Wednesday, November 7, 2007

Investasi dan kerusakan lingkungan (Memahani protes masyarakat Leragere)

HARIAN ini menurunkan berita (dan tanggapan) penolakan masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, terkait rencana PT Merukh Enterprises melakukan kegiatan penambangan di Leragere.

Atas nama lingkungan dan masa depan masyarakat serta hak-hak ulayatnya, dua rohaniwan, Pater Moses Vande Raring, SVD dan Romo Sebastian Ola Nama, Pr juga ikut berunjuk rasa di Kantor Bupati Lembata, Gedung DPRD, dan Dinas Pertambangan dan Energi setempat. Areal penambangan yang mencakup ribuan hektar sangat membahayakan tak hanya warga sekitar tapi Pulau Lembata, karena sebagian besar terdiri dari patahan. Tenggelamnya Kampung Tobilolong di Desa Kowapa, Kecamatan Atadei pada 1990-an menjadi pelajaran berharga.

Karena itu, mereka menuntut pemerintah setempat membatalkan semua rencana penambangan karena dinilai cuma menguntungkan pengusaha dan merugikan masyarakat. Pater Raring bahkan menegaskan bahwa masyarakat Leragere dihantui kegelisahan, apakah bupati dan wakil rakyat masih menghargai hak rakyat dan tanah dalam hidupnya. "Kami mengalami suatu perlakuan ketidakadilan oleh kebijakan penguasa yang semena-mena yang terjun bebas dalam mekanisme kolusi dan nepotisme dengan pemilik modal dan bersembunyi di belakang argumentasi demi kesejahteraan rakyat dengan menjual hak hidup rakyat atas tanah untuk mengeruk keuntungan tertentu. Apa artinya kesejahteraan kalau rakyat dikorbankan?รถ tanya Pater Vande. Kalau terjadi penambangan, maka pemiskinan model baru akan berlangsung di Lembata. Rakyat kehilangan tanah untuk hidup, sementara investor menjadi kaya raya. Kasus tambang di Freeport, Timika, Buyat, Sumbawa Besar, jelasnya, harus menjadi pelajaran bahwa rakyat tak pernah sejahtera, malah menjadi korban (Pos Kupang 16/1 2007).

Otonomi yang mulai berlaku pada 1 Januari 2001, merupakan kesempatan emas bagi daerah untuk mengurus diri sendiri. Tentu pula dengan kekuatan sendiri. Karena itu, investasi juga menjadi sarat mutlak bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata untuk memajukan daerahnya. Dengan otonomi, Pemkab Lembata dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Dengan kondisi seperti itu maka peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Pemkab Lembata, tentunya juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhanekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.

Tapi, apakah investasi di bidang pertambangan menjadi begitu penting bagi Pemkab Lembata dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya? Apakah benar perut Lembata menyimpan kekayaan alam yang besar? Yang jelas, situs resmi Pemkab Lembata telah ‘mempromosikan’ kepada calon investor peluang investasi di Lembata. Dalam situs itu disebutkan, Pulau Lomblen (Lembata) menyimpan kekayaan alam yang besar namun belum bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena keterbatasan sarana, prasarana dan teknologi. Kekayaan alam itu meliputi Batu Barit di Atanila, Kecamatan Omesuri, minyak tanah di Tewaowutun, Kecamatan Nagawutun, Timah Hitam di Tapolangu Kecamatan Lebatukan, bahan galian C lainnya. Dan salah satu kekayaan alam yang bisa memberi peluang investasi yang besar adalah kandungan Emas Pulau Lomblen, sehingga Pulau Lomblen dijuluki Pulau Emas hasil foto satelit melalui penginderaan jarak jauh. Kandungan emas pulau Lomblen diperkirakan lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dari emas yang dihasilkan di Cikotok, Jawa Barat. Kandungan emas di Cikotok sebesar 4 gram/ton bebatuan sementara di penambangan Kalimantan berkisar 2 gram/ton.

Penemuan ini merupakan hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG) Bandung yang melakukan penelitian bersama Geologica Survey of Japan (GSJ), Lembaga Penelitian Geologi di bawah Agency of Industrial Science an Technologi (AIST) milik Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang. Ditemukan sampel bahwa kandungan emas di Pulau Lomblen lebih dari 150 kali lipat kandungan emas di Cikotok. Dari hasil foto Landsat-3 tampak adanya struktur lingkaran yang didu-ga bekas ‘caldera’, sejenis gunung berapi yang berdia-meter 10 km di bagian timur Lomblen. Dari hasil penemuan ini perlu adanya pengembangan lebih lanjut, untuk itu perlu adanya investasi yang lebih besar dan pemanfaatan teknologi yang tepat. Karena itu, terkait rencana penambangan oleh PT Merukh Enterprises di Leragere maka sebaiknya Pemkab Lembata memikirkan serius untuk menunda bahkan kalau perlu membatalkan rencana itu karena risiko lingkungannya sangat besar sebagaimana dikhawatirkan pula oleh masyarakat Leragere.

Kerusakan lingkungan

Kondisi lingkungan hidup di Indonesia akibat kegiatan penambangan kian hari kian memrihatinkan. Banjir dan longsor yang terjadi kerap dikaitkan dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Pemerintah sebagai pengelola negara juga sepertinya tidak peduli dengan protes, kritik, dan saran yang diberikan oleh organisasi-organisasi lingkungan hidup dan masyarakat. Masyarakat Leragere, misalnya, merasa berkepentingan menolak rencana kegiatan penambangan PT Merukh Enterprises. Bahkan para pejuang lingkungan kerap bersuara keras bahwasejarah membuktikan, kehadiran perusahaan penambangan di suatu daerah lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaatnya.

Dalam refleksi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tanah bagi masyarakat merupakan tempat kediaman yang harus dijaga sungguh-sungguh agar kehidupan di muka bumi ini terus berlangsung. Bumi (tanah) bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang inilah yang pen-ting untuk dibicarakan. Inter-nasionalisasi modal telah menjadi ancaman paling be-sar terhadap bumi dan ling-kungan hidup secara lebih khusus. Watak dasar kapita-lisme yang eksploitatif dan akumulatif telah menjadi an-caman terbesar bagi bumi dan lingkungan hidup. Eks-ploitasi tambang, mineral, gas, hutan, laut, air untuk me-ngejar apa yang dinamakan sebagai pertumbuhan ekonomi, telah menyebabkan sebuah kerja keras habis-habisan tanpa terkendali.

Kondisi bumi yang ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup memperlihatkan keadaan yang semakin parah. Bencana sebagai akibat ketidakseimbangan dan berkurangnya kemampuan bumi dalam melindungi dirinya, hilangnya kemampuan lingkungan untuk mengimbangi watak eksploitatif para pemburu harta dan kekayaan bumi telah membawa bencana hebat. Bencana alam akibat kerusakan yang ditimbulkan manusia telah melanda seluruh belahan dunia.

Karana bisa dipahami jika rencana penambangan me-nuai protes masyarakat Lera-gere karena mengkhawatirkan (jika terealisir) biaya lingkungan dari kegiatan penambangan sangat besar. Apalagi, masyarakat kerap berada di pihak yang dikor-bankan jika berhadapan dengan pemodal. Karena itu, sebaiknya rencana itu diper-timbangan dan dikaji secara mendalam oleh Pemkab Lembata dengan melibatkan semua stakeholder, termasuk pemangku kepentingan lokal. Masih banyak potensi Lembata seperti perikanan yang bisa dipromosikan ke-pada calon investor untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Dalam sebuah se-minar di Hotel Shangri-La Jakarta beberapa waktu lalu tentang pembangunan eko-nomi Flores dan pulau-pulau sekitarnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Lembata Petrus Toda Atawolo pun menyampaikan bahwa potensi per-ikanan Lembata sangat be-sar. Atawolo menceritakan, seorang nelayan akan me-ngatakan, "Saya pigi (pergi-Red) tangkap ikan, bukan saya pigi cari ikan." Artinya, bahwa potensi perikanan Lembata sangat besar se-hingga nelayan langsung menangkapnya tanpa perlu bersusah payah.

Informasi ini membuat Deputi Senior Gubernur BI Prof. Dr. Anwar Nasution, Dirut Bank Mandiri ECW Nelloe (kini mantan) dan Menteri Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo (saat itu) tersenyum. Pengusaha NTT Yusuf A Merukh yang disebut-sebut memiliki saham 20 % di PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau, NTB, juga hadir saat itu. Nah, mungkin lewat Pak Yusuf Merukh, Pemkab Lembata menjalin kerja sama di sektor perikanan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Lembata. (Ansel Deri)

Sumber: Pos Kupang 15 Februari 2007

Monday, November 5, 2007

Pemilik Ulayat Dijanjikan Uang dan PNS

Pemerintah Kabupaten Lembata terus berjuang agar pemilik ulayat menyerahkan lokasi tambang dan tembaga di Kedang dan Kecamatan Lebatukan. Janji diberi uang dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kepada pemilik ulayat sudah dilakukan namun warga menolaknya.
Tuan tanah atau pemilik ulayat Puakayong Kecamatan Omesuri, Abu Sama di Lewoleba, Jumat (19/10) menjelaskan pemerintah Kabupaten Lembata tidak habis cara agar tuan tanah menyerahkan tanah mereka bagi usaha pertambangan emas dan tembaga.Bupati Lembata Andreas Duli Manuk pernah bertemu dengan dirinya di Lopo Moting Lomblen. Pertemuan itu dihadiri Wakil Bupati, Andreas Nula Liliweri, AsistenAdmintasi Pembangunan dan Kabag Ekonomi Longginus Lega. Namun dalam pertemuan itu Abu Sama menolak untuk menyerahkan tanah ulayat Puakayong kepada pemerintah hanya karena tambang.

