Friday, October 19, 2007

Lembata, kontroversi penambangan Merukh Enterprise

GARA-GARA kehadiran grup Merukh Enterprise hendak menambang tembaga dan emas di perut nusa Lembata, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lembata "berseteru". Protes yang meresahan, demo-demo yang menggerogoti ketenteraman. Sudah dapat diduga jauh sebelumnya, sudah berlangsung dan tidak ada jaminan bahwa semuanya akan meredup atau hilang di masa depan.

Terutama ini, kiranya Bupati Lembata Drs. Andreas Duli Manuk, dan Wakil Bupati Drs. Andreas Nula Liliweri, mengantisipasi melihatnya, namun jajarannya aparatnya, DPRD Lembata sangat tidak mendukung. SDM payah jauh panggang dari api. Meskipun sudah ada pelajaran dari proyek-proyek seperti Freeport di Papua, Exxon Mobile di tanah Rencong, timah di Bangka, Artha Graha di Bukaka di Sulawesi, Marmer di TTS, dan berbagai megaproyek di sejumlah daerah lainnya. Bahwa, kehadiran berbagai megaproyek itu selalu saja menjamur berbagai masalah ikutan lainnya seperti politik, budaya, sosial kemasyarakatan. Masalah klise seperti tanah, ganti rugi, misalnya, selalu saja mencuat, meresahkan, membakar emosi rakyat. Hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Tetapi itulah yang terjadi. Seperti hal baru. Kaget ketika masyarakat marah besar, baru siksak untuk menggelar berbagai aksi sosialiasi.

Berkat dan kutuk

Menurut para futurolog, pada hakekatnya kemajuan itu adalah paradoks dua hal yang punya sisi berlawanan-bertentangan, tapi perlu karena wajar. Wajar perlu dua hal yang saling berlawanan itu adalah BERKAT PERUBAHAN (BP) dan KUTUK PERUBAHAN (KP). BP seperti memberi kemungkinan baru, kesempatan dan rezeki baru dan sebagainya. Sedangkan Kutuk Perubahan (KP) seperti kehilangan kesempatan hilangnya rezeki dan semacamnya. BP umumnya yang sungguh-sungguh siap terhadap tanda-tanda zaman dan perubahannya. KP umumnya atau khususnya bagi yang sungguh-sungguh tidak siap terhadap tanda-tanda zaman dan perkembangannya. Tidak ada insan di planet bundar ini yang bisa luput dari BP dan KP itU. Tidak ada, juga khusus yang sekarang tengah menggerayanyi Kabupaten Lembata yang tercinta. Khusus oleh sepak terjang Grup Merukh Enterprise dalam upaya eksploitasi tembaga dan emas.

Yang sungguh siap boleh lenggang kangkung dan tertawa mulut berbusa. Yang sungguh tidak siap boleh menggeliat bagai cacing kepanasan di batu karang. Menimbang dua fenomena itulah, ideal kalau pemerintah daerah plus jajaran DPRD harus bisa membumikan, sosialisasi masalah penambangan itu, jauh sebelumnya berkali-kali. Dan bukan sepertinya terkejut pada hari H-nya lalu siksak menggalakkan sosialisasi. Mengganggap bahwa dengan cara itu rakyat akan dengan sendirinya menerima keadaan itu. Salah besar. Imposible! Tidak bisa hanya sekali dua sosialisasi, tetapi harus berkali-kali. Tak hentinya bagai melubangi batu wadas dengan tetesan air ribuan sampai jutaan tahun. Ada kalimat Latin untuk ini "Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo". Titik-titik air melubangi batu bukan karena kekuatan tetapi karena keseringannya jatuh. Seperti proses yang menjadikan stalagtit dan stalagmit di gua-gua yang mempesona. Seperti iklan-iklan di layar perak yang meninabobokan/membosankan. Jadi tidak hanya sekali dua turun ke daerah-daerah dengan seragam dan NIP mengkilau, lalu bilang. "Sesungguhnya rakyat sudah mendapat sosialisasi..." Memuakkan. Memualkan.

Lagi sekali sesungguhnya realitas megaproyek di tanah Rencong, Bangka, Kalimatan, Sulawesi, Timor dan di Jawa atau di Freeport, di Papua sudah memberi pelajaran. Bahwa soal proyek, bisnis, masalah-masalah ikutannya sungguh berlapis-lapis yang tak bisa dikuliti atau dilepaskan begitu saja. Solusinya, merakyatkan megaproyek itu jauh-jauh hari sebelumnya. Bukan untuk apa-apa, tapi untuk itulah setiap perubahan/perkembangan senantiasa berkaitan langsung pun tidak langsung dengan BP dan KP yang sudah disebutkan tadi.

Penulis sendiri bahkan sudah mendengar isu itu sejak tahun 1980-an dan 1990-an langsung dari orang-orang Hankam dari Jakarta. Dikatakan "Lembata itu, menurut foto satelit NASA sangat potensial dengan barang-barang tambang. Dalam foto itu dilihat betapa Lembata itu penuh dengan titik-titik hitam. Itulah barang-barang tambang, tembaga, emas dan sebagainya". Kemudian diisukan lagi di tahun 2000-an, bahwa tahun 2007 nanti, Lembata itu akan dikosongkan dan hanya para investor yang menghuni Lembata untuk mengeruk barang-barang tambang dari pulau yang dahulunya nama Nusa Lomblen".

Sejumlah suara senior Jakarta (termasuk penulis) langsung mencibir di saat itu. "Itu berarti membuat masalah besar di Lembata. Anak negeri Lembata mana yang mau mengungsi dari tanah pusaranya? Sebaiknya kalau kemungkinan itu cukup kuat, maka sejak sekarang sedapatnya pemerintah mengadakan pendekatan dengan anak negeri, khusus dengan tuan-tuan tanah di lokasi-lokasi tambang tersebut. Dan, sentilan itu juga pernah penulis catat lewat media ini di tahun 2000-an. Sekarang, semua itu jadi nyata, setidaknya mulai mencuat, ribut-ribut soal penambangan tembaga dan emas oleh Grup Merukh Enterprise. Katakan saja Bupati Drs. Andreas Duli Manuk dan Wakil Bupati Drs. Andreas Nula Liliweri melihat masalah-maslaah itu. Tapi jajarannya, DPRD Lembata kiranya tidak siap untuk sigap merakyatkan megaproyek itu. Bisa dipahami jangankan megaproyek, proyek kecil saja seperti pasar inpres atau pengaspalan di tengah Kota Lewoleba saja ributnya bukan main. Bukan main-main saling silang pendapat, bukan main saling banting. Realitas sekarang, ribut tentang penambangan tembaga dan emas hanya untuk kesekian kalinya memang hanya dengan demikianlah kemampuan kita, hanya seperti itulah keunggulan kita.

Dalam fenomena seperti itulah sungguh tidak jelas bagaimana kita bisa membaca tanda-tanda zaman dan BP dan KP itu. SDM yang payah membuat masalah seperti mengurai benang kusut.

