Mendiskusikan tambang dengan Erwiza Erman membawa kita pada perjalanan panjang keberadaan tambang di Indonesia. Tambang di tangan dia tak sekadar persoalan teknis mengambil kandungan mineral dari Bumi, tetapi juga catatan sejarah perjalanan hidup sebuah bangsa.
Kalau urusan teknis penambangan, sudah banyak ahlinya. Tapi, apa pernah ada yang mempelajari sejarah tambang? Berapa produksi yang dihasilkan tiap kepala setiap hari?” tutur peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Berangkat dari keingintahuan menelusuri perjalanan sejarah dunia tambang, Erwiza terjun ke dunia yang identik dengan dunia ”maskulin” yang tertutup itu. Puluhan buku dihasilkannya dari pergumulan dengan tambang. Persentuhan dengan dunia tambang membuat Erwiza berhasil menuliskan berbagai hal tentang sejarah tambang di Indonesia.
”Saya sedang menulis sejarah mafia timah di Bangka Belitung. Bagaimana perdagangan timah dikuasai oleh orang China di Belitung dan Singapura. Inilah yang membuat Indonesia kalah, karena kita hanya ekspor timah dalam bentuk mentah. Sementara Singapura mengirim timah yang sudah diolah ke Indonesia. Ini terjadi sejak zaman Belanda,” katanya.
Tak hanya timah yang diteliti Erwiza. Penelitian tambang batu bara di Sawahlunto merupakan catatan tersendiri selama kurun waktu satu abad lebih, 1892-1996.
Erwiza bertemu para pekerja tambang maupun keturunan penambang pada zaman Belanda di Sawahlunto. Dari keterangan mereka, ia mendapatkan potongan-potongan ”puzzle” yang dirangkai sebagai perjalanan sejarah kehidupan dalam lorong tambang sepanjang ratusan meter di bawah permukaan tanah itu.
Di Belanda ia berusaha melacak para elite tambang yang pernah bertugas di Ombilin. Erwiza menuliskan keinginannya mewawancarai mereka yang pernah bekerja di Ombilin lewat iklan pada majalah Moesoen Tijdschrift pada 1987.
”Tidak cuma satu-dua orang yang menghubungi saya. Tapi ratusan orang,” kata Erwiza takjub. Dia tak menyangka begitu tinggi animo masyarakat Belanda untuk berkisah tentang sejarah. ”Padahal, itu sejarah kelam mereka ketika menjajah Indonesia. Tapi, mereka tak malu berbagi,” katanya.
Ketertarikan masyarakat Belanda pada sejarah, termasuk tambang, dianggapnya luar biasa. Itu pula yang membuat sejumlah buku sejarah karya Erwiza diterbitkan di luar negeri. Dia pun kerap diundang ke luar Indonesia untuk mengupas dunia tambang Tanah Air.
Dunia yang tertutup
Dari berbagai penelitian sejarah tambang, Erwiza melihat adanya ketertutupan di bidang ini. Dunia tambang tak hanya sulit ditembus perempuan, tetapi juga tertutup untuk masyarakat di sekitarnya.
Dunia tambang yang dikuasai pemilik kapital itu, kata Erwiza, idealnya juga memberi kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di sekeliling pagar perusahaan tambang. Namun yang terjadi justru dunia tambang—terutama yang dikuasai jaringan perusahaan tambang internasional—menjadi ”negara bayangan” di Indonesia.
Dulu, zaman Belanda, para elite kolonial saja yang mendapat kemakmuran dari tambang. Kini, elite pemerintah (daerah) bersama perusahaan tambanglah yang meraup kelezatan mineral dari dalam Bumi ini. Kehidupan dunia tambang sangatlah mewah.
”Ketika masih mahasiswa dan hendak meneliti tambang timah di Belitung, saya disuguhi 10 macam makanan oleh perusahaan tambang. Mana mungkin saya habiskan semua,” cerita Erwiza yang tengah menyiapkan buku tentang ”negara bayangan” yang dihasilkan dunia tambang.
”Tetapi cobalah ke luar beberapa langkah dari pagar perusahaan, terlihatlah gambaran masyarakat yang miskin,” katanya.
Ada pula kesenjangan antara masyarakat pendatang yang direkrut untuk bekerja di tambang dan penduduk lokal. Politik pertambangan yang lebih banyak mempekerjakan pendatang pada tingkat struktural perusahaan daripada masyarakat lokal meninggalkan permasalahan etnisitas antara pendatang dan penduduk lokal.
Bila kandungan tambang di perut Bumi habis, tinggallah masyarakat hidup di lingkungan yang sudah rusak. ”Di Bangka banyak sekali lubang bekas tambang yang menjadi kolam. Problem kerusakan lingkungan akibat tambang belum mendapat perhatian pemerintah dan penambang. Kondisi serupa terjadi hampir di seluruh daerah tambang di Indonesia,” katanya.
Di sisi lain, ada buruh tambang. ”Para buruh tambang bukan obyek yang pasif, apakah mereka berada di bawah pemerintahan otoriter atau tidak,” ucap Erwiza.
Catatan sejarah dari Sawahlunto memberi gambaran, pada tahun 1926/1927 buruh terlibat aktif dalam pemberontakan Silungkang. Pemberontakan yang meletus akibat ketidakadilan strata pada masyarakat tambang. Alasan ekonomi dan ketidakadilan sosial merupakan salah satu penyebabnya.
Kondisi masyarakat di sekitar tambang pun hingga kini tak jauh berbeda, sebagian besar tetap miskin. Kesadaran untuk memerhatikan masyarakat sekitar lokasi penambangan mulai diperlihatkan perusahaan. Ini muncul dengan memperhitungkan kemungkinan perusakan aset tambang bila masyarakat mengamuk.
”Otonomi daerah justru membuat semakin banyak pemerintah yang hanya mengejar pendapatan dari keberadaan tambang. Mereka tak mau merancang sebuah dunia tambang yang mengakomodir semua kebutuhan,” katanya.
Fungsi tanggung jawab sosial dari perusahaan kepada masyarakat bisa menjadi cara untuk memecah kebekuan itu. ”Perlu ada lembaga yang otonom untuk menjalankan pemberdayaan masyarakat,” kata Erwiza.
Betapa pun, sebuah sejarah seharusnya membuat orang belajar menjadi yang lebih baik di hari esok. (Agnes Rita Sulistyawaty)
Kalau urusan teknis penambangan, sudah banyak ahlinya. Tapi, apa pernah ada yang mempelajari sejarah tambang? Berapa produksi yang dihasilkan tiap kepala setiap hari?” tutur peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Berangkat dari keingintahuan menelusuri perjalanan sejarah dunia tambang, Erwiza terjun ke dunia yang identik dengan dunia ”maskulin” yang tertutup itu. Puluhan buku dihasilkannya dari pergumulan dengan tambang. Persentuhan dengan dunia tambang membuat Erwiza berhasil menuliskan berbagai hal tentang sejarah tambang di Indonesia.
”Saya sedang menulis sejarah mafia timah di Bangka Belitung. Bagaimana perdagangan timah dikuasai oleh orang China di Belitung dan Singapura. Inilah yang membuat Indonesia kalah, karena kita hanya ekspor timah dalam bentuk mentah. Sementara Singapura mengirim timah yang sudah diolah ke Indonesia. Ini terjadi sejak zaman Belanda,” katanya.
Tak hanya timah yang diteliti Erwiza. Penelitian tambang batu bara di Sawahlunto merupakan catatan tersendiri selama kurun waktu satu abad lebih, 1892-1996.
Erwiza bertemu para pekerja tambang maupun keturunan penambang pada zaman Belanda di Sawahlunto. Dari keterangan mereka, ia mendapatkan potongan-potongan ”puzzle” yang dirangkai sebagai perjalanan sejarah kehidupan dalam lorong tambang sepanjang ratusan meter di bawah permukaan tanah itu.
Di Belanda ia berusaha melacak para elite tambang yang pernah bertugas di Ombilin. Erwiza menuliskan keinginannya mewawancarai mereka yang pernah bekerja di Ombilin lewat iklan pada majalah Moesoen Tijdschrift pada 1987.
