Bapak Uskup yang Terhormat. Salam sejahtera. Saya Sr. Hironima SSpS, anak asli tanah Lembata mau menyampaikan satu dua pendapat perihal perrnyataan Bapa Uskup dalam pertemuan dengan masyarakat tolak tambang dari Lembata dalam Flores Pos 20 Oktober 2007.
Saya sedih kecewa dan merasa tak berdaya. Sebagaimana masyarakat Lembata yang sedang cemas lantaran tanah tanah mereka bakal dicaplok oleh penguasa dan pengusaha untuk dijadikan industri pertambangan, mereka datang kepada Bapa Uskup mohon perlindungan dan minta dibela karena suara mereka tak pernah didengar lagi, tapi Bapa Uskup lebih memilih tidak memihak siapa siapa.
Bapa Uskup lebih memilih bersikap netral karena tak mau dibawa dalam satu kelompok kepentingan. Kepentingan masyarakat seperti apa dan kepentingan pemerintah seperti apa, di sana Bapa Uskup tidak memberikan penjelasan yang cukup masuk di akal.
Saya berpendapat Bapa Uskup hanya sekadar mencari rasa aman dan takut menanggung resiko. Pemerintah adalah penguasa dan karena merasa berkuasa mereka boleh berbuat apa saja, termasuk membuat kebijakan kebijakan yang tidak memihak masyarakat dan memaksa masyarakat untuk mematuhi kebijakan itu. Apalagi kalau mereka diboncengi pengusaha yang memiliki modal besar. Kepentingan mereka adalah duit, nama besar, pangkat dan jabatan, bukan kesejahteraan masyarakat.
Kepentingan masyarakat hanya diatasnamakan bukan yang utama diperjuangkan. Dan bagi masyarakat kecil kepentingan mereka seperti apa yang dimaksud Bapa Uskup. Mereka tak punya kekuatan apa apa lagi. Berbagai cara telah mereka tempuh dan semuanya tak berhasil. Sebagai masyaarakat tradisional mereka melakukan seremoni dan ritual adat untuk meminta bantuan dan perlindungan dari para leluhur.
Tak cukup hanya itu, sebagai orang tradisional yang beriman Katolik mereka datang kepada Gembalanya bukan dengan membawa kepentingan apa apa, tapi hanya satu harapan sederhana kepada Bapa Uskup agar Bapa Uskup membela hak hak hidup mereka yang paling asasi di muka bumi ini secara khusus di bumi Lembata.
Mereka hanya ingin agar Bapa Uskup turut berjuang bersama mereka tanpa kekerasan dan tanpa kekuatan senjata, cukup dengan mengatakan kepada Pemerintah Kabupaten Lembata: Tolak Tambang Harga Mati.
Tapi sayang! Bapa Uskup tak mau melakukan itu. Bapak Uskup hanya mengatakan, ”Ketika tanya saya setuju atau tidak, saya tidak punya kompetensi. Saya tidak memiliki kompetensi di bidang pertambangan karena tidak pernah belajar atau studi khusus tentang tambang.”
Supaya Bapa Uskup tahu, bahwa teknologi informasi dan komunikasi sudah menjangkau masyarakat bawah. Mereka menonton televisi dan membaca koran, mendengarkan radio, dan mereka mengerti dan tahu baik sekali bahwa tambang di manapun di seantero Indonesia tidak mendatangkan keuntungan sedikitpun bagi masyarakat. Tak perlu orang belajar khusus untuk itu.
Atas dasar itu mereka datang meminta Bapa Uskup untuk bisa membela mereka cukup dengan cara yang sangat sederhana yaitu menghimbau Pemerintah Kabupaten Lembata untuk mengubah kebijakan mereka yang tidak memihak masyarakat. Itu saja. Tapi Bapa Uskup tidak memberikan sikap apa apa. Bapa Uskup mau sebagai gembala cukuplah berada di tengah tengah.
Dengan demikian ketika domba domba yang kuat menindas domba domba yang lemah maka sang gembala tak bisa berbuat apa apa. Ia hanya sebagai penonton tanpa memberikan andil apa apa. Ia tak mau membela kawanan yang lemah karena hanya mau mencari aman sendiri.
Lalu di mana peran Gereja sebagai pembela kaum kecil? Option for the poor tetap tersimpan dalam dokumen-dokumen resmi gereja dan buku-buku atau cukup dikhotbahkan di depan mimbar lalu selesai di atas altar? Bapa uskup mengandalkan JPIC Keuskupan Larantuka bisa jadi mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Saya berpendapat JPIC Keuskupan Larantuka selama ini tidur nyenyak. Yang berperan di Lembata adalah JPIC SVD sejagat dan OFM yang datang jauh jauh dari Jakarta. Merekalah yang getol memperjuangakan nasib masyarakat Lembata di daerah bakal tambang.