Camat Omesuri Andreas Ola juga berulang kali melakukan pendekatan terhadap dirinya. Bahkan Abu Sama di kebun, Ande Ola ikut. Namun permintaan itu tetap ditolak.Sebelum tim DPRD Lembata dan pemerintah melakukan studi banding ke Minahasa dan Subawa Barat, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri, Asisten Administrasi Pembangunan Lukas Witak dan Asisten Administrasi Umum Setda Lembata Muhidin Ishak melakukan pendekatan agar menyerahkan tanah ulayat Puakayong untuk kepentingan tambang, namun Abu Sama menolaknya.
Ia menjelaskan Muhidin Isahk dua kali memberikan uang masing-masing Rp 150 ribu dan Rp 1 juta. Ia mengatakan uang Rp150 ribu itu diberikan Muhidin Ishak lewat sopirnya namun uang itu dikembalikan ke Muhidin Ishah lewat sopir oto Kedang-Lewoleba. Kedua, Muhidin Ishak memberikan uang rp1 juta di rumah Muhidin Isahkan, Abu Sama sempat menolak tapi Muhidin Isak menjelaskan kalau uang itu untuk beli rokok.Saat itu Abu Sama belum tahu jumlah uang itu karena diisi dalam amplop. Ketika sampai di rumahnya di Kedang, Abu Sama kaget karena dalam amplop itu selain uang satu juta juga kartu nama Bupati Lembata Andreas Duli Manuk.
“Uang satu juta dan kartu nama itu sampai sekarang saya simpan dan saya sedang mencari pengacara untuk menggugat mereka.”
Ia mengatakan cara yang dilakukan oleh pemerintah itu sebagai suatu penghinaan atas dirinya. Ia mengatakan ia tidak tersilau dengan uang. Ia tidak akan menyerahkan tanah ulayat hanya karena rayuan-rayuan itu. Masalah ini dia sudah disampaikan secara terbuka saat wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri ke Omesuri.
“Saya bilang sama wakil bupati, saya ini bukan pisang yang jual di pasar, apa maksusd kamu kasih uang sama saya dan diselipkan dengan kartu nama bupati.” Wakil Bupati tidak menjawab. Yang menjawab waktu itu Asisten Administrasi Lukas Witak. “Dia pegang saya punya lengan baju dan menyampaikan kalau pa bupati biasa kasih uang orang.”
Jadi PNS
Dia mengaku, dia didatangi pejabat dan menawarkan keluarganya jadi PNS. Yang penting tanah ulayat Puakayong diserahkan kepada pemerintah untuk tambang. Abu Sama mengatakan dengan cara apapun, ia tidak akan menyerahkan tanah ulayat untuk kepentingan tambang. “Sekali tolak tetap tolak”.
“Saya omong sama orang Kedang kalau Abu Sama setuju kehadiran tambang dan menyerahkan tanah ulayat untuk tambang kamu jangan panggil saya lagi Abu.”
Ia tidak mau kehilangan kampung halamanya karena tambang. “Tidak ada kesedihan yang lebih pahit di muka bumi ini daripada kehilangan kampung halaman tercinta. Karena itu saya siap mati demi mempertahankan tanah ulayat kami.”
Wartawan Ikut Rayu
Abu Sama mengatakan selain pejabat, ada wartawan mingguan terbit Kupang yang datang ke rumahnya untuk merayunya. Bahkan wartawan saat itu melakukan negosiasai harga tanah ulayat sampai dengan Rp 10 miliar. Ia mengatakan, ada pegawai yang mendampingi wartawan menjelaskan kalau wartawan itu sudah dibayar Rp 2,5 juta hanya untuk melobi dirinya.

Ia heran karena wartawan disuruh oleh pemerintah untuk merayu dan melobinya. “Saya juga tidak ketemu lagi itu wartawan, kalau saya ketemu nanti saya omong sama dia.”Asisten Admintrsi Umum Steda Lembata Muhidin Ishak di ruang kerjanya, Sabtu (20/10) mengatakan dirinya belum bisa memberikan keterangan. Karena dia harus menyampaikannya kepada Kabag Humas Ambros Lein.

“Nanti kalau saya sudah sampaikan kepada Kabag Humas soal mekanismenya saya akan panggil dan memberikan keterangan, apakah bersama-sama dengan Humas atau dengan saya sendiri.”
Beberapa kali Flores Pos minta supaya bisa menjelaskan atau menanggapi keterangan Abu Sama, namun Muhidin Ishak tetap pada pendirianya untuk menyampaikan kepada Humas dulu.
Sementara Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk masih di Jakarta. Sedangkan Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri melakukan kunjungan kerja ke Kedang. (Maxi Gantung)
Sumber: harian FLORES POS Ende 22 Oktober 2007

Waspadai Kehadiran Pihak Ketiga

Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr mengimbau masyarakat dan seluruh komponen lain agar mewaspadai kehadiran pihak ketiga dalam masalah rencana penambangan emas dan tembaga yang mendapat reakasi penolakan dari masyarakat pemilik hak ulayat.
IMBAUAN itu disampaikan Uskup Kopong Kung dalam pertemuan dengan masyarakat yang menolak rencana tambang dan Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL) di Penginapan Susteran CIJ Lewoleba, Jumat (19/10). Uskup Kopong Kung meminta agar dalam masalah pro kontra rencana penambangan emas dan tembaga ini, masyarakat dan semua komponen lain tetap tenang.

Ia mengingatkan, dalam situasi di mana ada pro kontra, biasanya pihak ketiga masuk dan memberikan provokasi sehingga terjadi perpecahan di kalangan masyarakat maupun dengan pemerintah. Dalam situasi seperti ini juga biasanya isu-isu yang memecahbelah masyarkat selalu diembuskan oleh provokator/pihak ketiga. Hal sangat rawan memancing suasana perpecahan. “Saya minta supaya waspadalah, jangan terpancing dengan isu-isu. Provokasi biasanya jalan di saat ada masalah seperti ini,” katanya.

Tanpa Kekerasan

Wakil Ketua Forum Komunikasi Tambang Lembata, Piter Bala Wukak mengatakan, masyarakat yang menolak rencana tambang ini dalam perjuangannya selalu mengedepankan perdamaian dan perlawanan tanpa kekerasan. Ia mengatakan, kebijakan Pemerintah Kabupaten Lembata yang tidak mengindahkan hak-hak masyarakat ditolak oleh masyarakat. “Kami berjuang tanpa kekerasan,” katanya.

Ia meminta Uskup Frans mendoakan perjuangan rakyat dalam mempertahankan hak-haknya yang diabaikan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Kebijakan penambangan emas dan tembaga yang dilakukan pemerintah selama ini tanpa sepengetahuan atau melibatkan masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. “Bapa uskup doakan perjuangan kami, semoga kami berhasil,” katanya.

Tidak Mundur

Cristina Leny dan Ketua Forum Komunikasi Desa Pesisir, Kecamatan Lebatukan, Rafael Suban Ikun kepada Flores Pos mengatakan, mereka tidak mundur sedikit pun dalam memperjuangkan dan mempertahankan haknya. Menurutnya, kawasan Leragere dan tiga desa pesisir Lebatukan tidak akan menyerahkan sedikit pun tanah untuk kepentingan tambang. Masyarakat di kawasan itu sudah memasang tanda larang.

“Kami tidak akan biarkan tanah kami untuk dijadikan lokasi tambang. Kami sekarang ini sedang resah karena tambang,” kata Chistina yang saat demo beberapa waktu lalu menyerahkan surat pernyataan mosi tidak percaya kepada Bupati Andreas Duli Manuk dan Wakilnya, Andreas Nula Liliweri. (Maxi Gantung)

Sumber: Harian FLORES POS Ende 22 Oktober 2007

Sunday, November 4, 2007

Menerapkan visi kerakyatan

PRO-KONTRA mengenai rencana tambang di Lembata menyisakan satu hal yang tak terbantahkan sebagai tesis utama, yakni bahwa orientasi pembangunan di Lembata, termasuk usaha pertambangan adalah kesejahteraan rakyat Lembata. Pro-kontra lebih bersifat argumentatif untuk mendukung tesis itu dengan sasaran menolak atau mendukung rencana tambang yang ada.

Tanpa berpretensi menolak atau menerima rencana tambang di Lembata, perlu ditegaskan di sini bahwa pembangunan yang bertujuan mensejahterakan rakyat tidak bisa tidak, harus mengikutsertakan rakyat dalam seluruh prosesnya. Artinya rakyat berperan serta dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi berbagai kegiatan pembangunan. Untuk itu, rakyat membutuhkan informasi yang memadai mengenai hak, kewajiban dan cara-cara berperan serta dalam pembangunan. Sayangnya, inilah proses yang terlupakan dalam rencana tambang di Lembata. Tulisan ini mau menjelaskan betapa pentingnya informasi bagi masyarakat dalam proses pembangunan.

Hak dan kewajiban masyarakat atas informasi mengenai penambangan sebagai upaya pengelolaan lingkungan serta kewajiban pemerintah dan atau pemegang kuasa mengelola lingkungan untuk memberikan informasi, diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Pasal 5 ayat 2 UUPLH menyatakan bahwa setiap orangmempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan Pasal 6 ayat 2 UUPLH menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Kedua ketentuan tersebut berkaitan satu sama lain. Di satu pihak UUPLH mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan informasi lingkungan dan di pihak lain mewajibkan pemerintah dan/atau pengusaha/pengelola lingkungan untuk memberikan informasi.

