Friday, April 11, 2008

Longsor di Kolilanang, Tim LP2M ITN Malang Rekomendasikan Penelitian Lanjutan

Laporan Peren Lamanepa
Larantuka, NTT Online - Tim peneliti dari Lembata Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang merekomendasikan bagi dilakukan penelitian tanah dan pengujian laboratorium dengan pemboran contoh inti 5 lubang dengan kedalaman masing-masing 20 meter, pengambilan contoh setiap interval kedalaman 2 meter serta pengujian laboratorium sifat fisik dan mekanis tanah, terkait bencana tanah longsor yang melanda Desa Kolilanang Kecamatan Adonara Kabupaten Flores Timur – NTT pada 23 Februari 2008 lalu.

Demikian laporan yang dibuat tim peneliti yang terdiri dari Ir. Setyo Adiwidjono (ahli geologi) dan Ir, Eding Iskak Imananto MT (ahli geoteknik) pada 11 April 2008, usai meninjau secara langsung lokasi bencana.
Tim itu juga menyarankan adanya rancang bangun (design) pengatasan longsoran terutama berkaitan dengan tata drainase lahan di puncak, badan dan kaki longsoran. Penghitungan analisa stabilitas lereng asli dan rencana untuk dasar kawasan bebas / tanah kosong, dan gambar-gambar tipikal perbaikan dan system drainase kawasan serta kanalisasi ke sungai pematus utama.

Usulan lain terkait rencana penanggulangan ke depan adalah perlu dilakukan perencanaan yang matang mengenai pemetaan topografi 1 : 200 dengan plane table mapping di daerah longsoran dan sekitarnya sekitar 10 ha.
Tim itu juga mencatat, luasan longsoran saat ini sudah mencapai sekitar 3 ha dengan panjang retakan sekitar 1 km, lebar 2,5 m dengan kedalaman antara 3 – 4 m serta menimbulkan 4 buah rumah, 1 buah fondasi rumah dan makam menjadi korban. Lahan yang longsor berupa kebun warga yang ditanami kelapa, coklat dan pepohonan karang kitri lainnya. Terdapat pula prasarana jalan desa berupa pengerasan dan beton sepanjang 150 meter.
Hasil pengamatan tanggal 9 April 2008, stratigrafi daerah longsoran Kolilanang terdiri dari lapisan atas (overburden) berupa tanah pasir dan lempungan berbatu apung dominant. Ketebalan lapisan atas ini berkisar antara 3 – 5 m. Kondisinya tidak terkonsolidasi baik, kerikil/lapili batu apung, ringan dan porous.
Lapisan sela (interburden) terdiri dari lempung putih montmorilonit, bentonitan, dengan ketebalan 1 meter, serta talus bongkah andesit, basalt dan dasit dengan ketebalan mencapai 2 m. Lapisan ini bersifat setempat membentuk alur bawah tanah bermata air. Dan lapisan terdalam berupa lava andesit breksi volkanik. Lapisan ini bersifat batu dasar yang kokoh dan kedap air serta tersemen baik dan keras di bagian dalam.

