Magnet baru bagi pemerhati lingkungan itu bernama Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008. Beleid ini mengatur tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Para tokoh lain juga tergerak menyuarakan pendapatnya, misalnya dengan turut dalam gerakan "menyewa hutan" yang digagas para aktivis.
Sebagai simbol perlawanan atas regulasi yang tak sesuai dengan aspirasi, gerakan "menyewa hutan" telah berhasil menarik perhatian. Namun, kiranya perubahan sistemiklah yang harus dilakukan. Kita semua--para konsumen--harus mengubah cara hidup sehari-hari yang sebetulnya berkontribusi sangat besar dalam perusakan hutan dan lingkungan secara umum. Kalau kita tidak berhenti mengkonsumsi utamanya produk-produk hutan, tambang, dan minyak dengan cara-cara yang kita lakukan sekarang, lingkungan akan semakin rusak.
Mari kita lihat seluruh produk berbahan utama kayu yang ada di rumah kita. Pernahkah kita bertanya asal kayu untuk kusen, pintu, dan berbagai jenis mebel yang mengisi ruang-ruang di rumah sendiri? Pernahkah kita secara sengaja bertanya kepada penjualnya dari hutan sebelah mana kayu-kayu itu berasal? Para konsumen yang kritis di luar negeri dengan antusias menanyakan apakah sebuah produk mebel seratus persen kayunya memiliki sertifikat ekolabel untuk produk dan lacak balak (chain of custody). Kita di sini bahkan tak pernah bertanya status legalitas kayu. Kita membeli dengan asumsi bahwa kayu yang kita beli adalah legal, padahal kita tahu bahwa selama bertahun-tahun jumlah pasokan kayu yang ada di negara ini jauh melampaui total volume Rencana Karya Tahunan yang diberikan oleh Departemen Kehutanan. Karena ketidakpedulian inilah pasar untuk kayu ilegal tetap menganga, dan ini memberikan sinyal positif bagi para penebang liar.
Ketika kita membuka surat kabar di pagi atau sore hari, membeli majalah di kios pojokan kompleks rumah kita, atau membeli buku baru di mal, pernahkah terbetik pertanyaan siapa produsen kertasnya? Apakah kita meminta penerbitnya mencantumkan asal-muasal kayu yang dipergunakan sebagai bahan bubur kertasnya? Kalau kita periksa dengan saksama soal kertas ini, hanya sebuah hutan tanaman industri di Indonesia yang telah memiliki sertifikat ekolabel. Jadi, sebagian besar kayu yang dipergunakan untuk memproduksi kertas sebetulnya berasal dari hutan yang dikelola tanpa jaminan kelestarian. Mungkin kayunya legal, tapi mungkin juga ilegal. Yang jelas, sekali lagi kita semua memberi sinyal kepada perusahaan-perusahaan yang bekerja di bidang kehutanan bahwa kita tidak meminta mereka mengelola hutannya secara lestari.
Tengok pula benda-benda di sekitar kita, manakah yang mengandung produk-produk pertambangan? Banyak sekali. Segala logam yang dipergunakan untuk membuat berbagai alat rumah tangga berasal dari bawah tanah. Televisi, perangkat stereo, komputer, telepon stasioner ataupun seluler, lemari pendingin, setrika, dan banyak lagi peralatan yang kita pergunakan sehari-hari adalah alat-alat yang mengandung produk-produk pertambangan. Belum lagi perhiasan yang kita beli untuk orang tercinta atau sekadar sebagai investasi karena kita tahu harganya terus melambung. Pernahkah kita bertanya dari mana asalnya itu semua? Apakah pernah terpikir seharusnya kita menyelidiki sertifikat-sertifikat pengelolaan lingkungan dari perusahaan mana hasil pertambangan itu berasal? Tidak. Kita seakan lupa bahwa barang-barang modern yang kita konsumsi itu berasal dari tanah, dan untuk mengangkatnya dari tanah kita mempekerjakan perusahaan-perusahaan tambang untuk mengupas bumi.
Ketika saklar listrik kita pencet, ketika kabel komputer kita colokkan ke sumber listrik, pernahkah terbetik perasaan bahwa yang sedang kita lakukan sebetulnya adalah meminta perusahaan tambang dan minyak untuk terus bekerja? Ketika kita mengisi bensin di stasiun pengisian bahan bakar, ketika bepergian di darat dengan jenis kendaraan apa pun, dan ketika kita mengangkasa untuk pergi lebih jauh, pernahkah kita sadar akan konsekuensinya? Sebagian besar sumber listrik kita masih berasal bahan bakar minyak dan batu bara, dan sumber energi untuk transportasi berasal dari minyak. Kondisi akan terus begitu sampai beberapa dekade ke depan, karena pemerintah kita menetapkan bauran energi yang berat sekali ke arah energi tak terbarukan. Pemerintah kita, lewat Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006, telah mengatur bahwa hingga 2025 kita akan menggunakan sepertiga sumber energi kita dari batu bara, seperlimanya berasal dari minyak, dan cuma seperdua-puluh dari energi terbarukan. Bagaimana kita akan mengurangi pertambangan kalau bauran energi yang ditetapkan sedemikian condongnya pada batu bara dan minyak?
Sebagai konsekuensi logis atas berbagai kebutuhan kita, perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan, dan minyak terus bekerja. Karena kita tidak juga peduli bagaimana produk-produk kehutanan, pertambangan, dan minyak diproduksi, banyak perusahaan juga mencerminkan ketidakpedulian itu. Sadar atau tidak, mau mengakui atau tidak, kitalah yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan itu. Sebagian besar dari kita kebangetan dalam soal ketidakpedulian ini, karena mengutamakan pertimbangan harga dan ketersediaan, dan tak pernah menimbang dampak lingkungan dan sosial dari produksi barang yang kita konsumsi. Sebagian kecil kerap meneriakkan bahwa kita harus memelihara lingkungan. Namun, idenya tak cukup jelas, atau tak manjur, karena hanya menuding ke arah gejala, bukan ke arah akar masalah.
Kita kerap menghajar perusahaan kehutanan, pertambangan, dan minyak, menjelek-jelekkan mereka seakan mereka adalah najis, namun sebagian besar--kalau bukan seluruh--kita sendiri tak bisa hidup tanpa mereka. Tidakkah ini merupakan pertanda bahwa kita sedang berada dalam kondisi yang bisa disebut sebagai ekohipokrisi atau kemunafikan terkait dengan isu lingkungan? Kita terus menuding, tapi tak juga berhenti menyediakan kondisi yang menjadi prasyarat kerusakan lingkungan.
Banyak sekali perusahaan di Indonesia yang tak bertanggung jawab, terutama di industri-industri yang terkait dengan ekstraksi sumber daya alam, tapi kita tak juga serius menghukum mereka. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang sudah atau mulai menunjukkan tanggung jawabnya tak memperoleh dukungan yang memadai dari kita semua. Kita lemah dalam memberi disinsentif kepada yang ngawur, sekaligus tidak memberi cukup insentif buat mereka yang berusaha menjadi luhur. Kalau ini terus berlanjut, kita semua tak punya masa depan yang lebih baik.
Sebagai simbol perlawanan atas regulasi yang tak sesuai dengan aspirasi, gerakan "menyewa hutan" telah berhasil menarik perhatian. Namun, kiranya perubahan sistemiklah yang harus dilakukan. Kita semua--para konsumen--harus mengubah cara hidup sehari-hari yang sebetulnya berkontribusi sangat besar dalam perusakan hutan dan lingkungan secara umum. Kalau kita tidak berhenti mengkonsumsi utamanya produk-produk hutan, tambang, dan minyak dengan cara-cara yang kita lakukan sekarang, lingkungan akan semakin rusak.
Mari kita lihat seluruh produk berbahan utama kayu yang ada di rumah kita. Pernahkah kita bertanya asal kayu untuk kusen, pintu, dan berbagai jenis mebel yang mengisi ruang-ruang di rumah sendiri? Pernahkah kita secara sengaja bertanya kepada penjualnya dari hutan sebelah mana kayu-kayu itu berasal? Para konsumen yang kritis di luar negeri dengan antusias menanyakan apakah sebuah produk mebel seratus persen kayunya memiliki sertifikat ekolabel untuk produk dan lacak balak (chain of custody). Kita di sini bahkan tak pernah bertanya status legalitas kayu. Kita membeli dengan asumsi bahwa kayu yang kita beli adalah legal, padahal kita tahu bahwa selama bertahun-tahun jumlah pasokan kayu yang ada di negara ini jauh melampaui total volume Rencana Karya Tahunan yang diberikan oleh Departemen Kehutanan. Karena ketidakpedulian inilah pasar untuk kayu ilegal tetap menganga, dan ini memberikan sinyal positif bagi para penebang liar.
Ketika kita membuka surat kabar di pagi atau sore hari, membeli majalah di kios pojokan kompleks rumah kita, atau membeli buku baru di mal, pernahkah terbetik pertanyaan siapa produsen kertasnya? Apakah kita meminta penerbitnya mencantumkan asal-muasal kayu yang dipergunakan sebagai bahan bubur kertasnya? Kalau kita periksa dengan saksama soal kertas ini, hanya sebuah hutan tanaman industri di Indonesia yang telah memiliki sertifikat ekolabel. Jadi, sebagian besar kayu yang dipergunakan untuk memproduksi kertas sebetulnya berasal dari hutan yang dikelola tanpa jaminan kelestarian. Mungkin kayunya legal, tapi mungkin juga ilegal. Yang jelas, sekali lagi kita semua memberi sinyal kepada perusahaan-perusahaan yang bekerja di bidang kehutanan bahwa kita tidak meminta mereka mengelola hutannya secara lestari.
