DEWASA ini, hubungan manusia dengan alam mulai rusak. Manusia telah mendominasi alam. Alam dijadikan sebagai obyek eksploitasi demi kepentingan manusia. Eksistensi alam kurang diperhitungkan lagi sebagai yang otonom dan memiliki nilai intrinsik (intrinsic value) di dalam dirinya. Alam tidak lagi dihargai sebagai suatu fenomen yang mempunyai orde kosmik di dalam dirinya. Alam kurang lagi dipahami sebagai realitas yang mengandung nilai kehidupan di dalam dirinya. Nilai alam dikenakan atau diberikan dari luar. Alam bernilai hanya sejauh berfungsi menunjang kebutuhan hidup manusia.
Bahaya Antroposentrisme
Tak dapat disangkal bahwa dominasi manusia terhadap alam telah lama dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Sejak René Descartes, manusia dipandang sebagai res cogitans - makhluk berpikir yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, lebih luhur dan lebih mulia dari alam. Di pihak lain, alam atau realitas non human hanya dilihat sebagai res extensa - perluasan dari kumpulan benda-benda yang tidak bernilai, karena tidak mempunyai kemampuan berpikir dan berkesadaran di dalam dirinya.
Akhir-akhir ini, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan pelbagai kebijakan condong lebih mementingkan nilai-nilai yang humand oritented. Interese manusia dalam segala aspek kehidupan menjadi orientasi utama. Sistim sosial dan politik diciptakan hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianpun kegiatan ekonomi dalam skala besar selalu menjadikan manusia sebagai sentral. Kalau toh ada kebijakan yang disebut environmental policy, tampak juga bahwa kebijakan itu berorientasi untuk melayani kepentingan manusia juga.
Dalam hubungan dengan alam, mesti diakui, bahwa manusia menjadi sangat egois dan serakah. Filsuf Emmanuel Levinas menggunakan term totalitè untuk melukiskan totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Dalam egoismenya, manusia memandang realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenanganku. Sesungguhnya sikap seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah satu-satunya yang paling utama. Levinas menyebutnya le Moi comme singularitè (Levinas, Entre Nous, 1991, 36). Memang benar, di jagat raya ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang paling ekspansif, progresif dan bahkan destruktif.
Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007 memperlihatkan suatu kecemasan yang besar. Sikap manusia yang memproduksi dan mengonsumsi energi di luar batas-batas yang wajar telah menimbulkan bahaya pemanasan global (emisi CO2) sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kenaikan temperatur yang drastis dan perubahan musim yang tidak menentu dapat mengancam kehidupan manusia. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya. Dari pelbagai bencana yang melanda dunia dewasa ini (terlepas dari bencana karena proses natural seperti gempa bumi, tsunami, gunung api), bencana banjir atau lumpur, bencana tanah longsor dan kebakaran hutan harus dilihat sebagai bencana yang disebabkan oleh sikap manusia yang sewenang wenang terhadap alam. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat moderen yang terlalu menekankan atribut-atribut manusia seperti self consciousness, rationality dan free will sebagai identitas dan jati dirinya.
Kant mengajarkan satu prinsip moralitas yang tak terlupakan: manusia tidak seharusnya melihat sesamanya (orang lain) bermakna, hanya apabila dia memiliki nilai dan tujuan di dalam dirinya. Lebih dari itu, dan paling penting di atas segalanya: manusia memonopli nilai. Konsekuensi dari pandangan ini adalah jelas: manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia. Ia beroposisi dan bahkan berbeda dari alam. Ia bukan bagian dari alam. Alam adalah bagian darinya.
Hal ini kemudian menjadi dasar yang membedakan konsep yang disebut view of nature dan self view of humans. Perbedaan konsep seperti dapat memberi justifikasi tentang sikap bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam bertolak dari pandangan tentang dirinya. "The way I see myself, expresses something about the way I have of nature" (Wim Zweers, Participating With Nature, 2000, 15).
Kembali ke Nilai Intrinsik Alam
Meskipun manusia mempunyai kehendak bebas dan sering bersikap sewenang-wenang terhadap alam, manusia seharusnya menerima dan mengakui kenyataan yang satu ini: dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah bahwa, dia berada dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan terkondisi oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam.