Tim juga mengevaluasi penyebab terjadinya longsoran pada areal seluas sekitar 3 ha itu, dimana disebutkan bahwa pergeseran tanah bergerak kea rah barat laut, hamper sejajar dengan aliran sungai kering di Koli Petung. Gejala minor / sekunder berupa rekahan melintang atas longsoran utama berupa nendatan (tersendat-sendat) sebanyak 10 rekahan.
Fenomena longsoran Kolilanang adalah geseran tanah (sliding) yang berputar (rotational) atau dikenal sebagai nenderan (slumping). Proses geseran menurut laporan itu tergolong gerakan cepat (rapid) tanpa ditandai gejala rayapan (creep) seperti keretakan fondasi rumah, pohon-pohon miring.
Laporan itu juga menyebutkan, penyebab longsoran itu adalah alami yang terjadi pada lapisan bagian permukaan, sehingga menambah berat massa tanah pada musiom hujan. Selain itu, lapisan gelincir dari lempung putih bentonitan yang licin akibat pelumasan oleh aliran air tanah.
Penyebab lainnya, drainase lingkungan yang jelek dari bagin hulu menyebabkan aliran bawah tanah pada massa tanah apung dan lempung licin., serta tata tanam yang heterogen antara kelapa dan kakao yang lebat pada lahan berkemiringan lereng asli yaitu 25 derajat. Beban berat rumah baru serta makam yang meluas, diperberat oleh konstruksi beton yang berat dan kaku.
Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin menjawab NTT Online terkait laporan tim LP2M ITN Malang itu mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti laporan itu. “Saya sendiri belum membaca secara menyeluruh rincian dari isi laporan itu, tapi kalau perlu penelitian lebih lanjut, maka pemerintah akan sikapi.”
Wabup juga mengatakan, pemerintah juga telah menyalurkan bantuan berupa bahan makanan kepada warga yang berada di daerah longsoran.
Sebelumnya, Bupati Flores Timur Simon Hayon seperti yang pernah diberitakan sebuah Koran lokal menyatakan kasus di Kolilanang itu bukan merupakan bencana alam. Pernyataan Bupati Simon itu sempat menimbulkan berbagai tanggapan beragam di masyarakat, yang menilai bupati mengabaikan kondisi yang dialami warganya sendiri.

Thursday, April 10, 2008

Bupati Tak Berwenang Terbitkan KP

Ternate, Kompas - Kepala daerah kabupaten/kota di Indonesia tidak berwenang menerbitkan izin atau kuasa pertambangan yang berlokasi di kawasan hutan atau kawasan konservasi. Izin harus diajukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan harus mendapat persetujuan DPR.

Hal itu dinyatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alami Departemen Kehutanan Darori menanggapi penerbitan kuasa pertambangan (KP) eksploitasi oleh Bupati Halmahera Barat atas 10.000 ha lahan hutan lindung dan hutan produksi terbatas kepada sebuah perusahaan pertambangan asing. ”Jika itu kawasan taman nasional, jangan coba-coba, daripada nanti berhadapan dengan kami,” kata Darori di Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, Kamis (10/4).

Sejak akhir 2007, sebuah perusahaan pertambangan asing melakukan eksplorasi di areal 10.000 ha hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Tanahputih, Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.

Hutan itu adalah habitat burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei), burung kakaktua putih (Cacatua alba), dan sejumlah burung endemik Maluku Utara lainnya. Eksplorasi itu dilakukan atas dasar kuasa pertambangan yang diterbitkan Bupati Halmahera Nanto Huiroba.

Darori mengungkapkan proses panjang pencarian izin. ”Harus ada rekomendasi bupati, gubernur, lalu diajukan ke menteri. Jika memenuhi kriteria, diajukan ke DPR yang membentuk tim independen. Jika laporan disetujui DPR baru izin dikeluarkan menteri. Setiap tambang di hutan lindung atau hutan produksi tanpa melalui mekanisme ini adalah pelanggaran,” katanya.

Jika eksplorasi di Tanahputih dilakukan di hutan lindung, maka harus dihentikan. Dia saat ini sedang survei untuk kemungkinan perluasan kawasan Taman Nasional Lalobata-Aketajawe di Halmahera.

Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Halmahera Barat Djalal Fara membenarkan, perusahaan pertambangan PT KNIG memegang izin kuasa pertambangan eksplorasi di 20.000 ha hutan di Halmahera Barat untuk tambang diatomite.

”Sekarang sedang tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam proses amdal diusulkan memperkecil kawasan menjadi 10.000 ha saja. Sebagian lokasi eksplorasi memang di dalam kawasan hutan lindung, tetapi lokasi pertambangan belum ditentukan,” katanya.

Penanggung jawab studi amdal PT KNIG, Imron Hasan, mengakui kegiatan eksplorasi dilakukan di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Namun, ia membantah PT KNIG pernah melakukan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.

”Memang ada tujuh titik singkapan potensi diatomite di dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, PT KNIG tidak pernah mengebor di dalam kawasan tersebut. Luasan kuasa pertambangan eksplorasi yang diterbitkan Bupati Halmahera Barat hanya 10.000 ha. Studi amdal kami hanya meliputi kawasan seluas 10.000 ha. Dalam amdal, kami justru mengusulkan, Gunung Bidadari, yang termasuk dalam areal 10.000 ha itu, dijadikan kawasan konservasi sebab gunung itu adalah habitat burung bidadari yang endemik,” katanya.

