Sunday, October 7, 2007

LAIN DI PETEN INA, LAIN PULA DI SENAYAN

Di Peten Ina, sembilan belas anggota dewan mengkhianati rakyatnya. Di Senayan, rakyat mendapat suntikan peneguhan untuk terus berjuang melawan pemerintah dan investor.

Setelah pagi hari bertemu dengan Dirjen Minebapabum Departemen ESDM, rombongan yang sama langsung berangkat menuju Gedung DPR di Senayan. Hanya Alwi Murin dan Eddie Lamak yang berpisah dari rombongan, baru pada pukul 14.00, keduanya bergabung kembali dengan rombongan di Senayan.
Setelah menunggu sekitar dua jam, Koalisi Jakarta baru dipersilahkan masuk ke dalam ruang sidang Komisi VII DPR.
Di depan pintu masuk, Ketua Komisi VII, Agusman Efendi yang pernah menjadi pembicara dalam diskusi soal tambang Lembata di marga PMKRI, langsung menyapa P. Mikhael. Di dalam ruangan, sudah ada Sony Keraf, beserta anggota komisi VII DPR RI lainnya, yakni Erlangga, Ben Vinsen, Simon Patrismorin, Ismayatun, Ade Nasution, Budi Harsono, dan Pacul.
Wakil rombongan Koalisi Tolak Tambang Jakarta Pastor Mikel Peruhe, OFM mengungkapkan bahwa masyarakat yang ada di calon lokasi prospek tambang di Lembata saat ini merasa gelisah oleh kebijakan Bupati Lembata yang terkesan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi lebih memihak kepentingan investor yang akan melaksanakan usaha pertambangan di daerah tersebut. Karena merasa menjadi bagian dari masyarakat maka Koalisi ingin menyambungkan aspirasi masyarakat Lembata ke Bapak-bapak dewan yang mewakili rakyat dan meminta kepada Komisi VII DPR RI menyikapi persoalan tersebut.
Setelah mendengar laporan dari Koalisi, Ketua Komisi VII DPR RI Agusman Effendi menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Koalisi berkaitan sikap tegas penolakan yang dilakukan masyarakat Lembata penting menjadi bahan kajian bagi Komisi VII yang sedang membuat rancangan undang-undang pertambangan, yang berhubungan dengan hak-hak ulayat dan hak-hak adat masyarakat setempat. Anggota DPR RI yang juga Ketua Pansus dari Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batubara ini menyatakan kasus-kasus seperti Lembata di mana warga masyarakat sudah menolak pertambangan sejak awal karena terkait hak-hak ulayat dan hak-hak adat merupakan masukan menarik sebagai kajian untuk membantu pembuatan undang-undang pertambangan yang baru.
“Saya sepakat bahwa suatu saat kita akan, kalau masalahnya yang sudah sampai ke tingkat kami di DPR RI ini, saya yakin kita semua melihat itu sebagai bagian dari tanggung jawab kami untuk bagaimana hak-hak ulayat, hak-hak adat ini kita lakukan” ujar Agusman Effendi kepada Koalisi.