Tentu hal utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah merubah orientasi dasar. Sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented harus beralih kepada cara pandang dan sikap yang lebih nature oritented. Kembali ke alam. Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistim tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada subordinasi. Alam dunia tidak dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah, karena, "this world is already full of values, purposes and meanings" (J. Dryzek, Enviromental Ethics, 1990, 205).
Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Dalam terminologi Latin, alam disebut natura. Akar kata kerjanya adalah nascere yang berarti melahirkan. Alam sering dipersonifikasi sebagai ibu yang memiliki kodrat melahirkan. Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam) yang termasyur, menyapa alam sebagai la madre terra, yaitu ibu bumi yang memberi kelimpahan segala. Tetapi ibu dari sang purwa waktu, demikian kata Kahlil Gibran, adalah sang kehidupan itu sendiri.
Hidup atau kehidupan adalah fakta niscaya yang terkandung di dalam alam. Fakta ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan bila kita hendak berbicara tentang nilai. Prinsip umum yaitu, segala yang hidup, di dalam dirinya mempunyai nilai. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).
Dengan merujuk pada nilai intrinsik secara khusus, kita sampai pada pengertian bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang berada di dalam (in se) dan untuk dirinya sendiri (per se). Pengertian ini seharusnya menjadi dasar bagi pertimbangan apabila kita hendak berbicara tentang nilai ekologi. Kita dapat berbicara tentang ekologi dalam pengertian yang sesungguhnya hanya sejauh bila, pertama, kita harus mengakui bahwa kita adalah bagian dari sistim tata semesta secara umum. Kedua, hendaknya kita mempunyai kesadaran bahwa hidup atau kehidupan adalah nilai intrinsik yang berada di dalam setiap organisme di muka bumi ini. Dengan berpatok pada pertimbangan ini, maka kita dapat sampai pada pemahaman tentang pandangan ekologi yang lebih biosentris.
Etika Ekologi yang Biosentris
Pertanyaan bagaimana manusia harus berpikir tentang dan bersikap terhadap alam adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari etika. Pertanyaan ini menuntut jawaban moral yang menjadi dasar bagi sikap manusia dalam membangun relasi dengan alam. Di sini kita tentu tidak hanya merefleksikan prinsip-prinsip moral abstrak yang menjadi pegangan kita.
Etika pada umumnya berhubungan dengan refleksi tentang nilai dari tindakan dan perbuatan manusia. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila kita berbicara tentang nilai. Pertama, tentang sumber nilai. Dari mana asal suatu nilai? Kedua, berkaitan dengan isi suatu nilai. Apa saja yang terkandung di dalam suatu nilai? Apa saja yang menjadi bagian dari suatu nilai? Ketiga, berhubungan dengan fungsi nilai. Apakah kita memahami nilai sesuatu (lingkungan hidup) hanya sejauh sesuatu itu berfungsi bagi manusia? Apabila ketiga pertanyaan ini kita bicarakan dalam konteks ekologi, maka terhadap pertanyaan pertama, yaitu tentang asal usul suatu nilai, kita dapat menelusurinya di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: alam atau lingkungan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Terhadap pertanyaan kedua, kita hanya bisa memberikan jawaban dengan bertolak dari realitas kehidupan yang terkandung di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: nilai intrinsik yang terkandung di dalam alam adalah hidup atau kehidupan. Dalam hubungan dengan pertanyaan ketiga, yaitu tentang fungsi nilai. Kita tidak dapat memahami nilai alam hanya sejauh alam berfungsi bagi manusia. Tesis utama adalah: alam memiliki nilai yang otonom di dalam dirinya sendiri. Semua ini dapat menjadi pagangan kita, dan bisa membantu kita untuk menghindari kecendrungan kembali jatuh ke dalam cara pandang dan sikap yang antropsentris.
Kalau etika secara umum berhubungan dengan refleksi tentang baik buruknya tindakan manusia, maka etika lingkungan hidup berkaitan dengan refleksi tentang baik buruknya sikap manusia terhadap alam. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan sikap atau perbuatan manusia terhadap lingkungan hidup. Pertama, sikap yang paling mendasar adalah respek terhadap alam (respect for nature). Bahwa alam mempunyai nilai intrinsik di dalam dirinya, maka manusia berkewajiban memiliki respek atas semua bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.
