Friday, November 23, 2007

SIAPA BERANI MENGUSIK TIDUR 'BARON Of MINING'

(Sebuah catatan penting tentang kasus tambang di Lembata)
Oleh: Ferdinand Lamak *
[Tulisan ini pernah dimuat di Harian POS KUPANG]

PROTES warga beberapa desa di Kecamatan Lebatukan, Lembata terhadap Pemda Lembata lantaran telah melakukan kesepakatan dengan investor (Merukh Enterprises) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas kandungan emas dan tembaga di wilayah itu, kini menjadi kian kusut saja. Sikap Pemda Kabupaten Lembata dalam menghadapi protes warga sejumlah kampung itu pun tampak jauh dari wajah yang ramah. Wajah ramah yang harusnya ditunjukkan secara arif oleh para pemimpin pemerintahan yang sejatinya melayani ‘tuan besar’ bernama rakyat itu. Pemda begitu defensif-nya (membentengi diri), bergeming dengan sikap awalnya dengan logika "Pokoknya kita jalan terus!" Ironisnya, sikap ini memberikan kepada kita kesan, seolah Pemda Lembata adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengeksekusi kepentingan investor di Lembata. Saya malah lebih cenderung menyebut kondisi yang kini dialami oleh Pemda Lembata sebagai sebuah ‘keterjebakan’ di dalam perangkap yang mereka pasang sendiri. Hasilnya, maju dihadang rakyat, mundur dihadang investor. Serba salah!Membabibutanya sikap Pemda Lembata yang bersikukuh untuk melanjutkan rencana penambangan itu, sejenak memunculkan pertanyaan yang menggelitik di dalam benak saya. Siapakah sesungguhnya Merukh Enterprises (ME) itu, hingga membuat pemimpin-pemimpin di Lembata sana menjadi ‘hilang pendengaran’ terhadap jeritan warganya yang menolak penambangan itu? Bukankah, mereka-mereka inilah yang telah menjadikan Anda sebagai pejabat tertinggi di seantero Lembata?Sudah sangat banyak pandangan, analisis maupun catatan kritis yang menyoroti kasus penambangan di Lembata ini. Aspek cost of environment (biaya yang muncul karena tercemarnya lingkungan hidup) memang selalu menjadi dasar pertimbangan utama dalam sebuah rencana eksploitasi material dari perut bumi. Bahkan dengan adanya kasus ini, tidak saja orang cerdik pandai yang bicara tentang lingkungan hidup. Rakyat di Leragere, Lebatukan dan sekitarnya pun menjadi lebih fasih berbicara tentang isu-isu lingkungan hidup, terutama mengenai dampak penambangan di kampung mereka, terhadap ekosistem di sekitarnya, kelak.Pemda sendiri sejauh ini sepi dari argumentasi yang logis dan rasional. Satu-satunya alasan yang selalu dikemukakan adalah benefit ekonomi yang akan diperoleh dari penambangan itu. Komentar itu juga yang saya dengar langsung dari seorang pejabat di lingkungan "think tank’ Pemda Lembata. "Lembata akan jadikabupaten yang kaya raya, karena deposit emas dan tembaga di sana nomor satu di dunia," ungkap sang pejabat itu, tanpa tahu apa yang dimaksudkan dengan ‘nomor satu’ itu.Sebagai orang sehari-hari berhimpitan dengan isu seputar investasi dan dunia ekonomi bisnis, hemat saya, argumentasi benefit ekonomi yang kerap dikemukakan Pemda Lembata selama ini pada titik tertentu dapat diterima. Tetapi, betapapun benefit itu membuat air liur kita meleleh-leleh, komparasi dengan cost yang akan ditanggung pun harus segera menyadarkan Pemda Lembata pada pertimbangan rasional, apakah rencana ini akan dilanjutkan atau tidak.Saya agak terheran-heran ketika ada pejabat di lingkungan Pemda Lembata yang selalu berbicara bahwa penambangan ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sungguh, jika benar sejatinya penambangan ini akan memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat, lalu mengapa mereka protes? Pertanyaannya sederhana saja. Pernahkah Anda mendengar berita bahwa ada rakyat yang menolak disejahterakan oleh pemerintahnya? Saya sendiri merasa yakin bahwa rakyat Lembata belum sampai pada titik ‘tidak waras’ untuk menolak jika ada pihak yang datang menawarkan diri melepaskan mereka dari belenggu keterbatasan ekonomi. Menjadi lebih konyol lagi, pemerintah justru bersikukuh untuk tetap membuka penambangan itu untuk kesejahteraan rakyat. Masa ada pemerintah yang datang dan berkata kepada rakyatnya, "Pokoknya kamu setuju atau tidak, tetapi minggir, kami mau mensejahterakan kalian." Konyol bukan?Meskipun mengusung logika penambangan itu sebagai sebuah upaya ‘menyejahterakan’, warga pun kemudian menolak. Mereka tidak ingin disejahterakan melalui sebuah eksploitasi perut bumi Lembata. Dilihat dari riwayat penolakan tambang di negeri ini, tidak pernah ada kasus dimana warga ditangkapi dan dibui lantaran memrotes dan menolak disejahterakan. Tetapi sebaliknya, masalah justru sering menimpa pihak yang secara diam-diam menandatangani nota kesepakatan itu. Ketika deal-deal rahasia antara pemda dan investor, konsesi-konsesi serta iming-iming menggiurkan, hingga membuat MoU itu ada, lalu pada giliran pelaksanaannya mengalami kendala, siapa yang akan disalahkan? Investor tentu saja tidak akan menerima begitu saja ketika salah satu pihak melanggar nota kesepakatan itu. Jika demikian, maka pertanyaannya kini, apa sebetulnya yang tengah terjadi di balik ngototnya Pemda Lembata ini?Siapakah sesungguhnya Merukh?Nama Merukh sejak September silam mulai santer terdengar di Lembata. Mulai dari kabar bahwa pengusaha ini akan masuk ke Lembata untuk menambang emas dan tembaga di sana hingga aksi protes yang dilakukan oleh warga bakal lokasi penambangan itu. Nama Merukh seketika menjadi buah bibir. Namun, pertanyaan selanjutnya, siapa sesungguhnya pria ini?Bagi pria kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, yang bernama lengkap Jusuf Merukh ini, persoalan di Lembata mungkin sebuah persoalan yang ‘kecil’ sepanjang pergumulannya dengan urusan tambang menambang. Merukh, anak dari pasangan Yunus Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros, Sulawesi Selatan, yang kemudian bekerja di perusahaan swasta milik Belanda), dan Esther Merukh itu, kemudian beranjak remaja di Ujung Pandang (kini Makassar).Debut awal lulusan S-1 di Texas Agricultural and Mechanical University, AS ini di dalam dunia pertambangan, bermula ketika ia mendapat HPH (hak pengelolaan hutan) yang kemudian membuatnya berhasil membeli 500 kuasa pertambangan, sampai akhirnya ia menguasai sejumlah tambang emas di Indonesia. Semua itu ia peroleh karena kedekatannya dengan kekuasaan di masa silam. Apalagi, Merukh sendiri sempat terkenal sebagai salai satu tokoh Partai Nasional Indonesia. Di masa Bung Karno, misalnya, Merukh termasuk salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan negara. Tapi juga kepentingan keluarga presiden. Sebagai Ketua PNI Jakarta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno ingin membuat sertifikat tanahnya, Ibu negara ini tak segan-segan meminta bantuan Merukh.Menurut pengakuan Merukh kepada sebuah Tabloid Ekonomi Bisnis terbitan Jakarta, 1997 silam, kekayaannya bermula dari HPH yang dipegangnya. HPH itu ia kontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Merukh sendiri ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti. Masuknya Merukh ke pertambangan sendiri berawal dari ajakan seorang teman warga negara Amerika Serikat, bernama Tony Branco. Dengan modal tabungan sebanyak US$ 5 juta, Merukh membeli tak kurang dari 500 hak kuasa pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu, mencari chrom. Tapi sial, yang ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya.Kendati ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangaan dari Pulau Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertamanya. Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya menyetujui usulan bekas Ketua DPRD DKI ini.Pada awal 1990-an, nama Merukh sudah tidak banyak terdengar, kecuali ketika ia dan Gerry Mbatemoi disebut-sebut dalam kisruh dalam tubuh PDI pimpinan Drs. Suryadi. Namun di kurun waktu 1996-1997, namanya mencuat seiring dengan mencuatnya sengketa mengenai siapa yang berhak mengelola deposit emas yang sangat besar di Busang, Kalimantan Timur. Jusuf, yang mengaku sebagai penemudan pemilik tambang emas Busang (bahkan konon nama Busang itu dia yang berikan). Merasa sangat dirugikan, ia menggugat Bre-X, perusahaan penambangan emas dari Kanada. "Kalau saya menemukan tambang, akan dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke dalam untuk kerja sama," katanya kepada tabloid itu.Kini Merukh menjadi pemilik legal right bagi pertambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Busang itu, menurut Jusuf, bukan barang yang tidak bertuan. "Saya yang menemukan, dan sudah keluar 20 juta dolar sekian untuk membuktikan itu. Uangnya dari mana? Saya pinjam. Kalau kita meminjam dari seseorang, kemudian diserahkan ke orang lain-lain, ‘kan saya bisa dituntut. Pengacara-pengacara saya juga bisa nuntut saya."Nah, dari gambaran mengenai siapa sesungguhnya Merukh di atas dengan segala sepak terjangnya di dunia pertambangan nasional, maka saya memperkirakan, langkah Pemda Lembata ini cenderung menjebak diri sendiri. Kiprah Merukh yang kerap dijuluki ‘Sang Veteran’ atau "Baron of Mining’ ini sudah menunjukkan bahwa beberapa sengketa penambangan akibat dilanggarnya MoU, akhirnya ia menangkan. Bagi Pemda Lembata saat ini, maju kena, mundur pun kena. Tentu saja, tergantung klausul dari MoU yang mereka tandatangani. Ini seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak eksplorasi tambang emas Martabe, di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.Implikasi yang lain yang mungkin timbul adalah, jika eksplorasi merekomendasikan bahwa kandungan emas dan tembaga di dalam perut Lembata layak dieksploitasi, maka belum tentu ME akan menggelontorkan investasi untuk menanganinya. Apalagi jika prinsip bermitra dengan investor asing sudah lama menjadi prinsip Merukh dalam berbisnis di dunia pertambangan, bukan tidak mungkin pola ini pun akan diterapkannya di Lembata. Catat saja beberapa fakta berikut, dalam Kontrak Karya PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) PT. Tanjung Sarapung milik Merukh, mendapat saham 20%. Demikian juga di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), melalui bendera PT Pukuafu Indah, Merukh mengendalikan 20% saham perusahaan itu.Di dalam bisnis, pola seperti ini merupakan hal yang wajar. Konsesi terhadap goodwill, atau intangible asset lain dalam bentuk kepemilikan saham (share) adalah hal yang normal. Tetapi ini akan menjadi petaka besar bagi warga Lembata, dan bukan tidak mungkin akan menjadi mimpi buruk juga bagi masyarakat di dua kabupaten terdekat, Flores Timur dan Alor, jika limbah (tailing) kemudian dialirkan lewat pipa bawah laut untuk dibuang ke tengah laut.Yang menjadi sangat memilukan, semua dampak yang timbul dari ekploitasi tambang tidak langsung dirasakan sekarang. Bahkan sampai masa jabatan bupati dan Wakil Bupati Lembata saat ini usai pun, dampaknya belum terasa. Tetapi tunggu, nanti pada 10 hingga 15 tahun setelah eksploitasi dilakukan, bukan tidakmungkin berita mengenai kasus pencemaran lingkungan di Lembata dengan korban rakyat jelata, akan menghiasi wajah koran ini saban harinya. Sama seperti yang dialami oleh warga di sekitar 527.448 hektar lahan yang menjadi wilayah operasi PT Newmont Minahasa Raya, di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pernahkah terbayang oleh warga setempat bahwa Kontrak Karya yang disetujui oleh Presiden RI kala itu, Soeharto, pada 6 November 1986, kemudian akan melahirkan kasus pencemaran lingkungan yang sempat heboh pada 2004 silam?Dilema Pemda Lembata dalam kasus rencana penambangan ini, hanya akan berakhir jika Pemda Lembata tidak melihat MoU sebagai sebuah awal dari kiamat jika melanggarnya. Jika masih meyakini bahwa suara rakyat adalah Suara Para Leluhur, Lewo Tana, Leu Au’ dan Suara Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka tak perlu takut membangunkan, sekalipun itu "Sang Baron" yang tengah nyenyak tertidur pulas. Jika sudah cukup lama, banyak kebijakan yang tidak menggunakan hati nurani maka, kini pergunakanlah. Sebagaimana nasihat nan arif dari para leluhur Lamaholot berikut ini, "Peten penukut taan onet." (Yang Berarti: Pikirkanlah dan renungkanlah dengan hati nuranimu, sebelum membuat keputusan).

* Penulis, Putera Lamaholot, Wakil KetuaDPD NTT, Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)

SIMALAKAMA CSR

*Ferdinand Lamak
(Tulisan ini pernah di publikasikan di Harian POS KUPANG)

Ditengah merebaknya pro dan kontra tentang masuknya investasi pertambangan di beberapa kabupaten di NTT, di Senayan-Jakarta, pertengahan Juli silam, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas (RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No 1/1995. Secara makro, produk hukum paling anyar ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ‘aroma investasi pertambangan’ yang sedang menyeruak di NTT. Namun, satu pasal yang membuat kelompok swasta (korporasi) terkaget-kaget yakni mengenai kewajiban perseroan mengalokasikan dana Corporate Sosial Responsibility, agaknya perlu juga dicermati oleh warga NTT, yang Pemda-nya kini tengah bergairah menebar pesona, memancing investor datang ke sini.Di dalam pasal 74 Undang Undang itu, Ayat 1 menyatakan: Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sementara, ayat 2: Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3: Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4: Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.Kelahiran undang undang ini, telah meletupkan peta reaksi yang terpola dalam dua kelompok. Kelompok pengusaha, memberikan reaksi negatif, menolak. Mereka khawatir, ini akan jadi pasal ampuh yang akan melahirkan pungli oleh pemerintah (pemda) maupun preassure (tekanan) dari masyarakat tempat dimana perusahaan beraktifitas. Dan ini akan menghambat incoming investment dari luar.Sedangkan bagi pemerintah, masyarakat dan LSM, ini adalah kabar baik. Pemerintah dan DPR memiliki argumentasi bahwa kewajiban CSR ini ditujukan untuk menopang terselenggaranya good corporate governance di kalangan dunia usaha sehingga iklim usaha menjadi kondusif. Perusahaan tidak bisa lagi semena-mena dalam mengeksplorasi sumberdaya alam, dan menutup mata terhadap program CSR yang terencana (under budgeting) dan dapat dipertanggungjawabkan (auditable).Konsepsi 'Corporate’ & ‘Corporate Social Responsibility'Konsepsi CSR diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, 'It refers to the obligations of bussinesman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society' (Bowen dalam Caroll, 1999:270).Para pendukung konsep CSR juga berargumentasi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih luas dari sekadar mencari untung dan taat hukum terhadap para pemegang sahamnya. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isu-isu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004).Lebih jauh, Garriga dan Mele (2004) memetakan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya, Garriga dan Mele (2004) menjelaskan CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yakni keuntungan yang berkelanjutan. Kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. Ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Keempat, berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Dengan demikian, teori-teori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial, dan nilai-nilai etis. Namun, konsepsi ini jika dilihat dari sisi pengusaha atau perusahaan (corporate side), menjadi tidak sejalan dengan hakekat keberadaan korporasi di belahan bumi manapun. Apalagi jika disandingkan dengan argumentasi Milton Friedman, salah seorang peraih nobel bidang ekonomi. Menurut dia, secara natur, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder (pemegang saham),… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Dari sudut pandangan ini, CSR merupakan tindakan amoral dan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.Merujuk pada pendapat Friedman ini, jelas sulit untuk mengubah perilaku perusahaan. Korporasi memang dilahirkan dari rahim pengusaha atau investor, untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Mari kita ingat kembali kisah sedih bagaimana tanggung jawab Lapindo Brantas Incorporated terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur. Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.CSR Melindungi Rakyat dari Rakusnya Investor dan PejabatPembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung. Harapan John Rawls, 1995, ini tampaknya sudah dapat diwujudkan dalam bentuk produk hukum tentang perseroan terbatas ini.Memang, idealnya aturan acapkali tidak seideal implementasi. Apalagi jika semua proses dan dinamika yang berlangsung, diwarnai oleh kooptasi kepentingan penguasa yang tidak kalah loba dan tamaknya dari korporasi itu sendiri. Belum lagi jika terjadi pada daerah-daerah yang sangat rindu pada kehadiran investor dari luar, tentu saja CSR akan menjadi batu ganjalan bagi arus masuknya investor dari luar. Sebab, ketika arus investasi masuk terasa lambat, maka harus dirangsang dengan berbagai insentif. Agar ada penyeimbangan yang bisa dirasakan oleh investor.Kendati demikian, tulisan ini tidak bermaksud memberikan opini positif, atau bahkan menafikkan fakta penolakan rakyat terhadap rencana masuknya industri ekstaksi terbuka di Kabupaten Lembata, NTT yang menghangat belakangan ini. Satu catatan penting, CSR hanya bisa dilakukan jika persoalan masuknya spesies rakus bernama investor berserta korporasinya, sudah selesai di level masyarakat lokal.CSR juga hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan jika berhadapan dengan local shareholder dan para stakeholder yang ‘disegani’. Dalam konteks ini, saya harus mengatakan bahwa posisi tawar Pemda, DPRD dan publik Lembata berada pada titik nadir, di hadapan Baron of Mining, Jusuf Merukh.Tengok saja apa yang terjadi di Jakarta, sebelum 17 Agustus lalu. Di salah satu ruangan Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Di hotel dengan tarif sewa paling mahal se-Jakarta itu, para duta Lembata yang baru saja pulang dari kegiatan yang mereka namakan sebagai ‘studi banding’ (meski lebih tepat disebut sebagai darmawisata) di Newmont Minahasa Raya (Sulut) dan Newmont Nusa Tenggara (NTB), datang ‘menghadap’ Jusuf Merukh. Di tempat itu, mereka ‘seolah-olah’ mempresentasikan hasil studi banding di dua wilayah tambang dimana Merukh menjadi salah satu shareholder itu.Aneh memang. Alih-alih memberikan hasil studi banding (jika rombongan ini benar-benar datang dan mencium bibir pantai Buyat di Ratatotok sana) kepada masyarakatnya, malah Merukh yang penuh birahi memasuki Lembata lah yang didatangi. Dan di sanalah, di bawah hembusan AC nan sejuk, dikelilingi sajian makan di hotel kelas platinum metropolitan itu, dengan tenang dan tekun, mereka mendengarkan petuah dan khotbah sang baron. Astagafirullah!*

Penulis: Wartawan Ekonomi & Bisnis, Putra Lembata, Vice Chairman Panangian Media Group, Jakarta.

SELINGKUH PEMDA & INVESTOR, BAK AROMA BAU KENTUT

Oleh: Ferdinand Lamak
Orang Lembata tinggal di Jakarta

Anda pernah mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar indikasi-indikasi dua orang yang bukan suami isteri, menjalani hubungan (suami isteri) terlarang? Orang sekarang menamakannya dengan istilah selingkuh. Lalu Anak Baru Gede (ABG) atau para Orang Tua Gaul (OTG) kemudian membuatnya jadi lebih tren dengan istilah Teman Tapi Mesra (TTM). Syukurlah kalau Anda tidak termasuk dalam penganut Selingkuh-isme atau TTM-isme.Selingkuh adalah suatu perbuatan tercela. Selain melanggar batas-batas norma susila, dia jadi sebuah persoalan hukum, meski lebih sering menjadi menjadi konsumsi kasak-kusuk. Orang lalu menamakan informasi yang beredar mengenai perselingkuhan sebagai gossip. Sayangnya, gossip yang kerap dimaknai dengan remeh – lantaran tidak banyak yang bisa atau berani membuktikan kesahihan informasi ini, justru tidak sedikit berakibat fatal. Perceraian, sengketa di pengadilan bahkan tidak sedikit yang menimbulkan pertumpahan darah. Itulah selingkuh, yang kini mungkin sedang menjamur di sekitar kita.Selingkuh juga bisa disamakan dengan proses ketika orang membuang udara, dalam bahasa sehari-hari disebut kentut. Tidak jelas dari mana berasal, tahu-tahunya sudah tercium aroma busuknya di sekitar Anda! Selingkuh dan kentut, di titik tertentu, sama saja.Analogi selingkuh ini pula, layak dikemukakan untuk menggambarkan bagaimana dan dari mana rencana eksplorasi dan eksplotasi tambang di Lembata itu bermula, hingga kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan pemerintah dan investor.Orang berselingkuh, bisa saja terjadi pada dua orang yang teman sekantor, atau dengan tetangga rumah, kekasih lama atau orang yang sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya. Bisa saja si pria yang lebih aktif mencari-cari kesempatan untuk bisa merayu si wanita, bisa juga si wanita yang lebih agresif, atau kemungkinan berikut mereka kebetulan sama-sama saling membutuhkan. Pemda Lembata pun berada dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut, jika ditanya, darimana mereka mengenal Jusuf Merukh, dedengkot bisnis penambangan negeri ini, yang dengan bendera Merukh Enterprises – nya, berencana melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas dan tembaga di Lembata. Apalagi kalau Pemda Lembata, maupun pihak Merukh sama-sama sudah mengantongi berbagai data dan informasi yang dirilis bersama oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG) Bandung dan Geological Survey of Japan (GSJ), Lembaga Penelitian Geologi di bawah Agency of Industrial Science an Technologi (AIST) milik Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang. Tentu saja, kedua pihak ini ibarat pria petualang dan wanita kesepian peselingkuh, yang dipertemukan oleh kepentingan yang sama yakni hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kandungan emas di Pulau Lomblen lebih dari 150 kali lipat kandungan emas di Cikotok, Banten.Pasangan selingkuh, setelah sekali-dua kali ngobrol, saling curhat atau bercanda, lantas mulai berjanji bertemu. Janji yang kemudian berakhir dengan pertemuan pun, tentu saja menjadi momentum yang top secret. Apalagi jika keduanya sudah memiliki pasangan yang sah; suami dan isteri. Tentu saja, sebisa mungkin pertemuan mereka tidak diketahui oleh pasangan resminya masing-masing, juga anak-anak dan kerabat dekat lainnya. Pemda Lembata pun tentu saja melewati sebuah proses penjajakan sebelum bersepakat dengan pihak Merukh. Mengandaikan rakyat Lembata (terutama yang berada di lokasi tempat penambangan akan dilakukan) adalah pasangan sah, atau anak-anak dari Pemda lembata, maka tidaklah heran jika proses penjajakan antara kedua belah pihak dilakukan secara diam-diam.Dan, ketika Memorandum of Understanding (MoU) atau dalam bahasa rakyat, surat kesepakatan / surat perjanjian, ditandatangani oleh Pemda Lembata dan Merukh Enterprises di Jakarta, kondisi ini di dalam sebuah relasi perselingkuhan, dapat dianalogikan sebagai terjadinya persetubuhan. Ada nafsu, komitmen, ada take and give, janji, mimpi indah menggiurkan. Tak ada ekspresi rasa bersalah terhadap pasangannya, yang adalah rakyatnya sendiri. Kesan show off justru semakin kental dimunculkan, ketika MoU dan klausul-klausul yang termaktub di sana, diumumkan ke publik. Alih-alih dengan tangan terbuka, telinga yang tajam dan hati yang teduh mendengar nada protes, jerit cemas para warga, mereka justru menampakkan sikap, “Makin Ditentang Makin Menjadi.” Persis sama seperti ungkapan klasik “Makin Tua Makin Menjadi.” Pemerintah Lembata pun kukuh tegak berdiri ibarat penguasa jagad tanah Lembata. Ia tidak beda dengan pria atau wanita peselingkuh yang kepergok pasangannya, tetapi justru menantang ‘cerai.’ Edan!Tak Ada Kata Terlambat Untuk BertobatPeselingkuh tidak selamanya terus berkubang dosa. Peselingkuh pun kerap bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Tengok apa yang diungkapkan oleh Bupati Ende Paulinus Domi, tentang penolakan rencana penambangan biji besi di kawasan tanah adapt Lisa Tana Telu oleh PT Anugerah Persada Mining (NTT Online 18/06/07). Domi mengatakan, pihaknya siap membatalkan rencana investasi tersebut jika memang itu menjadi kehendak mayoritas rakyat karena tidak ingin berbenturan dengan rakyatnya sendiri. “Pemerintah ingin berbuat untuk kepentingan rakyat, tetapi kalau memang rakyat berkehendak lain, kami siap untuk membatalkan rencana investasi tersebut. Pemerintah tidak rugi apa-apa.”Kalau di Ende, penolakan rakyat disampaikan ketika penambangan itu masih sebatas wacana, tidak demikian halnya dengan Lembata. Rakyat bak kaget ketika tahu-tahu MoU sudah ditandatangani. Ketika mereka protes, pemerintah malah bergeming dengan MoU-nya. Bahkan seperti yang kita ketahui bersama, reaksi penolakan pun telah mengalir keluar rumah para pastor (pastoran) dengan ditandatanganinya surat penolakan oleh 22 orang pastor, Mei silam. Sudah begitu pun, lagi-lagi pemerintah bergeming. Penambangan jalan terus dan pemerintah tidak akan surut dengan rencana awal.Sudah terlampau banyak pandangan yang disampaikan dalam pemberitaan media local mengenai konsekwensi-konsekwensi yang akan ditimbulkan jika ekplorasi merekomendasikan eksploitasi emas dan tembaga di Lembata ini. Mulai dari tinjauan yuridis formal, tinjauan politis, sosiologis antropologis pun dari sisi-sisi cultural. Setahu saya, tidak ada satupun dari pandangan itu yang sependapat dengan kekukuhan pemerintah.Dalam pandangan saya, pemerintah rupanya larut dalam angan-angan akan ‘jatuhnya’ ratusan miliar rupiah dari pertambangan itu, mengalir ke dalam kas pemda. Nampaknya, tidak ada alasan lain jika pemda kemudian membuka pintu bagi investor masuk untuk melakukan eksploitasi kandungan bumi di wilayahnya. Satu-satunya alasannya adalah untuk memajukan perekonomian wilayah itu.Alasan ini pula yang saya dengar langsung dari mulut salah seorang birokrat senior di lingkungan Pemda Lembata, sore itu di halaman Hotel Grand Flora, Kemang, sesaat setelah MoU itu ditandatangani, tahun silam. Birokrat dari institusi yang kerap dinamakan sebagai think tank nya Pemda ini, dengan berapi-apinya berkisah tentang kemakmuran yang tidak lama lagi akan membungkus pulau Lembata, setalah penambangan itu dilakukan.Beberapa pertanyaan kritis yang mungkin patut kita ajukan ke pemerintah, benarkah MoU penambangan ini dibuat demi memakmurkan masyarakat Lembata? Jika benar, maka dengan asumsi bahwa semua manusia ingin hidup sejahtera dari sisi ekonomi, pertanyaannya, mengapa rakyat Lembata menolak rencana pemerintah untuk memakmurkan mereka dari hasil tambang ini? Tentu saja, rakyat punya berbagai alasan untuk mengajukan keberatan dan penolakan. Nah, kalau rakyat, yang oleh pemerintah hendak mereka makmurkan itu, menolak untuk dimakmurkan dan disejahterakan dengan hasil tambang tersebut, mengapa pemerintah tampak seperti sedang memaksakan kehendak? Bukankah wajar saja, jika tindakan yang tampak seperti memaksakan kehendak ini kemudian memunculkan berbagai komentar yang menyebut bahwa tambang di Lembata ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu saja?Baiknya juga, jika publik Lembata menggunakan kasus ini untuk berkaca diri guna membangun sebuah kehidupan berdemokrasi yang lebih sehat dan patut di masa mendatang. Tirani minoritas pada berbagai kasus di tubuh pemerintahan, biasanya terbangun lantaran tersumbatnya katup demokrasi. Bayangkan saja, bagaimana mungkin sepasang pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat, kemudian dengan mudahnya berpaling dari aspirasi rakyatnya sendiri?Terakhir, yang patut juga kita cermati adalah bagaimana melihat tanggungjawab konkrit dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam melahirkan kepemimpinan politik di Lembata. Boleh jadi, jika semua aspirasi yang disampaikan langsung maupun melalui para wakil rakyat di gedung dewan pun nihil hasilnya, mungkin perlu dipikirkan jalan berikutnya. Kadang-kadang, para pemimpin politik di daerah lebih patuh kepada partai yang menjadikannya sebagai bupati atau wakil bupati. Itu sebabnya, tidak salah juga jika rakyat datang kepada partai yang sedang berkuasa untuk menyampaikan aspirasi mereka. Jika ini dapat dilakukan, sebuah pembelajaran berharga bagi para elit partai politik di Lembata

Thursday, November 22, 2007

Lewolein, "Firdaus yang hilang"

LEWOLEIN ibarat Firdaus yang sudah hilang kemudian ditemukan kembali. Kehidupan desa di bibir pantai utara Lembata itu paling tidak membawa setiap orang yang berkunjung ke sana untuk berimajinasi macam-macam. Betapa tidak, rombongan ikan di laut lepas bisa jinak seperti ayam atau bebek peliharaan. Dari ketinggian terlihat warna laut kehitam-hitaman, itu petanda rombongan ikan akan segera datang bermain dekat sekali ke pinggir pantai. Anda ingin menikmati ikan bakar? Pergilah ke pantai membawa serta peralatan seadanya, tapi jangan lupa membawa serta bumbu sesuai selera masing-masing tambahan makanan pendamping kalau perlu, lalu hidupkan api... selesai. Kita akan dibuat tercengang-cengang dan keheranan-heranan karena serombongan ikan besar kecil akan mendekati Anda hanya beberapa meter dari bibir pantai. Ambilah seberapa yang dibutuhkan dan biarkan yang lain pergi.

Itulah firdaus menurut imajinasi saya ketika menyaksikan peristiwa langkah seperti itu. Zaman dulu Adam dan Eva bukan saja berteman dengan ikan tetapi semua hewan yang saat ini kita kenal liar dan buas, bisa hidup berdampingan. Keadaan seperti di firdaus itu sudah lama hilang karena sikap kita sendiri. Orang Lewolein kemungkinan besar juga tidak setiap waktu membaca kitab suci tetapi cara hidupnya dengan ikan mirip di Firdaus seperri gambaran kitab Suci.
Paradise, paradiso, firdaus dari kata Yunani paradeisos, artinya kebun atau surga menjadi terminologi untuk taman firdaus....tempat manusia pertama yang baik hati tak ada salahnya penuh sukacita tetapi kemudian jatuh dalam dosa. Itulah kurang lebih sisi kitab suci perjanjian lama, "Old Testament".

Kayalan yang demikian indahnya itu menggugah pujangga Inggris, John Milton (1608-1974), dengan karya tulis yang mengagumkan Paradise Lost (16670 atau Firdaus yang hilang. Kemudian Paradise Regained (1671) kisah kepahlawanan untuk menemukan kembali Firdaus yang hilang itu. Seandainya saat ini Milton bisa ke Lewolein ia juga akan mengatakan bahwa Firdaus yang hilang itu ternyata ada dan bisa ditemukan di Lewolein. Orang Lewolein menjadi pahlawan bukan untuk menemukan saja tetapi "menciptakan" kembali Firdaus yang hilang itu.

Lewolein itu di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Kalau dari Lewoleba kurang lebih dua jam perjalanan dengan mobil lewat Hadakewa dan kita akan sampai di desa itu. Desa itu tempat persinggahan yang artistik, bisa istirahat sambil makan-makan ala di desa. Hampir semua kendaraan umum/khusus ke bagian timur Lembata, daerahnya Prof. Dr. Alo Liliweri tidak akan melewatkan Lewolein begitu saja. Kurang lebih satu tahun yang lalu kami dibawa oleh teman-teman dari "Lab Timores" ke sana. Sambil urusan Sekolah Demokrasi Pak Thom dan saya diajak rekan-rekan Hipol, Urbanus, Vitalis, Sofie dan lain-lain ke sana.

Pagi itu, Selasa, 27 Juni 2006, kami menuju Lewolein. Kami yang belum pernah ke sana cuma mendengar informasi sejak malamnya bahwa ikan-ikan di Lewolein itu bisa dicedok saja ibarat ikan dalam kolam. Saya bayangkan seperti disediakan oleh sebagian restoran modern sea food saat ini. Dalam benak saya timbul pertanyaan, mana mungkin ikan di laut lepas menjadi jinak seperti ayam peliharaan? Namun saya yakin teman-teman dari Lembata tidak mungkin mengibuli kami. Kami menyusuri pantai dengan pemandangan yang indah dan jalan berkelok-kelok ke arah timur. Di kiri tampak menjulang Gunung Ile Ape yang sesekali mengepulkan asap. Ada kebakaran di sana sini ke arah puncaknya. Wilayah Ile Ape adalah suatu kecamatan daerah asal Bupati Lembata sekarang, Pak Ande Manuk. Kalau kita memandang ke kanan tampak gunung gemunung, sedangkan ke depan akan terlihat teluk-tanjung seperti di dunia kayangan. Orang Lembata tentu merasa keadaan itu biasa-biasa saja, tetapi buat orang yang baru pernah ke sana akan merangsang untuk berkhayal macam-macam dengan alam yang begitu.

Sudah satu setengah jam perjalanan tidak terasa sebab obrolan ke sana ke mari sungguh asyik. Setiap kali ada pemukiman di depan kami, maka dalam pikiran saya pasti itu sudah tempat yang dituju karena ada keinginan untuk membuktikan apa yang dikatakan itu. Dugaan saya meleset beberapa kali, mobil terus menderu-deru, abu beterbangan karena sebagian jalan belum beraspal.

Akhirnya kami tiba di Lewolein. Ada jalan masuk ke desa ditandai dengan bangunan semacam gapura bertuliskan Desa Dikesare dan cabang yang lainnya untuk yang meneruskan perjalanan ke timur Lembata dan di ruas itu kurang lebih 500 m tempat persinggahan untuk menikmati ikan bakar, cumi, ketam, ketupat, ubi, nasi merah/putih dipadu dengan nira putih dan hidangan nikmat lainnya. Minuman modern seperti cola cola, fanta, sprite, bir juga tersedia di sana. Kami dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang berjajar di kiri kanan jalan dengan pemandangan mirip pedangan jagung bakar di El Tari Kupang.Sambil duduk dibalai-balai bambu kami mulai memesan sesuai selera. Pesanannya macam-macam. Nona-nona dan ibu-ibu serta bapa-bapa hampir kewalahan. Ketupat ditambah, kepiting ditambah, bir, tuak putih juga banyak peminatnya. Semua pesanan daam waktu singkat bisa dipenuhi, entah datang dari mana tak ada masalah lagi buat kami. Kami semua larut bersama-sama dengan putra putri Lewotana yang akan meneruskan perjalanan dengan bus ke bagian timur. Hiruk pikuk, hilir-mudik dan ramai sekali, kayaknya sedang ada suatu hajatan.

Sekitar 3 jam kami dipandu Rafael Suban Ikun yang bertubuh atletis, masih muda dan cerdas yang kebetulan kepala desa di sana. Pak Rafael ini selalu diutus untuk mewakili organisasi ke berbagai daerah di luar NTT jadi wawasannya memang cukup memadai. Kami semua menuju pemukiman penduduk hanya beberapa ratus meter berada di pinggir pantai juga dekat dengan jalan raya tersebut. Suasana desanya hampir sama saja dengan desa-desa kebanyakan di NTT. Di sana tampak mesjid dan kapela, juga ada balai desa parmanen yang terawat dan terlihat selalu digunakan. Pepohonan tinggi lagi rimbun di antara hutan kelapa menambah sejuk dan indahnya panorama pantai. Terlebih lautnya terlihat tenang seperti suatu kolam besar karena di kiri-kanannya diapit tanjung yang menjorong jauh ke laut. Bila lihat di peta tampak seperti tanduk naga yang sering dilukiskan oleh kebanyakan orang.

Kepala desa mulai cerita tentang tradisi penangkapan ikan di sana. Ikan boleh ditangkap pada masa yang sudah disepakati dengan cara-cara tradisional. Pokoknya ikan-ikan tidak boleh dibuat kaget dan terkesan dimusuhi. Ada pengecualian bila di sana sedang ada tamu dari luar seperti rombongan kami, itu punharus disepakati paling kurang kepala desa ikut terlibat atau mensponsori. Kami mulai menyusuri pantai sambil mengobrol ke sana ke mari dengan kepala desa. Beberapa meter dari pantai sudah ada beberapa penduduk yang mengayu sampai kecil kecil sedang yang lainnya berjalan dalam air sebatas perut sambil menebarkan pukat ukuran kecil untuk menggiring ikan-ikan sehingga lebih muda dikumpulkan untuk dimasukkan dalam ember. Jauh ke depan ada satu balai-balai yang dibuat untuk acara wisata pantai tersebut. Menjelang sore hari ikan dalam rombongan besar mulai mengitari pantai dipimpin oleh ikan-ikan yang lebih besar. Ember besar sudah berisi lebih dari separuh ikan-ikan segar. Sofie yang sarjana hukum ini cukup berat untuk mengangkatnya ke darat... jadi ada yang membantunya. Acara bakar ikan dimulai. Daun pisang muda pengganti piring untuk menyajikan ikan bakar, kelapa muda diturunkan dan setengah jam kemudian kami semua menikmati sambil memandang ke laut. Rombongan ikan masih bermain di tepi pantai seperti sebelumnya. Menjelang senja muncul ikan-ikan besar dan memandu "adik-adiknya" kembali ke laut lepas. Sedih dan amat terharu kami menyaksikan adegan itu. Seolah-oleh mereka mengatakan kepada kami "tugas kami sudah usai.... besok kami datang lagi.... sayonara."

Itu sekelumit tentang paradiso di Lembata. Sambil menatap ke laut mengiring hilangnya pandangan ikan-ikan yang sungguh fenomenal itu, Pak Rafael melanjutkan ceritanya. Dahulu orang tua mereka melakukan upacara di tempat yang kami duduk-duduk makan itu. Mereka berhasil menangkap ikan jantan dan betina lalu dengan upacara tradisional telah menguburkan secara baik di pantai itu. Ya apa yang mereka lakukan itu mempunyai nilai magis religius. Mereka perlakukanikan itu sama dengan manusia sebagian sesama makluk ciptaan Tuhan. Sehingga dalam diri orang Lewolein tidak pernah ada perasaan bahwa ikan mereka itu sebagai mangsa atau musuh tetapi sebagai sesama yang saling membantu. Dengan sengaja atau tidak ternyata tenggang waktu untuk perkembangbiakan dan perlindungan ikan-ikan sangat diperhatikan melalui tradisi penangkapan ikan di sana.

Paradiso atau Firdaus dari Lewolein itu sebenarnya bisa ‘diciptakan" di berbagai tempat di mana saja. Sudah saatnya kita ‘berdamai’ lagi dengan margasatwa dan alam sekitar kita. Sudah jauh kita merusak Firdaus yang dianugerahkan Allah kepada kita. Senapan angin (cis), pukat harimau, bom ikan dan semacamnya akan menghancurkan dan menghilangkan Firdaus yang masih ada. Mari kita ciptakan Firdaus bagi lingkungan kita masing-masing. Kalau orang Lewolein bisa, mengapa kita tidak bisa.
Acry Deodatus, dosen Undana, Kupang
Sumber: Pos Kupang 4 Juli 2007

Heran dengan SK Pemberhentian

Kades Dikesare, Kecamatan Lebatukan Rafel Suban Ikun merasa heran dengan dikeluarkannya SK pemberhentian dirinya dari jabatannya sebagai kepala desa oleh Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri.
Bagi dia, SK pemberhentian itu perlu dipertanyakan karena ia bersama masyarakat menolak dan menyuruh dua pegawai kecamatan untuk membawa pulang SK pemberhentian tersebut. Kepada FLORES POS Rafael mengatakan, SK pemberhentian dan penunjukan pejabat sementara Kepala Desa Dikesare dilakukan setelah dirinya terpilih yang kedua kalinya menjadi kepala desa. Ia mempertanyakan mengapa SK pemberhentian dan penunjukan pejabat sementara itu hanya untuk Desa Dikesare, padahal banyak kepala desa di Lebatukan yang masa jabatannya berakhir sama dengan dirinya.
“Saya tidak kecewa sedikitpun, tapi justru saya betul-betul merasa ada sesuatu yang aneh,” kata Rafael yang selama ini menentang keras kebijakan penambangan emas dan tembaga di Kedang dan Lebatukan.
Ia mengatakan, saat ada dua pegawai dari Kantor Kecamatan Lebatukan membawa SK itu ke rumahnya, ia menolak menandatangani bukti penerimaan. Ia juga menyuruh dua pegawai itu untuk mengembalikan SK itu kepada yang empunya.
Bupati Lembata Andreas Duli Manuk mengatakan, pemberhentian Kepala Desa Dikesare karena telah berakhir masa jabatannya. Sedangkan pengangkatan pejabat Kepala desa Dikesare bertujuan melakukan pelayanan pemerintah, pembangunan, dan kemasyarakatan sampai pelantikan kepala desa definitif. (Maxi Gantung)
Sumber: FLORES POS Jakarta, edisi 21 – 28 November 2007