Masalah berantai

Lembata sebagai daerah tambang sesungguhnya bukanlah hal baru. Putra-putri Lembata sudah mengenal FAO di Lamalera, barit di Kedang, panas bumi di Ata Dei. Sudah cukup pelajaran, bahwa dengan proyek-proyek dari luar anak negeri sungguh tak terhindar dari tetesan BP atau hempasan KP itu. Lembata terlalu kecil untuk mengetahui dan belajar akan hal-hal itu.
Dan sekarang kita berhadapkan lagi dengan Grup Merukh Enterprise dalam usaha menambang tembaga dan emas. Ribut lagi. Bentrok lagi. dan bisa dipastikan, hal-hal itu masih akan "ramai’ ke depan. Musababnya, itulah SDM kita payah. Lihat saja!

B MIchael Beding, penulis, wartawan, tinggal di Jakarta

Sumber: Pos Kupang, Rabu 21 Feb 2007

Menakar Kualitas STUBA Tambang

Ketika cara membaca sumberdaya alam sebagai kekayaan dan sumber devisa negara dan bukan bagian dari lingkungan hidup rakyat, maka tak heran hak pengaturan pemanfaatannya menjadi hak politik pemimpin politik bangsa, yang sering di Republik yang berusia 62 tahun ini, kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup dikalahkan kepentingan politik dan bisnis. Memahami rakyat sebagai bagian utuh dari lingkungan hidup mengandaikan ada perspektif berpikir yang adil tentang kesatuan ekosistem. Sebagai satu kesatuan ekosistem berarti ada hubungan saling keterkaitan. Di sana jika terjadi kerusakan lingkungan otomatis ekosistem seluruhnya terganggu tanpa peduli di wilayah siapakah lingkungan itu rusak. Lihat saja, kebakaran di kalimantan karena ulah rakus pengelolaan alam di negeri ini tidak saja dirasakan akibatnya hanya dalam negeri tetapi juga sampai negara tetangga lainnya. Sementara masyarakat setempatpun hanya mendapat yang sisa dan tercecer. Semuanya untuk investor, yang bekerja di bawah perlindungan regulasi negara.

Berlatarbelakang secuil saja gambaran tentang lingkungan sebagai kesatuan relasi antara manusia dengan alam, udara, air dan makhluk lainnya, tulisan ini sekedar mau menakar kualitas sebuah Studi Banding yang baru saja dilakukan para pejabat penting di pulau Lembata. Karena itu terminologi lingkungan hidup tidak didefinisikan berdasarkan berbagai pendapat pakar. Sebatas gugatan moral berdasarkan temuan-temuan tim studi banding dari Lembata ke lokasi tambang di Newmont Nusa Tenggara dan Newmont Minahasa yang tercecer di media massa. Juga mengapa studi banding dilakukan ke Nusa Tenggara dan Minahasa dan bukan ke Papua atau Bangka Belitung, serta siapa pula yang memfasilitasinya, lalu seperti apa perspektif para wakil rakyat Lembata.

Di Newmont Ada Apa dan Siapa?

Pertanyaan yang sempat mengetuk nuraniku sebagai anak kelahiran Lembata adalah mengapa para wakil rakyat itu mau juga melakukan studi banding ke lokasi pertambangan milik Newmont, sementara rakyat sendiri menolak dan pihak Merukh sendiri menyatakan dengan arogan di tengah pro kontra sidang paripurna DPRD Lembata beberapa waktu lalu bahwa biar rakyat menolak, mereka jalan terus.

Ada apa di PT. Newmont? Sejumlah informasi mengatakan bahwa di PT. Newmont ada sahamnya Merukh Interprices. Benarkah? Lalu siapakah yang mengarahkan tim stuba ke sana dan bukan ke Papua? Padahal, lokasi tambang Freeport di Papua lebih dulu geger dengan kasus lingkungan dan pelanggaran HAM ketimbang Newmont yang belakangan menyusul.Apa yang hendak dibandingkan di sana? Bukankah akan diperlihatkan yang baik-baik saja? Menjawab peretanyaan mengapa ke Newmont, maka pertanyaan ini penting: Apakah karena di sana ada Merukh? Artinya bisa diduga bahwa boleh saja dalam studi banding ini ada konsensus dan skenario yang dibangun di belakang layar. Sehingga untuk tim studi banding bisa saja berlaku ungkapan “bagai kerbau dicocok hidungnya.” Semua pasti terpesona dan berdecak kagum dengan konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal di lokasi pertambangan, lalu kemudian secara tidak kritis bermimpi akan seperti itu nanti di Lembata.

Siapapun yang kritis dengan laporan seperti itu akan meragukan kenetralan proses studi banding yang dilakukan itu. Apalagi jika studi banding ini turut difasilitasi oleh PT. Merukh, serta tim studi banding hanya nongol beberapa saat di lokasi tambang yang luas itu. Kualitas sebuah studi banding yang protokoler, dalam waktu singkat, diskenariokan bersama kepentingan bisnis, tidak bisa disamakan dengan sebuah tim investigasi independen. Jika DPRD Lembata komit dengan rakyat, tidak usah studi banding tetapi menyewah tim investigasi independen untuk melakukan investigasi di lokasi tambang itu. Apalagi informasi yang penulis dapatkan bahwa perjalanan studi banding itu sangat mewah. Di Jakarta dilangsungkan pertemuan akbar di Ritz Carton Hotel, yang tentu memakan biaya. Kabarnya perusahaan pertambangan ini menghabiskan sekitar 1 miliar rupiah.

Seperti dilaporkan kontributor Flores Pos dari Jakarta bahwa perusahaan ini dengan bangga (angkuh?) memamerkan kemampuannya untuk mensejahterakan rakyat yang tanah dan lahannya terkena lokasi tambang. Pos Kupang melaporkan, akan diberikan 1,5 triliun untuk pemilik ulayat, pemilik tanah dan Pemkab. Juga bangun rumah, sekolahkan anak-anak, berikan mobil, beasiswa ke luar negeri dan pekerjaan (Pos Kupang, 15. Agustus). Juga dengan angkuh berkata siapa yang menghalangi usaha pertambangan ini akan dimarahi Tuhan. Nama Tuhan dengan mudah dijadikan ancaman untuk memuluskan sebuah bisnis yang beresiko melanggar HAM. Saya tersenyum sendiri ketika teringat pada tulisan ahli Kitab Suci STFK Ledalero P. Dr. Guido Tisera, SVD di Pos Kupang beberapa tahun lalu ketika mengomentari sejumlah pejabat di Flores yang sering menggunakan nama Tuhan. Pater Guido menulis bahwa “Iblispun pandai menggunakan nama Tuhan.”

Menakar Kekritisan Wakil Rakyat

Tim dari Lembata telah melakukan studi banding ke PT. Newmont. Pos Kupang melaporkan dari lokasi bahwa pihak Newmont membuka pintu dan memfasilitasi kunjungan ke sejumlah lokasi yang sukses. Bahkan menurut Ketua DPRD Lembata, lingkungannya jauh lebih lestari dari sebelum dilaksanakan kegiatan pertambangan. Juga terpesona dan kagum dengan lobang galian sedalam ratusan meter yang di kelilingnya ada jalan untuk keluar masuknya kendaraan membawa material. Ada anggota DPRD yang mengatakan, yang ditambang bukan emas tetapi tembaga dan bahan ikutan lainnya (Flores Pos, 23 Agustus).