Kedua, agar sikap respek terhadap alam menjadi kenyataan, maka manusia harus merubah pandangan dan sikapnya, yaitu dari pandangan yang antroposentris menjadi pandangan dan sikap yang lebih bisosentris. Berpusat pada kehidupan. Inilah cita-cita yang luhur bagi siapapun. Ketiga, apapun penghargaan terhadap setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini, tetaplah harus ada norma yang mengikat dan mengatur setiap tidakan dan perbuatan sikap manusia. Dalam hubungan dengan kehidupan, tidak dikenal norma, pandangan etik dan sikap moral yang relatif atau permisif. Hidup bukan hal yang relatif. Hidup adalah hidup. Persoalan tentang hidup, bukanlah satu satunya persoalan yang berkaitan dengan interese manusia belaka. Manusia bukan lagi satu-satunya titik acuan bila kita mau secara nyata menghargai seluruh bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.
Tugas utama manusia yaitu mewujudkan dirinya secara ideal serta menciptakan keharmonisan dengan semua tata kehidupan di dalam semesta ini. Manusia tidak boleh menonjolkan atau mencari kepentingan diri, sambil tidak mengindahkan eksistensi kehidupan yang lain. Manusia secara kolektif harus mengakui diri sebagai bagian dari alam. Manusia adalah anggota Komunitas Dunia Kehidupan (earth community of life). Spesies manusia, sejauh berada bersama dengan spesies yang lain, dia merupakan bagian integral dalam suatu sistim tata semesta yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sikap manusia yang tepat adalah menaruh respek terhadap seluruh bentuk kehidupan di muka bumi ini. Wujud konkret dari respek adalah sikap bertanggung jawab. Respek dalam responsibility, inilah yang menjadi cita-cita dan ideal bersama. Panggilan manusia adalah panggilan untuk bertanggungjawab atas setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini. Panggilan ini lahir dari kesadaran utama bahwa, tugas manusia adalah menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan. Sebaliknya merusakan bumi sama halnya dengan merusakan kehidupan. Selamatkan bumi kita! Salva il nostro mondo!
Bahaya Antroposentrisme
Tak dapat disangkal bahwa dominasi manusia terhadap alam telah lama dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Sejak René Descartes, manusia dipandang sebagai res cogitans - makhluk berpikir yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, lebih luhur dan lebih mulia dari alam. Di pihak lain, alam atau realitas non human hanya dilihat sebagai res extensa - perluasan dari kumpulan benda-benda yang tidak bernilai, karena tidak mempunyai kemampuan berpikir dan berkesadaran di dalam dirinya.
Akhir-akhir ini, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan pelbagai kebijakan condong lebih mementingkan nilai-nilai yang humand oritented. Interese manusia dalam segala aspek kehidupan menjadi orientasi utama. Sistim sosial dan politik diciptakan hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianpun kegiatan ekonomi dalam skala besar selalu menjadikan manusia sebagai sentral. Kalau toh ada kebijakan yang disebut environmental policy, tampak juga bahwa kebijakan itu berorientasi untuk melayani kepentingan manusia juga.
Dalam hubungan dengan alam, mesti diakui, bahwa manusia menjadi sangat egois dan serakah. Filsuf Emmanuel Levinas menggunakan term totalitè untuk melukiskan totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Dalam egoismenya, manusia memandang realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenanganku. Sesungguhnya sikap seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah satu-satunya yang paling utama. Levinas menyebutnya le Moi comme singularitè (Levinas, Entre Nous, 1991, 36). Memang benar, di jagat raya ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang paling ekspansif, progresif dan bahkan destruktif.
Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007 memperlihatkan suatu kecemasan yang besar. Sikap manusia yang memproduksi dan mengonsumsi energi di luar batas-batas yang wajar telah menimbulkan bahaya pemanasan global (emisi CO2) sebagai akibat dari efek rumah kaca. Kenaikan temperatur yang drastis dan perubahan musim yang tidak menentu dapat mengancam kehidupan manusia. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya. Dari pelbagai bencana yang melanda dunia dewasa ini (terlepas dari bencana karena proses natural seperti gempa bumi, tsunami, gunung api), bencana banjir atau lumpur, bencana tanah longsor dan kebakaran hutan harus dilihat sebagai bencana yang disebabkan oleh sikap manusia yang sewenang wenang terhadap alam. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan filsafat moderen yang terlalu menekankan atribut-atribut manusia seperti self consciousness, rationality dan free will sebagai identitas dan jati dirinya.
Kant mengajarkan satu prinsip moralitas yang tak terlupakan: manusia tidak seharusnya melihat sesamanya (orang lain) bermakna, hanya apabila dia memiliki nilai dan tujuan di dalam dirinya. Lebih dari itu, dan paling penting di atas segalanya: manusia memonopli nilai. Konsekuensi dari pandangan ini adalah jelas: manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia. Ia beroposisi dan bahkan berbeda dari alam. Ia bukan bagian dari alam. Alam adalah bagian darinya.
Hal ini kemudian menjadi dasar yang membedakan konsep yang disebut view of nature dan self view of humans. Perbedaan konsep seperti dapat memberi justifikasi tentang sikap bagaimana manusia memandang dan memperlakukan alam bertolak dari pandangan tentang dirinya. "The way I see myself, expresses something about the way I have of nature" (Wim Zweers, Participating With Nature, 2000, 15).
Kembali ke Nilai Intrinsik Alam
Meskipun manusia mempunyai kehendak bebas dan sering bersikap sewenang-wenang terhadap alam, manusia seharusnya menerima dan mengakui kenyataan yang satu ini: dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah bahwa, dia berada dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan terkondisi oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam.
Tentu hal utama yang harus dilakukan oleh manusia adalah merubah orientasi dasar. Sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented harus beralih kepada cara pandang dan sikap yang lebih nature oritented. Kembali ke alam. Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistim tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada subordinasi. Alam dunia tidak dipandang sebagai sesuatu yang lebih rendah, karena, "this world is already full of values, purposes and meanings" (J. Dryzek, Enviromental Ethics, 1990, 205).
Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Dalam terminologi Latin, alam disebut natura. Akar kata kerjanya adalah nascere yang berarti melahirkan. Alam sering dipersonifikasi sebagai ibu yang memiliki kodrat melahirkan. Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam) yang termasyur, menyapa alam sebagai la madre terra, yaitu ibu bumi yang memberi kelimpahan segala. Tetapi ibu dari sang purwa waktu, demikian kata Kahlil Gibran, adalah sang kehidupan itu sendiri.
Hidup atau kehidupan adalah fakta niscaya yang terkandung di dalam alam. Fakta ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan bila kita hendak berbicara tentang nilai. Prinsip umum yaitu, segala yang hidup, di dalam dirinya mempunyai nilai. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).
Dengan merujuk pada nilai intrinsik secara khusus, kita sampai pada pengertian bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang berada di dalam (in se) dan untuk dirinya sendiri (per se). Pengertian ini seharusnya menjadi dasar bagi pertimbangan apabila kita hendak berbicara tentang nilai ekologi. Kita dapat berbicara tentang ekologi dalam pengertian yang sesungguhnya hanya sejauh bila, pertama, kita harus mengakui bahwa kita adalah bagian dari sistim tata semesta secara umum. Kedua, hendaknya kita mempunyai kesadaran bahwa hidup atau kehidupan adalah nilai intrinsik yang berada di dalam setiap organisme di muka bumi ini. Dengan berpatok pada pertimbangan ini, maka kita dapat sampai pada pemahaman tentang pandangan ekologi yang lebih biosentris.
Etika Ekologi yang Biosentris
Pertanyaan bagaimana manusia harus berpikir tentang dan bersikap terhadap alam adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari etika. Pertanyaan ini menuntut jawaban moral yang menjadi dasar bagi sikap manusia dalam membangun relasi dengan alam. Di sini kita tentu tidak hanya merefleksikan prinsip-prinsip moral abstrak yang menjadi pegangan kita.