Sebagian imam dekanat Lembatapun tak punya nyali. Hanya ada pernyataan sikap di atas kertas. Selebihnya tak ada. Masyarakat berjuang sendirian tanpa dibantu oleh para gembala di kandang mereka sendiri. Bapa Uskup menghendaki agar antara pemerintah dan masyarakat harus terbentuk satu wadah dialog karena masing masing pihak selama ini bersikap defensif.
Sikap defensif apa yang dimaksud? Masyarakat kecil hanya mau berusaha mempertahankan tanah mereka yang selama ini memberi mereka hidup. Mereka hanya mau mempertahankan tanah warisan leluhur agar tidak menjadi rusak karena tambang.
Keutuhan hidup mereka dengan alam ciptaan Tuhan dan warisan leluhur jangan diganggu gugat. Akar budaya mereka jangan tercabut serta kerukunan hidup yang selama ini tercipta jangan ternoda oleh adanya tambang.
Sikap defensif pemerintah terletak ketika mereka tetap bersikeras memaksa masyarakat menerima tambang dengan berbagai macam cara. Memberi uang, ajak studi banding, janji jadi PNS dan masih banyak cara arogan lain yang mereka pakai. Dua macam sikap defensif yang berbeda makna seperti ini lalu Bapa Uskup tetap memilih bersikap netral?
Upaya dialog itu bukan belum dilaksanakan. Masyarakat ingin bertemu Bupati tapi Bupati tak mau menemui masyarakat. Ia bersama wakilnya sudah meninggalkan kantor lewat pintu belakang. Masyarakat membuat pernyataan sikap secara tertulis, tak satu pejabat pun yang menerima pernyataan sikap mereka. Lembaran kertas pernyataan sikap itu hanya diletakkan di depan pintu kantor Bupati dan mungkin sudah masuk tong sampah.
Masyarakat tak usah ditawarkan apa apa lagi . Hanya satu yang mereka minta dari Yang Mulia Bapa Uskup: “Dukung mereka tolak tambang. Kalau tidak, kami tidak menemukan lagi orang Samaria di Lembata. Ketika kami dalam situasi dan kondisi yang sekarat, menahan sakit karena rasa keadilan dilukai, para Imam dan Lewi memandang kami dengan sinis dan melewati kami dari seberang jalan.”
Maafkan saya Yang Mulia karena terlalu lancang berbicara. Maafkan saya karena saya tak bisa bungkam, karena kalau saya bungkam maka batu batu akan berbicara. Semoga Tuhan memberkati Bapa Uskup dan mengaruniakan Roh-Nya agar lebih bijaksana dan berani menunjukkan keberpihakan pada kaum lemah dan tak berdaya.
Saya sedih kecewa dan merasa tak berdaya. Sebagaimana masyarakat Lembata yang sedang cemas lantaran tanah tanah mereka bakal dicaplok oleh penguasa dan pengusaha untuk dijadikan industri pertambangan, mereka datang kepada Bapa Uskup mohon perlindungan dan minta dibela karena suara mereka tak pernah didengar lagi, tapi Bapa Uskup lebih memilih tidak memihak siapa siapa.
Bapa Uskup lebih memilih bersikap netral karena tak mau dibawa dalam satu kelompok kepentingan. Kepentingan masyarakat seperti apa dan kepentingan pemerintah seperti apa, di sana Bapa Uskup tidak memberikan penjelasan yang cukup masuk di akal.
Saya berpendapat Bapa Uskup hanya sekadar mencari rasa aman dan takut menanggung resiko. Pemerintah adalah penguasa dan karena merasa berkuasa mereka boleh berbuat apa saja, termasuk membuat kebijakan kebijakan yang tidak memihak masyarakat dan memaksa masyarakat untuk mematuhi kebijakan itu. Apalagi kalau mereka diboncengi pengusaha yang memiliki modal besar. Kepentingan mereka adalah duit, nama besar, pangkat dan jabatan, bukan kesejahteraan masyarakat.
Kepentingan masyarakat hanya diatasnamakan bukan yang utama diperjuangkan. Dan bagi masyarakat kecil kepentingan mereka seperti apa yang dimaksud Bapa Uskup. Mereka tak punya kekuatan apa apa lagi. Berbagai cara telah mereka tempuh dan semuanya tak berhasil. Sebagai masyaarakat tradisional mereka melakukan seremoni dan ritual adat untuk meminta bantuan dan perlindungan dari para leluhur.
Tak cukup hanya itu, sebagai orang tradisional yang beriman Katolik mereka datang kepada Gembalanya bukan dengan membawa kepentingan apa apa, tapi hanya satu harapan sederhana kepada Bapa Uskup agar Bapa Uskup membela hak hak hidup mereka yang paling asasi di muka bumi ini secara khusus di bumi Lembata.
Mereka hanya ingin agar Bapa Uskup turut berjuang bersama mereka tanpa kekerasan dan tanpa kekuatan senjata, cukup dengan mengatakan kepada Pemerintah Kabupaten Lembata: Tolak Tambang Harga Mati.
Tapi sayang! Bapa Uskup tak mau melakukan itu. Bapak Uskup hanya mengatakan, ”Ketika tanya saya setuju atau tidak, saya tidak punya kompetensi. Saya tidak memiliki kompetensi di bidang pertambangan karena tidak pernah belajar atau studi khusus tentang tambang.”
Supaya Bapa Uskup tahu, bahwa teknologi informasi dan komunikasi sudah menjangkau masyarakat bawah. Mereka menonton televisi dan membaca koran, mendengarkan radio, dan mereka mengerti dan tahu baik sekali bahwa tambang di manapun di seantero Indonesia tidak mendatangkan keuntungan sedikitpun bagi masyarakat. Tak perlu orang belajar khusus untuk itu.
Atas dasar itu mereka datang meminta Bapa Uskup untuk bisa membela mereka cukup dengan cara yang sangat sederhana yaitu menghimbau Pemerintah Kabupaten Lembata untuk mengubah kebijakan mereka yang tidak memihak masyarakat. Itu saja. Tapi Bapa Uskup tidak memberikan sikap apa apa. Bapa Uskup mau sebagai gembala cukuplah berada di tengah tengah.
Dengan demikian ketika domba domba yang kuat menindas domba domba yang lemah maka sang gembala tak bisa berbuat apa apa. Ia hanya sebagai penonton tanpa memberikan andil apa apa. Ia tak mau membela kawanan yang lemah karena hanya mau mencari aman sendiri.
Lalu di mana peran Gereja sebagai pembela kaum kecil? Option for the poor tetap tersimpan dalam dokumen-dokumen resmi gereja dan buku-buku atau cukup dikhotbahkan di depan mimbar lalu selesai di atas altar? Bapa uskup mengandalkan JPIC Keuskupan Larantuka bisa jadi mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Saya berpendapat JPIC Keuskupan Larantuka selama ini tidur nyenyak. Yang berperan di Lembata adalah JPIC SVD sejagat dan OFM yang datang jauh jauh dari Jakarta. Merekalah yang getol memperjuangakan nasib masyarakat Lembata di daerah bakal tambang.
Sebagian imam dekanat Lembatapun tak punya nyali. Hanya ada pernyataan sikap di atas kertas. Selebihnya tak ada. Masyarakat berjuang sendirian tanpa dibantu oleh para gembala di kandang mereka sendiri. Bapa Uskup menghendaki agar antara pemerintah dan masyarakat harus terbentuk satu wadah dialog karena masing masing pihak selama ini bersikap defensif.
Sikap defensif apa yang dimaksud? Masyarakat kecil hanya mau berusaha mempertahankan tanah mereka yang selama ini memberi mereka hidup. Mereka hanya mau mempertahankan tanah warisan leluhur agar tidak menjadi rusak karena tambang.
Keutuhan hidup mereka dengan alam ciptaan Tuhan dan warisan leluhur jangan diganggu gugat. Akar budaya mereka jangan tercabut serta kerukunan hidup yang selama ini tercipta jangan ternoda oleh adanya tambang.
Sikap defensif pemerintah terletak ketika mereka tetap bersikeras memaksa masyarakat menerima tambang dengan berbagai macam cara. Memberi uang, ajak studi banding, janji jadi PNS dan masih banyak cara arogan lain yang mereka pakai. Dua macam sikap defensif yang berbeda makna seperti ini lalu Bapa Uskup tetap memilih bersikap netral?
Upaya dialog itu bukan belum dilaksanakan. Masyarakat ingin bertemu Bupati tapi Bupati tak mau menemui masyarakat. Ia bersama wakilnya sudah meninggalkan kantor lewat pintu belakang. Masyarakat membuat pernyataan sikap secara tertulis, tak satu pejabat pun yang menerima pernyataan sikap mereka. Lembaran kertas pernyataan sikap itu hanya diletakkan di depan pintu kantor Bupati dan mungkin sudah masuk tong sampah.
Masyarakat tak usah ditawarkan apa apa lagi . Hanya satu yang mereka minta dari Yang Mulia Bapa Uskup: “Dukung mereka tolak tambang. Kalau tidak, kami tidak menemukan lagi orang Samaria di Lembata. Ketika kami dalam situasi dan kondisi yang sekarat, menahan sakit karena rasa keadilan dilukai, para Imam dan Lewi memandang kami dengan sinis dan melewati kami dari seberang jalan.”
Maafkan saya Yang Mulia karena terlalu lancang berbicara. Maafkan saya karena saya tak bisa bungkam, karena kalau saya bungkam maka batu batu akan berbicara. Semoga Tuhan memberkati Bapa Uskup dan mengaruniakan Roh-Nya agar lebih bijaksana dan berani menunjukkan keberpihakan pada kaum lemah dan tak berdaya.
Sr Hironima, SSpS
Anak Tanah Asli Lembata
Anak Tanah Asli Lembata
No comments:
Post a Comment