ADEGAN sidang paripurna DPRD Lembata membahas draf rekomendasi tentang pertambangan tembaga dan emas di Kabupaten Lembata oleh PT Merukh enterprise ricuh. Suasana sidang yang dipimpin Frans Making, BA itu sejak awal memang sudah tegang. Maklum, sejak sidang dibuka, anggota dewan dari PSI, Ahmad Bumi, SH langsung melakukan interupsi. Dia menilai Dewan tidak perlu mengeluarkan rekomendasi. Tapi, sidang jalan terus. Dan... Ahmad Bumi pun terus melakukan interupsi. Ujung-ujungnya, Bumi marah, dan keluar ruang sidang.
Hampir semua orang Lembata memang sudah memprediksikan bahwa dewan akan memutuskan untuk merekomendasikan mendukung langkah Pemerintah Kabupaten Lembata memperjuangkan investasi tambang oleh PT Merukh Enterprise. Ini terutama dilatari oleh sikap dewan yang memandang seluruh upaya masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya berkaitan dengan rencana tambang sebagai langkah politik para lawan politik. Hal yang sesungguhnya telah menegasikan peran civil society dalam kehidupan pembangunan.
Ada juga anggota dewan yang nekad membujuk aktivis dan kalangan pers untuk mendukung rencana investasi tambang agar bisa mendapatkan proyek pemerintah. Suatu sikap yang sungguh memalukan! Dan, saya juga memperoleh informasi bahwa ada oknum-oknum yang memainkan peran sebagai agen pemerintah untuk memata-matai aktor-aktor yang berperan dalam proses penguatan civil society. Sejumlah pejabat pemerintah dan politisi di dewan bahkan secara terang-terangan menyerang aktivis LSM dan kalangan rohaniwan sebagai biang kerok penolakan masyarakat terhadap rencana investasi tambang. Sebuah tindakan yang sesungguhnya memamerkan keterasingan elite birokrasi dan politisi kita dari informasi pembangunan berkelanjutan.
Realitas kehidupan politik di nusa Lembata kian hari, kian irasional. Upaya masyarakat untuk mendesakkan perubahan dianggap sebagai bentuk perlawanan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal yang persis sama dengan pola pemerintahan rezim Orde Baru. Kecenderungan politik ke arah tirani mayoritas dipertontonkan secara kasat mata.
Karena itu, bagi saya, penguatan civil society merupakan hal yang patut dilakukan dalam proses mendorong konsolidasi demokrasi. Revitalisasi konsep dan penguatan gerakan masyarakat madani (civil society) hendaknya kembali dilakukan secara serius dan terarah sebagai alternatif utama bagi pembentukan kondisi transisi menuju demokrasi.
Upaya penguatan civil society ini dilakukan agar masyarakat dapat mandiri dan bebas dari intervensi berlebihan dari negara serta dapat ikut serta dalam melakukan kontrol terhadap negara (state) yang umumnya otoriter sementara masyarakat politik (political society) tidak berdaya menjalankan fungsinya secara efektif. Dalam kondisi ini muncul pula sebuah dilema, yakni antara keterlibatan negara dalam mengatur urusan-urusan masyarakat/rakyat dengan keinginan agar masyarakat mandiri dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri.
Istilah civil society yang pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis sampai kini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka istilah ini kini dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, serta keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Pengertian ini sesuai dengan definisi yang diberikan antara lain oleh Jean L Cohen dan Andrew Arato, Alfred Stepan dan Alexis de Tocqueville. Tentu saja aktualisasi civil society ini bisa berbeda, sesuai dengan struktur dan budaya masyarakat masing-masing. Aktualisasi ini juga terkait dengan kondisi politik dan perubahan di masing-masing daerah.
Saya sepakat dengan Dr. Masykuri Abdillah, Direktur Institute for the Study and Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta, bahwa pemberdayaan atau penguatan civil society perlu ditekankan pada empat peran. Pertama, pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. Fungsi ini mencakup pula peningkatan kesadaran nilai-nilai sosial dan hukum masyarakat serta melakukan social engeneering (rekayasa sosial) dalam kerangka transformasi budaya yang kondusif bagi demokrasi. Memang hal ini sudah dilakukan banyak ormas dan LSM, meski belum optimal karena terbatasnya sumber daya manusia (SDM) dan dana.
Sejalan dengan fungsi ini, perlu diselenggarakan pula pendidikan kewarganegaraan (civic education) agar warga negara benar-benar mengetahui hak dan kewajibannya serta menghormati nilai-nilai sosial dan hukum yang berlaku. Semasa Orba memang ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional serta penataran P-4 yang bisa dianggap sebagai civic education, tetapi sayangnya materi dan metode pembelajarannya sangat dipengaruhi oleh politik Orba, sehingga kegiatan-kegiatan ini hanya merupakan indoktrinasi politik Orba kepada rakyat.
Kedua, advokasi bagi masyarakat yang "teraniaya", yang tak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka, seperti masyarakat yang terkena penggusuran. Advokasi diperlukan terutama dalam kondisi dimana penegak hukum belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat, baik karena masih kurangnya jumlah (kuantitas) aparat maupun karena kualitas dan komitmen mereka yang masih rendah. Fungsi ini bisa berbentuk keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan LSM tertentu dalam proses hukum maupun hanya sebagai perantara antara masyarakat dengan lembaga-lembaga advokasi.
Ketiga, kontrol terhadap negara dengan mengkritiki kebijakan-kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi dan kepentingan umum, atau mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Kontrol yang dilakukan political society seringkali tidak obyektif karena atas pertimbangan politis untuk kepentingan kelompoknya. Dengan demikian, fungsi kontrol yang dilakukan civil society ini masih tetap diperlukan, meski bersifat komplementer bagi fungsi kontrol yang dilakukan parlemen dan political society. Demikian pula, civil society juga tetap diharapkan melakukan kontrol terhadap kinerja parlemen sebagai tempat utama mangkalnya political society.
Keempat, menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group), dengan ikut terlibat memberikan in-put dalam proses pengambilan kebijakan publik. Dengan pelaksanaan peran-peran tersebut, pemberdayaan civil society tidak selamanya berarti memposisikannya berhadapan dengan negara. Sebaliknya juga bisa menjadi mitra negara dalam melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan. Di samping itu, penguatan civil society ini tidak berarti menyerahkan semua persoalan masyarakat diurus mereka sendiri tanpa keterlibatan negara sama sekali.
Nah, di tengah “kemandulan” lembaga politik di Lembata, penguatan civil society merupakan tuntutan kebutuhan yang tidak terelakan. Mari, segenap elemen yang berminat dan punya perhatian pada masyarakat madani untuk bersatu padu melakukan penguatan civil society di tanah Lembata. Tentu, dengan cara, pola dan peran masing-masing. Semoga! (Fredy Wahon)
Sumber: fredywahon.blogspot.com