Monday, April 14, 2008

Menyelamatkan TNGHS, Memberdayakan Warga

Di sebuah jalan kampung di pinggir hutan belasan laki-laki dewasa meminta mobil jip yang kami tumpangi berhenti. Salah seorangnya dengan wajah kaku membentak Mamat Surahmat, yang duduk di samping sopir. Lalu, kata orang itu, ”Jangan cuma lewat-lewat. Kami baru saja memperbaiki jalan yang longsor di sana. Buat bronjong, pakai uang swadaya masyarakat di sini. Taman nasional pengertian dong. Mana uang rokok?”

Mamat, karyawan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), menjawab, dirinya tidak membawa uang karena hanya bertugas mengantar tamu-tamu TNGHS yang akan melakukan penelitian hutan. Setelah berlalu dari orang-orang itu, Mamat mengatakan, sebagian warga kampung tersebut masih marah dengan TNGHS sebagai buntut dari perluasan kawasan TNGHS.

”Dulu, sewaktu mereka masih boleh masuk dan menggarap hutan produksi milik Perhutani, mereka ramah-ramah. Sekarang hutannya masuk kawasan taman nasional. Jadi, tadi itu karena konflik lahan hutan, bukan karena masalah jalan rusak. Mereka tahu, jalan kampung rusak karena truk pengangkut batu kali, truk-truk mereka sendiri,” katanya.

Kehilangan mata pencarian atau lahan garapan memang membuat gamang masyarakat di seputar TNGHS, yang sebagian besar adalah petani. Apalagi, kalau ternyata lahan kampung mereka pun benar-benar masuk kawasan TNGHS. Dari 314 kampung (99.982 jiwa) yang ada, 52 kampung benar-benar berada di dalam kawasan TNGHS. Kampung itu ada di 108 desa. Menyelamatkan TNGHS berarti harus pula memberdayakan perekonomian mereka, yang selama ini sangat bergantung pada lahan-lahan dan hutan di seputar atau di dalam TNGHS.

Salah satu upaya memberdayakan masyarakat itu adalah program Sistem Dukungan Pembangunan Masyarakat Hulu (Sisduk PMH), yang kini tengah disosialisasikan ke masyarakat Desa Cipeutey, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kampung-kampung di desa itu berada di sekitar atau di dalam kawasan TNGHS. Program di desa itu adalah yang pertama kalinya dan akan diterapkan di dua desa lain, dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010).

Program itu kerja sama Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan, sekaligus turut melestarikan hutan.

”Dari uji coba selama tiga tahun nanti akan dievaluasi, apabila hasilnya kurang baik, program bisa dihentikan. Tolok ukur keberhasilan adalah pada hasil. Program ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat, jadi nanti akan dilihat sejauh mana hasil usaha yang dilakukan,” kata Pelaksana Harian Tim Koordinasi Sisduk MPH Kabupaten Sukabumi Asep Sudrajat.

Untuk tahun ini, pihak JICA mengucurkan dana untuk tiga desa tersebut sebesar Rp 100 juta. Tahun 2009 dan 2010 akan dilakukan oleh Pemkab Sukabumi dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah minimal sekitar Rp 100 juta per tahun.

Kampung konservasi

Program Sisduk PMH itu merupakan pengembangan atau tindak lanjut dari Model Kampung Konservasi (MKK) untuk memanfatkan lahan garapan di zona khusus TNGHS. Zona khusus adalah salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat keterlanjuran lahan garapan masyarakat. Lahan garapan itu dibuka pada lahan eks Perum Perhutani. Pihak Balai TNGHS membuat nota kesepahaman MKK selama lima tahun dengan warga kampung yang akan memanfaatkan zona khusus itu.

Balai TNGHS merencanakan seluruh kampung di dalam kawasan ataupun yang berbatasan dengan taman nasional menjadi MKK. Namun, sejauh ini MKK yang terbentuk baru sembilan kampung, yaitu tujuh kampung di wilayah Sukabumi dan dua kampung di Lebak. Namun, yang sudah menandatangani nota kesepahaman baru Kampung Sukagalih, Sukabumi.

Dalam kesepakatan MKK disebutkan antara lain warga dapat memanfaatkan lahan garapannya dengan menanam tanaman sela antara lain padi huma ataupun palawija. Namun, warga juga diwajibkan menanam tanaman asli, seperti puspa, rasamala, pasang, dan juga huru secara bertahap. (SEM/RTS)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008

Halimun-Salak Juga untuk Kepentingan Jakarta

Sejak tahun 2003 masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten sebetulnya boleh merasa lega. Ini karena terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak atau TNGHS. Dengan surat keputusan tersebut, TNGHS bertambah luas hampir tiga kali, dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.

Artinya, pemerintah pusat akhirnya ”sadar” juga pentingnya menjaga ekologi di kawasan tersebut. Kawasan hutan di Pegunungan Halimun dan Gunung Salak itu adalah ”benteng terakhir” hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, yang masih menyisakan sekitar 99 persen keaslian sebuah hutan pegunungan.

TNGHS secara administratif berada di wilayah Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air sekaligus gudang air untuk memenuhi kebutuhan air bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Perusahaan air leding Jakarta dan Bogor jelas-jelas menyedot air bersih dari ”gudang-gudang” air di kawasan itu, untuk barang dagangannya ke masyarakat.

Begitu juga dua perusahaan air minum kemasan terkemuka, yang salah satunya menyedot air bersih 3 juta meter kubik per tahun, atau 44,99 persen dari kapasitas gudang air Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibaregbeg, salah satu daerah aliran sungai yang berhulu di TNGHS.

Pada kawasan TNGHS terdapat 117 hulu sungai ataupun anak sungai yang bermuara ke Laut Jawa di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Sungai dan anak sungai itu membentuk 12 daerah aliran sungai, yang mengatur tata air di wilayah-wilayah pelintasannya.

Aliran air sungai dari setiap DAS itu digunakan masyarakat umum secara langsung untuk mengairi lahan pertanian dan perikanan, kegiatan rumah tangga, pembangkit listrik mikrohidro, industri, serta wisata seperti arung jeram, air terjun, dan pemancingan. Salah satu DAS-nya yang sangat populer adalah DAS Cisadane. Agar DAS berfungsi baik, airnya mengalir dengan baik, ekologi hulunya haruslah berupa hutan asli (primer).

Berbarengan dengan perluasan TNGHS, terkuak pula kerusakan yang terjadi di kawasan hutan hujan pegunungan tersebut. Data yang dikeluarkan Balai TNGHS menyebutkan, degradasi kawasan itu, berupa fragmentasi dan deforestasi. mencapai 19,4 persen atau sekitar 22.000 hektar. Fragmentasi, yaitu hutan asli berubah struktur tegakannya (pohon kayu) menjadi hutan sekunder, hutan produksi, dan hutan tanaman.

Adapun deforestasi adalah hutan berubah menjadi semak belukar dan padang lalang. Deforestasi ini yang paling mengkhawatirkan karena luasnya mencapai 8.323,5 hektar. Hutan jadi mudah terbakar.

Kepala Balai TNGHS Bambang Supriyanto mengatakan, degradasi yang mencapai 22 hektar itu terjadi dalam kurun waktu 15 tahun, yakni dari tahun 1989 sampai 2004. ”Laju kerusakannya rata-rata 1,3 persen per tahun. Sejak tahun 2004 hingga sekarang relatif belum ada kegiatan restorasi yang memadai dan penelitian yang menyeluruh. Jadi, bisa diasumsikan, degradasi kawasan Halimun Salak semakin besar saja,” kata Bambang.

Asumsi itu ada benarnya mengingat titik-titik kerusakan itu berada di perbatasan dengan lahan permukiman atau pertanian milik masyarakat. Belum lagi, di dalam kawasan atau di lahan ”tetangga” TNGHS ada aktivitas perkebunan, pertambangan geotermal dan emas, serta tertancap sebelas menara penyangga kabel tegangan listrik ultratinggi. Apalagi, tenaga pengawas (polisi hutan) hanya 52 orang.

Permadani Paku Andam

Mengikuti aktivitas delapan peneliti ekologi hutan dari LIPI dan IPB pekan lalu di Koridor Halimun, terbukti nyata terjadi deforestasi di TNGHS. Hutan di kawasan tersebut menjadi hutan semak belukar, yang banyak dikuasai pohon eksotis, seperti kaliandra, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pertumbuhan populasi tanaman asli di koridor tersebut.

Koridor Halimun merupakan areal memanjang dari barat ke timur yang menghubungkan dua ekosistem Gunung Halimun dan Gunung Salak. Hal itu penting bagi terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati ataupun sebagai sistem penyangga kehidupan ekologi kawasan. Ini menjadi kawasan yang paling mendesak untuk segera dihutankan kembali.

Menurut Bambang, berdasarkan data citra satelit yang dimilikinya, koridor tersebut pada tahun 1990 masih sepanjang 1,4 kilometer dengan lebar sekitar 4 kilometer. Pada tahun 2001 lebar koridor itu tinggal 0,7 kilometer, atau terdegradasi 347,5 hektar.

”Kondisi koridor yang tersisa itu berupa hutan semak belukar. Di sana pun masih banyak pohon kayu bukan asli kawasan, misalnya, agatis dan mahoni, yang sengaja ditanam di sana sebagai aktivitas pengolahan hutan produksi. Untuk kembali sebagai hutan sekunder, memerlukan waktu puluhan tahun. Perlu ratusan tahun lagi untuk menjadi hutan hujan pegunungan utuh atau hutan primer,” kata Purwaningsih, salah seorang peneliti itu.

Purwaningsih dan para koleganya merasa khawatir, koridor itu makin rusak. Saat melakukan penelitian di tiga zona koridor itu, mereka tetap menemukan penambangan liar. ”Kami malah melihat penebangnya, yang langsung lari begitu didekati. Di lokasi itu ada belasan pohon yang sudah ditebang. Jalan ke arah sungai untuk membawa kayu itu sudah ada,” kata Suparno, peneliti lain.

”Pengecekan lapangan yang kami lakukan tahun 2006 menunjukkan ladang-ladang yang dulu sudah menjadi semak belukar karena ditinggalkan penggarapnya kini menjadi ladang-ladang pertanian kembali. Urusannya untuk segera menanam pohon keras di situ jadi sulit karena kini harus berhadapan dengan manusia lagi,” kata Dones Rinaldi, juga peneliti.

Selain kaliandra, koridor juga dijajah belukar paku andam (Dicranopteris linearis). Bahkan sebuah permukaan bukit di sana sudah menjadi ”permadani” hijau belukar, yang tingginya 1-2 meter dan sulit untuk diterobos. ”Keberadaan paku andam sebenarnya dapat memenuhi penutupan lahan, dan menjalankan fungsi menahan erosi. Tapi, kekuatannya untuk menyimpan air tentu tak sekuat pohon-pohon besar,” lanjut Dones.

Butuh pencari 4 juta bibit


Selain belukar, terlihat juga lahan terbuka cukup luas di koridor itu akibat tanah longsor. Dari jarak beberapa kilometer, warna merah kecoklatan tanah itu terlihat kontras di tengah warna hijau hutan. Penanaman pohon keras dan restorasi hutan belukar di kawasan itu menjadi suatu keharusan.

Untungnya, tim peneliti dari LIPI dan IPB itu juga mengatakan, bibit pohon kayu asli kawasan itu, seperti puspa, rasamala, saninten, dan berbagai jenis huru, berlimpah di hutan primernya. Jadi kebutuhan akan bibit bisa didapat dari sana. Yang jadi soal, bibit yang dibutuhkan untuk merestorasi 8.323,5 hektar adalah sekitar empat juta bibit. Jelas, 52 polisi hutan dan 57 karyawan TNGHS lainnya tidak mampu melakukan hal itu, tanpa dukungan banyak pihak.

Sekarang, apakah kita sebagai pemanfaat sumber daya alam TNGHS, baik secara langsung maupun tidak langsung, tergerak untuk membantu mencari bibitnya? (Ratih P Sudarsono dan Samuel Oktora)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008