Monday, March 17, 2008

Ekologi Politik Hutan dan Tambang

Para pemrotes Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 umumnya menyayangkan keputusan Presiden menerbitkan perundang-undangan yang berpotensi mengurangi 925 ribu hektare hutan Indonesia dan mengabaikan nilai serta fungsi-fungsi ekologis dan perlindungan lingkungan dalam jangka panjang. Padahal pemangku kepentingan (stakeholders) di sektor kehutanan dan masyarakat luas mengetahui betapa rusaknya kondisi hutan Indonesia, yang kini sekarat dengan laju deforestasi rata-rata 1,8 juta hektare per tahun dan telah memecahkan rekor dunia Guinness sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia.

Keputusan penerbitan beleid peraturan pemerintah itu tidak bisa dianggap berdiri sendiri sebagai produk kebijakan semata, tapi juga produk dari model ekonomi politik sumber daya alam yang dianut rezim penguasa. Eric Wolf memakai istilah ekologi politik (political ecology) untuk mendeskripsikan kesalingberpengaruhan sistem ekonomi politik terhadap masalah-masalah lingkungan hidup.

Paham ini meyakini bahwa masalah-masalah lingkungan hidup--terutama di dunia ketiga seperti Indonesia--bukan semata-mata merupakan refleksi dari kegagalan kebijakan atau mekanisme pasar, tapi merupakan manifestasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang jauh lebih besar dan luas. Kekuatan itu adalah sistem ekonomi kapitalistik yang berkembang sejak abad ke-19, yang berselingkuh dengan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek para politikus, dan bersekutu dengan motif-motif pribadi seperti pengumpulan kekayaan (Bailey, 1997).

Di dalam rasionalitas ekonomi kapitalistik, keuntungan dicapai dengan menganggap sumber daya alam sebagai biaya-biaya eksternalitas, bukan sebagai biaya modal yang perlu dibayar kembali. Karena dalam pandangan Ricardian (mengacu pada David Ricardo) modal adalah sesuatu yang bernilai, sedangkan nilai diperoleh berdasarkan jumlah jam kerja yang dipakai untuk memproduksinya, maka hutan, tanah, air, udara, dan sungai tidak bernilai karena taken for granted dari alam.

Ekonom seolah-olah menghindar dari konsekuensi jangka panjang apa pun sebuah produk kebijakan ekonomi, karena seperti ungkapan John Meynard Keynes, "Kita semua toh akan mati pada suatu saat," yang menegaskan bahwa horizon waktu para ekonom tidak seharusnya melebihi jangka waktu 10 atau 20 tahun ke depan. Di sisi lain, ekologi banyak bicara tentang kompleksitas sistem yang membutuhkan waktu lama sampai ratusan tahun untuk pulih kembali.

Pilihan ekonomi-politik yang dianut pemerintah saat ini membawa dua macam kegagalan pasca-PP Nomor 2 Tahun 2008. Kegagalan pertama adalah kegagalan filosofis untuk memahami tumpulnya ekonomi memandang sistem-sistem ekologi yang menopang eksistensi semesta. Para pembuat kebijakan gagal mengejawantahkan hubungan ekologi dan ekonomi, untuk menyatakan bahwa aktivitas produktif dalam perekonomian bergantung pada peminjaman atas sumber daya yang terbatas dari planet ini dan pengorganisasian suatu rangkaian pertukaran di dalam sebuah sistem multi-equilibrium yang sesungguhnya rentan.

Ekologi memiliki rasionalitas yang tak sebangun dengan rasionalitas ekonomi, karena ekologi menyadarkan kita bahwa efisiensi dari aktivitas ekonomi adalah terbatas dan bergantung pada kondisi-kondisi yang berada di luar ekonomi itu sendiri. Ia memungkinkan kita menemukan kenyataan bahwa usaha ekonomi untuk mengatasi kelangkaan yang bersifat relatif akan menyebabkan terjadinya kelangkaan yang bersifat absolut dan tidak dapat diatasi. Hasilnya adalah apa yang hari ini terlihat di mana saja: produksi barang menimbulkan kerusakan lebih besar dari nilai yang bisa produksi (Gorz, 1980).

