Sunday, April 27, 2008

Menimbang rakyat atau menambang emas? (Tentang rencana tambang di Lembata)

KESEJAHTERAAN rakyat sejatinya menjadi tujuan dari setiap kebijakan publik. Ungkapan sejahtera memiliki makna jauh lebih luas daripada sekadar penambahan kekayaan material. Sejahtera menyangkut pula rasa nyaman berada dan berada dalam lingkungan budaya dan alam tertentu. Justru karena itu, menjadi bagian dari kesejahteraan adalah kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup.

Kejelasan orientasi budaya ditunjukkan oleh keberakaran dalam budaya tertentu, yang menjadi dasar utama bagi pengenalan dan penghargaan terhadap kebudayaan lain. Walaupun dewasa ini orang berbicara mengenai "toko serba ada" kebudayaan, namun corak budaya ini hanya dapat terbentuk apabila tetap ada "rumah" budaya yang khas. Kita dapat dan mesti bertemu dan belajar dari banyak kebudayaan, tetapi kita perlu memiliki satu kerangka budaya sendiri. Orang tidak dapat menjadi warga kebudayaan dunia tanpa punya tanah air budaya tertentu.

Orientasi budaya berkaitan dengan tempat diam dan pola kerja. Pindah tempat tinggal dan ganti pekerjaan akan berakibat pada perubahan pola pikir dan gaya hidup. Orang kampung yang pindah ke kota, atau sebaliknya, akan mengalami pergeseran budaya. Suasana yang berkaitan erat dengan pemahaman dan penghayatan kegiatan budaya tertentu pasti tidap mudah diciptakan, dan kalaupun diciptakan, hanya merupakan ciptaan yang momentan sifatnya. Paling jauh, budaya seperti itu cuma tampak pada festival budaya, yang diperagakan dan dipertontonkan, tanpa sebuah masyarakat pendukung yang bersifat tetap. Penghuni rumah bambu yang beralih menjadi pemilik apartemen pasti mengalami dan memahami hidup secara lain. Atau, seorang intelektual kritis yang pindah profesi menjadi penulis atau pembicara bayaran penguasa dan pengusaha, akan menunjukkan pemikiran dan gaya hidup yang berbeda.

Mutu lingkungan hidup ditentukan oleh kondisi hidup yang tidak tercemar oleh berbagai asap dan limbah industri, yang menjadikan bumi "rumah kematian" bagi berbagai spesies makhluk hidup, termasuk manusia. Pergeseran ini pun ditentukan oleh gaya hidup dan pola kerja. Tingginya mobilitas berakibat pada penambahan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, yang lebih lanjut bermuara pada meningkatnya polusi udara, laut dan tanah. Usaha yang terus dilakukan adalah menjawabi tuntutan mobilitas sambil menekan konsekuensi polusi.

Kalau kita berbicara mengenai pentingnya kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan, itu tidak berarti kita mengutuk segala bentuk perubahan. Perubahan mesti terjadi dan sungguh terjadi. Karena itu, kita perlu merencanakan danmempengaruhinya, agar kita tidak menjadi korban perubahan. Termasuk dalam strategi untuk turut merencanakan dan mempengaruhi perubahan adalah melibatkan masyarakat dalam merancang perubahan. Tanpa melibatkan masyarakat, perubahan yang dilakukan, betapapun luhur motivasinya, hanya akan menjadikan rakyat itu korban perubahan yang dipikirkan dan diputuskan orang lain. Kesejahteraan meliputi pula suasana batin yang tercipta dalam budaya dan di tengah lingkungan hidup yang tertentu. Masyarakat tidak dapat dipaksa untuk menjadi sejahtera.