Ada kesan lucu dan naif dalam pendapat-pendapat ini. Lobang galian sedalam ratusan meter masih dikatakan lestari dan tidak merusak lingkungan. Pemahaman tentang lingkungan yang dangkal. Padahal ada putra pulau Lembata sekaligus adik kandung Ketua DPRD Lembata yang pernah menjabat Mentri Negara Lingkungan Hidup. Sementara lokasi galian C di DAS Waikomo Lembata sering dipersoalkan karena merusak lingkungan. Lalu apa itu emas dan apa itu tembaga? Sama-sama logamkan? Adakah data bahwa tembaga bisa ditambang tanpa merusakan lingkungan? Dan apakah lingkungan itu hanya sebatas menanam pohon-pohon?

Bagaimana dengan penggalian ratusan meter itu? Bagaimana dengan udara yang tercemar debu ketika ratusan ton isi perut bumi dikeluarkan dan diangkut truk-truk? Bagaimana dengan limbah kimia yang dibuang ke laut tempat berkembang biak ikan-ikan? Apakah anggota DPRD juga melakukan studi di dasar laut sana, dan melihat seperti apa model pipa pembuang tailing? Di Newmont itu pernah terjadi kebocoran pipa tailing. Dan di Minahasa tepatnya di teluk buyat itu penduduknya menderita sakit mirip minamata di Jepang yang diduga akibat dari pencemaran laut. Jenis penyakit akut yang mirip polio karena menyerang sistem saraf pusat itu terjadi di Kota Minamata, Perfektur Kumamoto, Pulau Kyushu, antara tahun 1953 sampai tahun 1960 karena air yang dikonsumsi tercemar air raksasa. Penyakit ini memiliki ciri antara lain degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai koordinasi saraf, gangguan pada luas pandang, degenerasi pada sarung selaput saraf dan bagian dari otak kecil. Penyakit itu muncul pada tahun 2000 dan diduga kuat saat itu PT NMR mulai membuang seluruh limbah penambangan emas mereka ke Teluk Buyat melalui pipa baja. (http://www.walhi.or.id/).

Bagi yang tidak kritis tentu dalam kunjungan ini hanya sebatas mengagumi kehebatan perusahan melobangi bumi sedalam itu. Tapi bagi yang kritis dan sensitif pada lingkungan, kesehatan dan keadilan sosial, tentu akan membangun analisis terhadap lobang bumi yang dalam itu. Tentang berapa ton bebatuan deposit tembaga yang dibongkar dari lokasi itu, tentang berapa banyak debu kotor yang diterbangkan angin dan turut dihirup oleh penduduk di luar lokasi tambang, serta untuk siapa sajakah kandungan bumi ini diambil dari lokasi ini. Juga akan diapakan kemudian jika perusahaan berhenti beroperasi. Kita menunggu laporan tim studi banding, apakah ada analisis kritis tentang lingkungan, kesehatan dan keadilan sosial? Tergantung ada tidak kesungguhan mengali data di lokasi studi banding. Kalau tidak punya data maka bukan studi banding tetapi pesiar.

Jika DPRD mengagumi kesejahteraan rakyat hasil proyek Community Developmentnnya pertambangan, dan juga tenaga kerja lokal yang diserap, lalu apakah anggota DPRD mendapat data perbandingan gaji antara para manager dengan upah para buruh kasar dan lokal itu? Dari resiko kehidupan, buruh kasar lokal yang bergaji jauh lebih rendah dari para manager asing itu setiap hari menghirup dan menabung di paru-parunya debu kotor dari pertambangan. Maka kalau DPRD kagum bahwa perusahaan membangun Rumah Sakit, itu tuntutan UU supaya turut membantu tenaga kerja dan masyarakat sekitar yang beresiko tinggi karena kotoran debu dan limbah beracun. Artinya sebenarnya rumah sakit itu tidak diperlukan jika lingkungan tidak dirusakan oleh aktifitas pertambangan.

Di lokasi studi banding juga tentu pihak perusahaan yang memfasilitasi para tamunya. Harus melihat lokasi tertentu, harus membaca data yang disiapkan dan harus bertemu dengan penduduk tertentu. Pernahkah para wakil rakyat ini berpikir kritis? Apakah Newmont mau membuka data bahwa ada resiko buruk yang ditimbulkan pertambangan? Farid Tolomundo dalam bukunya tentang tambang di Newmont Nusa Tenggara menulis bahwa pernah ada dokter relawan dari Jakarta yang melakukan pemeriksaan kesehatan pada masyarakat di sekitar lokasi tambang. Saat kembali, di jalan rombongan ini dihadang preman bayaran yang lalu merampas semua dokumen mereka. Bahkan karema-kamera dikeluarkan rekamannya. Mengapa? Artinya ada yang sedang disembunyikan. Tapi lebih dari itu preman seperti ini melecutkan konflik sebagai bencana sosial. Pertambangan menyimpan potensi konflik sosial baik horisontal maupun vertikal.

Nurani Yang Mungkin Terbeli

Karena tim dari Lembata ini datang dengan ijin PT. Newmont serta difasilitasi PT. Merukh maka dengan mudah memasuki wilayah pertambangan. Tetapi ada satu hal yang bisa ditebak adalah, tim ini tentu tidak bebas mengendus informasi. Kita tunggu di laporan resmi DPRD nanti. Yang pasti, ada sejuta dampak buruk di lokasi pertambangan. Sebab belum pernah ada ceritera di dunia ini bahwa pertambangan itu dampaknya baik seluruhnya. Malahan terbanyak buruknya. Juga dampaknya terjadi di hilir, sebagaimana di teluk Buyat Minahasa. Studi banding seharusnya tidak cuma di lokasi tambang tetapi mengendus informasi jauh di kehidupan masyarakat sekitar, sampai ke hilir. Ke dalam keseharian hidup masyarakat melalui pendekatan-pendekatan yang memakan waktu agar mendapatkan data memadai.

Laporan tim studi banding akan menjadi cermin kejernihan nurani para pemimpin rakyat Lembata. Jika tim ini akhirnya merekomendasikan bahwa dua lokasi studi banding yang dikunjungi itu membawa keuntungan lahir bathin dan tidak ada cacat celahnya, dan karena itu menyatakan well come, maka kita sebagai rakyat tentu berhak bertanya: “apakah nurani para pemimpin ini sudah terbeli?”

Rakyat Jadi Tumbal Keserakahan

Lantas, apa yang akan terjadi jika nurani para pemimpin pulau Lembata sudah terbeli dengan uang dan kemewahan; dan mungkin aneka pelayanan di perjalanan yang barangkali selama hidup belum dinikmati, seperti menginap di hotel bintang atau pelayanan lainny? Terhadap pernyataan dugaan ini, pasti ada ruang pembelaan diri. Ini sah-sah saja.

