Pada HUT RI ke-62, 17 Agustus 2007, saya menerima satu SMS, “Aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangimu, aku rela bekorban untukmu, apapun akan kuserahkan padamu INDONESIAKU”. Sens of love yang menjadi spirit di balik permenungan itu hanya baru bisa mimpi. Seorang anak yang baru belajar kutak-katik HP pun bisa juga ikut-ikutan mengirim pesan itu kepada temannya. Aksi spontanitas dan manual itu kadang terjadi tanpa satu daya rohani yang terinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berakar dari sejarah perjuangan yang menggetarkan banyak orang di masa lalu. Pesan yang beredar tanpa penjiwaan itu lalu hanya akan menjadi sebuah pesan berantai yang datar tak bermakna.
Umumnya kita berharap, pesan itu mesti memiliki kekuatan yang menjiwai setiap orang dalam bertutur dan berperilaku sebagai warga negara yang tahu bersyukur. Bagaimana upaya menjadikan pesan sejarah perjuangan bangsa itu benar-benar menjiwai dan memberdayakan orang untuk bersyukur dan berpartisipasi dalam pembangunan saat ini? Kita perlu berusaha menggali dan menemukan pesan itu dalam akar sejarah kemalangan dan penderitaan nenek moyang bangsa ini. Setelah menemukan pesan, bagaimana caranya menghadirkan pesan itu secara lebih hidup dalam diri setiap anak cucu bangsa ini melalui ceritera.
Unsur penentu hidup tidaknya sebuah ceritera adalah pencerita. Sejauh mana ia mendayagunakan segenap kemampuannya, hati dan pikirannya untuk mengapresiasi ceritera itu dengan semua kekayaannya, nilai-nilainya yang mau ia batinkan ke dalam hati dan pikiran pendengarnya. Sekian sering pencerita harus berceritera seola-olah dia sendiri adalah saksi mata dari sebuah kisah sejarah yang memilukan. Pada 62 tahun silam, gelora perjuangan cinta tanah air bertumbuh dari satu pengalaman di mana terjadi perendahan martabat manusia oleh manusia.
Nenek moyang kita hidup dalam penderitaan. Mereka melakukan kerja paksa. Tenaga mereka habis terkuras, bukan hanya dalam kerja rodi tetapi juga ketika mereka harus mengalami perlakuan sewenang-wenang dalam rupa-rupa penyiksaan dan penganiayaan dari kaum kolonial. Di tanah ini para pahlawan secara tulus dan heroik nerjuang membela ranah air dan semua yang menjadi hak hidupnya. Jenderal Soedirman, misalnya bangkit memimpin perang gerilia menumpas penjajah. Ceritera tentang Jendral besar itu sangat hidup dalam ingatanku oleh guru sejarahku dulu di bangku sekolah. Hati dan jiwa sang Jendral itu terusik derita bangsanya. Ia bukan seorang Jendral dan pahlawan yang ikut-ikutan berjuang dan kemudian mengkhianati saudara-saudaranya sendiri!! Dialah pahlawan sejati, kusuma bangsa, saudara bagi anak cucu tanah ini.
Darah dan air mata para kusuma bangsa telah tercurah di tanah ini. Olehnya tanah tempat kita berada, tempat kita berpijak dan menghirup udara kemerdekaan sesungguhnya adalah tempat keramat. Ia telah terbayar mahal dengan tetesan darah, keringat dan air mata leluhur kita, para pahlawan bangsa kita. Di atas persada ini, kita terpanggil untuk memaknai semangat perjuangan mereka dengan hidup dan pengabdian kita yang harus tulus, jujur dan terhormat!! Itulah pengabdian yang lebih bermakna dari sekadar mengutakatik pesan, mempermainkan kata cinta dan pengorbanan tanpa penjiwaan di dalam dan melalui kesaksian hidup.
Sudah terlalu banyak orang mempermainkan kata cinta dan pengorbanan itu secara retoris dalam pelbagai kesempatan dan media. Mulai pada moment pemaparan visi-misi seorang calon kepala Desa, calon Bupati dan wakil Bupati, atau pada kesempatan kampanye pemilihan calon Legislatip daerah hingga pusat. Para pendengar sesungguhnya mau mendengar dan merasakan sejauh mana kesaksian hidup si pembawa pesan itu. Semua sepak terjang kehidupan dan keterlibatannya di masa lalu, akan berpengaruh pada sejauh mana pesan cinta dan pengorbanan lebih membatin dan mendorong para pendengarnya mencintai dan kemudian berpartisipasi dalam tugas pengabdian bersama dia di atas tanah keramat ini dengan gembira.