Menurut Imron, dari laporan lima tahap eksplorasi, diperkirakan lokasi eksploitasi luasannya tidak mencapai 5.000 ha. ”Semua lokasi dipilih yang di luar hutan lindung,” katanya. (row)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008

Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo

Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.

Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.

Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.

Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.

Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat. ”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.

Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan. Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.

Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.

Dampak sosial ekologis

Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.

Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.

Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.

Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.

Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.

Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.

Penghancuran

”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.

”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.

Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.

”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008

Wednesday, April 9, 2008

Tambang dan demokrasi di Lembata

MENDIANG Romo Mangun sering berbicara mengenai pentingnya kosmologi yang melatari segala setiap rencana konkret pembangunan. Pemahaman tentang dunia (tentu saja termasuk manusia) macam mana yang sebenarnya menjadi konsep dasar yang melahirkan rencana pembangunan seperti itu? Ada rencana tertulis, tetapi yang penting justru apa yang disebut sebagai hidden konsep atau paradigma dasar yang tidak muncul secara eksplisit, yang terselubung, namun efektif mewujudkan dan mewarnai seluruh rencana. Paham dasar inilah yang perlu diangkat dan dibahas, dipertegas kalau memang tepat, dan diubah kalau ternyata mengangkangi sejumlah nilai ekologis dan kemanusiaan universal.

Rencana tambang di Lembata yang memunculkan reaksi keras dari masyarakat Lembata dan mengundang perhatian publik luar Lembata merupakan kasus yang tidak muncul begitu saja. Dia lahir dari satu rahim pemahaman dasar tentang kekuasaan yang perlu disikapi secara cermat. Dari kasus ini dapat dielaborasi, konsep kekuasaan macam mana yang dimiliki para penguasa di Lembata? Apakah ini demokrasi? Atau justru satu feodalisme yang tersisa dari masa lalu? Dan kasus ini bukan hanya selesai dengan pembatalan atau berjalannya tambang, tetapi memiliki dampak yang jauh lebih luas, yakni mengubah paradigma penyelenggaraan kekuasaan.

Sudah terlampau klasik rumusan demokrasi sebagai penyelenggaraan kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Ketiga kata depan ini mempunyai nilai yang sejajar dan sama penting. Demokrasi tidak bisa dikatakan ada kalau hanya ditekankan masalah proseduralnya (dari dan oleh), tanpa memperhatikan substansinya (untuk). Demikian pula, demokrasi belum terwujud, jika penyelenggaraan kekuasaan itu dikatakan demi rakyat (untuk), namun sama sekali mengabaikan rakyat dalam proses pengambilan keputusannya (dari dan oleh). Dalam kasus pertama kita berhadapan dengan penguasa yang korup, dalam kasus kedua kita berusan dengan penguasa yang arogan. Dan tentu soalnya menjadi lebih parah, apabila baik proses maupun substansi penyelenggaraan kekuasaan sama sekali menyepelekan rakyat. Rakyat tidak dilibatkan dalam proses, dan tidak diperhitungkan sebagai sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Di sini kita menjumpai sosok penguasa yang feodal, yang memiliki pemahaman dasar: negara adalah saya, atau kabupaten adalah saya. Rakyat? Mereka dipandang terlalu lemah untuk menggalang kekuatan, dan terlalu bodoh guna memahami kedalaman pemikiran dan keluhuran cita rasa sang penguasa.

Paradigma feodalisme sangat kuat dalam masa Orde Baru. Reformasi tidak lain adalah gerakan masyarakat yang lahir dari pemahaman dasar rakyat akan dirinyasebagai sumber dan arah penyelenggaraan kekuasaan. Namun reformasi hanya dikatakan berhasil, apabila gerakan ini sanggup mengubah pemahaman dasar dalam diri para pemangku kekuasaan. Selama konsep dasar para penguasa ini masih feodalistis, maka reformasi sebenarnya masih jauh panggang dari api. Dan di banyak tempat di republik ini, kenyataannya masih seperti itu.