Etika pada umumnya berhubungan dengan refleksi tentang nilai dari tindakan dan perbuatan manusia. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila kita berbicara tentang nilai. Pertama, tentang sumber nilai. Dari mana asal suatu nilai? Kedua, berkaitan dengan isi suatu nilai. Apa saja yang terkandung di dalam suatu nilai? Apa saja yang menjadi bagian dari suatu nilai? Ketiga, berhubungan dengan fungsi nilai. Apakah kita memahami nilai sesuatu (lingkungan hidup) hanya sejauh sesuatu itu berfungsi bagi manusia? Apabila ketiga pertanyaan ini kita bicarakan dalam konteks ekologi, maka terhadap pertanyaan pertama, yaitu tentang asal usul suatu nilai, kita dapat menelusurinya di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: alam atau lingkungan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Terhadap pertanyaan kedua, kita hanya bisa memberikan jawaban dengan bertolak dari realitas kehidupan yang terkandung di dalam alam itu sendiri. Tesis utama di sini adalah: nilai intrinsik yang terkandung di dalam alam adalah hidup atau kehidupan. Dalam hubungan dengan pertanyaan ketiga, yaitu tentang fungsi nilai. Kita tidak dapat memahami nilai alam hanya sejauh alam berfungsi bagi manusia. Tesis utama adalah: alam memiliki nilai yang otonom di dalam dirinya sendiri. Semua ini dapat menjadi pagangan kita, dan bisa membantu kita untuk menghindari kecendrungan kembali jatuh ke dalam cara pandang dan sikap yang antropsentris.
Kalau etika secara umum berhubungan dengan refleksi tentang baik buruknya tindakan manusia, maka etika lingkungan hidup berkaitan dengan refleksi tentang baik buruknya sikap manusia terhadap alam. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan sikap atau perbuatan manusia terhadap lingkungan hidup. Pertama, sikap yang paling mendasar adalah respek terhadap alam (respect for nature). Bahwa alam mempunyai nilai intrinsik di dalam dirinya, maka manusia berkewajiban memiliki respek atas semua bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.
Kedua, agar sikap respek terhadap alam menjadi kenyataan, maka manusia harus merubah pandangan dan sikapnya, yaitu dari pandangan yang antroposentris menjadi pandangan dan sikap yang lebih bisosentris. Berpusat pada kehidupan. Inilah cita-cita yang luhur bagi siapapun. Ketiga, apapun penghargaan terhadap setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini, tetaplah harus ada norma yang mengikat dan mengatur setiap tidakan dan perbuatan sikap manusia. Dalam hubungan dengan kehidupan, tidak dikenal norma, pandangan etik dan sikap moral yang relatif atau permisif. Hidup bukan hal yang relatif. Hidup adalah hidup. Persoalan tentang hidup, bukanlah satu satunya persoalan yang berkaitan dengan interese manusia belaka. Manusia bukan lagi satu-satunya titik acuan bila kita mau secara nyata menghargai seluruh bentuk kehidupan yang berada di muka bumi ini.
Tugas utama manusia yaitu mewujudkan dirinya secara ideal serta menciptakan keharmonisan dengan semua tata kehidupan di dalam semesta ini. Manusia tidak boleh menonjolkan atau mencari kepentingan diri, sambil tidak mengindahkan eksistensi kehidupan yang lain. Manusia secara kolektif harus mengakui diri sebagai bagian dari alam. Manusia adalah anggota Komunitas Dunia Kehidupan (earth community of life). Spesies manusia, sejauh berada bersama dengan spesies yang lain, dia merupakan bagian integral dalam suatu sistim tata semesta yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sikap manusia yang tepat adalah menaruh respek terhadap seluruh bentuk kehidupan di muka bumi ini. Wujud konkret dari respek adalah sikap bertanggung jawab. Respek dalam responsibility, inilah yang menjadi cita-cita dan ideal bersama. Panggilan manusia adalah panggilan untuk bertanggungjawab atas setiap bentuk kehidupan di muka bumi ini. Panggilan ini lahir dari kesadaran utama bahwa, tugas manusia adalah menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan. Sebaliknya merusakan bumi sama halnya dengan merusakan kehidupan. Selamatkan bumi kita! Salva il nostro mondo!
Felix Baghi, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Sumber: Pos Kupang, 27 April 2008
No comments:
Post a Comment