Hanya mau saya katakan di sini bahwa apapun keputusan yang diambil pemerintah Lembata, pada saat yang sama sedang menyemai penderitaan bagi penduduk Lembata di hari esok. Masa di mana para pemimpin Lembata pembuat keputusan saat ini sudah menjadi debu tanah di liang kubur. Artinya mewarisi kerusakan lingkungan, pencemaran air dan udara yang akan dinikmati tidak saja penduduk Lembata tetapi bisa saja kabupaten sekitar seperti Flores Timur dan Alor.

Dan hal terakhir. Karena studi banding ini merupakan sebuah perhelatan politik dan bukan sebuah studi komprehensif dan ilmiah maka keputusannya akan sangat politis. Pembuktian ilmiah tidak lagi menjadi taruhan di ruang parlemen yang sering diramaikan oleh suap, sogok dan amplop di bawah map keputusan yang akan ditandatangani. Palu pimpinan dewan membawa rejeki nomplok lantaran keputusan politik memenangkan kepentingan bisnis. Dan pada saat itu “Rakyat sedang jadi Tumbal bagi Keserakahan ini.” Seperti masyarakat Buyat yang menderita sendirian.

Melkhior Koli Baran, Direktur Walhi NTT periode 2001-2005,
kini Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD) di Ende.
Sumber: harian FLORES POS Ende, 27 Agustus 2007

Rencana Tambang Emas di Leragere Masyarakat Jadi Pemegang Saham?

PERSOALAN pertambangan di Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata semakin berkembang dan meluas. Dan hal ini tidak menguntungkan bagi semua pihak (ekonomi politik wilayah). Pemerintah (pusat atau daerah) yang tentu telah menerbitkan izin pertambangan atau setidaknya telah mengundang investor untuk datang tetap berkeyakinan bahwa kehadiran investor tersebut merupakan berkat. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kehadiran modal swasta diperlukan dalam pembangunan Lembata. Investor penambang tentu saja tidak akan membiarkan pihak lain menghalangi rencana bisnis mereka, karena mereka terikat dengan pemegang saham, bank atau lembaga keuangan yang telah memberikan pinjaman atau ketentuan hukum pasar modal jika mereka mendapatkan dananya melalui lembaga pasar modal (saham atau obligasi).

Tanah ulayat-setoran modal

Perbedaan pandangan dalam pengelolaan tambang emas di Leragere seharusnya tidak perlu terjadi seandainya masyarakat Leragere selaku pemilik tanah, sejak awal dianggap sebagai pemodal, juga dengan kepemilikan mereka atas tanah sebagai setoran modal. Tanah ulayat yang mereka miliki seharusnya dan sepatutnya diperhitungkan sebagai investasi, dan mereka tidak harus dipandang sebagai penghambat apalagi korban. Seandainya perusahaan pertambangan yang memiliki izin memiliki uang, teknologi dan sumber daya manusia (SDM), maka ketiga faktor tersebut tidak cukup untuk melakukan penggalian emas tanpa melakukan penggalian atas permukaan tanahnya.

Uang, teknologi, dan SDM merupakan faktor tambahan, dan faktor yang paling penting atau yang tidak dapat diabaikan, adalah cadangan emas yang terletak dalam perut bumi Leragere. Dengan demikian, maka masyarakat adat Leragere selaku pemilik tanah ulayat harus dijadikan pemegang saham dalam perusahaan penambangan tersebut. Sehingga mereka merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan penambangan tersebut. Bagaimana caranya?

Cadangan emas-mineral lainnya

Perusahaan penambangan tentu saja sebelum melakukan eksploitasi, telah melakukan studi atau eksplorasi mengenai jumlah cadangan emas atau sumber mineral lainnya dalam perut bumi Leragere. Berdasarkan perhitungan tersebut, sebenarnya para pemodal melakukan kerjasama dengan pemodal lain atau lembaga keuangan. Termasuk mendapatkan dana murah melalui pasar modal (equity atau bonds) guna pembiayaan penambangan.

Investor penambangpun tentu saja telah mengeluarkan banyak investasi jauh sebelum melakukan rencana eksploitasi atas penambangan emas di wilayah Leragere. Dengan demikian, mengabaikan kepentingan mereka sama sekalipun merupakan sikap yang kurang bijaksana, kecuali sejak awal pemerintah daerah atau pusat tidak memperkenankan mereka untuk melakukan eksplorasi atas penambangan di wilayah tersebut. Misalnya, yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan tidak melakukan eksplorasi minyak di wilayah mereka sendiri saat ini. Kecuali cadangan-candangan minyak tempat lain telah habis atau sumber energi alternatif tidak dapat ditemukan. Pemerintah Negeri Paman Sam itu memandang cadangan minyaknya sebagai last resources (sumber terakhir jika tidak ada pilihan lain atas energi).

Masyarakat ulayat selaku pemegang saham.

Secara teoritis sebenarnya masyarakat ulayat Leragere dapat menjadi pemegang saham, dengan melakukan konversi nilai atas tanah dan cadangan emas didalamnya menjadi nilai saham. Meskipun perhitungan konversi nilai tanah dan potensi cadangan emas tersebut tidak mudah dilakukan, namun secara teoritis sesungguhnya dengan menjadikan masyarakat ulayat Leragere sebagai pemegang saham dalam perusahaan penambang, hemat penulis, hal ini akan menguntungkan semua pihak. Baik bagi perusahaan penambang, pemerintah daerah maupun masyarakat ulayat itu. Dengan menjadikan mereka sebagai pemegang saham dalam perusahaan penambang, maka masyarakat ulayat tidak harus menjadi korban dari sebuah proyek penambangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Mengorbankan mereka dalam proses penambangan saat ini mempunyai implikasi jangka panjang yang tentu tidak kita harapkan. Mengalahkan dan mengabaikan mereka memang lebih mudah daripada mengakomodasi kepentingan mereka saat ini. Namun, membuat kelompok ini frustrasi tidak mustahil kita sedang melahirkan "anak teroris" untuk masa depan pembangunan wilayah (geopolitik ekonomi wilayah). Jangan sampai mereka merasa terabaikan dan tidak merasa sebagai anak cucu kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Jika itu terjadi maka kita semua akan mengalami kerugian.

Bagaimana jadi pemegang saham?

Pemerintah daerah, gereja atau lembaga lain yang bisa mewakili kepentingan masyarakat Leragere bisa menjadi beneficial shareholders untuk saat-saat awal sampai mereka sendiri memiliki kemampuan untuk menjadi registered shareholders (pemegang saham terdaftar). Anak-anak mereka yang telah berpendidikan nantinya dapat menjadi pemimpin kepentingan mereka sendiri untuk jangka panjang. Mengenai sistem pembagian dan distribusi dividen atau persentasi kepemilikan di antara mereka, biarkan hukum adat mereka yang mengatur tanpa intervensi pihak lain, kecuali dimintakan atau dilakukan demi kepentingan mereka. Semoga dengan menjadikan mereka selaku pemegang saham dalam perusahaan pertambangan tersebut, sengketa dan rencana perusahaan pertambangan emas (bahan mineral lainnya) di Leragere yang telah dirintis tidak menimbulkan korban bagi masyarakat, bahkan bisa menjadi berkat dan model pembangunan yang partisipatif bagi proyek-proyek lain di masa depan.