Memperhatikan realitas, bahwa yang paling merasakan makna dari kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup adalah rakyat, maka pembangunan dewasa ini tidak lagi terlaksana menurut pola hirarkis. Sebagai gantinya, orang menggunakan pola pembangunan partisipatif. Di sini, rakyat tidak dipandang sebagai manusia bodoh yang tidak mengetahui apa yang baik bagi dirinya. Tentu saja rakyat bisa kekurangan informasi, atau dijejali dengan informasi yang palsu. Namun kalau rakyat tetap dilihat dan dihormati sebagai pemilik kedaulatan, maka sikap dan putusannya itulah yang harus didengar. Inilah inti demokrasi. Dalam alam demokrasi, berbagai pemangku kepentingan berperan memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengambil sikap, dan pemerintah bertugas sebagai penyimpul kebijakan.

Dalam kasus rencana tambang di Lembata, rakyat Leragere sebagai warga salah satu calon lokasi tambang telah menyatakan sikapnya secara jelas: menolak tambang. Berdasarkan informasi yang mereka terima, baik dari pemerintah maupun dari LSM, mereka menentukan sikapnya, yang dikukuhkan dengan ritus adat. Potensi lokal berupa ritus adat dimanfaatkan untuk meneguhkan kesatuan dalam perjuangan dan mengukuhkan cara damai dalam menyatakan sikapnya. Sikap mereka jelas, cara perjuangan mereka terhormat.

Tentu saja ada banyak pertimbangan yang melatari sikap masyarakat Leragere ini. Di antaranya adalah kebutuhan akan kejelasan orientasi budaya dan masalah kualitas lingkungan. Memindahkan rakyat ini ke sebuah tempat lain, pasti akan membawa perubahan budaya. Memukimkan mereka di apartemen mewah dan membangun mal entah di mana tentu saja akan membuat mereka berpikir dan berpola hidup secara lain. Tidak berlebihan kecemasan yang disampaikan, bahwa memindahkan orang Leragere berarti menghancurkan budaya Leragere. Tak akan ada lagi masyarakat Leragere. Mengalihkan hutan lindung, yang pengelolaannya tahun lalu diserahkan kepada masyarakat melalui keputusan Bupati Lembata dan disyukuri dengan misa yang dipimpin oleh bapak Uskup Larantuka, menjadi kawasan tambang, tidak akan berlangsung tanpa goncangan budaya yang besar.

Masyarakat memilih untuk menetap di ruang yang sudah dikenal dan dihargainya, menjalankan pekerjaan yang telah memberinya rasa harga diri tertentu. Itu tak berarti mereka tak akan mengalami kegoncangan budaya. Pengaruh dari luar terusmenghantam melalui berbagai interaksi sosial dan komunikasi, harga hasil pertaniannya turun naik bagai gelombang laut pada bibir pantainya. Kendati demikian, mereka merasa masih dapat menyesuaikan diri dalam kegoncangan seperti ini, daripada harus mengalami kebingungan dan ketidakpastian yang dibawa serta oleh rencana tambang.

Menanggapi sikap masyarakat ini, macam-macam argumen yang disampaikan pihak pemerintah dan para pendukungnya. Salah satu di antaranya adalah soal waktu yang terlalu dini untuk sikap seperti itu. "Ini baru tahap eksplorasi, belum eksploitasi", atau "Mulai saja, kalau nanti ada dampak negatifnya, kita bisa batalkan". Hemat saya, logika seperti ini sangat mencemaskan ketika diucapkan oleh para pejabat dan politisi, dan meresahkan saat disampaikan oleh orang-orang pintar yang berperan sebagai pembisiknya.

Logika ini mencemaskan, karena justru dalam cara pikir banyak kegiatan pemerintah dilakukan tanpa fungsi yang jelas. Dalam logika seperti ini menjadi nyata pemikiran bahwa eksplorasi dan eksploitasi memiliki kaitan yang gampang dipatahkan. Orang berpikir, seolah tidak ada hubungan yang mendesak antara eksplorasi dan eksploitasi. Karena berpikir seperti ini, maka dengan gampang orang berbicara dan memaksa rakyat untuk mengizinkan tahapan eksplorasi. Toh belum sampai eksploitasi. Padahal, eksplorasi adalah sebuah penelitian yang menggunakan sampel, berdasarkan sejumlah penelitian terdahulu. Eksplorasi bukanlah tindakan penelitian pertama. Hanya karena ada dasar yang kuat berdasarkan penelitian lain, maka eksplorasi dijalankan. Sebab itu, apabila sebuah kegiatan penambangan sudah masuk pada tahap eksplorasi, maka itu berarti sudah ada arah yang jelas untuk dikejar. Rencana sudah matang, tinggal dikuatkan lagi dengan hasil eksplorasi. Dalam arti ini, eksplorasi memang "hanya" melengkapi data penelitian terdahulu, namun justru karena itu dia tidak lagi menjadi "hanya" eksplorasi yang bisa dibiarkan tanpa komentar hingga mulainya eksploitasi.

Kita dapat menganalogikan eksplorasi dengan studi banding para anggota DPR/DPRD. Apabila kita mempunyai para wakil rakyat yang serius, maka studi banding hanya dilakukan apabila mereka telah membuat studi yang mendalam di tempat sendiri tentang apa yang mau dibangun dan memiliki sebuah rencana yang jelas. Jika tidak, studi banding hanya merupakan sebuah kegiatan penghamburan. Namun, apabila kita memiliki anggota DPR yang membuat studi banding hanya berdasarkan undangan dari pusat, atau sekadar ada variasi di tengah berbagai persoalan daerah, tanpa memiliki satu rencana yang jelas dari daerahnya sendiri, maka tidak heran apabila para wakil rakyat seperti ini bisa dengan gampang berbicara tentang eksplorasi tanpa ikatan yang kuat dengan eksploitasi. Kalau para wakil rakyat membuat studi banding tanpa ada rencana yang jelas dan matang untuk daerahnya, maka mereka juga akan mudah terjebak dalam pemikiran, bahwa sebuah perusahaan pun dengan gampang melakukan eksplorasi tanpa ada rencanayang matang untuk melakukan eksploitasi.

Logika di atas pun mencemaskan karena cara pikir seperti ini berakibat pada berbagai proyek pembangunan yang mubazir. Sejumlah politisi dan pejabat terperangkap dalam pemikiran bahwa sebuah bangunan akan dengan sendirinya mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari pemikiran seperti ini, orang membangun pasar di tempat tertentu tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Bayangannya, kalau sudah ada sarana yang dibangun, masyarakat dengan sendirinya akan hijrah ke sana. Kalaupun nanti tidak demikian, kesalahannya ada pada masyarakat yang terlalu bodoh untuk menangkap maksud baik pemerintah. Dengan cara pikir seperti ini, orang berpikir bahwa masyarakat pasti akan menjadi terbiasa dan akhirnya menerima tambang, atau apabila nanti mereka tetap tidak menerima, pemerintah dengan mudah saja dapat menghentikan investasi sebuah perusahaan.

Argumentasi seperti ini menjadi sangat meresahkan ketika disampaikan oleh orang-orang yang menyebut diri pandai dan berperan sebagai pembisik penguasa. Tampaknya mereka menyederhanakan persoalan. Kegiatan tambang, dalam pandangan mereka, sepertinya dapat dianalogikan dengan aksi seorang penjual korek api ajaib yang sanggup membakar hanya objek-objek terpilih. Misalnya, objek terpilih itu adalah rambut uban di kepala. Si penjual korek api ajaib menjamin bahwa api dari korek apinya hanya akan membakar dan menghanguskan rambut uban. Penjualan dilakukan secara bersyarat. Jika ternyata yang terbakar dan hangus bukan rambut uban, tetapi semua rambut, maka penjualan dibatalkan. Tentu sebuah tawaran yang menarik. Namun, apa artinya pembatalan kalau rambut sudah terbakar dan hangus seluruhnya? Lebih parah lagi kalau yang dijual adalah sebilah parang yang dijamin tidak akan memenggal kepala kalau ditebas pada leher. Penambangan pun bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dianalogikan dengan mengisi teka-teki silang menggunakan pensil. Kalau salah, maka dengan mudah jawaban dihapus. Taruhannya terlalu besar, yakni kejelasan orientasi budaya dan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesejahteraan masyarakat.