Tengok pula benda-benda di sekitar kita, manakah yang mengandung produk-produk pertambangan? Banyak sekali. Segala logam yang dipergunakan untuk membuat berbagai alat rumah tangga berasal dari bawah tanah. Televisi, perangkat stereo, komputer, telepon stasioner ataupun seluler, lemari pendingin, setrika, dan banyak lagi peralatan yang kita pergunakan sehari-hari adalah alat-alat yang mengandung produk-produk pertambangan. Belum lagi perhiasan yang kita beli untuk orang tercinta atau sekadar sebagai investasi karena kita tahu harganya terus melambung. Pernahkah kita bertanya dari mana asalnya itu semua? Apakah pernah terpikir seharusnya kita menyelidiki sertifikat-sertifikat pengelolaan lingkungan dari perusahaan mana hasil pertambangan itu berasal? Tidak. Kita seakan lupa bahwa barang-barang modern yang kita konsumsi itu berasal dari tanah, dan untuk mengangkatnya dari tanah kita mempekerjakan perusahaan-perusahaan tambang untuk mengupas bumi.
Ketika saklar listrik kita pencet, ketika kabel komputer kita colokkan ke sumber listrik, pernahkah terbetik perasaan bahwa yang sedang kita lakukan sebetulnya adalah meminta perusahaan tambang dan minyak untuk terus bekerja? Ketika kita mengisi bensin di stasiun pengisian bahan bakar, ketika bepergian di darat dengan jenis kendaraan apa pun, dan ketika kita mengangkasa untuk pergi lebih jauh, pernahkah kita sadar akan konsekuensinya? Sebagian besar sumber listrik kita masih berasal bahan bakar minyak dan batu bara, dan sumber energi untuk transportasi berasal dari minyak. Kondisi akan terus begitu sampai beberapa dekade ke depan, karena pemerintah kita menetapkan bauran energi yang berat sekali ke arah energi tak terbarukan. Pemerintah kita, lewat Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006, telah mengatur bahwa hingga 2025 kita akan menggunakan sepertiga sumber energi kita dari batu bara, seperlimanya berasal dari minyak, dan cuma seperdua-puluh dari energi terbarukan. Bagaimana kita akan mengurangi pertambangan kalau bauran energi yang ditetapkan sedemikian condongnya pada batu bara dan minyak?
Sebagai konsekuensi logis atas berbagai kebutuhan kita, perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan, dan minyak terus bekerja. Karena kita tidak juga peduli bagaimana produk-produk kehutanan, pertambangan, dan minyak diproduksi, banyak perusahaan juga mencerminkan ketidakpedulian itu. Sadar atau tidak, mau mengakui atau tidak, kitalah yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan itu. Sebagian besar dari kita kebangetan dalam soal ketidakpedulian ini, karena mengutamakan pertimbangan harga dan ketersediaan, dan tak pernah menimbang dampak lingkungan dan sosial dari produksi barang yang kita konsumsi. Sebagian kecil kerap meneriakkan bahwa kita harus memelihara lingkungan. Namun, idenya tak cukup jelas, atau tak manjur, karena hanya menuding ke arah gejala, bukan ke arah akar masalah.
Kita kerap menghajar perusahaan kehutanan, pertambangan, dan minyak, menjelek-jelekkan mereka seakan mereka adalah najis, namun sebagian besar--kalau bukan seluruh--kita sendiri tak bisa hidup tanpa mereka. Tidakkah ini merupakan pertanda bahwa kita sedang berada dalam kondisi yang bisa disebut sebagai ekohipokrisi atau kemunafikan terkait dengan isu lingkungan? Kita terus menuding, tapi tak juga berhenti menyediakan kondisi yang menjadi prasyarat kerusakan lingkungan.
Banyak sekali perusahaan di Indonesia yang tak bertanggung jawab, terutama di industri-industri yang terkait dengan ekstraksi sumber daya alam, tapi kita tak juga serius menghukum mereka. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang sudah atau mulai menunjukkan tanggung jawabnya tak memperoleh dukungan yang memadai dari kita semua. Kita lemah dalam memberi disinsentif kepada yang ngawur, sekaligus tidak memberi cukup insentif buat mereka yang berusaha menjadi luhur. Kalau ini terus berlanjut, kita semua tak punya masa depan yang lebih baik.
Jalal, Aktivis Lingkar Studi CSR
Sumber: KORAN TEMPO, 18 Maret 2008
1 comment:
Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/lingkungan/kitalah_yang_menghancurkan_lingkungan/
Post a Comment