Dalam ekonomi politik yang kapitalistik inilah para politikus menunggangi ombak. Studi empiris di berbagai negara terhadap praktek pemakaian anggaran yang dilakukan Joseph Stiglitz menyimpulkan bahwa pemasukan dari industri ekstraktif (migas dan pertambangan) ternyata meningkatkan pula tekanan bagi para politikus untuk menghabiskan anggaran lebih cepat. Para politikus yang umumnya tidak punya kepastian bisa bertahan berapa lama dalam kekuasaan, memiliki motif agar pemerintah menghabiskan anggaran lebih cepat ketimbang memberi peluang terbuka di masa depan bagi para calon lawan politiknya. Dan motif mereka kian besar jika dengan cara demikian bisa membantu memastikan mereka bertahan lebih lama dalam kekuasaan (Stiglitz, et al, 2007).

Kuatnya pengaruh ekonomi politik dalam relasi manusia-lingkungan inilah yang menjelaskan kenapa para menteri kabinet Presiden Amerika George Bush rajin datang ke Indonesia membicarakan kontrak ladang minyak Cepu atau tambang Freeport yang merupakan entitas bisnis bukan politik. Amat naif memandang peristiwa-peristiwa politik semacam itu berdiri terpisah sebagai seremonial diplomatik semata dan memisahkannya dari tekanan dan kegiatan ekspansi korporasi multinasional.

Kegagalan kedua beleid ini adalah kegagalan justifikasi teknis-akademis yang menyebabkannya kehilangan basis ilmiah yang kuat di kalangan para akademisi. Pertanyaan bermunculan, kenapa pemerintah mengubah tukar guling lahan hutan menjadi sekadar sewa-menyewa tanah? Apakah yang dipakai argumentasi ilmiah untuk menentukan nilai tarif? Dan kenapa tidak tegas menyebut bahwa aturan ini hanya berlaku untuk ke-13 perusahaan tambang, tapi membuka pintu bagi kegiatan komersial lain di hutan lindung.

Pemerintah, yang menghargai tanah hutan lindung Rp 1,2-3 juta per hektare per tahun, mendapat kritik pedas karena nilai itu jauh di bawah nilai beberapa valuasi hutan yang dihitung para pakar ekonomi lingkungan. Kim dan Sumitro (UGM, 2002), misalnya, menyebut nilai tiap hektare hutan Rp 10 juta per tahun dengan nilai terbesar sebagai gudang penyimpan karbon, yaitu sebesar 89 persen. Penelitian IPB bahkan menyebutkan nilainya mencapai Rp 150 juta per ha per tahun. Data Greenomics Indonesia menunjukkan tarif sewa dari PNBP untuk 13 perusahaan tambang itu hanya Rp 2,78 triliun per tahun atau hanya 3,96 persen dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka yang diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun. Hal ini mengindikasikan adanya kegagalan untuk menghitung dengan benar nilai sumber daya alam kita.

Pendekatan teknis yang reduksionistik dan mekanistik terhadap kompleksitas proses dalam ekosistem hutan lindung juga mencerminkan salah satu ciri penyelesaian persoalan lingkungan di negara dunia ketiga, yang masih kental dipengaruhi pendekatan Newtonian yang menaruh kepercayaan tinggi pada solusi teknis jangka pendek (quick fix technical policy solution) seperti penetapan tarif.

Kegagalan PP Nomor 2 Tahun 2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004, dan UU Nomor 19 Tahun 2004 merupakan serangkaian kegagalan untuk memahami dampak tak dapat pulih dari eksplorasi pertambangan mineral dan konsekuensi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang, serta dampak perubahan kompleksitas ekosistem dan eksistensi berbagai interaksi biogeofisik di dalamnya, terhadap eksistensi manusia dalam hubungan saling ketergantungan.

I G.G. Maha Adi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Peminat Ekologi Politik
Sumber: KORAN TEMPO, 18 Maret 2008

No comments: