tangkapan dan tendon air yang baik disamping hutan. Sebagai
wilayah tangkapan air, batu di wilayah Mollo merupakan sumber air (hulu) bagi sungai besar di Provinsi NTT yaitu Benenain dan Noelmina yang menjadi sumber air
utama bagi masyarakat.

Jika batu ini ditambang atau dirusak, maka keseimbangan ekologis, khususnya dalam ketersediaan air bagi masyarakat akan sangat terganggu, apalagi wilayah NTT merupakan salah satu daerah yang selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya.
Disamping itu, daerah di sekitar lokasi pertambangan merupakan satu wilayah produktif yang telah menghidupi masyarakat secara turun temurun. Masyarakat
memanfaatkannya sebagai lahan pertanian.

Ibu Aleta Baun soerang pejuang perempuan masyarakat adat Mollo menyatakan kekesalan atas prilaku eksploitatif investor yang bekerjasama dengan pemerintah untuk menambang marmer dar Faut Kanaf adalah suatu tindakan yang sangat tidak berpihak pada
kearifan masyarakat dan keberlangsungan tata-hidrology demi keberlangsungan hidup masyarakat.

Disamping alasan yang bersifat ekologis, ada pula alasan yang didasarkan pada kultur atau kebudayaan masyarakat setempat. Batu yang sering mereka sebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat Mollo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hal inilah yang menentukan identitas masyarakat Mollo, sehingga masyarakat tidak pernah mengenal istilah marmer untuk ditambang.
Masyarakat hanya mengenal batu yang telah menghidupi masyarakat selama ini.

Dengarkan suara masyarakat

Berdasarkan kondisi tersebut maka cara penyelesaian kasus ini secara adil adalah mendengarkan secara langsung suara masyarakat. Selama ini proses penyerahan tanah hanya dilakukan secara sepihak, yaitu antara perusahaan atau Pemerintah Daerah dengan para tokoh adat (Amaf). Pemerintah juga telah memanipulasi masyarakat dengan menggunakan struktur adat yang notabene masih ada masalah dengan masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu utama dalam konflik ini. Jika demikian, Aleta Baun mempertanyakan dimanakah hati nurani pemerintah? Faut Kanaf dan Oe Kanaf adalah sandaran hidup masyarakat.

Info lebih lanjut:
Kor Sakeng
Telp Kantor ANIMASI +6238821557
HP 081339481143

Sumber: www.kabarntt.blogspot.com

Monday, October 22, 2007

Fransiskan Dukung Tolak Tambang


Jakarta-Konggregasi OFM Indonesia melalui lembaganya, Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM akan bertemu masyarakat Leragere dan Kedang, Lembata, sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap penolakan masyarakat atas rencana tambang oleh Merukh Enterprises Corp.


Pertemuan itu direncanakan berlangsung dari tanggal 27 Oktober-2 November di Lembata. Selain masyarakat di dua calon lokasi tambang, baik di Lebatukan dan Kedang, OFM Indonesia juga akan bertemu Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr, Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk, dan Ketua DPRD Drs Piter Boliona Keraf.


”Kunjungan itu dilakukan khususnya para imam OFM asal Lembata. Kita sudah sepakat bersama untuk bertemu bupati dan jajarannya, DPRD, dan Bapak Uskup Larantuka. Kami juga akan berkunjung ke Leragere dan Kedang untuk menunjukkan bahwa kami mendukung masyarakat. Bahwa masyarakat tidak sendirian dalam gerakan penolakan itu,” kata Pastor Gabriel Maing OFM, anggota Dewan General OFM Indonesia di saat berlangsung pertemuan dengan Keluarga Besar Leragere Jakarta (KBLJ) di Cilangkap, Jakarta, Jumat (12/10) lalu.


Pastor Maing menambahkan, sekalipun Uskup dan Bupati Manuk bersebelahan, itu tidak apa-apa. Yang penting, para imam OFM hadir karena ingin menunjukkan bahwa mereka berpihak kepada masyarakat yang tak berdaya.


Sedangkan seorang imam Fransiskan lainnya, Pastor Mikael Peruhe OFM menambahkan, Pimpinan Provinsial OFM Indonesia, Pastor Bruno Syukur OFM sudah berkomitmen untuk ikut membantu masyarakat Lembata terkait penolakan mereka terhadap rencana tambang di Lembata.


”Apapun hasilnya, Fransiskan tidak boleh meninggalkan persoalan Lembata. Beliau (Pastor Provinsial OFM Indonesia) juga bersedia menyampaikan gagasan itu. Pihak ordo juga mendokumentasikan film dokumenter tentang rencana tambang yang ditolak keras masyarakat Lembata sehingga tidak dibaca sebagai gerakan imam tertentu. Dan tidak mewakili ordo secara keseluruhan sebagaimana dituduhkan kepada Pastor Vande Raring selama ini,” kata Pastor Mikael, imam yang pernah mengikuti pelatihan pendampingan bagi masyarakat lokal di Brasilia.

Sumber: MEDIA RAKYAT BERSATU, edisi Oktober-November 2007

Uang Jaminan Investasi Tambang Emas Bukan Kesungguhan

Kupang-Penyetoran uang jaminan kesungguhan investasi sebesar Rp 400 juta dan iuran eksplorasi sebesar Rp91 juta dari grup Merukh Enterprises Jakarta untuk usaha penambangan emas di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak bisa dilukiskan sebagai sebuah kesungguhan atau keseriusan.

“Itu hal formal dalam regulasi pertambangan yang dilakukan oleh investor. Serius tidaknya PT Merukh Lembata Copper melakukan investasi tersebut hanya bisa dilihat dari cara pandang perusahaan itu dalam memikirkan hak-hak masyarakat yang ada di sekitar daerah tambang emas,” kata salah seorang putra Lembata yang masih menolak investasi tersebut, Gabriel Suku Kotan, SH, MH, di Kupang, Rabu.

Ia mengatakan, masyarakat Leragere di Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata hingga kini masih menolak investasi tambang emas yang dilakukan oleh grup Merukh Enterprises Jakarta itu karena khawatir akan dampak yang diakibatkan dari usaha penambangan emas dimaksud.

“Rusaknya lingkungan alam di sekitarnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Leragere selama ini, apakah bisa membuat masyarakat Leragere bahagia dan sejahtera? Masyarakat tidak bisa direlokasi begitu saja hanya karena sebuah kepentingan investasi berskala besar,” katanya.

Kotan menambahkan, wilayah Leragere yang meliputi Desa Balurebong, Lewodoli, Lewoheba, Lewotaa, Lodoblolong, Atakowa, Lewolera dan Lewoelen tidak merasa bahagia dan sejahtera harus bermukin di sebuah apartemen seperti yang dijanjinkan Presiden Direktur PT Merukh Enterprises Jakarta, Jusuf Merukh.

“Mereka tidak bisa jauh dari kampung halamannya karena investasi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu ritus adat yang selama ini menjadi pegangan hidup masyarakat Leragera. Ini yang perlu juga dilihat oleh pemerintah Lembata,” katanya menambahkan.

Bupati Lembata, Drs Andreas Duli Manuk yang dihubungi secara terpisah mengatakan, kekhawatiran masyarakat bahwa ritus adat akan hancur dengan hadirnya usaha tambang emas tersebut adalah sesuatu yang berlebihan.

“Kita juga belum tahu, apakah wilayah atau kawasan yang sudah dijadikan masyarakat sebagai ritus adat tersebut mengandung potensi emas atau tidak? Karena itu, saya melihat aksi penolakan itu adalah sebuah tindakan yang berlebihan,” katanya.

Suku Kotan yang juga salah seorang pengacara di Kota Kupang itu mengatakan, harapan dan keinginan masyarakat Leragera juga perlu diperhatikan dan didengar oleh pemerintah Lembata dan PT Merukh Lembata Copper yang akan menambang emas di wilayah itu.

Potensi pertambangan emas di wilayah Kecamatan Buyasuri, Omesuri dan Lebatukan itu sekitar enam (6) miliar ton batu, yang berada pada areal seluas sekitar 33.890 hektar di Kecamatan Buyasuri dan Omesuri serta 15.970 hektar lainnya di Kecamatan Lebatukan.

Menurut rencana, penambangan tahap pertama akan difokuskan pada 6 miliar ton batu atau 9 miliar ton biji tembaga dengan kadar 1,15 persen dan tiga gram emas per ton dengan perkiraan cadangan hipotesis akan mencapai sekitar 6 miliar ton batu.

Usaha investasi pertambangan emas senilai sekitar Rp 100 triliun di Lembata itu merupakan kerjasama PT Merukh Enterprises Jakarta dengan Kupfer Produkte GmbH Jerman, Nortddeuttsche Affinerie AG Jerman, IKB Deuttsche Indutroebank AG Jerman serta beberapa lembaga keuangan internasional dari Inggris dan Jerman.

Dari potensi tambang emas yang ada, PT Merukh Lembata Copper menargetkan produksi tembaga metal setiap tahun sekitar 350.000 ton dan memperkirakan dalam tempo 15-20 tahun mendatang, investasi sudah bisa kembali (break event point).

Sumber: ANTARA, 12 Juni 2007

Tim Terpadu Nyatakan Teluk Buyat Tercemar

Jakarta -Tim Terpadu yang meneliti perairan Teluk Buyat, Sulawesi Utara (Sulut), menyatakan bahwa perairan Teluk Buyat telah tercemar akibat limbah penambangan yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR).

Ketua Tim Teknis Tim Terpadu, Masnelyarti Hilman, dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis, menyatakan bahwa perairan Teluk Buyat mengandung logam arsenik dan merkuri.

"Perairan telah mengandung arsenik dan merkuri," katanya.

Masnelyarti menjelaskan, dari 23 ekor ikan yang diteliti, 10 ekor di antaranya teracuni arsenik hingga melebihi standar yang ditentukan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM).

Dia juga menjelaskan, terdapat beberapa jenis ikan yang tidak lagi ditemukan di Teluk Buyat. Dia tidak bisa merinci jenis ikan yang musnah tersebut.

"Yang jelas, data AMDAL tidak sama dengan data kami" kata Masnelyarti, yang juga Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan.

Selain itu, penelitian Tim Terpadu pada tahun 2000 juga menegaskan bahwa di Teluk Buyat tidak ada lapisan thermocline, sehingga tidak ada tempat di Teluk Buyat yang bisa dijadikan tempat pembuangan limbah.

Lingkungan di bawah thermocline bisa dijadikan tempat pembuangan limbah, karena di lingkungan tersebut tidak terdapat oksigen, sehingga diasumsikan tidak terdapat makhluk hidup pengonsumsi oksigen (aerob).

Ketiadaan thermocline juga ditegaskan Tim Terpadu dalam laporannya. Laporan tersebut menyatakan di Teluk Buyat tidak terdapat lapisan thermocline, kalaupun ada pasti berada di tempat yang sangat dalam.

Masnelyarti menjelaskan, laporan Tim Terpadu final dan mendapat validasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan sepengetahuan Wakil Presiden pada 24 November 2004.

Meski bersifat final, laporan itu mendapat perlawanan dari beberapa anggota Tim Terpadu yang berasal dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Newmont, dan beberapa ahli dari Universitas Samratulangi.

Beberapa anggota tim itu beralasan perairan Teluk Buyat tidak tercemar berdasarkan laporan Menteri Lingkungan Hidup.

"Tetapi, laporan itu hanya berdasar penelitian air. Padahal, ikan juga makan tailing (limbah)," katanya.

Newmont Minahasa Raya membuang limbah melalui pipa tailing ke dasar Teluk Buyat. Pembuangan limbah seharusnya dilakukan di bawah lapisan thermocline. Padahal, menurut Masnelyarti, tidak ada lapisan itu di Teluk Buyat.

Meski limbah kategori berbahaya (B3) telah dinetralisasi, seperti yang telah dilakukan Newmont, limbah tersebut tetap masuk kategori berbahaya jika dibuang tanpa memperhatikan standar baku.

Menanggapi hal itu, Luhut Pangaribuan selaku kuasa hukum Newmont mengatakan, sebenarnya sudah ada laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang menyatakan tidak ada pencemaran di Teluk Buyat. Laporan itu juga dimuat dalam laman KLH pada 14 Oktober 2004.

Menurut Luhut, laporan itu juga menjelaskan seluruh parameter lingkungan di Teluk Buyat tidak melebihi standar baku mutu.

Walhi melalui Tim Advokasi Penegakan Hukum Lingkungan Teluk Buyat mendaftarkan gugatan perdata di PN Jakarta Selatan atas tindakan NMR berdasarkan laporan warga Buyat Pantai tentang pencemaran lingkungan kawasan itu.

Selain NMR (tergugat I), Walhi juga melayangkan gugatan ke Menteri Sumber Daya Mineral (tergugat II) dan Menteri Negara Lingkungan Hidup (turut tergugat).

Gugatan legal standing diajukan berdasar laporan warga Dusun Buyat Pantai tentang kerusakan lingkungan dan keresahan masyarakat pada Agustus 2004.

Tergugat I atau NMR dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, seperti diatur dalam pasal 41 ayat (1) jo pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Tergugat II dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam UUD 45 pasal 28 H ayat (1), UU No 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (3) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 11 tahun 1967 pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) tentang Pokok-pokok Pertambangan, dan UU No 23 Tahun 1997 Pasal 6 ayat (1) tentang Lingkungan Hidup.

Turut tergugat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum atas UU no 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

Walhi menuntut tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan terhadap daya dukung lingkungan di perairan Teluk Buyat yang terkena dampak perusakan dan pencemaran.

Selain itu, terguggat I juga dituntut untuk menyampaikan permintaan maaf secara tertulis di sejumlah media cetak, baik nasional maupun internasional, dalam bentuk iklan satu halaman penuh selama 14 hari berturut-turut.

Permintaan maaf juga harus dilakukan melalui sejumlah beberapa media elekttonik melalui iklan layanan masyarakat dengan durasi dua menit setiap tiga kali sehari selama tujuh hari berturut-turut secara serentak.

Sumber: ANTARA, 20 September 2007

Langit Mendung Di Teluk Buyat

Wajah-wajah tertutup jelaga
Tangan-tangan terbalut nestapa
Sebatang tubuh mungil mati ternoda
Ikan-ikan entah ke mana
Ganggan hijau berubah warna
Burung-burung tak lagi bersuara
Andini Lensun mati sia-sia.

Segerombolan aura kematian menunggu titik penantian
Ruh malaikat maut semakin mendekati pucuk ubun-ubun
Laskar bencana datang dan nyaris membunuh satu
dasawarsa
Awan gelap menyelimuti langit mendung di Teluk Buyat


Teluk Buyat menyaksikan Andini Lensun mati sia-sia
Bayi kecil nenyerupa paras oma-opa
Dengan bilur keganasan limbah bahan kimia
Terbungkus landir minamata

Langit mendung di Teluk Buyat
Berpuluh manusia meregang nyawa
Bertahan dalam kepedihan benjolan kepala
Atau badan merana menjelang garis penutup usia

Sayap-sayap camar lelah merintihkan kepedihan
Menarikan dansa kesuraman di atas dahan-dahan bakau
Menukik tajam menyayat reruntuhan karang
Lalu patah terhempas gelombang kerakusan

Perak dan emas menyaksikan kepiluan Teluk Buyat
Matanya melelehkan kegelisahan
Yang mencengkeram pedas di tabir kekuasaan adidaya
Kilaunya mewarnai horison benua kebanyakan
Meninggalkan bekas Merkuri dan Arsen di Teluk Buyat

Juli 2004
Karya Jpang
Sumber: walhi.or.id

Tragedi Buyat

Hatiku tersayat akan derita warga Buyat
Derita yang ditoreh tangan-tangan berkhianat
Buyat dirampok, disihir menjadi tambang tanpa tembang
Kini dari perut Buyat terburai limbah Mercuri laknat.

Buyat tertampar
Andini Lensun terkapar,
Entah siapa esok menyusul

Tragedi Buyat, hikayat pejabat pusat
Tragedi Buyat, hikayat tak berakhlak
Tragedi Buyat, hikayat tak bertobat

Denpasar, 9 Agustus 2004
Karya Agung Alit
Sumber: walhi.or.id

Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat

"Lihat, kapalku terisi sarat, mengangkut
59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."

Angin dari langit masih hembus yang dulu,
ombak dari laut masih hempas yang dulu.
Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan
jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.

Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,
ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi
kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.

"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,
pulang ke teluk membawa ikan.
Ada pesta, tengah malam disuguhkan.
Kita cuma nelayan, tak dapat undangan."

Empat tahun sudah air raksa menguap
di udara dan air mandi Teluk Buyat.
Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap
juga di darah kami, anak-anak nelayan.
Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.

Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."
Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban, dan
tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"

Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu...."

Cuma perahuku datang kembali membawa
sabun mandi. Ke Teluk Buyat. Mengubah
air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.

"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi
perih yang tak kau pernah pahami ini.
Tenggelamkah sudah semua perahu?"

Puisi karya Hasan Aspahani
Sumber: walhi.or.id

Andini

Andini,
menyaksikanmu adalah keperihan rahimku
saat menguak membelah dunia

tangis lirih sakitmu
adalah kepiluan jantungku
yang tak mampu membantu menolongmu

panas dadamu
adalah mengerasnya payudaraku
karena penuhnya susu yang tak kau isap lagi

rintahan ajalmu
adalah teriakanku....
Tuhan.......di mana keadilan....

Anakku,
kematianmu
adalah kematian rasa penguasa-penguasa kita
yang menutup rapat mata hatinya
dan menimbun hati dan jiwanya dengan kerakusan kuasa

Kini, kain kafan telah membungkusmu pulang pada-Nya
dalam luka lara yang tak kuasa bunda gantikan
Tarikan nafas terakhirmu adalah pesan buatku
dalam terjal perjuangan
dalam ketegarantuk selamatkan sahabat dan kawanmu
dari nista pertambangan

Selamat jalan, Andini.......

Sumber: walhi.or.id

Catatan:
Andini Lensun terlahir dari pasangan Hanri Lensun dan Masna Stirman, warga Pante Buyat. Ia lahir tidak normal. Kulit di sekujur tubuhnya terkelupas. Benjolan-benjolan kecil muncul juga dari kepala hingga kakinya. Bahkan, di bagian perut muncul benjolan sejak ia lahir. Pada Sabtu, 3 Juli 2004, bayi malang ini kembali pada Sang Khalik setelah bertahan 5 bulan masa hidupnya.

Selamat datang pemimpin Lembata

JUMAT besok, 4 Agustus 2006, merupakan momen bersejarah dan penting bagi rakyat Lembata. Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Piet A Tallo, S.H, atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Ma’ruf melantik Drs. Andreas Duli Manuk dan Drs. Andreas Nula Liliweri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2006 - 2011.

Keduanya terpilih kemudian ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Lembata sebagai pemenang pilkada langsung. Selama lima tahun ke depan keduanya menjadi pemimpin Lembata untuk bersama masyarakat menata kabupaten baru tersebut menuju arah yang lebih baik lagi.

Masyarakat Lembata tentu tahu. Pilkada langsung itu menghabiskan banyak energi, uang, dan waktu. Hajatan politik itu adalah yang pertama kali dalam sejarah demokrasi selama rentang waktu enam puluh tahun terakhir. Lima paket putera-putera terbaik Lembata yang berlaga yakni Andreas Sinyo Langoday - Simon Geletan Krova, Piter Boliona Keraf - Ferdinandus Diri Amajari Lamak, Bediona Philipus - Begu Ibrahim, Yohanes Lake - Karolus Koto Langoday, dan Andreas Duli Manuk - Andreas Nula Liliweri pun menyudahi kompetisi demokrasi itu dengan aman dan nyaris tak menyisahkan persoalan berarti dalam proses perjalanan politik Lembata, khususnya pilkada langsung. Seluruh masyarakat pun paham bahwa sesungguhnya banyak (lima paket) yang dipanggil (baca: diseleksi KPUD) masuk bursa pencalonan tetapi satu paket yang dipilih untuk diutus menjadi pemimpin (Baca: Bupati dan Wakil Bupati).

Duet Amal -- begitu nama beken paket Andreas Duli Manuk - Andreas Nula Liliweri saat kampanye -- mengemas strategi merebut simpati dan dukungan masyarakat untuk memenangkan pilkada sehingga hari ini dilantik. Tak berlebihan kalau hari ini masyarakat Lembata legah dan akan melangkah bersama Manuk dan Liliweri membangun daerahnya. Merekalah pemimpin rakyat. Masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok desa seperti Lewopenutung di selatan Lembata atau di Atawatun, Ile Ape, misalnya, bisa mengajukan pertanyaan kepada Bupati Manuk dan Wakil Bupati Liliweri: apa maksud bupati rakyat? Macam mana mereka memerankan diri dan pemerintahan yang dipimpin sebagai bupati rakyat?

Catatan singkat ini penulis persembahkan untuk Bupati Manuk dan Wakil Bupati Liliweri yang telah terpilih sebagai bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat yang diamanahkan kepada seorang pemimpin kiranya menjadi perhatian selama memimpin rakyat. Sebagai putera Lembata yang peduli dengan kampung halaman, catatan ini setidaknya menjadi bahan masukan dan refleksi bagi Bupati dan Wakil Bupati terlantik sehingga dalam menyelenggarakan kepemimpinan dan pemerintahannya semampu mungkin guna memenuhi keinginan dan harapan masyarakat sebagaimana dijanjikan saat kampanye. Catatan ini juga diharapkan dapat memenuhi keinginan dan harapan masyarakat yang mungkin saban tahun hanya bersemayam dalam lubuk hatinya yang paling dalam dan tak pernah didengar oleh pemimpinnya. Padahal, sesungguhnya di sanalah lahan pengabdian pemimpin.

Bupati rakyat

Mungkin sedikit aneh mendengar ungkapan ‘bupati rakyat’. Namun secara sederhana berarti bupati (plus wakil bupati, tentunya) yang dipilih langsung melalui mekanisme demokrasi bernama pilkada. Bupati rakyat bisa juga berarti selalu sehati, sepikiran, seperasaan, dan sependeritaan dengan rakyat yang telah memilihnya. Dalam konteks Lembata, Manuk dan Liliweri menjadi bupati rakyat. Karena itu, mereka harus selalu berkomunikasi dengan rakyat dalam suka dan duka, untung dan malang. Komunikasi -- meminjam pendapat Gubernur NTT 1993 - 1998 Herman Musakabe — memainkan peranan penting dalam efektivitas sebuah kepemimpinan. Ia tidak hanya bisa bicara atau minta didengar orang lain, tetapi juga bisa mendengar suara rakyat yang mau dikoreksi (Pos Kupang, 25/7) Bupati rakyat harus membangun komunikasi dengan rakyat di waktu sehat maupun sakit. Jangan sampai saat rakyat histeris karena kelaparan akibat kekeringan pemimpin puncaknya malah menghabiskan waktu berlama-lama yang kurang produktif di hotel-hotel berbintang di Jakarta.

Bupati rakyat dituntut untuk menyatukan hati dan pikirannya dengan rakyat. Mereka juga harus benar-benar merasa diri sebagai rakyat yang telah dititipkan amanah guna menjalankan roda pemerintahan yang tentunya membutuhkan totalitas pengabdian. Bupati rakyat harus memaknai tugas sebagai panggilan jiwa jika ingin membebaskan rakyat dari berbagai ketertinggalan, baik fisik maupun mental-spiritual. Bupati rakyat tak tega saat menyaksikan rakyatnya berlama-lama menderita karena mengonsumsi buah bakau akibat gagal panen tetapi segera mencari solusi terbaik.

Bupati rakyat harus sadar bahwa berbagai keputusan yang diambil untuk dijalankan merupakan cerminan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Ia juga harus sadar bahwa di zaman yang serba terbuka ini segala persoalan rakyat harus dibuka secara transparan agar dapat dikelola bersama. Bupati rakyat sepantasnya menempatkan rakyat di bangku terdepan dalam setiap pengambilan keputusan sehingga tak menimbulkan persoalan-persoalan di kemudian hari yang justru kian membawa rakyat pada keengganan berpartisipasi dalam pembangunan.

Bupati rakyat juga dilarang bermewah-mewahan dengan uang rakyat di saat rakyat tengah didera berbagai penyakit seperti busung lapar, lumpuh layu, gizi buruk, dan aneka krisis multi dimensi lainnya. Atau secara umum, bupati rakyat adalah bupati yang selalu menyiapkan ruang batin untuk mendengar berbagai keluh-kesah, keinginan, dan cita-cita rakyatnya dan mau berjuang bersama rakyat untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Bupati rakyat harus memberikan pelayanan dengan hati dengan cepat, nyaman, dan transparan. Bupati rakyat harus menanggalkan — meminjam kata-kata Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Hadi Utomo — kepentingan ampibi: anak, menantu, ponakan, ibu serta kroni-kroninya dalam mengambil keputusan maupun penentuan proyek-proyek yang berurusan dengan kepentingan rakyat.

Problema ketertinggalan

Tak dapat dipungkiri, Lembata merupakan daerah otonom yang baru lepas dari induknya, Flores Timur (Flotim) pada 14 Oktober 1999 sesuai Undang-undang (UU) Otonomi Lembata No 52 Tahun 1999. Oleh karena itu, sebagai daerah otonom baru, Lembata masih harus terus berjuang untuk mengejar ketertinggalan sebagaimana daerah-daerah lain di NTT. Bahkan perjuangan itu sudah dilaksanakan duet Bupati Ande Manuk dan Wakil Bupati Ir Feliks Kobun (kini almahrum, pen) sejak mereka dilantik menjadi Bupati/Wakil Bupati Lembata definitif pada 4 Agustus 2001 atau empat bulan setelah pemilihannya.

Sebagai sebuah daerah yang masih tertinggal, harian Kompas pun menaruh perhatian besar guna mengangkat persoalan itu sehingga bisa membuka mata hati Jakarta agar ikut membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi Lembata. Minimal dalam urusan menggelontorkan dana ke Lembata guna membiayai daerah itu, terutama dalam hal meretas isolasi fisik, misalnya, yang saat itu masih sangat sulit. Apalagi, begitu tulis koran nasional berpengaruh itu, dari wilayahnya seluas 1.266,38 km persegi, sebagian besar wilayah daratannya masih terisolasi. Kalaupun jaringan jalannya sudah menusuk hingga sejumlah perkampungan pedalaman, kondisinya masih mirip jalan liar. Badan jalannya sempit, berlubang-lubang atau masih dengan gundukan batu liar yang sangat menghambat kelancaran lalu lintas.

Sebagai contoh, Kampung Kluang di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun. Dari Lewoleba, Ibu kota Kabupaten Lembata, jaraknya hanya sekitar 28 km arah selatan dan jaringan jalannya sudah tembus. Namun tidak perlu terkejut. Amat jarang angkutan pedesaan ke sana. Bepergian ke kampung itu, pilihan cepat hanya dengan kendaraan sewaan jenis jip. Tarifnya luar biasa mahalnya, Rp 400.000,00 sekali jalan. Menjadi sangat mahal karena perjalanan harus ditempuh antara tiga sampai empat jam. Kendaraan terpaksa merangkak sangat pelan karena harus menerobos jalan yang belum tersentuh penataan semestinya. "Wilayah perkampungan termasuk daerah kantung produksinya yang masih terisolasi, merupakan kendala serius Lembata," tutur Bone Pukan (40), warga Kota Kupang asal Lembata, yang terakhir mengunjungi kampung kelahirannya, Kluang, April lalu. "Hasil kebun kami seperti kemiri, jambu mete, kacang dan lainnya untuk sementara sulit dipasarkan akibat kendala transportasi itu," kata Yoseph Enga (40) di Desa Belabaja, Nagawutun (Baca: Kompas, 21 Mei 2002). Tapi, itu sudah terjadi beberapa tahun silam dan kini Lembata sudah sedikit berubah dan harus dibangun dengan sumber daya dan dana yang memadai. Ini tentu ditopang dengan model kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Lembata yang selalu bekerja dengan agenda rakyat.

Sebagai bupati dan wakil bupati rakyat, Manuk dan Liliweri harus memberdayakan rakyatnya. Mereka harus juga memberdayakan ekonomi rakyat serta aparatur pemerintahannya agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Bupati rakyat juga harus mendengar dan menerima berbagai keluhan masyarakat untuk segera ditindaklanjuti. Atau meneruskan persoalan-persoalan rakyat kepada pemerintah pusat bila hal itu diperlukan. Tentunya, laporan-laporan itu sesuai dengan kondisi riil. Karena itu, amat relevan apa yang diingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seusai mengunjungi persawahan dan berdialog langsung dengan petani dan sejumlah anggota masyarakat di Desa Sukamanah, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/2 2005) pagi. Saat itu, Presiden menegaskan bahwa pihaknya tidak suka menerima laporan-laporan asal presiden senang (APS), yang isinya hanya untuk menyenangkan hati presiden, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selama kunjungan itu, Kepala Negara tidak didampingi satu pun menteri Kabinet Indonesia Bersatu, termasuk Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono. Beliau hanya didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Dalam konteks Lembata yang masih jauh tertinggal sangat tepat menggunakan pola kepemimpinan yang diterapkan oleh Gubernur Piet A Tallo, SH. Dalam suatu kesempatan diskusi bersama sejumlah wartawan Ibu kota di Wisma NTT, Tebet Timur Dalam, Jakarta, Tallo yang sukses memimpin Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dua periode ini selalu menekankan model kepemimpinan menyejukkan. Beliau mengatakan, dalam memimpin NTT dengan heterogenitas masalah maka seorang harus memimpin dengan hati. Model kepemimpinan ala Gubernur Tallo masih relevan bagi Manuk dan Liliweri dalam tugasnya nanti. Dua pemimpin ini tentu tahu. Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Selamat datang pemimpin Lembata. Selamat bertugas bersama rakyat!

Ansel Deri, putera Lembata, kini tinggal di Jakarta

Sumber: harian POS KUPANG, 3 Agustus 2006

Air Bersih, Kerinduan yang Belum Berujung

RAMBUT kepala berubah warna. Kecoklatan berbalut debu. Terasa kaku dan lengket, membungkus hampir seluruh kepala. Perubahan terasa ketika perjalanan bermandikan debu dan melelahkan, menusuk perkampungan Mingar di pesisir selatan Pulau Lembata, Nusatenggara Timur (NTT).

Rasa lelah pupus terkubur ketika menyaksikan wajah Mingar dan sekitarnya. Suguhan pemandangannya seakan suntikan manjur pemulih energi yang membangkitkan semangat baru. Hijau menyejukkan mata, mendominasi. Berbagai jenis tanaman seperti kelapa, pisang, jambu mete, asam, dan lainnya, tumbuh subur di sana. Begitu pula sosok penduduknya, relatif lekang dari kesan sangat miskin. Antara lain dari perumahannya. Rata-rata semi permanen, beratap seng dan berlantai semen.

Kesejukan terasa kian lengkap oleh buaian angin sepoi dari arah Laut Sawu. Dari balik rimbunan pepohonan dan semak terlihat jelas gulungan ombak terus menggelora.

"Para turis sering datang ke sini, mandi-mandi dan berjemur di Pantai Mingar. Mereka biasanya datang dengan perahu motor setelah menyaksikan penangkapan lewa (paus dan jenis ikan besar lainnya - Red) di Lamalera," tutur Ratna Lele (20) tersipu-sipu. Gadis Mingar yang hitam manis itu terlibat dalam percakapan singkat ketika ia sedang antre menunggu giliran menimba air di sumur tua di Kampung Riangbaka, Desa Pasir Putih, kawasan Mingar.

Mingar dan Lamalera sama-sama di pesisir selatan Lembata. Perjalanan dengan perahu motor antara dua kampung pantai itu membutuhkan waktu sekitar satu jam. Tentang Lamalera sendiri sebenarnya sudah dikenal hingga sudut dunia. Nama kampung yang tumbuh di atas gundukan cadas itu mencuat tinggi oleh ketangguhan para nelayannya. Dengan hanya menggunakan pledang (sampan kecil bercadik) dan tempuling berpengait, mereka sejak turun-temurun terbiasa menangkap ikan besar jenis paus dan lainnya. Ketangguhan nelayan tradisional itu telah menjadi aset wisata andalan Lembata dan juga NTT.

Mingar sendiri yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Nagawutun, letaknya sekitar 45 kilometer selatan Lewoleba, kota kabupaten baru, Lembata. Jangan terkejut. Mingar hanya bisa dijangkau kendaraan roda empat jenis jip. Kondisi jalannya masih sangat memprihatinkan. Sempit, berlubang-lubang dan sangat sering harus merangkak di atas gundukan batu alam yang tajam dan kokoh. Akibatnya, jarak yang hanya 45 kilometer itu harus ditempuh sekitar delapan jam pergi-pulang.

PEMANDANGAN hijau dan kesejukan Mingar ternyata masih lonjong. Kawasan yang kini berpenduduk sekitar 750 kepala keluarga (KK) atau kurang lebih 3.000 jiwa, sejak lama bergulat dengan persoalan klasik, kesulitan air bersih! Kepala Desa Pasir Putih, Petrus Beda Sura; Kepala Desa Lolong, Gaspar Demon Blolong; dan Pastor Paroki Mingar, Romo Yos Lela Diaz Pr; di Mingar akhir Juni lalu, membenarkan penderitaan itu.

Diakui, kesulitan air bersih adalah persoalan warga Mingar dan sekitarnya sejak turun-temurun. Sejauh ini mereka hanya mengandalkan sebuah sumur tua yang berlokasi di belakang Kampung Riangbaka, Desa Pasir Putih.

Sumurnya sendiri dibangun tahun 1918 dengan kedalaman tujuh depa atau sekitar 16 meter. Cara mengambil airnya masih manual, menggunakan tali menurunkan ember atau alat timba lainnya. Namun, karena banyaknya warga masyarakat yang mengambil air dari sumur tua tersebut, mereka harus antre.

Dalam percakapan dengan Romo Yos Lela Diaz dan kedua kepala desa, terkesan mereka kurang respek jika solusinya dengan pembangunan pompanisasi. Setidaknya ada dua pertimbangan yang menjadi alasannya.

Pertama, kawasan Mingar dan juga kawasan lainnya di Lembata, diketahui sangat miskin kandungan air tanahnya. Selain sumur tua di Riangbaka, penduduk sudah coba menggali sejumlah sumur lain termasuk empat buah sekitar kompleks Pastoran Mingar. Galiannya telah mencapai kedalaman hingga 20 meter, namun tidak ada airnya. Oleh karena itu, mereka mencemaskan akan sia-sia kalau kembali menggali sumur atau sumur bor.

Tentang ini, Romo Yos Lela Diaz Pr melukiskannya secara menarik. Katanya, harapan akan hadirnya air bersih di kawasan tersebut sudah menjadi kerinduan sejak lama. "Katakan seperti kerinduan yang belum berujung," tuturnya sedikit bernada puitis.

Sebenarnya kesulitan air bersih yang diderita warga Mingar hanya sekadar contoh. Seperti kawasan lainnya di NTT, sebagian besar wilayah Lembata tergolong kering dan gersang. Perladangan dengan sistem tebas bakar dan berpindah-pindah ditambah kebiasaan membakar kawasan padang guna kemudahan berburu rusa dan celeng, menjadi penyebab utamanya.

MESKI kering dan gersang, Lembata masih menyimpan belasan sumber mata air. Kepala Dinas PU Lembata, Ir Masan Bali mengakui, di tiap kecamatan sedikitnya memiliki dua sumber air berdebit tinggi. Namun, pemanfaatannya belum maksimal akibat masih terbatasnya jaringan pipanisasi dari PDAM (Perusahaan Daerah air Minum) setempat.

Berdasarkan catatan PDAM , hingga saat ini baru ada 3.000 pelanggan atau sekitar 15.000 jiwa yang telah menikmati air bersih. Itu berarti, sebagian besar atau lebih dari 100.000 warga Lembata masih kesulitan dalam mendapatkan air bersih.

Kesulitan air bersih yang melanda warga Mingar dan sekitarnya belum bisa dipastikan akan berakhir dalam waktu dekat. Alasannya, prasyarat untuk mendapatkan air bersih sangat memberatkan masyarakat.

Seperti dijelaskan Pastor Paroki Mingar, Romo Yos Lela Diaz dan kedua kepala desa, pemasangan pipa baru bisa menjangkau perkampungan mereka, setelah warga kawasan tersebut berhasil menyelesaikan biaya pemasangan 150 stop keran senilai Rp 75 juta. "Padahal kebanyakan warga kampung di sini mengandalkan bantuan dari kiriman keluarga di rantau (Malaysia - Red). Oleh karena itu, kewajiban membayar biaya pemasangan stop keran itu, bukanlah beban ringan," tutur Petrus Beda Sura.

Menurut catatan, warga Mingar yang kini sekitar 750 KK, baru berhasil mengumpulkan Rp 7,2 juta guna mengangsur kewajiban tersebut. Itu berarti tunggakan masih tersisa, Rp 67,8 juta. Gaspar Demon Blolong melukiskan tunggakan tersisa masih jauh dari jangkauan kemampuan masyarakat Mingar.

Sumber: harian Kompas, 31 Juli 2000

Eksplorasi Tambang di Lembata Siap Beroperasi

Jakarta-PT Merukh Lembata Copper memperkirakan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa meningkat 13 persen per tahun jika usaha tambang emas dan tembaga di wilayah itu dapat dioperasikan tahun depan.

Nilai investasi PT Merukh Lembata Copper diperkirakan akan mencapai sekitar Rp100 triliun.
Pemimpin perusahaan Grup Merukh Enterprises, Jusuf Merukh mengatakan hal tersebut didasarkan pada pertumbuhan yang dialami Sumbawa setelah beroperasinya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).

“Perkirakan ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang dialami masyarakat Sumbawa di Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah beroperasinya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di wilayah itu dengan tingkat pendapatan per kapita masyarakat mencapai US$ 1.000 per tahun,” ujarnya usai bertemu dengan perwakilan anggota DPRD Lembata, Senin (13/8).

Merukh mencontohkan lima tahun setelah beroperasinya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sumbawa, tingkat pendapatan domestik regional bruto naik menjadi 13 persen per tahun dari sebelumnya yang hanya mencapai 1,9 persen per tahun, sedang pendapatan per kapita masyarakat menjadi US$ 500 dari sebelumnya hanya US$ 50 per tahun.

“Sebelumnya masuknya PT NNT di Sumbawa, masyarakat di wilayah itu hanya mengandalkan hidupnya dari usaha penyulingan madu lebah dan beternak kuda,” ujar Merukh yang juga memiliki saham sebesar 20 persen di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).

Diterima

Masyarakat dan anggota DPRD Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT), menyataka bisa menerima usaha investasi tambang emas dan tembaga yang dilakukan Grup Merukh Enterprises Jakarta melalui anak perusahaannya, PT Merukh Lembata Copper.
Sikap tersebut diambil setelah berdialog dengan pimpinan Grup Merukh Enterprises dan studi banding yang dilakukan DPRD Lembata di PT Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara dan PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

“Apa yang kami lihat di lapangan, ternyata tidak sesuai dengan apa yang digembar-gemborkan LSM tentang bahaya yang diakibatkan dari usaha tersebut. Ternyata, masyarakat yang bermukim di lingkar wilayah pertambangan, hidup sehat walafiat dengan tingkat kesejahteraan di atas rata-rata,” kata Marsudi Yamin, anggota DPRD Lembata dari FPG dalam dialog tersebut.

”Masyarakat kami di Lembata, ternyata dibohongi oleh LSM yang pro lingkungan hidup. Oleh karena itu, apa yang telah kita lihat di lapangan, kita sampaikan secara jujur kepada masyarakat di Lembata tentang manfaat dari usaha tambang tersebut,” tambah Ketua DPRD Lembata Pieter Boliona Keraf.

Kekhawatiran masyarakat Lembata akan usaha tambang emas tersebut menyusul kasus Lapindo dan Buyat di Sulawesi Utara pada 2004 yang dilukiskan media internasional telah merusak lingkungan di perairan sekitar Teluk Buyat yang mengakibatkan masyarakat terkena ”minamata” atau penyakit gatal-gatal dan benjolan di kulit.

Sumber: SINAR HARAPAN, 14 Agustus 2007

Sunday, October 21, 2007

Politik dan Bisnis di Balik Industri Pertambangan

Industri pertambangan tumbuh menjamur. Menghiasi wajah bumi pertiwi, menderuh di tengah kisah klasik busung lapar bangsa ini. Di tengah “parade” kemiskinan dan penduduk lokal yang semakin terpinggirkan. Di tengah heroiknya pidato dan kampanye kesejahteraan bangsa yang semakin jauh dari mimpi anak-anak pertiwi. Di tengah berlipatgandanya pengangguran tenaga kerja lokal yang belum sepenuhnya mendapatkan solusi, termasuk sektor pertambangan sekalipun. Walau janjinya muluk melangit

Mengejutkan jika menelusuri bisnis industri pertambangan ini. Pertambangan bukan sekedar aktifitas menggali potensi kandungan bumi untuk kesejahteraan rakyat. Pertambangan bukan aktifitas masyarakat lokal menggali kekayaan alamnya. Tuduhan “PETI” – penambang tanpa izin pernah marak di masa Orde Baru. Tuduhan yang mendiskreditkan dan sekaligus mengkriminalisasi aktivitas penambangan emas oleh rakyat, misalnya yang terjadi di belantara Kalimantan. Pertanyaannya, mengapa kreativitas rakyat menggali secara terbatas kandungan alamnya dituduh kriminal?

Ternyata di negeri ini, tambang dan pertambangan bukan sekedar ada kandungan bumi pertiwi yang kemudian menjadi kekayaan anak-anak pertiwi. Ketika memasuki urusan kepentingan umum dan demi kesejahteraan rakyat yang hak mutlak pengaturannya berada di tangan negara, maka posisi hak bergeser. Posisi pertambangan bukan lagi kekayaan rakyat Indonesia. Pertambangan menjadi kekayaan strategis bangsa, dan karena itu pengaturannya mutlak menjadi tanggungjawab pemerintah yang diatur oleh UUD 1945, semisal pasal 33 ayat 3, dan aneka kebijakan turunannya . Ini problem bangsa.

Karena terminologi sumberdaya alam sebagai kekayaan negara dan bukan kekayaan rakyat, maka hak pengaturan pemanfaatan tambang menjadi hak politik pemimpin politik bangsa. Misalnya, belum setahun menjadi Presiden, April 1967 Soeharto menandatangani perjanjian dengan PT. Freeport untuk usaha pertambangan tembaga di Papua. Sejak itu, perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu resmi beroperasi di Papua. Mengeruk deposit tambang tembaga, termasuk emas dan uranium. Setelah 40 tahun berlalu, perusahaan ini belum beranjak dari tanah Papua. Dapat dibayangkan, berapa banyak aset bumi papua telah berpindah tangan ke pebisnis Amerika? Dan dapat dibayangkan pula, seperti apakah bentuk kerusakan alam Papua? “Gunung” berubah menjadi “lapangan rata, berlubang bahkan Danau” adalah fakta yang wajib dipelajari ketika memutuskan membuka pertambangan baru di belahan lain Republik ini?

Latar belakang penyerahan aset tambang di Papua itu di kemudian hari menjadi pertanyaan, polemik dan spekulasi kalangan kritis. Pada akhirnya hanya misteri. Bahkan ada pihak yang menduga, masuknya modal Amerika Serikat itu berhubungan erat dengan perjanjian rahasia pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Amerika Serikat. Dugaan ini dikaitkan dengan dukungan menumbangkan rejim sebelumnya (Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia, Pustaka Latin).

Dugaan dan analisis semacam ini mungkin dibantah. Bantahan yang bisa benar bisa juga pembelaan diri. Namun dugaan dan analisis seperti ini hendak berceritera gamblang bahwa pertambangan bukan sekedar aktivitas menggali kekayaan bumi. Pertambangan merupakan sebuah industri, sebuah bisnis yang mendapat dukungan politik penuh para pemimpin politik. Pertambangan tidak luput dari Politik Industri Pertambangan.

Sebagai sebuah industri, aktivitas pertambangan merupakan aktivitas bisnis dengan managemen teruji. Dengan dukungan finansil teraudit. Dengan jaminan keamanan yang terukur. Dan ketika industri itu merupakan hubungan bisnis antar negara, dan menjadi keputusan politis pemimpin politik suatu bangsa, maka pertambangan bukan aktivitas ekonomi tetapi aktivitas politik. Di dalamnya bergulir tawar menawar bahkan pertarungan kepentingan. Dalam pertarungan ini, kepentingan lingkungan dan kepentingan kesejahteraan masyarakat lokal berada pada posisi marginal. Pelajaran penting di tengah gemerlapnya politik bisnis pertambangan di negeri ini, dengan aneka janji kesejahteraan masyarakat lokal.

Jika ceritera pertambangan selama ini datang dari pulau seberang, seperti Kalimantan dan Papua, sekurangnya sepuluh tahun terakhir ceritera itu semakin rapat mendekat. Operasi pertambangan PT. New Mont Nusa Tenggara di pulau Sumbawa telah mendekatkan industri ini ke Nusa Tenggara. Menyusul di pulau Timor dengan Tambang Batu marmer, yang juga bermasalah dengan masyarakat lokal. Dan kini lagi bergeliat dan bergolak proses pertambangan emas di pulau Lembata. Bisnis pertambangan semakin mendekat.

Mungkinkah rencana operasi pertambangan di Lembata merupakan skenario yang kami disebut di sini sebagai Poltik Industri Pertambangan? Menarik untuk direfleksikan dalam kerangka konstelasi politik dan ekonomi lokal Lembata belakangan.

Saya mau memulai dari sejumlah komunikasi kalangan LSM Nusa Tenggara dalam media elektronik milisgroup “infonusra” yang dikelola Studio Drya Media (SDM) Kupang. Bulan Februari 2007, sedang marak gelombang keberatan dan protes masyarakat Leragere. Di milisgroup ini kalangan LSM, terlebih dari Nusa Tenggara Barat, menulis apresiasi, pujian dan kekaguman pada Pemda Lembata. Ada apa?

Di sana, kerja sama yang panjang antara DFID/MFP, Lap Timores Cs dan Pemda Lembata melalui Dinas Kehutanan, telah berhasil membangtun Forum Multipihak Pengelolaan Hutan. Dan yang menjadi pokok pujian bagi Pemda Lembata saat ini lantaran di kabupaten itu sedang dibahas Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Sebuah kebijakan politik pembangunan untuk pengelolaan hutan yang berdampak pada kesejahteraan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Saya belum membaca draft Perda itu. Namun dalam bayangan saya, dengan Perda itu masyarakat difasilitasi untuk bersama mengelola hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Kebijakan politik sektor kehutanan untuk kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan kelestarian hutan.

Momentum politik lain lagi di Lembata ketika ramai-ramai menjelang proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006. Bupati Andreas Duli Manuk dengan keberanian penuh mengeluarkan SK Sementara mengizinkan masyarakat Leragere di kecamatan Lebatukan untuk mengelola hutan lindung di wilayah itu. Momentum itu disambut sangat hangat. Bahkan memprosesikan Misa Syukur oleh Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Gambaran hubungan harmonis antara pemerintah, lembaga agama dan masyarakat, yang sering dipentaskan pada avent tertentu, semisal event politik PILKADA.

Analisis kepentingan dalam seluruh proses ini dapat saja dibangun. Apalagi ketika saat ini, untuk pertambangan di Lembata, Bupati yang sama, tanggal 28 Agustus 2006, hanya beberapa hari setelah dilantik menjadi Bupati Lembata, telah bersama Ketua DPRD Lembata di sebuah Hotel di Jakarta menandatangani Rekomendasi untuk Menteri Pertambangan dan Enerji agar mengeluarkan Kontrak Karya Pertambangan di Lembata bagi PT. Puku Afu Indah, anak perusahaan PT. Merukh Enterprices. Perusahaan ini yang akan melakukan usaha pertambangan di kawasan hutan yang sama, di Leragere. Dua keputusan politik yang dikeluarkan secara beruntun dalam tenggang waktu relatif singkat, dan oleh pejabat politik yang sama. Kontroversial? Bisa demikian! Apakah langkah Ketua DPRD Lembata ini telah mendapat persetujuan dan dukungan politik penuh melalui Keputusan Dewan? Rakyat tentu berhak bertanya ke lembaga wakil rakyat ini.

Analisis kepentingan akan menggali alasan mengapa dan atas nama kepentingan apa SK Sementara pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat? Dan mengapa serta atas nama kepentingan apa rekomendasi pertambangan dikeluarkan atas obyek yang sama dan oleh pejabat yang sama? Dalam analisis kepentingan tanpa investigasi mendalam sekalipun, dugaan adanya kepentingan politik dan bisnis yang mungkin diperhitungkan para pejabat politik Lembata pantas dikedepankan sebagai isu.

Kembali ke keputusan Soeharto menandatangani perjanjian dengan PT. Freepot untuk pertambangan tembaga di Papua hanya beberapa bulan setelah lolos menjadi Presiden. Dapatkah kebijakan politik Soeharto ini diparalelkan dengan kebijakan politik di Lembata? Apakah ada kesamaan? Apakah terdapat dugaan kepentingan politik serupa? Misalnya, dugaan kepentingan politik seperti apa untuk menganalisis alasan dikeluarkan SK sementara pengelolaan hutan Leragere? Dan dugaan kepentingan politik dan bisnis seperti apa, ketika Bupati dan Ketua DPRD Lembata menandatangani rekomendasi pertambangan untuk lokasi yang sama?

Analisis boleh saja menduga demikian. Masyarakat dapat saja menaruh curiga. Pemerhati masalah pertambangan sekalipun dapat berasumsi. Namun jawaban yang pasti dan jujur hanya ada dalam hati nurani para pemimpin politik di sana. Kalau benar dugaan bahwa keluarnya SK sementara pengelolaan hutan lindung saat itu bernuansa politis PILKADA, maka harap masyarakat Leragere maklum bahwa SK sementara itu akan gugur demi politik dan bisnis pertambangan saat ini. Tapi masyarakat juga berhak menduga bahwa pertambangan mungkin telah menjadi isu politik saat PILKADA dalam relasi politik dengan komunitas bismis pertambangan. Kita tunggu saja, apakah Uskup Larantuka dan para tokoh agama akan diundang dan beresedia menghadiri prosesi peresmian pertambangan? Jika ya, maka lengkaplah kolusi kekuatan politik, bisnis dan lembaga agama. Lalu rakyat yang tersisihkan hanya bisa berdoa agar prahara ini segera berlalu.

Melkhior Koli Baran, Direktur Walhi NTT periode 2001-2005, kini Ketua Flores Instiotute for Resources Development (FIRD).

Sumber: harian Flores Pos, 20 Maret 2007

Menjadikan rakyat sebagai objek? (Umpan balik untuk Charles Beraf)

REAKSI pro- kontra tentang rencana penambangan di Leragere-Lembata sungguh menarik untuk didiskusikan. Yang unik-menarik yaitu menempatkan kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Lembata di satu sisi dan membandingkannya dengan kondisi riil kehidupan ekonomi rakyat di sisi lain. Kondisi ini bisa diibaratkan "bagai tikus mati di lumbung padi". Mungkin dengan realitas ini, Pemkab Lembata sedikit berani menjadikan kerja sama investasi sebagai bagian dari program strategisnya. Langkah selanjutnya yaitu dikeluarkannya SK Bupati No. 37 Tahun 2005 tentang kerja sama untuk kegiatan investasi pertambangan. Sebuah surat sakti yang akhirnya menuai badai pro dan kontra.

Terhadap reaksi ini, Saudara Charles Beraf akhirnya mengajaksidang pembaca dan siapa saja yang peduli, bahkan terlibat dalam diskusi ini, hendaknya mengajukan tesis dan antitesis secara logis, tidak serta merta menolak dengan argumentasi yang irasional atau sekedar membandingkan dengan kasus di tempat lain seperti Lumpur Lapindo, Freeport, dan lain-lain. Argumentasinya yaitu penambangan di sana baru memasuki tahapan eksplorasi. Sebuah ajakan sekaligus tantangan buat bapa-ibu petani di Leragere dan sekitarnya. Demikian buah pikiran Saudara Charles Beraf dalam opini di bawah judul "Jangan Bertindak Bodoh" (Pos Kupang, Senin 18 Juni 2007).

Terlepas dari tesis dan antitesis merupakan sebuah tuntutan logis dalam tataran para intelektual dan kaum terpelajar, hemat saya keseluruhan alur berpikir yang nantinya melahirkan sikap dan tindakan, hendaknya juga tidak mengabaikan rakyat dalam domain analisis. Pertanyaan yang paling mendasar, entahkah rakyat di Leragere dijadikan subyek dalam bingkai investasi? Lebih jauh lagi, apabila rakyat petani di sana sudah dilibatkan secara aktif sejak awal rencana investasi, mengapa mereka begitu getol menuntut untuk dibatalkan?

Mengapa sosialisasi?

Dari pemberitaan media, kita semua pasti mengetahui ada begitu banyak komentar yang menegaskan bahwa reaksi kontra masyarakat lebih disebabkan oleh lemahnya sosialisasi dari pemerintah. Melalui kata sosialisasi itu sendiri bisa ditebak cara pandang seseorang yang masih menempatkan rakyat sebagai obyek. Pertanyaannya, mengapa sosialisasi dan bukan perencanaan yang partisipatif? Pengalaman sejarah mengungkapkan bahwa ketika rakyat masih dianggap sebagai obyek, maka secara tidak sadar kita telah menegasikan bahwakemiskinan rakyat disebabkan oleh rakyat sendiri (komunitas lokal) yang malas, bodoh dan lain-lain; tetapi bukan disebabkan oleh kita para pihak di luar rakyat. Dan anggapan ini sebenarnya agak bertolak belakang dengan apa yang tengah dialami rakyat.

Sebuah analisis yang menakjubkan, hasil pemikiran rakyat yang sempat terungkap pada saat deklarasi Jaringan Petani Wulan Gitan beberapa waktu lalu di Hokeng-Flores Timur. Dalam kertas posisi yang diberi judul "Epu Boit Gelekat Gewayan : Sebuah Upaya Menegakkan Kedaulatan Petani", para deklarator dengan tegas menyampaikan bahwa kemiskinan rakyat bukan disebabkan oleh alam, bukan pula oleh kebodohan dan kemalasan rakyat, melainkan disebabkan oleh pembodohan dari kaum sekolahan, penindasan oleh penguasa dan pengisapan oleh kaum pemodal. Itulah penyebab kemiskinan rakyat hasil refleksi rakyat berdasarkan pengelaman yang mereka alami dan rasakan selama ini. Dengan dasar pemikiran seperti ini, rakyat sebenarnya mau menuntut bahwa mereka tidak boleh lagi dipandang sebagai obyek, melainkan ditempatkan sebagai subyek. Itu berarti proses pembebasan semacam apa pun, hendaknya melibatkan rakyat sebagai subyek yang mestinya bisa memutuskan sendiri.

Pendekatan pembebasan dengan cara apa pun harus diputuskan oleh rakyat. Pemerintah, lembaga agama, LSM, pemodal dan pihak lain adalah sebagai pihak yang membantu tetapi bukan sebagai pengambil keputusan. Terhadap alasan ini kita hendaknya mulai belajar untuk bisa omong dengan rakyat, bukan sekedar omong tentang rakyat. Oleh karena itu, sosialisasi bukanlah sebuah pendekatan pemberdayaan, melainkan intervensi karena kepentingan pihak luar.

Ketika berbicara problem rakyat, saya teringat akan pengalamanbersama Gunawan Wirady, salah satu anggota tim perumus UUPA No 5 Tahun 1960. Dalam sebuah pelatihan agraria ketika beliau sebagai fasilitator, mengawali materinya beliau meminta kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan kita. Sebelum mengakhiri lagu, beliau sudah menangis sesunggukan. Setelah itu baru ia menjelaskan bahwa spirit dari lagu tersebut sudah sangat jelas bahwa "bangunlah" dulu jiwanya (rakyat), barulah bangun badan. Namun realitas yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Orang-orang yang mengaku sebagai pahlawan rakyat hanya mampu membangun badan, tapi tidak mampu membangun jiwa. Dan ketika konsep membangun badan selalu diutamakan tanpa memperhatikan aspek membangun jiwa maka yang terjadi adalah sebuah proses pemiskinan baru. Semua konsep pembangunan itu sendiri tidaklah lebih dari sebuah mitos, ceritera kosong tanpa makna. Bapak kita Soeharto yang dulu diidolakan sebagai "bapak pembangunan" akhirnya juga hanya sebuah mitos. Itulah pengalaman sejarah yang mestinya dijadikan guru untuk kita semua generasi penerus bangsa ini.

Tahapan eksplorasi

Lagi-lagi membaca alur berpikir Charles Beraf agar tidak cepat melakukan penolakan karena proses yang dilalui pemerintah bersama investor baru pada tahap eksplorasi, saya terus bertanya apa yang dipahami tentang eksplorasi? Hemat saya eksplorasi memang benar belum merupakan tahapan final, namun bila dilihat dari aktivitasnya, eksplorasi tidak jauh berbeda dengan eksploitasi. Itu berarti tanah-tanah komunitas lokal yang nantinya dijadikan obyek eksplorasi tidak bisa dihindari dari aktivitas penggusuran dan pengrusakan. Dantahapan-tahapan investasi pada tingkat apa pun kita mesti menempatkan rakyat terkhusus komunitas lokal menjadi tuan atas tanahnya, tidak sebatas sebagai obyek. Masyarakat Leragere dan sekitarnya harus dapat memutuskan sendiri aktivitas eksplorasi macam mana yang harus dilakukan, dan selanjutnya kesepakatan model apa yang harus diputuskan.

Pada tahapan-tahapan ini, pemerintah sebenarnya menempatkan diri sebagai administrator bukan pengambil keputusan final. Apabila bupati, wakil bupati dan DPRD tahu diri bahwa mereka dipilih oleh rakyat, termasuk oleh masyarakat Leragere dan sekitarnya, mereka bisa bertanya apa maunya masyarakat di sana, tidak serta merta melibatkan masyarakat lain yang tidak berhubungan langsung dengan lokasi rencana penambangan. Apabila hal ini tidak dipikirkan lebih dini maka kemungkinan konflik horizontal akan terjadi sesewaktu. Kasihan rakyat, diadudomba hanya untuk sebuah kepentingan investasi. Dan ketika itu pemerintah sebenarnya tengah mempertontonkan kegagalannya.

Melalui media massa, kita semua tahu bahwa konflik yang terjadi di sana saat ini yaitu antara pemerintah vs rakyat. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam benak saya, apabila pemerintah menempatkan diri sebagai administrator, konflik semacam ini sebenarnya tidak akan ada. Tapi tampaknya pemerintah justru berpihak pada investor, bukan berpihak pada rakyat. Dan dalam sejarah pertambangan di republik ini belum pernah mengungkapkan terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai dampak dari kehadiran investasi di bidang pertambangan. Justru yang terjadi yaitu konflik antara rakyat di satu pihak dengan pejabat negara dipihak lain. Kita hendaknya berguru pada pengalaman di tempat lain di antaranya Freeport di Papua, Lapindo di Jawa Timur dan sejumlah kasus lain serupa yang berkaitan dengan sumber agraria, termasuk di antaranya penembakan mati warga tani pada tragedi Rabu berdarah 10 Maret 2004 di Kota dingin Ruteng - Manggarai yang merenggut 6 nyawa tani, 29 bersimbah darah dan 7 menanggung cacat seumur hidup; dan tragedi di Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur pada Rabu 30 Mei 2007 yang mengakibatkan 4 warga tewas dan 6 luka-luka; serta sederetan kasus lain yang telah terjadi di belantara tercinta republik saat ini.

Ini sebuah realita, entah masuk dalam kategori antitesis yang logis? Teramat prematur untuk menilainya. Namun yang kita tahu, dari dulu sampai sekarang Indonesia ini terkenal kaya, sudah begitu banyak investasi di bidang pertambangan namun angka kemiskinan tidak pernah mengalami penurunan secara signifikan. Pertanyaannya, belenggu mana mengganjal? Jawaban yang paling obyektif ada pada bapa- ibu tani, termasuk sama Saudara kita di Leragere dan sekitarnya.

Thomas Uran, staf Yayasan Ayu Tani, tinggal di Hokeng - Flores Timur
Sumber: Pos Kupang, 25 Juni 2007

Jangan berpikir bodoh (Awasan untuk Charles Beraf)

TULISAN Charles Beraf dengan judul "Jangan Bertindak Bodoh" yang dimuat di Harian Pos Kupang (18/6/2007) memang sangat menukik. Menarik untuk dicermati lebih serius. Letak keseriusannya, hemat saya, bukan karena judulnya yang yang vulgar atau terlalu sensasi tetapi apakah isi tulisan itu mengontribusi nilai pencerahan kepada publik atau tidak. Inilah persoalannya.

Kita boleh sepakat bahwa problematik industri ekstraktif di Lembata merupakan pelajaran berharga untuk mendesain demokrasi kita secara arif dan proposional. Beraf dalam tulisannya menguraikan hal itu secara sistematis. Menurutnya, prinsip diskursus demokrasi: semakin kuat antitese, semakin kuat pula diskursus demokrasi yang terbangun di tengah masyarakat. Itu benar. Dan itulah faktum yang sedang berbicara di Lembata sebenarnya.

Dengan kata lain, semakin derasnya protes dan gelombang demonstrasi (baca:antitese) dari rakyat atas proyek pertambangan ini (baca:tese), maka semakin terkukuhnya pendirian demokrasi (baca:sintese). Lalu, mengapa Beraf berteriak "jangan bertindak bodoh" kalau memang antitese-antitese itu adalah logika substansial demokrasi. Ataukah Anda yang mengsinterpretasi secara keliru (error interpretation) atas upaya demokratis rakyat kecil seperti ini. Kecemerlangan ide Anda mengalami peruntuhan mutlak di sini ketika tese, antitese dan sintese yang Anda bangun terkontradiktif an sich.

Biarlah rakyat menentukan sendiri wajah demokrasi mereka. Sudah lama zona demokrasi mereka dipasung dan dipenjara. Sejauh, mereka tidak mengusung "antitese" dalam bentuk kekerasan fisik. Demokrasi butuh proses. Apa pun alasan dasar di balik pro-kontra proyek industri ekstraktif Lembata, yang pasti demokrasi terus berproses menjadi (in the making) menuju kematangan.

Alex Inkeles (Introduction: On Measuring Democracy, 1990), demokrasi ibarat pengembara di padang pasir, yang dalam perjalanannya mencapai tanjakan-tanjakan kecil, terkadang lintasan terjal berliku, hingga akhirnya mencapai ketinggian tertentu. Kita boleh katakan, demokratisasi di Lembata baru ada pada level "terjal". Itu berarti perjalanan demokrasi dan tantangannya semakin luas dan kompleks.

Saya "angkat jempol" kepada penulis warga Takaplager ini, karena ia juga mengusung UU No. 23 /1997 tentang pengelolaan lingkungan, sebagai kerangka acuan proyek pertambangan Lembata. Setidaknya, menurut Charles, ada tiga tahap AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan). Saya berpikir, ini hal yang penting. Eksplorasi kekayaan alam harus dimbangi dengan pemeliharaan (duty of care) atas alam itu sendiri.

Hanya rakyat kecil (kontra) tidak tega menunggu proses itu. Kasus Freeport dan Lapindo adalah "guru" paling berharga bagi mereka. Kalau Charles melihat kasus Lapindo dan Freeport berakar pada soal "ketidakcermatan" survai, maka saya menepis pendapat Anda dalam ranah ini. PT Lapindo atau Freeport merupakan industri ekstraktif yang terbesar dan lebihterprofesional di negeri ini.

Tentunya, para ahli dengan segala keahlihan dan kecermatan sudah melakukan survai. Bahkan, mereka mengikuti kerangka acuan AMDAL, RKL, dan RPL seperti apa yang juga "dimutlakkan" oleh Charles atas proyek pertambangan Lembata. Atas hasil survai para ahli ini pun maka "palu" pun diketuk tanda proyek segera dimulai. Sayangnya, hasil survai para ahli profesional (baik ahli asing maupun pribumi) kedua PT besar ini berujung pada situasi yang mencekam. Bukan hanya habitus envioromental yang rusak tapi manusia itu sendiri terancam: kesengsaraan, pengungsian, kesakitan bahkan kematian. Lagi-lagi siapa yang bertindak bodoh?

Saya kira rakyat tidak terlalu bodoh untuk "menunggu" pertambangan Lembata berakhir dengan drama "ratap tangis’ seperti apa yang dialami oleh saudara-saudarinya di Papua atau di Jawa. Kalaupun kita menunggu, taruhannya sangat mahal. Antara mati atau hidup! Saya merasa heran dengan pemimpin kita, seakan-akan tanpa pertambangan ini kita tidak akan bisa hidup lagi. Rakyat sudah lama hidup tanpa industri tambang seperti ini, toh mereka masih bisa hidup. Jangan-jangan ada udang di balik batu.

Kearifan rakyat kecil yang kerap "dicap" bodoh perlu dicontohi oleh para pemimpin atau siapa saja, termasuk penulis Takaplager yang menulis opini "Jangan Bertindak Bodoh". Kalau saja Hobbes bisa diajak bicara sekarang, maka teorinya tentang "Leviathan" di mana rakyat dengan natural liar berperilaku biadab perlu ditertibkan akan ditentang habis-habisan. Yang perlu ditertibkan sekarang adalah tabiat pemimpin yang tidak "beres". Pemimpin yang tidak mendengarkan orang lain, yang semestinya didengari yaiturakyatnya sendiri. Kebiadaban tahbiat ini meluas dengan praktik kecolongan "mulut kotor" termasuk mencap orang lain yang berseberangan pendapat: bodoh, sampah, binatang dan boleh anda tambah sendiri yang lain.

Logika pembangunan daerah itu baik. Promosi dan cari investor sebanyak-banyaknya untuk menanam investasi di daerah kita juga tidak keliru. Hanya, kadang tujuannya baik tapi caranya "kurang elok". Rakyat tidak diberi "common space" untuk berbicara. Saya pikir ini dasar substansial pemotresan masyarakat. Artinya, baik pihak pro maupun kontra berpijak pada argumentasi masing-masing. Tapi apalah artinya kalau hanya mutlak-mutlakan antitese-antitese sendiri yang tidak solusif. Itu hanya mengerucutkan nalar sosial kita kepada titil nol.
Banyak persoalan yang terpresepsi dalam masyarakat oleh motif rasionalisasi "tujuan baik cara buruk". Unsur tujuan dijagokan sementara aspek cara yang bersifat pencerahan diabaikan.

Misalkan saja, tujuan Charles dengan tulisannya: Jangan Bertindak Bodoh! Tujuannya baik, hanya cara mengapresiasinya, hemat saya, tidak mencerahkan publik. Itu juga dosa demokrasi. Karena dalam ranah demokrasi silang pendapat itu biasa tapi mencaci maki orang lain, apalagi mencap orang lain bodoh adalah kutukan berat atas pertumbuhan demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, adalah keliru besar kalau kita menangani konflik pertambangan Lembata dengan jurus maki-makian, mutlak-mutlakan, dan apalagi mencap orang lain "bodoh". Semua perilaku biadab ini tidak pada tempatnya. Perilaku seperti ini hanya menampilkan kebanalitasan kita. Lihat, sekarang kita "berkelahi" antara rakyat (pro) dengan rakyat(kontra) bahkan rakyat dengan DPR atau Bupati tapi PT. Merukh Enterprise tinggal duduk manis dan senyum "diam-diam".

Kalau saja rakyat bisa diajak intervensi, maka mereka juga akan berteriak hal yang sama "jangan berpikir bodoh". Karena bagaimanapun, don’t step on the underdogs (istilah Sutan Syahrir). Jangan pernah menginjak orang yang sekarat!

Fidel Hardjo, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
Sumber: Pos Kupang, 25 JUni 2007

Pertanian vs pertambangan

PRO kontra tentang rencana tambang di Lembata terus bergulir. Dalam pergumulan diskusi yang berkepanjangan, ada nuansa pencerahan walau terkadang sedikit menyebalkan. Itulah dinamika sosial yang merupakan keniscayaan bagi sebuah bangsa yang baru belajar berdemokrasi. Dalam perdebatan maha panjang yang telah menguras waktu dan energi, sepertinya baru sedikit yang mengerucut pada analisis untung-ruginya tambang bagi masyarakat. Padahal analisis ini amat penting untuk dapat membantu komunitas lokal dalam menentukan sikap.

Terlepas dari pertimbangan keuntungan tambang sehingga mendorong Pemkab Lembata untuk tetap bertahan pada pilihan bekerja sama dengan investor, melalui media massa saya belum pernah menemukan argumentasi logis sekitar apa untungnya tambang bagi komunitas lokal. Mungkin baru sekali media ini menurunkan komentar seorang Yusuf Merukh yang katanya akan menginapkan warga di apartemen dan membangun sekolah favorit. Komentar selebihnya baru sebatas asal omong karena bukan dari orang kunci yang akan melakukan aktivitas langsung atas usaha tambang. Tanpa mengurangi niat baik tokoh kunci ini, saya mencoba membandingkan dengan investasi di sektor pertanian mengingat dominasi penduduk di lokasi calon tambang adalah sebagai petani.

Tanah sebagai modal

Ketika mengikuti pemberitaan media massa tentang reaksi penolakan warga Leragere dan Kedang, bagi orang yang terlahir dari rahim petani, pastimengarahkan nalar-nurani pada mereka yang sering tak beralas kaki, bahkan bertelanjang dada di teriknya matahari dan di tengah guyuran hujan lebat. Demi sesuap nasi, secangkir kopi pahit dan kalau masih ada lebih bisa membiayai sekolah anak-anaknya walau hanya di bangku sekolah dasar, bapa ibu petani berjuang tanpa pamrih sampai batas darah penghabisan. Cucuran keringat mereka sangat menentukan masa depan anak dan cucunya, bahkan untuk kita yang bukan petani. Kita yang tidak berprofesi sebagai petani harus sadar bahwa kita masih bisa makan karena ada petani. Mereka yang menghasilkan bahan makanan, termasuk pangan olahan siap saji yang mudah ditemukan dari pasar kampung hingga super market, karena bahan dasarnya dihasilkan petani. Oleh karena itu, apabila tanah yang merupakan satu-satunnya sumber hidup petani akan direbut, pasti mereka berkebaratan bahkan marah. Itulah logika berpikir bapak - ibu petani.

Dengan reaksi protes ini, bapak-ibu petani mau mengungkapkan bahwa tanah menjadi satu-satunya modal hidup mereka. Dengan demikian tidak mengherankan apabila orang-orang kampung yakin dan membatini sungguh tentang tanah. Hal ini terwujud dalam berbagai pengakuan dan ungkapan-ungkapan adat. Misalnya penduduk Tana Ai di perbatasan Kabupaten Sikka-Flores Timur meyakini hakekat tanah dalam ungkapan "teri naha ora nian, era naha ora tana, ia na ewan bekat me-pu, tena moret dua dedi". Kata ini apabila diterjemahkan secara harafiah mengandung makna bahwa hanya dengan tanah, petani dapat hidup. Atau dengan kata lain, tanah adalah ibu kehidupan para petani.

Kembali pada pokok persoalan tentang rencana tambang, rasa-rasanya amat logis apabila warga Kedang dan Leragere merasa terancam, mungkin disebabkan oleh pemahaman dasar semacam ini. Bapak-ibu petani merasa khawatir bahwa modal hidup pertama dan utama yang ada pada mereka yaitu tanah, akan direbut oleh pihak lain yang mengandalkan modal uang, teknologi, kemampuan intelektual, skill, dan kedekatan dengan penguasa. Bapak-ibu petani sama sekali tidak membutuhkan uang atau emas karena belum tentu akan memberi jaminan hidup kepada mereka secara berkelanjutan. Dengan berbagai aksi ini, warga petani di Leragere dan Kedang mau menyampaikan bahwa kemiskinan petani justru karena kebijakan struktural negara yang kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Soal distribusi tanah

Tanpa mengerti tentang tambang pun, orang akan paham atas sikap penolakan warga dengan menggunakan basis argumentasi pada aspek distribusi tanah. Bayangkan saja, hanya untuk memenuhi keinginan seorang investor, pemerintah harus menyiapkan ribuan hektar tanah, bahkan menggusur komunitas lokal dari tanahnya sendiri. Ironisnya lagi, untuk memuluskan akal bulusnya, investor katanya mau membangun apartemen untuk menginapkan warga petani. Apakahdengan apartemen akan menjamin terwujudnya konsep kehidupan yang berkelanjutan? Dugaan saya, bapak ibu petani yang melakukan aksi penolakan, punya pandangan lain. Mereka lebih mengerti secara baik tentang problemnya, tentang konsep hidup yang berkelanjutan. Atas pertimbangan tersebut, sudah tidak pada tempatnya lagi seorang pejabat publik berargumentasi karena ketidaktahuan soal tambang, lalu melakukan studi banding ke lokasi tambang di tempat lain dan di sana hanya sebatas berdialog dengan pejabat dan investor.

Sebuah studi banding yang diragukan kualitasnya.

Sekadar pembanding, pada tahun 1990 diketahui jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,2 juta, yang mana 17,8 juta berada di desa dan berprofesi sebagai petani. Di tengah gejolak kemiskinan rakyat petani yang disebabkan oleh menyempitnya areal pertanian, kurang lebih 1.206 perusahaan menguasai tanah untuk usaha perkebunan mencapai 3,80 juta Ha, untuk usaha kehutanan mencapai 53 juta Ha, belum termasuk untuk investasi pertambangan (sumber: Menyatakan Keadilan Agraria, KPA Tahun 2000).

Bisa dibayangkan apabila rencana tambang di Lembata dipaksakan untuk diterima, maka kita tengah melakukan ketimpangan dalam hal pendistribusian tanah. Seorang investor diberi hak untuk mengelola ribuan hektar tanah, sementara ribuan rakyat petani di Kedang dan Leragere yang hidupnya hanya bergantung dari tanah ditelantarkan. Apabila hal ini dibiarkan maka kita tengah melakukan proses pemiskinan bahkan pembunuhan terhadap rakyat kita sendiri.

Dengan pertimbangan semacam ini, maka secara ekonomis, keputusan politik menghadirkan investor tambang tidak menguntungkan petani. Tanpa sekolah pun orang akan tahu bahwa dari aspek distribusi tanah yang demikian, merupakan praktek pemiskinan struktural. Apabila tambang dipaksakan, maka Pemkab Lembata dengan tahu dan mau melakukan pembunuhan secara sistematis terhadap rakyatnya sendiri. Pemerintah lebih tunduk pada kekuatan modal ketimbang menegakkan hak-hak asasi rakyat petani kebanyakan. Begitu pula analisis ini bila dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja. Dari aspek tenaga kerja, usaha pertanian lebih menjamin terjadinya penyerapan tenaga kerja secara maksimal, ketimbang tambang, karena pekerja tambang harus membutuhkan keahlian khusus dan keahlian itu tidak dimiliki oleh komunitas lokal.

Kemudian pertimbangan ekonomis ini perlu ditelusuri lebih jauh ke soal pajak dan royalti. Pertanyaannya, berapa kemungkinan pemasukan pajak dari seorang investor tambang untuk memperkuat modal pembangunan di Lembata? Rasa-rasanya belum ada data akurat yang memperhitungkan soal ini. Terhadap pertanyaan ini, tentunya pihak Pemkab Lembata dan investor pasti berargumen bahwa pertimbangan tersebut belum dapat disampaikan kepada publik karena tahapan yang dilalui saat ini baru sebatas eksplorasi. Lagi-lagi harus pula diingat bahwa analisis ekonomis yang menguntungkan sekalipun belum bisa dijadikanjaminan hanya dengan sebuah penuturan lisan karena dalam administrasi negara, belum pernah menggunakan tuturan lisan sebagai dasar hukum atau sebagai jaminan. Oleh karena itu teori kesangsian harus tetap dibangun dan dijadikan spirit dalam memperjuangkan hak-hak warga negara.

Terlepas dari pertimbangan ekonomis terkhusus pada aspek pajak dan royalti, sebagai aktivis sosial yang bergelut pada persoalan pertanian, saya lebih cenderung melihat bidang pertanian sebagai basis andalan untuk peningkatan pendapatan asli daerah. Misalkan saja sekian ribu hektar tanah diefektifkan untuk usaha pertanian dan ternak, jauh lebih menguntungkan ketimbang investasi pertambangan. Sebuah contoh sederhana, misalkan saja 1 hektar tanah diefektifkan oleh seorang petani dengan menanam mahoni sekitar 1.000 pohon dengan jarak tanam 3 x 3 m. Pada sepuluh tahun kemudian 1 pohon mahoni bisa dijual seharga Rp 500.000,00, maka penghasilan yang dicapai petani dari 1.000 pohon mencapai Rp 500.000.000,00. Ini baru merupakan pertimbangan kasar karena harga kayu akan terus melonjak, belum termasuk pertimbangan stok pangan rakyat karena di bawah naungan mahoni dapat dikembangkan tanaman pangan semisal keladi dan berbagai jenis umbi-umbian. Kalkulasi demikian bisa dikembangkan dengan komoditi lain di sektor kehutanan seperti kemiri, kakao, bahkan hortikultura.

Apabila analisis ini diterima dan disepakati bersama petani, dengan mempertimbangkan kebutuhan rutin penyelenggaraan kepemerintahan yang juga membutuhkan dana, bisa disepakati berapa pajak yang harus disetor petani. Misalkan saja 1 pohon mahoni apabila terjual dan pemerintah diberi hak memungut Rp 10.000,00/pohon saja, maka dalam 1 hektar dengan total populasi mahoni mencapai 1.000 pohon, dapat memberi kontribusi kepada daerah mencapai Rp 10.000.000,00.

Soal jaminan

Mengikuti pemberitaan media sekitar aksi penolakan, saya begitu bangga dengan perjuangan sama saudara petani di Leragere dan Kedang saat ini. Letak kebanggaan saya lebih pada sikap mereka yang tidak serta merta menerima janji investor yang katanya akan menginapkan mereka di apartemen mewah dan membuka sekolah favorit. Mereka justru melakukan antitese versi orang kampung yang tahu etika adat dengan melaksanakan ritus adat. Antitese yang demikian merupakan sebuah pilihan cerdas, bukan sekadar berkoar atau tunduk pada kemauan elite politik, sekalipun pejabat publik adalah pilihan mereka.

Melalui ritus adat para petani sebenarnya mau menyampaikan bahwa mereka tidak butuh apartemen, sekolah favorit, atau pesawat terbang. Mereka bisa hidup hanya dengan mengandalkan tanah dan tanaman. Seorang petani dampingan kami pernah bercoleteh "uang kami punya akar, ia bisa berbunga dan berbuah banyak, tergantung pada keringat kami sendiri. Simpanan kami yaitu tanaman yang kamitanam". Dari pengakuan ini jelas mengungkapkan bahwa petani akan hidup secara berkelanjutan dari usaha pertanian, bukan tambang. Di mana-mana kita sudah menyaksikan begitu banyak dampak negatif dari tambang.

Kita telah gagal di era kepemerintahan sebelumnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat justru terletak pada kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Pertanyaan paling sederhana untuk pemkab dan DPRD Lembata, apakah dengan hadirnya investasi tambang akan ada jaminan bahwa masyarakat di wilayah ini terkhusus masyarakat di calon lokasi tambang dapat memenuhi kebutuhan dasar pangan, kesehatan dan pendidikan secara memadai dan berkelanjutan? Entahkah problem rakyat selama ini justru terletak pada belum adanya tambang? Kita hendaknya mulai belajar dari rakyat dengan adanya kasus ini. Saya menduga rakyat petani punya banyak pesan di balik demo damai dan ritus adat yang merupakan antitese yang teramat logis. Oleh karena itu, seorang pejabat publik pilihan rakyat tidak semestinya berargumen karena ketidaktahuan soal tambang, melainkan membangun visi dan misi bersama rakyat.

Terlepas dari sekian banyak argumentasi yang dapat ditinjau dari berbagai aspek dan tidak kurang pula akan bernuansa kepentingan, ada satu pembelajaran yang patut kita petik dari pelaksanaan ritus adat dan demo damai yaitu sudah bertumbuhnya kesangsian di pihak rakyat terhadap konsep dan teori pembangunan. Sebuah fakta kemajuan yang mungkin tidak pernah diperoleh melalui sekolah formal sebelumnya, melainkan terlahir dari refleksi akan pengalaman. Kesangsian merupakan energi untuk menemukan imajinasi baru demi menjamin hidup yang berkelanjutan.

Oleh Thomas Uran

Sumber: Pos Kupang, 14 September 2007