Pemimpin Jangan Berpikir Hari Ini Saja
Sementara itu, Ben Vinsen dari Fraksi PDIP menilai kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya mau menghabiskan segala isi perut bumi. Pemerintah hanya berpikir saat ini tetapi tidak memperhitungkan 50 tahun mendatang. Menurut Ben Vinsen kita perlu menghemat demi masa depan. Vinsen sepakat dengan masyarakat Lembata yang menolak masuknya industri pertambangan di wilayah itu. “Untuk sekarang, dari sisi penghematan dari sisi untuk persedian kita ke masa depan, wajar saja kalau masyarakat tidak membolehkan”.
Senada dengan Vinsen, Simon Patrismorin dari Fraksi Golkar menilai apa yang dipaparkan Koalisi Jakarta kepada DPR RI merupakan cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan apa yang diinginkan oleh investor. “Saya kira apa yang disampaikan masyarakat kita ini, ini kan sudut pandang yang berbeda. Seorang investor membuat perhitungan ekonomis dan mendapat sekian dari hasil pengolahan tambang. Tapi apakah perhitungan-perhitungan itu juga memperhitungkan rakyat kita yang miskin yang kehidupan mereka tiba-tiba berubah karena dia harus tercabut dari akar-akarnya dan dia harus mencari kehidupan yang lain. Itu juga persoalannya” ujar Simon.
Menurut Simon, dalam pembangun ada dua kepentingan besar yang saling tarik menarik yaitu kepentingan masyarakat dan investor. Tapi seorang pemimpin harus memandang kepentingan masyarakat menjadi prioritas utama, bukan kepentingan investor. “Menjadi pemimpin itu harus bijaksana untuk melihat bahwa membuat rakyat itu sejahterah harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan. Merekalah yang harus menjadi perhitungan, menjadi faktor utama yang diperhitungkan bukan pemegang saham seperti Jusuf Merukh” kata Simon.
Lebih lanjut, Beliau mengatakan bahwa masyarakat menjadi prioritas utama karena merekalah yang terkena dampak langsung dari suatu proyek pembangunan. Karena itu pengambil kebijakan harus sungguh-sungguh memperhitungkan mereka yang paling menderita, rentan dari seluruh proses pembangunan.
Apa yang terjadi selama ini, menurut Simon, ialah masyarakat selalu menjadi pertimbangan terakhir. Setelah masyarakat tersisih, ribut, memberontak barulah kita mulai cari jalan keluar. Sikap tegas masyarakat Lembata menolak pertambangan merupakan kasus yang menarik untuk di sikapi.
Masyarakat Punya Hak
Sementara itu, Sony Keraf menjelaskan, persoalan tambang di Lembata sudah lama didengarnya. Bupati dari Partai Golkar dan dipilih secara langsung oleh rakyat dan Pimpinan DPRD Lembata yang juga kakak kandung Sony Keraf pernah bertemu dengan dirinya untuk berdiskusi tentang rencana Pemkab membuka industri pertambangan di Pulau Lembata. Saat itu Mantan Menteri Lingkungan hidup ini menyatakan penolakannya atas rencana Pemerintah Kabupaten Lembata tersebut.
“Mereka pernah bertemu dengan saya, diskusi dengan saya. Jelas saya mengatakan bahwa secara pribadi saya sangat tidak setuju dengan tambang di Lembata karena pulau kecil dan berbagai permasalahan tambang diberbagai daerah yang selalu saya cermati dari sisi lingkungan, sisi kesejahteraan masyarakat setempat” katanya.
Persoalannya menurut Sony ialah yang berhak mengeluarkan ijin ada di tangan pemerintah daerah sesuai dengan rezim otonomi daerah, sesuai dengan undang-undang yang ada. Kendati demikian pihaknya (DPR RI) akan memelajari bagaimana caranya mereka masuk. Sebab walaupun ijin itu ada di pemerintah daerah, namun kewenangan untuk menentukan apakah suatu wilayah bisa menjadi wilayah usaha pertambangan ada di pusat.
Sony juga menjelaskan sebenarnya ada celah yang dapat dipergunakan masyarakat yang menolak rencana pertambangan guna tetap mempertahankan wilayahnya. “Ada satu celah yang masih mungkin ada harapan bagi masyarakat yang menolak yaitu ada di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketentuannya ialah kalau AMDAL-nya disetujui baru ijinnya boleh dikeluarkan. Kalau AMDAL ditolak maka ijin batal dengan sendirinya. Salah satu aspek penting dari AMDAL ialah persetujuan masyarakat setempat, masyarakat di sekitar rencana usaha atau kegiatan tersebut. Inilah peluang yang masih mungkin bagi masyarakat Lembata kalau memang ijinnya masih bisa dihadang” jelas Sony.
Yang juga termasuk dalam studi AMDAL menurut Sony ialah terkait Pulau Lembata sebagai pulau kecil. Tambang di pulau kecil harus ada AMDAL khusus. Dan untuk itu ada mekanisme khusus yang digunakan dan kalau tidak dipenuhi maka bisa ditolak. Selain itu dampak yang terjadi ketika perusahaan membangun infrastruktur, misalnya masuknya alat alat-alat berat yang pasti akan merusak seluruh tatanan tanah dan ekosistem di Lembata juga masuk dalam studi AMDAL.
Dari berbagai kasus yang dipelajarinya selama ini, Mantan Menteri Lingkungan hidup ini menyatakan adakalanya investor yang sudah mengeluarkan uang untuk kegiatan awal eksplorasi dan seterusnya biasanya memaksa pejabat pemerintah, Bupati, dan pejabat-pejabat yang melakukan studi AMDAL untuk meloloskan AMDAL tersebut. Hal ini dilakukan investor ia tidak mau kehilangan uang yang sudah dikelurkannya untuk membiayai seluruh proses.
Menurut Sony dalam undang-undang pertambangan mineral, panas bumi dan batu baru yang satu dua bulan ke depan akan disahkan oleh DPR RI juga mengatur tentang pentingnya menyelesaikan persoalan tanah dengan masyarakat sebelum ijin eksploitasi dikeluarkan.
“Hal lain yang juga diatur dalam undang-undang yang sedang kami selesaikan sekarang adalah persoalan tanah harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam tahap produksi tahap eksploitasi. Perusahaan boleh saja punya ijin untuk eksplorasi, tetapi ketika ia akan melakukan eksploitasi, membangun infrastruktur untuk tambang, menggali, memprosesnya dia harus menyelesaikan dulu persoalan tanah dengan masyarakat setempat sebelum dikeluarkan ijin eksploitasinya, ijin operasi produksnya. Nah undang-undang yang dalam satu dua bulan akan kami sahkan itu sudah kami kunci di situ, soal tanah harus diselesaikan kalau tidak selesai dengan masyarakat setempat ijin operasi produksi tidak boleh dikeluarkan” jelas Sony.
Kepada Pemerintah Lembata, Sony meminta harus ada sosialisasi yang konprehensif kepada masyarakat. Pemerintah jangan tergiur oleh janji-janji yang disampaikan oleh investor khususnya Jusuf Merukh yang track recordnya tidak terlalu positif. Dan Sony Keraf meminta kepada Pimpinan Komisi VII dan teman-teman Komisi VII lainnya, khususnya dari Fraksi Golkar untuk memanggil Bupati dan menanyakan kepada Beliau tentang informasi rencana tambang di Lembata serta mungkin ada baiknya memberikan pressure politik untuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat.
Di akhir audensi, F. X. Namang, dari Koalisi menyerahkan sejumlah data ke Komisi VII DPR RI. Menanggapi hal itu, Komisi VII melalui pimpinan sidang Erlangga, berjanji akan mempelajari, mengkaji data-data yang ada dan menyampaikan hal-hal itu kepada pihak-pihak terkait. Beliau berharap dengan undang-udang pertambangan baru, hak-hak masyarakat dan hak-hak adat sangat dihargai dan apa yang menjadi kegelisahan masyarakat yang menolak tambang tidak akan terjadi. Masyarakat pantas diberi hak untuk memperoleh informasi.
(KOALISI JAKARTA edited by Eddie Lamak)

No comments: