Pesawat Merpati Boeing 737 jurusan Makassar, Sulawesi Selatan – Timika, Papua sudah dua lebih menjelajahi angkasa pada 3 Oktober 2007. Tepat pukul 13. 45 WITA, melalui pengeras suara, pramugari mengumumkan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin Timika, Papua.
Aku yang tertidur setelah satu jam pesawat lepas landas Bandara Hassanudin, terbangun oleh suara pramugari. Kuarahkan pandangan ke luar lewat kaca jendela pesawat. Dari jauh kulihat di bawah sana hutan Papua yang masih hijau dan sungai berkelok-kelok laksana ular air. Aku duduk di dekat jendela. Oleh karenanya dengan leluasa mataku memanah mutiara hijau hutan papua dan kelokan sungai.
Tetapi pemandangan itu hanya sesaat karena pesawat sudah mendekat ke Bandara Mozes Kilangin. Pesawat semakin mendekati bumi Papua. Dari kaca jendela mataku memanah keluar ke arah Kampung Kwamki Lama. Bukan mutiara hijau (hutan) yang kutemukan. Melainkan bentangan tailing (lumpur limbah pertambangan) yang maha luas dan panjang. Sungai besar dan kecil penuh dengan lumpur limbah. Pohon-pohon meranggas bagaikan orang-orang telanjang di tengah kepanasan. Sejauh mataku memandang, yang kutemukan hanyalah lumpur limbah berwarna putih dan bukan warna hijau khas hutan Papua.
Pesawat yang kutumpangi akhirnya mencium bumi Papua. Goncangan badan pesawat saat roda-roda pesawat menyentuh landasan Bandara Mozes Kilangin, laksana sebuah sapaan selamat datang di tanah Timika.
Beberapa saat kemudian, aku sudah menginjakkan kakiku di bandara yang sering disebut sebagai bandara internasional karena berada di area konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia. Tetapi kenyataan fisik bandara sungguh berbeda 180 derajat dengan bandara internasional pada umumnya. Jalan menuju ruang tunggu penuh dengan kerikil dan debu beterbangan saat mobil melaju di atasnya. Ruang tunggu kedatangan jauh dari kriteria sebuah bandara internasional. Sebagian lantainya terbuat dari ubin hitam dan sebagian lagi terbuat dari semen kasar. Tidak ada air conditioner. Beberapa bangku kayu yang penuh debu di pasang dalam ruangan itu. Sebuah tempat sampah besar diletakkan tidak jauh dari tempat duduk penumpang. Jendelanya pun dibatasi dengan kawat yang biasa dipakai untuk membuat kandang ayam di banyak tempat. Barang bawaan penumpang dilempar begitu saja ke atas tempat bagasi yang terbuat dari papan yang penuh debu. Toilet pun kotor dan bau meskipun ada air. Tidak ada monitor jadual kedatangan pesawat.
Di ruang tunggu keberangkatan, setali tiga uang. Sama saja. Bahkan lebih parah. Tingkat keparahannya sungguh kualami ketika hendak membeli tiket pesawat Merpati jenis foker (9 penumpang) ke Agats-Asmat. Sehari sebelum keberangkatan (Jumat, 5/10) aku minta tolong pada seorang staf Keuskupan Timika untuk membeli tiket. Informasi yang didapat bahwa tiket habis atau pesawat sudah penuh. Tetapi staf keuskupan ini mengatakan, tiket bisa didapat saat di bandara saat keberangkatan. Pada keesokan harinya (Sabtu, 6/10), kami ke bandara.
Ternyata betul. Tiket diperoleh dengan harga Rp. 750. 000. Harga sebenarnya Rp. 650. 000. Saat dalam pesawat, ternyata jumlah penumpang hanya enam orang. Masih banyak kursi yang kosong. Jelas sekali bahwa praktik pelayanan publik seperti itu adalah praktik kotor dan culas.
Kalau kondisinya seperti itu, apakah masih layak disebut sebagai bandara internasional? Atas dasar apa bandara itu disebut bandara internasional? Apakah karena puluhan negara yang memiliki saham di PT Freeport Indonesia sehingga bandara itu dikategorikan sebagai bandara internasional? Atau apakah karena ada logo bendera puluhan negara yang tertera di ambang atas pintu masuk ruang tunggu kedatangan sehingga menjadi bandara internasional? Beragam pertanyaan itu menggelayut dalam pikiranku.
Kalau kondisinya seperti itu, apakah masih layak disebut sebagai bandara internasional? Atas dasar apa bandara itu disebut bandara internasional? Apakah karena puluhan negara yang memiliki saham di PT Freeport Indonesia sehingga bandara itu dikategorikan sebagai bandara internasional? Atau apakah karena ada logo bendera puluhan negara yang tertera di ambang atas pintu masuk ruang tunggu kedatangan sehingga menjadi bandara internasional? Beragam pertanyaan itu menggelayut dalam pikiranku.
Sudah puluhan tahun PT Freeport beroperasi di Kabupaten Mimika Papua. Tetapi mengapa sampai sekarang bandara masih seperti sebuah tanah lapang yang lebih cocok untuk menggembalakan kambing atau sapi? Inilah pertanyaan lanjutannya. Kondisi itu menjadi sebuah penegasan bahwa janji-janji manis investor pertambangan belum tentu dapat dipenuhi di kemudian hari.
Pengalaman mengamati dari udara areal pembuangan lumpur limbah pertambangan yang luasnya mencapai ratusan kilometer persegi dan kondisi bandara yang lebih mirip areal penggembalaan ternak, mendorongku untuk memastikan fakta itu kepada orang-orang setempat. Orang-orang yang berkompeten di tempat itu harus kutanya. Setelah dua hari di Timika, akhirnya aku berhasil mewawancarai Uskup Timika, Mgr Jhon Philip Saklil Pr, Wakil Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO) Canisius Yosep Amareyau (68), dan Kepala Bidang Adat dan Budaya LEMASKO Fransiskus Yoseph Waraopea (67).
Banyak masalah sosial
Kepada Mgr Jhon Philip Saklil Pr, aku bertanya tentang keuntungan dan dampak negatif dari pertambangan terhadap orang-orang Papua khsusnya Kabupaten Mimika. “Tingkat kehidupan orang-orang Papua khususnya di Kabupaten Mimika jauh dari sejahtera meskipun di sini ada pertambangan besar,” jawab Mgr Saklil tegas.
Yang lebih parah adalah, lanjut Mgr Saklil, makin banyak permasalahan sosial yang timbul. Pelacuran semakin marak, penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun, hampir tiap hari ada orang Papua yang mati dipukul aparat keamanan, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah-daerah lain di Indonesia. “Kalau orang bilang pertambangan mensejahterakan orang Papua, seharusnya dari dulu orang Papua sudah sejahtera. Tetapi sekarang kenyataan berbicara lain. Ini artinya negara (pemerintah) memang tidak sanggup dan tidak mau mengurus masyarakat Papua,” jelasnya.
Menurut Mgr Saklil, juga menyoroti aparat keamanan (polisi dan tentara) yang selalu menempel dengan industri pertambangan. Di mana ada pertambangan di situ ada aparat keamanan. Aparat keamanan dibayar dengan harga tinggi untuk menjaga aset-aset milik perusahaan pertambangan. Karena dibayar tinggi, tugas aparat bukan lagi melindungi dan mengayomi masyarakat sipil melainkan menyembah pemilik modal demi lembaran-lembaran rupiah dan dolar. “Aparat keamanan di sini adalah salah satu pemilik saham di Freeport,” seloroh Mgr Saklil.
Tentang keterlibatan aparat keamanan dalam pengamanan aset-aset militer di PT Freeport Indonesia, seorang staf Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika yang meminta namanya dirahasiakan, mengatakan, “Militer juga ikut menambang secara liar. Bila ada masyarakat yang mau ikut menambang di area pertambangan liar, harus bayar sekali masuk Rp. 1 juta rupiah,” kata pemuda yang pernah menyamar sebagai penambang liar di area konsesi pertambangan PT. Freeport Indonesia ini.
Pencemaran parah
Dari Canisius Yosep Amareyau dan Fransiskus Yoseph Waraopea aku mendapat informasi penting tentang lumpur limbah pertambangan. Lumpur limbah mencemari sebagian besar tanah ulayat milik suku Kamoro, yakni sungai-sungai dan pesisir pantai. (Sebagian besar tanah yang menjadi lokasi pertambangan di Tembagapura merupakan milik Suku Amungme). “Sungai-sungai yang dulu biasa kami lewati dengan sampan dan rakit sekarang tidak bisa lagi karena penuh dengan Lumpur. Kami juga tidak bisa mencari ikan dan kepiting di sungai dan pesisir karena sudah tercemar limbah,” jelas Canisius dan Fransiskus.
Terkait dana 1 persen dari keuntungan PT. Freeport untuk pembangunan masyarakat setempat, Canisius dan Fransiskus mengatakan dana itu masih bermasalah. “Hanya tipu-tipu saja. Rancana bulan November ini, kami akan ke Jakarta untuk membicarakan hal ini dengan pemerintah pusat dan pihak perusahaan,” kata mereka.
Area pembuangan lumpur limbah sangat luas. Luas areal itu kupastikan lagi dengan melihat dari udara saat pergi dan pulang Timika-Ewer Asmat pada Sabtu 6/10 dan Sabtu 31/10. Salah satu muara dari pembuangan limbah adalah Timika (di sekitar bandara dan kampung Kwamki Lama). Jarak antara Timika dan Tembagapura (lokasi pertambangan) mencapai kurang lebih 100 KM. Dengan jarak itu, bisa dibayangkan luas areal yang tercemar.
Kalaupun ada argumentasi bahwa lumpur limbah bisa diolah menjadi air minum, itu membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang mahal. Mungkinkah investor pertambangan mau melakukan itu? Walahualam. Hanya ada satu yang jelas, di mana ada pertambangan di situ ada masalah.
Catatan Perjalanan Jurnalistik Alexander Aur,
wartawan Tabloid Flores Pos Jakarta ke Timika, Papua
Sumber: harian Flores Pos edisi, 27 November 2007
No comments:
Post a Comment