Wujud konkret sebuah kesaksian hidup yang tulus, jujur dan terhormat dalam konteks NTT fokus 2007 adalah berpartisipasi aktif dalam program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (Pos Kupang,14/8/2007). Bertempat di Palu Sulawesi utara pada 30 April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan dua program untuk orang miskin yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan P2DTK (Peluncuran Program Percepatan Daerah Tertinggal dan Khusus). Untuk NTT tahun 2007, PNPM mencakup 16 kabupaten/kota pada 93 kecamatan dan 1.347 desa/kelurahan dengan total bantuan langsung masyarakat Rp 96.3 M dengan rincian: PNPM Mandiri Perkotaan dan P2KP Rp 37, 7 M. Sedangkan PNPM Mandiri Pedesaan Rp 58,6 M.
Mengapa perlu program percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja? Dari analisis data pembangunan (PK,14/8/2007), ternyata area dan kuantitas masyarakat miskin itu masih jauh berbanding terbalik dengan masyarakat sejahtera. Di NTT saja, pemetaan wilayah masyarakat miskin mencakup hampir semua Kabupaten yang terkategori sebagai kabupaten tertinggal kecuali kota Kupang. Ketertinggalan itu meliputi antara lain: kurangnya fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Kita patut bertanya, mengapa pembangunan yang telah menghabiskan sekian ratus ribu miliart bahkan triliunan rupiah selama 62 tahun HUT RI itu tidak mampu memperluas area kesejahteraan masyarakat di NTT?
Lawan dari kata memperluas adalah memperkecil. Siapa yang berupaya memperkecil area dan kuantitas masyarakat miskin di daerah kita? Secara struktur, kita boleh mengatakan kualitas jaringan struktur birokrasi pembangunan kita masih jauh dari harapan. Sumber daya manusia kita yang duduk dalam posisi strategis pembangunan belum memiliki hati nurani yang benar-benar berpihak dan mau berbagi dengan orang lain khusus mereka yang lemah dan miskin pada waktunya.
Misalnya saja, pengelolaan dana pembangunan yang tidak tepat waktu karena alasan tertentu. Dana-dana pembangunan itu oleh pengelolah untuk sementara waktu harus diparkir dulu di “tempat tertentu”. Kata orang yang ahli di bidang pengelolaan keuangan, dana sekian ratus miliar atau triliun yang tersimpan di bank apapun dalam hitungan hari saja sudah bisa menghasilkan bunga puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Lalu untuk siapa bunga uang siluman itu? Bukankah bunga siluman itu lari ke ‘dompet si pimpro atau si pengelolah atau penabung siluman? ’Sangat memalukan! We Cannot love others, nor can we be honest with them, if we are not able to love or be honest with ourselves! Kita tidak bisa mencintai yang lain atau mungkin mampukah kita berlaku jujur terhadap mereka jika kita -yang memegang posisi strategis dalam pembangunan- belum mampu mencintai dan jujur terhadap diri sendiri!.
Jika bunga uang siluman dan bahkan dana pokok pembangunan yang tersimpan di bank itu sendiri dialirkan ke kocek pribadi maka sesungguhnya tidak keliru kalau hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang penyelewengan dana pembangunan di NTT justru muncul dari sikap mental ini. Pos Kupang 5 April 2007, menegaskan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2006 tentang dana milik pemerintah sebesar Rp 791,88 M tidak jelas penggunaannya kusus di NTT. Data penyimpangan itu mau mengungkap betapa merosotnya kualitas hati nurani manusia dalam net birokrasi pembangunan kita di NTT.
Dari sudut pandang itu, kita boleh memahami persoalan mengapa fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur dari 16 kabupaten tertinggal di Propinsi NTT masih jauh dari harapan? Kita perlu secara jujur mengakui, masih ada banyak jalur perekonomian masyarakat yang hancur berantakan. Kualitas sistem agregasi dan pengaspalan oleh para kontraktor kita jauh merosot dan tidak sesuai bestek. Kita boleh prihatin dan merasa sedikit ganjil ketika kita menyaksikan badan jalan yang baru saja dikerjakan misalnya minggu lalu, atau bulan lalu mulai berlubang sana sini. Kualitas jalan itu ternyata tidak tahan uji terhadap beban kendaraan maupun erosi. Siapa yang harus melihat semuanya itu dan membuat evaluasi terhadap para kontraktor kita?
Terkait dengan itu kita perlu juga mempersoalkan sistem pengawasan oleh DPRD kita. Boleh kita katakan pola pengawasan dan evaluasi yang yang serius dan sangsi terhadap para kontraktor kita tidak tegas bahkan kurang nampak karena justru si pengawasas pembangunan itu sendiri juga yang menjadi kontraktornya. Siapa lagi yang bisa kita andalkan kejujuran dan sikap tegasnya untuk menertibkan arah pembangunan yang amburadul itu di lapangan kalau harapan kita pada DPRD sudah tidak mungkin lagi ketika mereka sendiri berlomba-lomba menjadi kontraktor. Sebaiknya Lembaga terhormat itu namanya dimodifikasi saja dengan sebutan ‘Lembaga Urusan Kontraktor Keluarga’, dan bukan lembaga yang mengurus kepentingan rakyat.