Pertama, hak atas informasi lingkungan hidup merupakan konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan keterbukaan. Hak ini penting untuk meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping untuk membuka peluang bagi masyarakat untuk mengusahakan terpenuhinya hak akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Informasi lingkungan yang perlu diketahui masyarakat adalah berupa data, keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat. Misalnya dokumen mengenai analisis dampak lingkungan, baik pemantauan penataan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang.

Kedua, pemberian informasi lingkungan kepada masyarakat adalah prasyarat yang paling penting untuk peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup. Di banyak negara ketentuan mengenai enviromental impact assesment (EIA), analisis dampak lingkungan, mengandung peraturan tentang penyediaaninformasi bagi masyarakat. Penyediaan informasi dilakukan dengan cara mengumumkan hasil EIA perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan hidup dalam penerbitan-pnerbitan resmi dan atau melalui media massa, baik tingkat lokal, regional maupun nasional termasuk dalam lembaran berita negara, mengirimkannya kepada organisasi dan perorangan yang meminta kesempatan untuk mengajukan pendapat.

EIA yang disediakan harus dapat menjawabi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah pemberian informasi, antara lain: a) informasi harus pasti, artinya EIA memuat uraian proyek, permohonan-permohonan isin, laporan-laporan, hasil-hasil studi serta pendapat-pendapat dan saran-saran; b) tepat waktu, artinya informasi itu perlu diberikan sedini dan seteliti mungkin, yakni bahwa informasi harus diberikan pada saat sebelum diambil sesuatu keputusan yang mengikat serta masih ada kesempatan untuk mengusulkan alternatif-alternatif. Pemberian informasi tidak bermaksud membenarkan sebuah keputusan yang telah diambil; c) informasi yang lengkap, maksudnya memuat secara rinci semua hal yang berkaitan dengan rencana pengelolaan lingkungan, termasuk alternatif-alternatif lainnya; d) informasi yang disajikan harus dapat dipahami oleh masyarakat. Karena itu informasi yang disajikan hendaknya menggunakan bentuk dan bahasa yang dapat dipahami dengan lebih memperhatikan isi informasi daripada bentuk atau kententuan formalnya; dan e) informasi lintas batas, pemberian informasi ini sangat penting apabila dampak lingkungan suatu kegiatan tertentu di daerah-daerah perbatasan masyarakat yang hidup di negara yang berbatasan. Pemberian informasi lintas batas itu dapat diberikanmelalui pernjanjian antarnegara mengenai perlindungan lingkungan.

Pemberian informasi kepada masyarakat mengenai rencana dan dampak pengelolaan lingkungan sangatlah penting dan tidak dapat diabaikan. Sebab informasi-informasi akan meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka memberi informasi kepada pemerintah mengenai masalah-masalah dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari tindakan yang direncanakan oleh pemerintah melalui izin pengelolaan lingkungan, sehingga pemerintah dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang akan terkena tindakan tersebut dan perlu diperhatikan. Pemberian informasi juga penting untuk meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima sebuah keputusan. Masyarakat yang akan terkena dampak dari suatu tindakan tidak dapat dipadang sebagai lawan yang menentang keputusan pemerintah, melainkan pemeran dalam proses pengambilan keputusan sehingga harus diberi informasi dan didengarkan informasi dalam rangka mengurangi pertentangan dan memperbesar kesediaan masyarakat untuk menerima sebuah keputusan.

Di samping itu, pemberian informasi kepada masyarakat dalam rangka pengambilan keputusan akan membantu perlindungan hukum, tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga pemerintah dan pihak yang diberi kuasa mengelola lingkungan. Sebab keputusan akhir yang mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan masyarakat selama proses pengambilan keputusan, dalam banyak hal tidak akan ada kebutuhan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Akhirnya, pemberian informasi kepada masyarakat berguna mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Barangkali ada yang berpendapatbahwa negara kita menganut demokrasi perwakilan sehingga kuasa mengambil keputusan dilaksanakan oleh perwakilan rakyat. Terhadap hal itu, perlu diketahui bersama bahwa demokrasi perwakilan tidak menghilangkan demokrasi langsung dan bahwa masyarakat atau kelompok masyarakat memang tidak mengambil keputusan tetapi harus berperan serta dalam proses pengambilan keputusan. Peran serta masyarakat bermanfaat membantu negara dan lembaga-lembaga lebih mudah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna.

Dalam kasus Lembata, kendala yang dihadapi ialah tidak adanya informasi rencana pertambangan yang memadai buat masyarakat. Sejauh ini tidak ada penjelasan resmi pihak PT Merukh Enterprise mengenai rencana pertambangan, EIA-nya di Lembata. Yang terjadi justru perang informasi antara masyarakat dengan Pemerintah Kabupaten Lembata, yang entah karena apa berjuang keras mewujudkan rencana PT Merukh Enterprise untuk melakukan penambangan di Lembata. Sementara PT Merukh menonton perang tersebut di layar publik. Padahal PT Merukh adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk memberikan informasi mengenai rencana tambang Lembata.

Dalam perang informasi argumentasi-argumentasi berseliweran di sana sini yang membuat persoalan tambang di Lembata menjadi semakin kompleks. Masyarakat yang akan terkena langsung dampak tindakan menambang, dengan dukungan berbagai pihak secara tegas menolak rencana tambang karena mereka sadar bahwa lingkungan mereka akan rusak, kesehatan mereka mungkin akan terganggu, dan mereka sendiri bisa saja terpaksa pindah dari tempat tinggal mereka, yang berdampakpada berubahnya kehidupan sosial budaya. Di pihak lain belum ditemukan argumentasi yang akurat dari Pemkab Lembata, selain daripada alasan administratif-politis bahwa pertambangan di Lembata merupakan sebuah program strategis untuk mempercepat pembangunan di Lembata dalam rangka kesejahteraan rakyat. Pemerintah tampak sangat defensif dalam mempertahankan argumentasi ini, sehingga memberi kesan bahwa pemkab tidak peduli, bahkan diskriminatif dengan masukan dari elemen-elemen masyarakat. Kesan itu menjadi kenyataan ketika pemkab dan DPRD menolak untuk bertemu dengan kelompok masyarakat yang datang dengan sikap menolak rencana tambang di wilayahnya dan menerima kelompok yang datang menyatakan dukungan kepada rencana tambang, walaupun menurut sejumlah pihak, dukungan itu hanyalah sandiwara karena bukan mewakili rakyat yang wilayahnya menjadi sasaran tambang.

Akibatnya, program strategis itu terkesan hanya kamuflase yang menyembunyikan perilaku oportunis Pemkab Lembata. Karena itu penandatanganan kontrak dengan PT Merukh adalah politik pasca pilkada, yang menurut hemat saya, melegitimasi perilaku oportunis dan jauh panggang dari api dengan orientasi kesejahteraan masyarakat Lembata yang mau diprioritaskan.

Sikap defensif Pemkab Lembata justru meningkatkan kecurigaan masyarakat bahwa Pemkab Lembata bekerja untuk PT Merukh, bukan untuk masyarakat. Pemkab Lembata yang memiliki kewenangan pengelolaan lingkungan seharusnya mendesak PT Merukh untuk memberikan informasi, penjelasan mengenai rencananya untuk melakukan penambangan di Lembata, termasuk hasil analisisnya mengenai dampak penambangan yang dilakukan terhadap lingkungan, terhadapmasyarakat dan budayanya. Mengapa Pemkab yang harus melakukan sosialisasi dengan biaya dari APBD Lembata? Entahkah ini berhubungan dengan dana pilkada 2006 dan mobil dari PT Merukh yang diterima pemkab Lembata?

Hemat saya, apa pun jawaban yang diberikan Pemkab Lembata, yang terpenting sekarang adalah pemkab mesti meninggalkan sikap defensifnya dan membuka diri terhadap berbagai masukan yang diberikan selama ini. Dalam konteks otonomi daerah, membuka diri berarti menerapkan visi kerakyatan yang selama ini hanya menjadi jargon politik. Artinya rakyat diberi kesempatan yang luas untuk turut serta secara aktif mengatur kehidupan mereka. Dalam kasus tambang Lembata, rakyat turut serta dalam proses pengambilan keputusan penting menyangkut kehidupan mereka.

Pengelolaan lingkungan hidup memang tetap merupakan wewenang pemerintah, namun penerapan visi kerakyatan menghendaki agar supaya wewenang itu dibatasi seminimum mungkin dalam rangka demokratisasi pengambilan keputusan. Pemerintah (Pemkab Lembata) hendaknya mendengarkan sungguh-sungguh suara rakyat Lembata mengenai rencana tambang tersebut, bukan hanya pro-forma. Sebab itu adalah kesalahan fatal tindakan menandatangani rekomendasi bagi PT Merukh untuk menambang di Lembata oleh Bupati Lembata dan Ketua DPRD pada 28 Agustus 2006. Tindakan itu mengabaikan rakyat Lembata dan atau wakilnya di DPRD. Apakah proyek sebesar itu hanya perlu tindakan atas nama?

Penerapan visi kerakyatan menghendaki Pemkab Lembata untuk berkonsultasi dengan rakyatnya sedini mungkin sebelum pengambilan keputusan, dalam hal ini mereka yang akan terkena dampak langsung tindakan menambang. Untuk apameminta pendapat rakyat jika keputusan sudah diambil? Penerapan visi kerakyatan juga menghendaki Pemkab Lembata untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk bersama-sama mengatur dan mengelola kekayaan alam Lembata. Rakyat diberi kesempatan untuk menginterpretasi peraturan perundang-undangan yang menguntungkan rakyat banyak serta menyertakan pengetahuan lokal rakyat dalam mengatur dan mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan.

Sudah waktunya bagi Pemkab Lembata untuk berhenti membela diri dan duduk bersama rakyat, terutama masyarakat Kedang dan Lebatukan, meretas jalan bersama membangun Lembata tanpa mengabaikan seorang pun. Sebab Pembangunan adalah tanggung jawab bersama. Rakyat tidak boleh diabaikan.

Simon Tukan, alumnus Program Magister Hukum Kenegaraan UGM, Ketua
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, Provinsi SVD Ruteng

Sumber: POS KUPANG, 5 Juli 2007

Keuskupan Larantuka Harus Buka Suara

Jakarta – Keuskupan Larantuka seharusnya buka suara untuk bicara soal kecemasan masyarakat Lembata terkait sikap ngotot Pemerintah Kabupaten Lembata memberikan ijin pertambangan kepada kelompok usaha Merukh Enterprises untuk melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah itu sekalipun ditentang keras masyarakat. Hal ini penting agar umat merasa gereja memiliki kepedulian yang kuat di saat mereka berada dalam kecemasan dan ketakutan.

”Ketika Gereja Keuskupan Larantuka tidak peduli dengan kecemasan umat Leragere dan Kedang terkait penolakan mereka terhadap rencana tambang yang saat ini dipaksakan Pemerintah Kabupaten Lembata maka sebenarnya gereja sedang membahayakan tugas perutusan Injil itu sendiri,” ujar Pastor Dr Petrus C Aman OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia.

Gereja, kata doktor moral lulusan Universitas Gregoriana, Roma, ini, harus konsisten dengan tugas dan misi perutusan sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Vatikan II, terutama Gaudium Et Spes terhadap masyarakat yang sedang mengalami kecemasan dan duka cita.

”Bahwa apa yang menjadi kecemasan, duka cita masyarakat Lembata maka itu juga menjadi kecemasan dan duka cita gereja. Kita harap gereja lokal terutama keuskupan Larantuka makin vokal terhadap persoalan rencana tambang ini. Dan harus bicara karena masalah tambang merupakan kecemasan umat,” kata Peter yang juga staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta.

Kekuasaan Menindas

Dalam kasus penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang yang dipaksakan, berbagai pihak juga mengharapkan gereja lokal harus bersikap tegas agar masyarakat (umat) tidak mengalami kecemasan dan ketakutan. Tokoh muda Lembata Jakarta, Viktus YK Murin menegaskan, peran profetis kaum biarawan harus ditunjukkan secara nyata dalam konteks rencana penambangan yang mendapat penolakan masyarakat.

”Ketika ada sebuah kekuasaan politik atau ekonomi yang menindas kemanusiaan, maka tugas profetis kaum biarawn harus ditegakkan,” kata Viktus Murin yang juga anggota Tim Ahli Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

Sedangkan Pastor Peter menandaskan, persoalan rencana tambang di Lembata menyangkut hal-hal fundamental yakni keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Dalam hal keadilan, tentu muncul pertanyaan: siapa yang diuntungkan dari usaha pertambangan? Berapa harga yang harus dibayar oleh masyarakat Lembata kalau usaha pertambangan itu mendatangkan keuntungan riil bagi mereka. Kemudian soal keadilan yang terkait dengan masyarakat Lembata, di mana masyarakat seharusnya menjadi subiek pembangunan.

”Mayoritas orang Lembata adalah masyarakat agraris dan nelayan. Jika Pemerintah Kabupaten Lembata mau menghargai dan berlaku adil kepada masyarakat Lembata sebagai pelaku pembangunan maka semestinya Pemkab Lembata berpikir logis untuk memajukan dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat di bidang pertanian dan perikanan. Saya pikir justru di situlah fungsi fundamental sebuah pemerintahan bahwa mereka memberdayakan masyarakatnya menjadi subiek pembangunan,” kata doktor moral lulusan Universitas Gregoriana, Roma, ini.

Sementara dalam urusan dengan persoalan tambang, masyarakat Lembata justru bukan menjadi subiek dalam keseluruhan rencana tetapi malah jadi obiek. Maka persis dengan perjuangan mereka mencari keadilan sebagaimana terjadi saat. Mereka menolak dengan melalui pernyataan sikap di hadapan Bupati dan DPRD hingga melakukan ritual-ritual adat.

Masyarakat di sejumlah lokasi menolak rencana tambang karena khawatir merusak tata nilai dan tradisi yang ada di masyarakat. Mereka juga khawatir masa depan lingkungan menjadi ancaman bagi anak cucu mereka. Bahkan selama ratusan tahun, mereka hanya menyandarkan hidupnya pada hasil pertanian dan tanaman niaga.

”Tanaman pertanian telah menghidupkan kami selama ini. Kalau kami dipindahkan, ya, bagaimana dengan hidup kami? Terus terang saya seorang janda dengan empat anak saya berhasil jadi sarjana. Satu di antaranya malah S-2. Ini karena padi, jagung, kopi, dan kemiri. Bukan emas, Bapa,” kata Ana Noe, warga Leragere. (Ansel Deri)
Sumber: Harian Flores Pos edisi 1 November 2007

Konggregasi OFM Bersama Masyarakat

Jakarta – Pihak Konggregasi Saudara Dina (OFM) Indonesia berada di pihak masyarakat Lembata yang menolak rencana pertambangan di wilayah itu. Pernyataan dukungan itu diberikan OFM Indonesia setelah melalui lembaganya, Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) meneliti rencana pertambangan di Lebatukan dan Kedang, termasuk beberapa calon lokasi prospektif di Atadei, Wulandono, dan Nagawutun oleh PT Merukh Lembata Copper, salah satu kelompok usaha pertambangan di bawah bendera Merukh Enterprises milik pengusaha Dr Yusuf Merukh.

Setelah melalui JPIC meneliti (rencana tambang-red), diputuskan untuk berada bersama masyarakat yang menolak tambang. Ini beralasan karena di sana ditemukan suatu pilihan yang oleh Fransiskus Asisi menyatakan bahwa saudara dina (OFM) mesti berada bersama masyarakat lemah dan tertindas yang sedang membela hak-haknya.
”Jadi kami harus berada bersama masyarakat yang sedang dalam kecemasan dan ketakutan tatkala hak-hak hidupnya dilanggar. Pilihan kami sebagai saudara dina mendorong kami untuk tetap bersama mereka,” kata Provinsial OFM Indonesia Pastor Paskalis Bruno Syukur, OFM di Jakarta belum lama ini.
Sementara itu, anggota Dewan Jenderal OFM Indonesia Pastor Gabriel Maing, OFM mengemukakan, untuk merealisasikan komitmen tersebut maka sejumlah imam OFM akan bertemu masyarakat Leragere dan Kedang sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap penolakan masyarakat atas rencana tambang. Pertemuan itu direncanakan berlangsung dari tanggal 27 Oktober-2 November di Lembata.
Selain masyarakat di dua calon lokasi tambang, baik di Lebatukan dan Kedang, OFM Indonesia juga akan bertemu Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr, Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk, dan Ketua DPRD Drs Piter Boliona Keraf.
”Selama seminggu di Lembata kami sudah sepakat bersama untuk bertemu bupati dan jajarannya, DPRD, dan Bapak Uskup Larantuka. Kami juga akan bertatap muka dengan masyarakat Lebatukan di Leragere dan juga masyarakat Kedang untuk menunjukkan bahwa kami mendukung mereka. Bahwa masyarakat tidak sendirian dalam gerakan penolakan itu,” kata Pastor Gabriel Maing OFM.
Pastor Maing menambahkan, sekalipun Uskup dan Bupati Manuk bersebelahan, itu tidak apa-apa. Yang penting, para imam OFM hadir karena ingin menunjukkan bahwa mereka berpihak kepada masyarakat yang tak berdaya sebagaimana teladan Santu Fransiskus Asisi.
Seorang imam Fransiskan lainnya, Pastor Mikael Peruhe OFM menambahkan banyak hal yang manipulatif terkait rencana pertambangan di Lembata. Misalnya, soal penandatanganan nota kesepahaman dengan pihak calon investor yang manipulatif. Juga rencana pertambangan yang tidak masyarakat di calon lokasi serta studi banding yang manipulatif di PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara.
”Setelah kami dan beberapa rekan ditugaskan Koalisi Jakarta Untuk Tambang di Lembata melakukan peninjauan di Pante Buyat dan bekas kegiatan PT NMR, ternyata informasi yang kami peroleh menyebutkan bahwa tidak ada Tim Studi Banding pejabat, DPRD, dan masyarakat Lembata di sana. Bahkan pihak Pemkab Minahasa Tenggara yang kami temui di Kota Ratahan mengatakan tidak ada kunjungan tim dari Lembata di sana,” kata Pastor Mikael Peruhe.
Menurut Pastor Mikael, pihak pimpinan Provinsial OFM Indonesia berpesan agar apapun hasilnya tidak Fransiskan tidak boleh meninggalkan persoalan Lembata. Karena itu, untuk mempertegas komitmen dukungan kepada masyarakat maka pihak JPIC OFM membuat film dokumenter sehingga kasus itu tidak dibaca sebagai gerakan imam tertentu sebagaimana dituduhkan kepada Pastor Vande Raring selama ini. (Ansel Deri)

Sumber: Harian FLORES POS Ende, edisi 31 Oktober 2007