Memperhatikan kasus Lembata, tampaknya masih menjadi tugas yang penting dan serius dari semua elemen masyarakat untuk menjadi demokratis. Rakyatnya sudah sadar akan perannya, dan telah menunjukkan diri sebagai warga yang tidak lemah dan tidak bodoh. Mereka sanggup dan mampu menggalang kekuatan, dan merasa dilecehkan saat haknya tidak diperhatikan. Perjuangan tanpa kekerasan yang terjadi hingga sekarang merupakan bukti, bahwa mereka adalah warga yang cerdas, yang mempertimbangkan matang-matang cara perjuangannya, agar tidak gampang dibelokkan oleh siapapun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa warga masyarakat sudah mulai menjadi warga yang demokratis, yang menolak bentuk-bentuk penyelenggaraan kekuasaan yang feodalistik. Hal ini merupakan satu basis kekuatan ke arah demokratisasi.

Menanggapi desakan massa pada tanggal 23 Juli yang lalu agar bupati dan Wakil Bupati Lembata menyampaikan sikapnya secara tegas, jawaban yang diberikan melalui Kasat Pol-PP dan Kabag Binamitra Polres Lembata adalah ‘akan mempelajari pernyataan tersebut’. Artinya, mereka minta waktu untuk membuat studi lagi mengenai pernyataan sikap masyarakat penolak tambang. Pernyataan bupati ini memang sangat lemah untuk memberikan harapan bagi langkah demokratisasi, namun betapapun lemahnya, pernyataan ini toh dapat memancing api harapan. Sebab, demokrasi memang hidup dari harapan para pejuangnya. Namun, harapan ini akan diperkokoh dan tetap dipercaya, apabila studi tersebut menempatkan rakyat sebagai pemilik dan sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Rakyat sudah menyatakan sikapnya secara tegas untuk menolak tambang, maka sikap inilah yang hendaknya menentukan pertimbangan pemerintah di Lembata selanjutnya. Dalam alam demokrasi, merevisi sebuah keputusan karena desakan masyarakat, betapapun beratnya, bukanlah sebuah kekalahan penguasa. Penguasa toh tidak sedang berperang melawan rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis akan mengaku keliru menafsir kehendak masyarakat dan bersedia memperbaikinya atas desakan eksplisit dari masyarakat. Tetapi, Lembata akan kembali ke alam feodalisme Orde Baru seandainya langkah susulan setelah pernyataan kesediaan tersebut adalah merancang taktik memecahbelah masyarakat, menyumbat mulut-mulut kritis dan melumpuhkan kegesitan serta menumpulkan ketajaman insan pers dengan berbagai hadiah dan janji.

Jalan ke arah demokratisasi juga sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap DPRD. Paradigma penyelenggaraan kekuasaan macam mana yang ada dalam benak dan hati para wakil rakyat tersebut? Adanya DPRD tidak dengan sendirinyaberarti sudah ada demokrasi. Dalam era Orde Baru, lembaga perwakilan adalah bagian dari proses absolutisasi kekuasaan di tangan seorang penguasa. Bukan pengalaman baru di negara ini, bahwa lembaga perwakilan rakyat mengingkari hakikatnya sebagai perwakilan, dan memahami diri sebagai tuan atas rakyat, yang dinilai tak bisa apa-apa dan tak tahu apa-apa. Pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, bahwa para wakil rakyat beranggapan, rakyat telah menanggalkan pikirannya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kebijaksanaan para wakilnya. Para wakil rakyat seperti ini pun sebenarnya bersifat feodal.

Di Lembata, para wakil rakyat mengambil keputusan untuk membuat studi banding ke dua tempat. Apakah ini sebuah keputusan yang lahir dari satu pemahaman diri sebagai wakil rakyat dalam satu bingkai demokrasi? Pertanyaan ini penting, karena terlampau lumrah di republik ini bahwa studi banding adalah nama lain dari jalan-jalan atas ongkos rakyat. Kalau hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, studi banding tidaklah gampang. Studi saja sudah berat, apalagi studi banding! Kasus tambang adalah kasus yang berat, maka studi banding harus dilakukan dengan kesungguhan.