Agustinus Dawarja SH, Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal, tinggal di Jakarta

Sumber: Pos Kupang, 15 Juni 2007

Dimensi Pembangunan Masyarakat NTT Dibahas

Jakarta - Berbagai dimensi pembangunan masyarakat NTT dibahas dalam diskusi bertema “Otonomi Daerah dalam Krisis: Pro-Kontra Tambang Lembata Nusa Tenggara Timur”, Senin (30/7). Acara yang diselenggarakan oleh Parrhesia Institute, dan Jakarta Integrated Community Development melahirkan enam rekomendasi.pembangunan terpadu.

Enam dimensi itu, yakni ekonomi, politik, sosial, budaya, spiritual, dan lingkungan hidup. intinya bahwa pembangunan harus memperhatikan aspek keutuhan lingkungan hidup dan kesejahteraan personal masyarakat setempat. Demikian juga di LembataKebijakan harus dirumuskan berdasarkan konsensus dengan masyarakat lokal. Penghargaan atas Hak Teritorial, yakni hak masyarakat atas tanah tempat tinggal merk CSR (Corporate Social Responsiblity) harus memadai Kompensasi/Ganti Rugi yang proporsional

Direktur Parrhesia Institute Boni Hargens yang menjadi pembicara utama mengatakan, kesalahan kebijakan eksplorasi tambang di Lembata antara lain lemahnya sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat, kebijakan top-down, bertentangan dengan semangat otonomi daerah pada tahap eksplorasi, perusahaan dari pengusaha Jusuf Merukh diduga sudah melakukan eksploitasi sepihak.

Tawaran solusi adalah Perda Tambang dirumuskan dengan melibatkan masyarakat, LSM, melakukan komunikasi dua arah dengan masyarakat, sosialisasi kebijakan dan membuat studi ilmiah sebelum dilakukan eksplorasi dan eksploitasi. (sur)

Sumber: SINAR HARAPAN, Selasa, 31 Juli 2007

Hak ulayat Leragere-Lembata

TOKOH masyarakat ulayat, Muri Aloysius dan Romo Antonius Prakum Keraf, Pr, dalam harian Pos Kupang telah menyatakan pikiran dan inspirasinya mengenai ketidaksetujuan masyarakat hukum adat dengan kehadiran pemodal penambang emas di Leragere, Kabupaten Lembata. Keberatan masyarakat Leragere sangat kita hormati dan seharusnya semua elemen masyarakat dan negara, terutama para wakil rakyat (DPRD dan DPR) harus mendukung atau setidak-tidaknya mendengarkan apa keberatan masyarakat ulayat Leragere. Penulis mencoba melihat hak persekutuan hukum masyarakat Leragere, Lembata berdasarkan hukum positif.

Hak Ulayat Leragere: Hubungan abadi

Apabila membaca ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 (UUPA), sangat jelas dikatakan adalah hubungan antara Bangsa Indonesia (baca bangsa Leragere) dengan bumi, air serta angkasa adalah hubungan abadi (baca kekal). Dalam Pasal 2 (4) dan Pasal 3 UUPA juga disebutkan bahwa hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat dan juga secara jelas menyatakan pengakuan atas Hukum Adat.

Berdasarkan Permen-Agra/Ka.BPN 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan, "Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat untuk selanjutnya disebut Hak Ulayat) adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakathukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan". Mencermati pengertian tersebut, maka hubungan tidak terputus serta lahiriah dan batiniah (non-ekonomis) secara terus menerus dan abadi antara wilayah dan masyarakat hukum adat diakui oleh hukum.

Sesuai dengan Permen-Agra/Ka.BPN 5/1999 tersebut, maka perselisihan antara masyarakat hukum adat Leragere dengan perusahaan penambang bisa dijadikan acuan dalam penyelesaian sengketa tersebut. Pemerintah Kabupaten Lembata sebagai pemerintah daerah otonom, tentu saja tidak dapat begitu saja mengabaikan hak hukum adat masyarakat persekutuan hukum adat Leragere. Ini penting karena sistem hukum adat juga merupakan sistem hukum nasional terutama hukum agraria.

Harus akui hukum adat Leragere

Pasal 5 UUPA dengan jelas menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Perlu diingatkan oleh penulis bahwa kepentingan perusahaan penambang (investor) bukanlah kepentingan negara dan nasional.

Lebih lanjut dalam pasal 15 UUPA disebutkan bahwa kepentingan pihak yang ekonomis lemah harus diperhatikan. Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya sertamencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Mencermati keberatan masyarakat hukum adat Leragere atas kehadiran perusahaan penambang emas, hemat penulis, pemerintah, penegak hukum serta DPR (D) wajib melindungi kepentingan masyarakat adat Leragere.

Kuasa pertambangan dapat dicabut

Apabila pemodal hendak memanfaatkan tanah di mana terdapat hak hukum masyarakat ulayat di dalamnya, maka berdasarkan ketentuan Kepmen-Agra/Ka.BPN 21/1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal juga telah diatur. Di mana antara lain disebutkan bahwa perusahaan tersebut langsung berhubungan dengan pihak-pihak yang menguasai atas tanah-tanah yang hendak dikuasainya tersebut. Dalam kasus Leragere, jika benar bahwa masyarakat hukum adat Leragere yang berhak atas tanah-tanah tersebut, maka hukum memberikan hak kepada persekutuan hukum adat Leragere untuk menentukan apakah tanahnya dijual atau tidak kepada sang pemodal.

Berdasarkan Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Keppres 55 tahun 1993 telah dicabut) juga kepentingan umum telah didefinisikan secara limitatif. Dalam perpres tersebut sama sekali tidak disebutkan kepentingan perusahaan penambangan merupakan kepentingan umum. Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten Lembata tidak diperkenankan menurut hukum untuk turut terlibat dalam urusan pelepasan hak atas tanah-tanah adat untuk kepentingan perusahaanpenambang.

Jika mempelajari UUPA, maka kita tidak menemukan salah satu jenis hak atas tanah yang disebut hak atau kuasa pertambangan, karena hak atas tanah dalam UUPA adalah permukaan tanah. Di lain pihak, jika memperhatikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, antara lain disebutkan, "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan."

Mencermati pengertian tersebut serta dibandingkan dengan hubungan abadi antara masyarakat hukum adat dengan tanah, bumi serta air, maka seharusnya hak hukum masyarakat Leragere lebih kuat dan abadi dibandingkan kepentingan perusahaan penambang. Kuasa pertambangan tersebut bisa dicabut jika merusak dan menggangu kepentingan hukum pihak lain apalagi masyarakat ekonomis yang lemah.

Memperhatikan hak hukum adat Leragere, Lembata yang dilindungi oleh UUPA, maka Pemerintah Kabupaten Lembata serta penegak hukum lainnya wajib menghormati penolakan hak hukum ulayat yang memiliki hubungan abadi dengan tanah mereka. Tidak urgennya kehadiran perusahaan pertambangan di Lembata, hemat penulis maka saatnya kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945 direalisasikan untuk kepentingan masyarakat hukum adat Leragere. Perusahaan pertambangan bisa datang sekarang dan pergi besok meninggalkan limbah meskipun kehadiran mereka juga baik, namun tidak penting. Tata hukum adat Leragere telah hadir beribu tahun tanpa ada pertambangan. Jangan sampai Leragere hanya tinggal bangkai ketika emasnya telah habis. Gubernur Sulawesi Utara pada tanggal 12 Februari 2007 bisa menjadi contoh yang baik. Dengan tegas dia menolakmemberi izin kepada dua perusahaan pertambangan emas (PT TTN dan MSM) dengan alasan adanya penolakan dari masyarakat adat, tercemarnya lingkungan hidup, dan rencana pengembangan pariwisata serta perlindungan ekosistem. Semoga Pemerintah Kabupaten Lembata bisa belajar dari Gubernur Sulawesi Utara untuk melindungi masyarakat adat yang telah memilihnya.

Agustinus Dawarja, S.H, advokat kelahiran Manggarai, tinggal di Jakarta

Sumber: Pos Kupang, 25 Mei 2007

Monday, October 15, 2007

Perlu Belajar dari Sejarah

Belakangan ini ini masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata, terus memrotes rencana PT Merukh Enterprise melakukan kegiatan penambangan tembaga dan emas di daerah itu. Para pastor se-Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga ikut menyatakan sikap menolak rencana tersebut. Tapi, rupanya niat Pemkab Lembata menerima PT Meruk Enterprise tak terbendung lagi. Sekalipun protes keras sudah dilakukan, toh suara rakyat Leragere harus dipendam dalam-dalam karena konon investasiini menjadi juru selamat bagi pundi-pundi Lembata.

Mau tahu bukti tekad Pemkab Lembata atas rencana itu? Dengar saja apa kata Wakil Bupati Ande Liliweri. "Kami tahu bahwa ada pro kontra, tetapi tidak menyurutkan tekad kami untuk melanjutkan proses rencana investasi tambang di wilayah Lembata." (Lihat berita Antara, Kamis (24/5). Artinya, seperti kata pepatah: anjing menggonggong, kafilah berlalu. Dan itu adalah sikap resmi terkait reaksi penolakan rencana investasi itu.

Bila kita menengok ke masa lalu, akan dengan muda kita simpulkan bahwa para petani, masyarajak adat bahkan nelayan hidup di bawah garis kemiskinan dan mereka sengaja dimiskinkan. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tanah dan sumber kehidupan mereka dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, industri kehutanan dan perkayuan bahkan bendungan-bendungan besar. Pada akhirnya, mereka mengalami nasib mengenaskan: diusir dari tanah leluhur yang menjadi basis kehidupannya. Kadang mereka ditangkap, disiksa, dan dibantai oleh preman yang dibayar pemilik perusahaan. Semua itu, dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pernah menunjukkan contoh nyata. Operasi pertambangan emas dan tembaga di wilayah Amungme dan Komoro (Papua) sudah berlangsung lama dengan skala eksploitasi besar (belakangan mungkin menurun). Kegiatan itu, masih dari data tersebut, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat. Misalnya, terjadinya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di dalamnya, hujan asam hingga hilangnyakesuburan tanah. Tak hanya itu. Keragaman budaya masyarakat adat Amungme dan Komoro jadi hilang. Juga hilangnya sistem adat hingga terjadinya konflik horizontal yang berbuntut pada pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Contoh dua kasus di atas tak jauh berbeda dengan masyarakat adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Proyek lahan gambut 1.400.000 hektar menyebabkan musnahnya ekosistem di wilayah tersebut seperti hutan dan kualitas air serta spesies endemik lainnya. Proyek ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Lebih dari itu, adalah hancurnya hancurnya relasi dan sistem sosial budaya masyarakat adat. Di sana ditemukan juga penggunaan pola-pola intimidasi dan tindakan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat.

Begitu juga kasus yang dialami masyarakat adat Talang Mamak dan Pelalawan. Pabrik pengelolaan bubur kertas (pulp and paper) melakukan konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu. Hal ini menyebabkan rusaknya hutan dan hilangnya spesies ekologi lainnya, degradasi tanah, dan terjadinya banjir di bagian hilir. Dampak lain adalah adanya limbah dan proses pemiskinan masyarakat karena konversi dan perampasan lahan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan lahannya secara normal.

Sejarah kelamBila kita menengok ke masa lalu, akan dengan muda kita simpulkan bahwa para petani, masyarajak adat bahkan nelayan hidup di bawah garis kemiskinan dan mereka sengaja dimiskinkan. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tanah dan sumber kehidupan mereka dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, industri kehutanan dan perkayuan bahkan bendungan-bendungan besar. Pada akhirnya, mereka mengalami nasib mengenaskan: diusir dari tanah leluhur yang menjadi basis kehidupannya. Kadang mereka ditangkap, disiksa, dan dibantai oleh preman yang dibayar pemilik perusahaan. Semua itu, dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pernah menunjukkan contoh nyata. Operasi pertambangan emas dan tembaga di wilayah Amungme dan Komoro (Papua) sudah berlangsung lama dengan skala eksploitasi besar (belakangan mungkin menurun). Kegiatan itu, masih dari data tersebut, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat. Misalnya, terjadinya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di dalamnya, hujan asam hingga hilangnyakesuburan tanah. Tak hanya itu. Keragaman budaya masyarakat adat Amungme dan Komoro jadi hilang. Juga hilangnya sistem adat hingga terjadinya konflik horizontal yang berbuntut pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).

Contoh dua kasus di atas tak jauh berbeda dengan masyarakat adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Proyek lahan gambut 1.400.000 hektar menyebabkan musnahnya ekosistem di wilayah tersebut seperti hutan dan kualitas air serta spesies endemik lainnya. Proyek ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Lebih dari itu, adalah hancurnya hancurnya relasi dan sistem sosial budaya masyarakat adat. Di sana ditemukan juga penggunaan pola-pola intimidasi dan tindakan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat.

Begitu juga kasus yang dialami masyarakat adat Talang Mamak dan Pelalawan. Pabrik pengelolaan bubur kertas (pulp and paper) melakukan konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu. Hal ini menyebabkan rusaknya hutan dan hilangnya spesies ekologi lainnya, degradasi tanah, dan terjadinya banjir di bagian hilir. Dampak lain adalah adanya limbah dan proses pemiskinan masyarakat karena konversi dan perampasan lahan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan lahannya secara normal.

Pemkab Lembata melalui Wakil Bupati Ande Liliweri ternyata memberikan garansi bahwa pihaknya akan berupaya maksimal untuk menekan dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kehadiran investor tambang ini. Ia berkilah, sebuah investasi besar tentu memiliki dampak sosial, tetapi juga memilikidampak positif bagi perkembangan ekonomi di daerah. Janji angin sorga seperti itu bukan hal baru. Masyarakat biasanya dijanjikan yang muluk-muluk. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya Tuhan dan investor pertambangan bersangkutan yang tahu. Belum lagi persoalan bahaya lingkungan yang mungkin timbul dari kehadiran perusahaan tersebut.

Perlu diingat, saat ini lingkungan hidup menjadi begitu sensitif. Kondisinya, makin memrihatinkan. Tentu bukan di Leragere. Karena itu, contoh kasus yang terjadi di Papua, misalnya, harus menjadi bahan refleksi berharga bagi Pemkab Lembata menerima kehadiran investor di bidang pertambangan. Karena itu, protes masyarakat yang didukung oleh elemen-elemen lain, terutama para pastor dan elemen masyarakat lain harus didengar. Jika masyarakat menolak, maka Pemkab Lembata juga harus berani mengatakan sorry kepada investor bersangkutan. Jangan sampai terjadi krisis perlindungan dan keadilan terhadap masyarakat Leragere atas hak-hak ulayatnya.

Insiden Babel Kelabu, 5 Oktober 2006 di Pangkal Pinang, Propinsi Bangka Belitung (Babel) yang meminta Gubernur Hudarni Rani mundur dari jabatannya, setidaknya menjadi pelajaran lain yang sangat berharga bagi Pemkab Lembata dalam menyikapi aksi penolakan masyarakat. Betapa tidak. Kantor gubernur diserbu ribuan rakyat karena menilai Rani memihak pemodal pertambangan dan bukan rakyatnya. Nah, ia akhirnya terpental dari bursa Calon Gubernur Babel beberapa waktu lalu karena disebut-sebut tidak mendapat kercayaan dan simpati masyarakatnya.

Perlu belajar

Pemkab Lembata melalui Wakil Bupati Ande Liliweri ternyata memberikan garansi bahwa pihaknya akan berupaya maksimal untuk menekan dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kehadiran investor tambang ini. Ia berkilah, sebuah investasi besar tentu memiliki dampak sosial, tetapi juga memiliki dampak positif bagi perkembangan ekonomi di daerah. Janji angin sorga seperti itu bukan hal baru. Masyarakat biasanya dijanjikan yang muluk-muluk. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya Tuhan dan investor pertambangan bersangkutan yang tahu. Belum lagi persoalan bahaya lingkungan yang mungkin timbul dari kehadiran perusahaan tersebut.

Perlu diingat, saat ini lingkungan hidup menjadi begitu sensitif. Kondisinya, makin memrihatinkan. Tentu bukan di Leragere. Karena itu, contoh kasus yang terjadi di Papua, misalnya, harus menjadi bahan refleksi berharga bagi Pemkab Lembata menerima kehadiran investor di bidang pertambangan. Karena itu, protes masyarakat yang didukung oleh elemen-elemen lain, terutama para pastor dan elemen masyarakat lain harus didengar.

Jika masyarakat menolak, maka Pemkab Lembata juga harus berani mengatakan sorry kepada investor bersangkutan. Jangan sampai terjadi krisis perlindungan dan keadilan terhadap masyarakat Leragere atas hak-hak ulayatnya. Insiden Babel Kelabu, 5 Oktober 2006 di Pangkal Pinang, Propinsi Bangka Belitung (Babel) yang meminta Gubernur Hudarni Rani mundur dari jabatannya, setidaknya menjadi pelajaran lain yang sangat berharga bagi Pemkab Lembata dalam menyikapi aksi penolakan masyarakat.

Betapa tidak. Kantor gubernur diserbu ribuan rakyat karena menilai Rani memihak pemodal pertambangan dan bukan rakyatnya. Nah, ia akhirnya terpental dari bursa Calon Gubernur Babel beberapa waktu lalu karena disebut-sebut tidak mendapat kercayaan dan simpati masyarakatnya.
Sumber: POS KUPANG, 22 Juni 2007

Emas, Lembata & Merukh

Emas, logam kuning yang sebagian besar digunakan untuk perhiasan. Mendengar kata emas, orang selalu berpikir harganya yang mahal. Jika tambang emas skala besar akan masuk di suatu wilayah, kita lantas membayangkan akan mendapatkan kesejahteraan. Benarkah?

Tak heran jika pembicaraan yang mengemuka ditengah publik kemudian, sebatas cerita infrastruktur yang akan disediakan perusahaan hingga angka bagi hasil buat daerah. Itu pula yang disampaikan Yusuf Merukh, terkait rencana tambang emasnya di Lembata. Tak tanggung-tanggung, Merukh menyatakan akan membangun apartemen untuk menampung warga yang tergusur, termasuk membangun sekolah unggulan mulai dari tingkat TK hingga SMU, menampung anak-anak mereka. Ini lagu lama perusahaan tambang. Sayangnya, sedikit sekali publik mendapatkan imbangan informasi, apa resikonya jika tanah mereka digali dan diambil emasnya.

Misal informasi bagaimana orang dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah - pontang-panting digusur oleh Aurora Gold, perusahaan tambang emas dari Australia, atau cerita marga Rumpit di Sumatera Selatan yang sungainya tak bisa digunakan, sejak tambang emas Laverton, juga masyarakat adat Kao Malifut yang tergusur hutan adatnya dan perginya ngafi - ikan teri di teluk Kao. Apalagi cerita dua tambang yang dimiliki Yusuf Merukh di Sumbawa dan Minahasa Selatan.

Di Sulawesi Utara, Merukh memiliki 20% saham Newmont Minahasa Raya (NMR). Alih-alih menyediakan apartemen buat warga korban, sejumlah 266 warga Buyat pantai terpaksa pindah - akibat pemukiman mereka tidak sehat lagi. Perusahaan menutup tambangnya pada tahun 2003, mewariskan lebih 4 juta ton limbah tailing di teluk Buyat dan 5 lubang tambang dengan luasan puluhan hektar, kedalaman ratusan meter - yang tak pernah bisa ditutup sampai kapanpun.

Di Nusa Tengara Barat, Merukh juga memiliki saham Newmont Nusa Tenggara (NNT). Hingga saat ini, teluk Senunu di Sumbawa, telah menjadi buangan sekitar 290 juta ton tailing, yang terus bertambah hingga tambang tutup nanti. Warga melaporkan penggusuran lahan, krisis air hingga berkurangnya tangkapan ikan.

Pertanyaannya kemudian, jika emas di Lembata di gali - dengan skala yang sama dan metode yang sama - samakah nasibnya dengan tempat lain di atas? Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui apa karakteristik atau ciri pertambangan emas. Sehingga kita bisa membayangkan, bagaimana jika emas di Lembata digali dalam skala besar.

Di tambang PT Freeport di Papua - pemilik setengah cadangan emas Indonesia, untuk mendapat satu gram emas, dibuang 650 kilogram limbah tailing dan 1730 kilogram limbah batuan (overburden). Sementara di Tambang Laverton di Sumatera Selatan, dibutuhkan setidaknya 104 liter air - hanya untuk mengambil satu gram emas dari batuan. Dari dua tambang ini, kita mendapatkan gambaran ciri pertambangan emas.

Pertama, Pertambangan emas membutuhkan lahan sangat luas untuk digali. Semua proyek pertambangan, terutama pertambangan terbuka, memerlukan lahan dalam jumlah luas untuk membangun lobang tambang, pabrik pengolah bijih, fasilitas penunjang seperti pelabuhan dan jalan, serta fasilitas lain seperti perumahan pekerja. Untuk keperluan itu maka terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air (hidrourologi) dirombak. Kegiatan ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, resiko bencana longsor serta banjir.