”Tidak cuma satu-dua orang yang menghubungi saya. Tapi ratusan orang,” kata Erwiza takjub. Dia tak menyangka begitu tinggi animo masyarakat Belanda untuk berkisah tentang sejarah. ”Padahal, itu sejarah kelam mereka ketika menjajah Indonesia. Tapi, mereka tak malu berbagi,” katanya.
Ketertarikan masyarakat Belanda pada sejarah, termasuk tambang, dianggapnya luar biasa. Itu pula yang membuat sejumlah buku sejarah karya Erwiza diterbitkan di luar negeri. Dia pun kerap diundang ke luar Indonesia untuk mengupas dunia tambang Tanah Air.
Dunia yang tertutup
Dari berbagai penelitian sejarah tambang, Erwiza melihat adanya ketertutupan di bidang ini. Dunia tambang tak hanya sulit ditembus perempuan, tetapi juga tertutup untuk masyarakat di sekitarnya.
Dunia tambang yang dikuasai pemilik kapital itu, kata Erwiza, idealnya juga memberi kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di sekeliling pagar perusahaan tambang. Namun yang terjadi justru dunia tambang—terutama yang dikuasai jaringan perusahaan tambang internasional—menjadi ”negara bayangan” di Indonesia.
Dulu, zaman Belanda, para elite kolonial saja yang mendapat kemakmuran dari tambang. Kini, elite pemerintah (daerah) bersama perusahaan tambanglah yang meraup kelezatan mineral dari dalam Bumi ini. Kehidupan dunia tambang sangatlah mewah.
”Ketika masih mahasiswa dan hendak meneliti tambang timah di Belitung, saya disuguhi 10 macam makanan oleh perusahaan tambang. Mana mungkin saya habiskan semua,” cerita Erwiza yang tengah menyiapkan buku tentang ”negara bayangan” yang dihasilkan dunia tambang.
”Tetapi cobalah ke luar beberapa langkah dari pagar perusahaan, terlihatlah gambaran masyarakat yang miskin,” katanya.
Ada pula kesenjangan antara masyarakat pendatang yang direkrut untuk bekerja di tambang dan penduduk lokal. Politik pertambangan yang lebih banyak mempekerjakan pendatang pada tingkat struktural perusahaan daripada masyarakat lokal meninggalkan permasalahan etnisitas antara pendatang dan penduduk lokal.
Bila kandungan tambang di perut Bumi habis, tinggallah masyarakat hidup di lingkungan yang sudah rusak. ”Di Bangka banyak sekali lubang bekas tambang yang menjadi kolam. Problem kerusakan lingkungan akibat tambang belum mendapat perhatian pemerintah dan penambang. Kondisi serupa terjadi hampir di seluruh daerah tambang di Indonesia,” katanya.
Di sisi lain, ada buruh tambang. ”Para buruh tambang bukan obyek yang pasif, apakah mereka berada di bawah pemerintahan otoriter atau tidak,” ucap Erwiza.
Catatan sejarah dari Sawahlunto memberi gambaran, pada tahun 1926/1927 buruh terlibat aktif dalam pemberontakan Silungkang. Pemberontakan yang meletus akibat ketidakadilan strata pada masyarakat tambang. Alasan ekonomi dan ketidakadilan sosial merupakan salah satu penyebabnya.
Kondisi masyarakat di sekitar tambang pun hingga kini tak jauh berbeda, sebagian besar tetap miskin. Kesadaran untuk memerhatikan masyarakat sekitar lokasi penambangan mulai diperlihatkan perusahaan. Ini muncul dengan memperhitungkan kemungkinan perusakan aset tambang bila masyarakat mengamuk.
”Otonomi daerah justru membuat semakin banyak pemerintah yang hanya mengejar pendapatan dari keberadaan tambang. Mereka tak mau merancang sebuah dunia tambang yang mengakomodir semua kebutuhan,” katanya.
Fungsi tanggung jawab sosial dari perusahaan kepada masyarakat bisa menjadi cara untuk memecah kebekuan itu. ”Perlu ada lembaga yang otonom untuk menjalankan pemberdayaan masyarakat,” kata Erwiza.
Betapa pun, sebuah sejarah seharusnya membuat orang belajar menjadi yang lebih baik di hari esok. (Agnes Rita Sulistyawaty)
Sumber: KOMPAS, 19 Maret 2008
No comments:
Post a Comment