Perlu disadari bahwa studi banding hanya bermafaat apabila sekurang-kurangnya dua syarat berikut dipenuhi. Pertama, yang membuat studi tersebut memiliki pemahaman yang benar tentang kondisi wilayahnya sendiri. Tanpa pemahaman ini, tidak ada yang bisa dibandingkan. Kondisi geografis dan keadaan ekologis dari wilayah sendiri perlu diketahui. Termasuk dalam pemahaman wilayah sendiri adalah mengetahui kondisi masyarakat dan mengenal kecemasan serta kegelisahan mereka. Bagaimana kebudayaan mereka, konsep mereka tentang tanah, persoalan kepemilikan tanah dalam tradisi asli merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan entahkah sebuah proyek pembangunan itu populis atau represif. Kenyataan, DPRD Lembata tidak bersedia memberikan jawabannya yang pasti terhadap masyarakat pesisir dan Leragere yang menolak tambang, yang datang untuk menyampaikan sikapnya pada sejak Desember 2006. Janji untuk mengadakan sidang paripurna khusus terhadap masyarakat yang datang tanggal 11 sampai 13 Juni 2007, tidak dipenuhi. Yang diterima secara hangat hanyalah kelompok masyarakat yang menyetujui penambangan pada tanggal 25 Juni 2007. Kalau sikapnya seperti itu, apakah para anggota DPRD Lembata sungguh memahami kegelisahan dan kecemasan masyarakatnya yang menolak tambang? Dalam kondisi seperti ini, apakah DPRD Lembata berada dalam situasi yang tepat untuk membuat studi banding? Boleh jadi para anggota DPRD sudah merasa paham akan persoalan masyarakatnya. Perasaan memang merupakan satu kapasitas manusia yang penting. Harapan kita, semoga perasaan itu tidak keliru.

Kedua, sebuah studi banding perlu terarah kepada semua hal yang dipandang krusial bagi wilayah sendiri. Dalam kasus tambang, yang perlu mendapat perhatian dalam studi banding adalah persoalan proses pembuatan keputusanpenambangan, masalah kesejahteraan rakyat, dan dampak ekologis serta sosial yang ditimbulkannya. Persoalan proses pembuatan keputusan menjadi penting, karena ini juga menjadi soal krusial di Lembata. Demikian pula tujuan yang dicapai dengan penambangan tersebut. Apakah penambangan di tempat studi banding sungguh mendatangkan kesejahteraan para warga? Dan apa dampak ekologis dan sosialnya? Sasaran studi banding ini akan menentukan, siapa yang didekati sebagai nara sumber dalam studi. Tidak hanya perusahaan penambang, tetapi juga pemerintah, LSM-LSM yang berkomitmen terhadap masalah kebudayaan dan lingkungan serta mayarakat yang mendukung dan menolak tambang. Di Lewoleba DPRD Lembata tidak bersedia menerima masyarakat penolak tambang. Kiranya mereka juga membuat studi tentang sikap mereka ini, dan di lokasi studi banding bersedia mendengarkan masyarakat penolak tambang.

Sebuah studi banding dapat melahirkan dua alternatif keputusan. Akan dibuat sesuatu seperti yang terjadi di lokasi studi banding, atau tidak akan dibuat sesuatu seperti yang dilakukan di lokasi studi banding. Ungkapan keputusan bisa berbunyi: "Kita buat seperti yang mereka lakukan di sana", atau "Kita tidak akan lakukan seperti yang mereka buat di sana". Hasil inilah yang akan menunjukkan konsep dasar para wakil rakyat Lembata, entahkah demokratis atau tidak. Keputusan itu jugalah yang akan menyingkapkan, atas nama siapa para wakil rakyat Lembata pergi membuat studi banding. Artinya, keputusan itulah yang menyatakan, siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ungkapan di atas. Kalau para anggota DPRD pergi atas nama perusahaan, maka mereka akan mempelajari apa yang perlu dilakukan lembaganya agar keinginan perusahaan dapat diwujudkan. Apabila mereka pergi atas nama dan demi rakyat Lembata, yang di lokasi rencana penambangan sudah menyatakan sikap tegas menolak tambang, maka yang dipelajari adalah strategi mana yang perlu ditempuh DPRD supaya sikap masyarakat ini direalisasikan. Rakyat penolak tambang di lokasi studi banding kalah berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Kalau DPRD Lembata sungguh pro rakyat, maka mereka akan sungguh-sungguh belajar tentang kelemahan DPRD lokasi studi banding agar dapat bertindak lebih tepat guna membela rakyat. Langkah studi banding dinilai sebagai langkah penting bagi DPRD dalam menentukan sikapnya. Kita berharap bahwa sikap itu sungguh demokratis.

Konsep dasar yang melatari dan menjiwai pemikiran seseorang tampak ketika terjadi benturan dengan gagasan dan rencana orang lain. Benturan-benturan itu dapat membantu seseorang untuk mengoreksi dan mengubah paradigma berpikirnya, kalau memang paradigma itu tidak dapat lagi dipertahankan. Atas desakan masyarakat Bupati Lembata menyatakan akan mempelajari dulu tuntutan masyarakat. Dan DPRD Lembata membuat studi banding. Akankah ada perubahan sikap setelah bupati membuat studi atas tuntutan masyarakat danDPRD melakukan studi banding? Akankah ada perubahan sikap sehingga bisa dibuat perbandingan? Sangat berarti bagi demokratisasi, apabila ada sikap yang jelas dan sungguh pro rakyat dalam rangka demokrasi. Kalau demikian, nanti bisa dibuat studi banding di Lembata sendiri, tak usah jauh-jauh. (P Dr Paul Budi Kleden SVD, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)

Sumber: POS KUPANG, 4 Agustus 2007

Tuesday, April 8, 2008

Pemerintah Lembata Tetap Buka Diri Bagi Investasi Tambang

Lembata–Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyatakan tekad untuk tetap membuka diri bagi investor yang akan melakukan investasi tambang tembaga dan emas di Lembata.

Bagi pemerintah, hal yang paling penting langkah yang diambil pemerintah itu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat daerah dan tidak merugikan orang lain, kata Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, di Lembata, Senin.

Dia mengemukakan hal itu menjawab wartawan perihal kontroversi seputar rencana usaha investasi tambang emas dan tembaga yang dilakukan oleh Grup Merukh Enterprises Jakarta melalui anak perusahaannya, PT Merukh Lembata Copper di Lembata.

“Kami tetap jalan. Pada prinsipnya kami menerima rencana investasi tambang di daerah ini sepanjang tidak merugikan orang lain,” kata Bupati yang didampingi Wakil Bupati Lembata, Andreas Liliweri.

Menurut dia, pemerintah tidak pernah merampas hak orang lain, dan sepanjang seluruh proses investasi itu berada dalam tataran aturan maka reaksi apapun yang disampaikan tidak akan mengubah keputusan pemerintah.

Dalam hubungan dengan rencana investasi di Lembata, semua pihak harus melihat dari sisi positifnya karena perusahan akan membangun infrastruktur jalan, dermaga dan juga air bersih. Selain itu, akan berdampak pada seluruh sektor kehidupan di wilayah itu dan pada gilirannya akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Lembata.

Menurut dia, bahwa ada sisi negatifnya memang harus diakui, karena setiap investasi harus ada diantara kita yang dikorbankan. Dalam pembukaan jalan baru misalnya, harus ada warga yang menjadi korban karena kebun atau tanaman mereka rusak. “Itu namanya sisi negatifnya, jadi tidak hanya ada sisi positifnya saja, tetapi harus dijalani,” katanya.

Belum tentu

Bupati menambahkan, rencana investasi tambang tembaga dan emas di Lembata belum tentu jadi karena tergantung hasil studi kelayakan. “Jadi masih ada tahapan-tahapan yang harus dijalani sebelum dilakukan investasi. Jadi belum tentu investasinya dilakukan di Lembata,” katanya.

Karena itu, tidak ada manfaatnya kalau masyarakat terus dipengaruhi untuk menolak rencana investasi tambang tembaga dan emas di Lembata, katanya. (ANTARA, 7 April 2008)