Belum lagi kalau kita mau melihat soal perhatian pemerintah untuk infrastruktur jalur jalan perekonomian yang sangat potensial tetapi tetap terisolasi. Di Kabupaten Lembata misalnya saja, jalur perkonomian Atadei menuju pantai selatan Lembata. Jalur ekonomi ini sangat potensial menghubungkan arus ekonomi masyarakat Lembata tengah dan selatan ternyata masih terus terisolasi dalam kurang lebih 12 tahun terakhir sejak terbentuknya Otonomi Daerah Kabupaten Lembata. Apakah sudah ada dana untuk membuka isolasi itu dan di mana dana itu sekarang diparkir atau dialihkan oleh DPRD kita ke pos pembangunan mana? Apabila dalam musrembang Desa dan Kecamatan setahun silam, jalur ekonomi itu diperjuangkan ke Prioritas satu dalam pembangunan infrastruktur ekonomi, mengapa oleh DPRD jalur ekonomi itu dipending? Apa alasannya? Mengapa isolasi itu tetap menjadi mimpi yang tidak jelas kapan menjadi kenyataan yang membawa berkat bagi masyarakat kecil di Lembata bagian tengah dan selatan?
Ini baru satu contoh problem isolasi infrastruktur jalur ekonomi di salah satu dari 16 Kabupaten yang berstatus daerah tertinggal di NTT. Membongkar problem itu sama artinya dengan mengurai benang kusut dari sebuah sistem birokrasi yang macet. Menanggapi soal itu, kita mesti mengevaluasi sistem, pola kerja, pola pengawasan dan terlebih manusia yang menjalankan mesin birokrasi itu sendiri. Penataan sistem, pola kerja dan pemberdayaan sumber daya manusia akan sangat membantu upaya kita membongkar isolasi dan meningkatan infrastruktur jalur ekonomi di daerah-daerah tertinggal.
Evaluasi mesti diikuti dengan rencana tindak lanjut yang tegas dan harus benar-benar termotivasi oleh pemikiran, bahwa prasarana jalan adalah urat nadi perekonomian masyarakat kita. Rencana tindak lanjut yang tegas bisa berupa membangun sikap tobat. Misalnya dengan melakukan ‘shock-terapy’ dalam bentuk sangsi hukum bagi yang melanggar aturan dengan cara ‘mem-blac list’ kontraktor yang mengerjakan proyek asal jadi. Hal ini hanya mungkin kalau ada kerjasama yang utuh, tegas dan jujur antara komponen terkait dalam hal ini: Bupati, DPRD, Dinas Kimpraswil, pengawas teknis proyek Perlu diawasi agar tidak terjadi perselingkuhan antara unsur-unsur itu. Perselingkuhan dalam tugas dan tanggungjawab antar pelbagai unsur itu akan menyebabkan usaha tobat itu sia-sia, hanya menghabiskan waktu, tenaga dan dana.
Jalur ekonomi yang terisolasi itu bagaikan urat saraf dalam tubuh manusia yang tersumbat karena kolesterol atau lemak dalam darah. Jika tidak diatasi, maka akan timbul persoalan baru berupa sakit penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, serangan jantung dan akhirnya kematian dan dukacita. Analogi ini pas untuk mengungkapkan betapa lambannya pertumbuhan ekonomi dan krisis demi krisis yang dihadapi masyarakat kecil di daerah yang masih terisolasi dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Masyarakat kecil di daerah itu akan terbebas dari krisis apabila isolasi urat nadi perekonomian itu benar-benar terbuka dan berkualitas. Perputaran barang dan jasa akan semakin lancar dan meningkat dari waktu ke waktu. Dengan demikian masyarakat kecil benar-benar akan memiliki uang dari usaha mereka sendiri. Dengan modal yang ada dan ditopang oleh infrastruktur jalan yang kondusif, mulailah mereka membuka usaha-usaha produktif.
Akhirnya, NTT fokus 2007 hanya bisa berhasil apabila ada partisipasi semua pihak. Tetapi hanya orang yang mapu mencintai dan jujur dengan diri sendiri saja yang bisa menjadi pelopor sejati suatu perubahan menembus isolasi infrastruktur jalur ekonomi menuju masyarakat sejahtera. Lahir-batin.
ROMO ANTONIUS PRAKUM KERAF, PR
Pastor Paroki Kalikasa Lembata
Nusa Tenggara Timur
Sumber: POS KUPANG, 12 November 2007
No comments:
Post a Comment