Rakyat Leragere sudah menyatakan kehendaknya, atas cara apa mereka yang menjadi sejahtera. Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan mereka mesti memperhatikan sikap ini. Bobot pernyataan sikap masyarakat ini harus dinilai jauh berat daripada segala macam tawaran kemudahan yang dijanjikan pengusaha. Kalau penguasa di Lembata sungguh menimbang rakyatnya, memasukkan ke dalam kerangka pertimbangannya kehendak masyarakat, maka mereka tidak akan memaksakan tambang. Memaksakan tambang dengan argumen demi kesejahteraan rakyat, padahal rakyat sendiri menolaknya, tentu saja merupakan sebuah kontradiksi. Tak ada kesejahteraan di bawah paksaan. Rakyat Leragere yang dipandang bodoh sudah melihat kontradiksi ini. Bagaimana mungkin parapolitisi dan penguasa serta orang cerdik pandainya di Lembata tidak melihatnya?

Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 23 Juni 2007

Etika Ekologi yang Biosentris

DEWASA ini, hubungan manusia dengan alam mulai rusak. Manusia telah mendominasi alam. Alam dijadikan sebagai obyek eksploitasi demi kepentingan manusia. Eksistensi alam kurang diperhitungkan lagi sebagai yang otonom dan memiliki nilai intrinsik (intrinsic value) di dalam dirinya. Alam tidak lagi dihargai sebagai suatu fenomen yang mempunyai orde kosmik di dalam dirinya. Alam kurang lagi dipahami sebagai realitas yang mengandung nilai kehidupan di dalam dirinya. Nilai alam dikenakan atau diberikan dari luar. Alam bernilai hanya sejauh berfungsi menunjang kebutuhan hidup manusia.

Bahaya Antroposentrisme

Tak dapat disangkal bahwa dominasi manusia terhadap alam telah lama dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Sejak René Descartes, manusia dipandang sebagai res cogitans - makhluk berpikir yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, lebih luhur dan lebih mulia dari alam. Di pihak lain, alam atau realitas non human hanya dilihat sebagai res extensa - perluasan dari kumpulan benda-benda yang tidak bernilai, karena tidak mempunyai kemampuan berpikir dan berkesadaran di dalam dirinya.

Akhir-akhir ini, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan pelbagai kebijakan condong lebih mementingkan nilai-nilai yang humand oritented. Interese manusia dalam segala aspek kehidupan menjadi orientasi utama. Sistim sosial dan politik diciptakan hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianpun kegiatan ekonomi dalam skala besar selalu menjadikan manusia sebagai sentral. Kalau toh ada kebijakan yang disebut environmental policy, tampak juga bahwa kebijakan itu berorientasi untuk melayani kepentingan manusia juga.

Dalam hubungan dengan alam, mesti diakui, bahwa manusia menjadi sangat egois dan serakah. Filsuf Emmanuel Levinas menggunakan term totalitè untuk melukiskan totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Dalam egoismenya, manusia memandang realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenanganku. Sesungguhnya sikap seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah satu-satunya yang paling utama. Levinas menyebutnya le Moi comme singularitè (Levinas, Entre Nous, 1991, 36). Memang benar, di jagat raya ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang paling ekspansif, progresif dan bahkan destruktif.

Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007 memperlihatkan suatu kecemasan yang besar. Sikap manusia yang memproduksi dan mengonsumsi energi di luar batas-batas yang wajar telah menimbulkan bahaya pemanasan global (emisi CO2) sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kenaikan temperatur yang drastis dan perubahan musim yang tidak menentu dapat mengancam kehidupan manusia. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya. Dari pelbagai bencana yang melanda dunia dewasa ini (terlepas dari bencana karena proses natural seperti gempa bumi, tsunami, gunung api), bencana banjir atau lumpur, bencana tanah longsor dan kebakaran hutan harus dilihat sebagai bencana yang disebabkan oleh sikap manusia yang sewenang wenang terhadap alam. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat moderen yang terlalu menekankan atribut-atribut manusia seperti self consciousness, rationality dan free will sebagai identitas dan jati dirinya.

