Dalam Kertas Kerja Sosialisasi Industri Pertambangan Terpadu Lembata yang ditujukan kepada masyarakat Lembata, PT Merukh Lembata Copper mengungkapkan bahwa akan melakukan pengembangan masyarakat (community development). Wujud konkrit pengembangan masyarakat yang akan dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, penyerapan tenaga lokal, pengembangan mutu pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan mengutamakan kesempatan usaha dan bekerja bagi penduduk lokal Lembata.
Dalam dunia korporasi atau perusahaan (khususnya korporasi pertambangan), pengembangan masyarakat (community development) merupakan perwujudan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan/korporasi (corporate social responsibility/csr). Di banyak tempat, corporate social responsibility – selanjutnya disebut CSR – merupakan langkah jitu dari perusahaan untuk menarik simpati dan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut di satu tempat. Sebagai contoh, PT Inco – sebuah perusahaan pertambangan nikel dari Canada – yang melakukan aktivitas pertambangan di Sorowako Sulawesi Selatan. Perusahaan ini mewujudkan CSR dalam beberapa aspek seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, pengembangan ekonomi (pertanian dan peternakan).
Bila dilihat secara sekilas, perwujudan CSR merupakan suatu langkah yang mulia. Hasilnya bisa langsung mengena (dirasakan/dinikmati) masyarakat setempat. Tetapi, sesuatu yang dilihat secara sepintas baik, ternyata mengandung jebakan-jebakan mematikan.
Tulisan ini akan menyoroti dua jebakan mematikan dari CSR. Pertama, secara konseptual (pada tataran ide) CSR mengandung dilema, yakni pertarungan antara ide tentang politik balas budi dan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan tambang. Korporasi atau perusahaan sering kali memahami CSR dan perwujudannya sebagai tuntutan etis dan moral. Para aras ini, perwujudan CSR merupakan karya karitatif dari perusahaan. Gagasan yang melatarinya adalah politik balas budi (politik etis). Menurut perusahaan, politik balas budi harus dilakukan karena masyarakat sudah menyerahkan hak miliknya berupa tanah, air, udara, dan bahkan budaya kepada korporasi tambang. Politik balas budi ini pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, seperti pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi, dan kerajinan tangan. Pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) pada Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.
Ide politik balas budi tersebut bertentangan dengan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan – terutama perusahaan tambang. Ideologi ekonomi perusahaan tambang adalah mencari dengan berbagai cara sumber-sumber ekonomi dan mengelolanya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Orientasi keuntungan (profit oriented) menjadi matra utama dan pertama dari perusahaan. Jelas sekali, bahwa tidak ada titik sambung yang menghubungkan ide tentang politik etis dan ideologi ekonomi, yang kedua-duanya dijalankan oleh satu subjek, yakni perusahaan tambang. Sedang berkembang cara berpikir dan praktik oleh perusahaan tambang yang tidak logis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masuk akal, bila sebuah perusahaan yang berorientasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di satu sisi, dan di sisi lain melakukan politik etis bagi masyarakat setempat? Bukankah ini sebuah dilema moral yang mendasar? Bukankah CSR merupakan bentuk penaklukan secara halus terhadap masyarakat setempat agar tidak memprotes aktivitas pertambangan?
Jika demikian, maka, “CSR merupakan strategi pendekatan kaum neoliberal agar tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. Dengan kata lain CSR adalah alat penaklukan dalam kemasan berwajah sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah, yakni akumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,” (Sonny Sukada, 2007, hal. 19).
Kedua, Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), yang didalamnya mengatur juga CSR. Salah satu ketentuan dalam UU tersebut adalah kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Pengesahan UU tersebut dilakukan setelah sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, seperti di Buyat Sulawesi Utara (pertambangan emas oleh PT Newmont Minahasa), Abepura Papua (pertambangan emas oleh PT Freeport Indonesia), dan Porong Sidoarjo Jawa Timur (pertambangan gas oleh PT Lapindo Brantas Inc).
Langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beberapa asosiasi pengusaha. Alasannya, UU tersebut bisa menjadi dasar praktik-praktik pemungutan liar. Banyak perusahaan beranggapan bahwa CSR merupakan bentuk kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena itu CSR tidak bisa dilegalkan dalam UU. Kepedulian sosial sebagai tindakan sukarela tidak bisa dibakukan dalam UU sehingga menjadi kewajiban.
Jika perusahaan memahami CSR sebagai tindakan sukarela, maka dengan mudah perusahaan melepaskan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Mungkin juga akan mewujudkan CSR tetapi dalam batas waktu tertentu saja.
Jelas, bahwa tidak ada kesamaan konsep tentang CSR antara pemerintah dan perusahaan/korporasi. Ketidaksamaan konsep tersebut akan berujung pada praktik di lapangan. Perusahaan kapan saja bisa enggan melakukan CSR atau masa perwujudan CSR yang terlalu pendek yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang diderita masyarakat. Akibatnya konflik berkepanjangan bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah. Siapa pun yang terlibat dalam konflik, yang sering menjadi korban adalah masyarakat setempat.
Jebakan-jebakan maut tersebut perlu diperhatikan secara serius dan mendalam oleh masyarakat setempat, yakni di lokasi pertambangan secara khusus, dan kabupaten secara umum. Itu agar masyarakat tidak mudah jatuh dalam jebakan yang mematikan diri sendiri. Pemerintah daerah juga harus kritis dengan tawaran berupa CSR dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi.
Penulis, Alexander Aur, wartawan di Jakarta, asal Lembata
Sumber: Harian POS KUPANG, Edisi 29 September 2007
No comments:
Post a Comment