Biasanya, dengan cara apapun - penduduk akan dipaksa merelakan lahannya untuk ditambang. Hanya dua pilihan yang tersedia, warga menyerahkan lahan dengan ganti rugi sepihak atau tidak dapat apa-apa. Konflik tanah dengan warga sekitar terjadi hampir di semua lokasi tambang, mulai Aceh hingga Papua.

Kedua. Pertambangan emas butuh air dan menghasilkan limbah yang jumahnya luar biasa besar. Hampir 98% batuan yang digali akan dibuang menjadi limbah. Sedikitnya, ada 3 jenis limbah utama pertambangan emas. Batuan limbah (overburden) adalah batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan batuan bijih atau batuan yang mengandung emas.

elanjutnya ada tailing - bijih emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan kimia - diantaranya Merkuri atau Sianida. Tailing berbentuk lumpur yang mengandung logam berat. Menurut Peraturan pemerintah (PP) No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) jo PP No 85 tahun 1999, disebutkan bahwa limbah yang megandung logam berat seperti Merkuri dan Sianida termasuk dalam kelompok Limbah B3. Terakhir, air asam tambang - limbah yang menyebabkan kondisi keasaman tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah - sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahluk hidup sekitarnya.

Pertambangan merupakan industri rakus air. Penggunaan air dari sumber-sumbernya dengan skala besar untuk menjalankan proses pengolahan batuan menjadi bijih logam. Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang menyebabkan pemenuhan air warga setempat dikalahkan, sering mereka harus rela mencari mata air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan untuk mempertahankan sumber air mereka.

Jangan lupa, pada saat pembuatan lobang (pit) penambangan dan pembangunan pabrik serta instalasi lainnya, kegiatan pengupasan tanah, peledakan, serta pengoperasian alat-alat berat pengangkut tanah dan lalu lalang kendaraan berat dengan intensitas tinggi menjadi sumber pencemaran udara - akibat peningkatan volume debu. Apa akibatnya? Penduduk lokal harus pontang panting berhadapan dengan perusakan lingkungan yang luar biasa karena limbah tambang.

Umumnya, tailing dibuang ke daerah lembah dengan membuat penampung (tailing dam), dibuang ke sungai hingga ke laut - biasa disebut STD. Submarine Tailing Disposal (STD), dipromosikan oleh pelaku pertambangan sebagai cara pembuangan limbah yang paling baik dan ramah lingkungan, termasuk di Lembata. Dua tambang di Indonesia yang menggunakan STD, keduanya milik Yusuf Merukh dan Newmont.

STD di negara asal Newmont - Amerika Serikat, tidak mungkin lolos dari Clean Water Act - Undang-undang yang mengatur lingkungan perairan di sana. STD sebenarnya adalah teknologi buruk dan murah. Menurut Enviromental Protection Agency (EPA) - Badan Lingkungan Amerika Serikat, biaya menggunakan STD lebih murah 17% dibanding membangun tailing dam, padahal dampak kerusakan akibat STD sangatlah luar biasa.

PT NMR - salah satu tambang Merukh, membuang limbahnya kelaut, dikenal dengan Submarine Tailing Disposal (STD). Setiap harinya, perusahaan membuang 2000 ton limbah tailing ke teluk Buyat, sejak tahun 1996. Delapan tahun kemudian, sekitar 80% warga mengalami gangguan kesehatan, mulai tumor di badan, gangguan saraf, hingga Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) dan paru-paru.

Ketiga, Berbeda dengan lahan pertanian yang bisa ditanami terus menerus - berkelanjutan, tambang memiliki umur. Di Indonesia, meski umur perijinannya mencapai 25 hingga 50 tahun, tapi umumnya tambang skala besar hanya mencapai 4 hingga 12 tahun. Tentu tak termasuk nama Freeport dan INCO di Sulawesi selatan - yang cadangan mineralnya luar biasa besar. Mereka telah beroperasi hampir 4 dekade.

Keempat, Resiko perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat besarnya aliran modal dalam waktu pendek dan serbuan pendatang. Misalnya, dihampir semua lokasi tambang, bisnis hiburan, termasuk prostitusi berkembang subur. Kota Timika, salah satu contohnya. Kota tambang Freeport di Papua tersebut saat ini mendapatkan peringkat pertama dalam jumlah penderita HIV AIDS terbesar di Indonesia. Itulah gambaran "daya rusak" pertambangan, yang tak pernah diampaikan pemerintah dan pelaku pertambangan, sejak awal.


Saat perusahaan tambang sudah selesai beroperasi, penduduk bukannya bebas dari masalah, perusahaan bisa dengan sekehendak hati meninggalkan lokasi yang telah rusak dengan lubang-lubang puluhan hektar menganga. Marga Rumpit di tepi sungai Tiku, heran - bagaimana sungai mereka kembali keruh setelah tambang emas Laverton tutup. Ternyata, perusahaan diam-diam membuat saluran yang menghubungkan penampung tailing dengan sungai Tiku. Mereka juga meninggalkan lubang menganga puluhan hektar sedalam ratusan meter.

Jika Lembata memilih tambang, artinya ekonomi jangka pendek yang dipilih - yang hanya akan dinikmati sedikit orang. Tak heran jika bupati Andreas Duli Manuk dan Piter Boli Keraf, ketua DPRD Lembata - ngotot meloloskan ijin Merukh pada masa mereka masih menjabat.
Lantas siapa yang menanggung dampak pertambangan kelak, lima atau delapan tahun kemudian - setelah mereka tidak menjabat? (selesai).
Sumber: kabarntt.com, 29 Juli 2007

JALAN (Jalan) DI LEMBATA

JALAN LEMBATA--Masyarakat yang tinggal di pedesaan Lembata selalu bermimpi menikmati infrastruktur jalan raya memadai. Namun, mimpi itu mesti dikubur dalam-dalam karena hingga saat ini belum diaspal. Nampak sejumlah warga desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun melewati jalan plontos tanpa aspal. Jalan dari Lewoleba, Kota Kabupaten Lembata hingga Desa Belabaja sangat memprihatinkan karena belum ditangani serius. “Salah siapa? Ini salah siapa? Dosa siapa? Ini dosa siapa?,” tanya penyanyi Ebiet G Ade. Tentu, lebih tepat kalau Pemkab Lembata menjawabnya. Tak perlu meminjam syair Ebiet G Ade: bertanya pada rumput yang bergoyang. Foto: Ansel Deri

DEMONSTRASI TOLK TAMBANG LEMBATA


TOLAK TAMBANG – Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Tolak Tambang Jakarta berunjuk rasa di depan Kantor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jl Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (18/9). Mereka menuntut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk tidak memberikan ijin prinsip eksploitasi pertambangan di Lembata kepada investor atau perusahaan tambang apapun, termasuk PT Merukh Enterprises Group. Penolakan terhadap rencana tambang itu juga datang dari pemangku adat Kedang, Lebatukan dan masyarakat Lembata karena dikhawatirkan terjadi bencana lingkungan sebagaimana dilakukan PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara. (Foto: FX Namang)