Kant mengajarkan satu prinsip moralitas yang tak terlupakan: manusia tidak seharusnya melihat sesamanya (orang lain) bermakna, hanya apabila dia memiliki nilai dan tujuan di dalam dirinya. Lebih dari itu, dan paling penting di atas segalanya: manusia memonopli nilai. Konsekuensi dari pandangan ini adalah jelas: manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia. Ia beroposisi dan bahkan berbeda dari alam. Ia bukan bagian dari alam. Alam adalah bagian darinya.

Hal ini kemudian menjadi dasar yang membedakan konsep yang disebut view of nature dan self view of humans. Perbedaan konsep seperti dapat memberi justifikasi tentang sikap bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam bertolak dari pandangan tentang dirinya. "The way I see myself, expresses something about the way I have of nature" (Wim Zweers, Participating With Nature, 2000, 15).

Kembali ke Nilai Intrinsik Alam

Meskipun manusia mempunyai kehendak bebas dan sering bersikap sewenang-wenang terhadap alam, manusia seharusnya menerima dan mengakui kenyataan yang satu ini: dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah bahwa, dia berada dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan terkondisi oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam.

Tentu hal utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah merubah orientasi dasar. Sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented harus beralih kepada cara pandang dan sikap yang lebih nature oritented. Kembali ke alam. Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistim tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada subordinasi. Alam dunia tidak dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah, karena, "this world is already full of values, purposes and meanings" (J. Dryzek, Enviromental Ethics, 1990, 205).

Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Dalam terminologi Latin, alam disebut natura. Akar kata kerjanya adalah nascere yang berarti melahirkan. Alam sering dipersonifikasi sebagai ibu yang memiliki kodrat melahirkan. Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam) yang termasyur, menyapa alam sebagai la madre terra, yaitu ibu bumi yang memberi kelimpahan segala. Tetapi ibu dari sang purwa waktu, demikian kata Kahlil Gibran, adalah sang kehidupan itu sendiri.

Hidup atau kehidupan adalah fakta niscaya yang terkandung di dalam alam. Fakta ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan bila kita hendak berbicara tentang nilai. Prinsip umum yaitu, segala yang hidup, di dalam dirinya mempunyai nilai. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).

Dengan merujuk pada nilai intrinsik secara khusus, kita sampai pada pengertian bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang berada di dalam (in se) dan untuk dirinya sendiri (per se). Pengertian ini seharusnya menjadi dasar bagi pertimbangan apabila kita hendak berbicara tentang nilai ekologi. Kita dapat berbicara tentang ekologi dalam pengertian yang sesungguhnya hanya sejauh bila, pertama, kita harus mengakui bahwa kita adalah bagian dari sistim tata semesta secara umum. Kedua, hendaknya kita mempunyai kesadaran bahwa hidup atau kehidupan adalah nilai intrinsik yang berada di dalam setiap organisme di muka bumi ini. Dengan berpatok pada pertimbangan ini, maka kita dapat sampai pada pemahaman tentang pandangan ekologi yang lebih biosentris.

Etika Ekologi yang Biosentris

Pertanyaan bagaimana manusia harus berpikir tentang dan bersikap terhadap alam adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari etika. Pertanyaan ini menuntut jawaban moral yang menjadi dasar bagi sikap manusia dalam membangun relasi dengan alam. Di sini kita tentu tidak hanya merefleksikan prinsip-prinsip moral abstrak yang menjadi pegangan kita.

Etika pada umumnya berhubungan dengan refleksi tentang nilai dari tindakan dan perbuatan manusia. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila kita berbicara tentang nilai. Pertama, tentang sumber nilai. Dari mana asal suatu nilai? Kedua, berkaitan dengan isi suatu nilai. Apa saja yang terkandung di dalam suatu nilai? Apa saja yang menjadi bagian dari suatu nilai? Ketiga, berhubungan dengan fungsi nilai. Apakah kita memahami nilai sesuatu (lingkungan hidup) hanya sejauh sesuatu itu berfungsi bagi manusia? Apabila ketiga pertanyaan ini kita bicarakan dalam konteks ekologi, maka terhadap pertanyaan pertama, yaitu tentang asal usul suatu nilai, kita dapat menelusurinya di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: alam atau lingkungan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Terhadap pertanyaan kedua, kita hanya bisa memberikan jawaban dengan bertolak dari realitas kehidupan yang terkandung di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: nilai intrinsik yang terkandung di dalam alam adalah hidup atau kehidupan. Dalam hubungan dengan pertanyaan ketiga, yaitu tentang fungsi nilai. Kita tidak dapat memahami nilai alam hanya sejauh alam berfungsi bagi manusia. Tesis utama adalah: alam memiliki nilai yang otonom di dalam dirinya sendiri. Semua ini dapat menjadi pagangan kita, dan bisa membantu kita untuk menghindari kecendrungan kembali jatuh ke dalam cara pandang dan sikap yang antropsentris.

Kalau etika secara umum berhubungan dengan refleksi tentang baik buruknya tindakan manusia, maka etika lingkungan hidup berkaitan dengan refleksi tentang baik buruknya sikap manusia terhadap alam. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan sikap atau perbuatan manusia terhadap lingkungan hidup. Pertama, sikap yang paling mendasar adalah respek terhadap alam (respect for nature). Bahwa alam mempunyai nilai intrinsik di dalam dirinya, maka manusia berkewajiban memiliki respek atas semua bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Kedua, agar sikap respek terhadap alam menjadi kenyataan, maka manusia harus merubah pandangan dan sikapnya, yaitu dari pandangan yang antroposentris menjadi pandangan dan sikap yang lebih bisosentris. Berpusat pada kehidupan. Inilah cita-cita yang luhur bagi siapapun. Ketiga, apapun penghargaan terhadap setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini, tetaplah harus ada norma yang mengikat dan mengatur setiap tidakan dan perbuatan sikap manusia. Dalam hubungan dengan kehidupan, tidak dikenal norma, pandangan etik dan sikap moral yang relatif atau permisif. Hidup bukan hal yang relatif. Hidup adalah hidup. Persoalan tentang hidup, bukanlah satu satunya persoalan yang berkaitan dengan interese manusia belaka. Manusia bukan lagi satu-satunya titik acuan bila kita mau secara nyata menghargai seluruh bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.

Tugas utama manusia yaitu mewujudkan dirinya secara ideal serta menciptakan keharmonisan dengan semua tata kehidupan di dalam semesta ini. Manusia tidak boleh menonjolkan atau mencari kepentingan diri, sambil tidak mengindahkan eksistensi kehidupan yang lain. Manusia secara kolektif harus mengakui diri sebagai bagian dari alam. Manusia adalah anggota Komunitas Dunia Kehidupan (earth community of life). Spesies manusia, sejauh berada bersama dengan spesies yang lain, dia merupakan bagian integral dalam suatu sistim tata semesta yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sikap manusia yang tepat adalah menaruh respek terhadap seluruh bentuk kehidupan di muka bumi ini. Wujud konkret dari respek adalah sikap bertanggung jawab. Respek dalam responsibility, inilah yang menjadi cita-cita dan ideal bersama. Panggilan manusia adalah panggilan untuk bertanggungjawab atas setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini. Panggilan ini lahir dari kesadaran utama bahwa, tugas manusia adalah menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan. Sebaliknya merusakan bumi sama halnya dengan merusakan kehidupan. Selamatkan bumi kita! Salva il nostro mondo!

Felix Baghi, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 27 April 2008