Di sebuah jalan kampung di pinggir hutan belasan laki-laki dewasa meminta mobil jip yang kami tumpangi berhenti. Salah seorangnya dengan wajah kaku membentak Mamat Surahmat, yang duduk di samping sopir. Lalu, kata orang itu, ”Jangan cuma lewat-lewat. Kami baru saja memperbaiki jalan yang longsor di sana. Buat bronjong, pakai uang swadaya masyarakat di sini. Taman nasional pengertian dong. Mana uang rokok?”
Mamat, karyawan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), menjawab, dirinya tidak membawa uang karena hanya bertugas mengantar tamu-tamu TNGHS yang akan melakukan penelitian hutan. Setelah berlalu dari orang-orang itu, Mamat mengatakan, sebagian warga kampung tersebut masih marah dengan TNGHS sebagai buntut dari perluasan kawasan TNGHS.
”Dulu, sewaktu mereka masih boleh masuk dan menggarap hutan produksi milik Perhutani, mereka ramah-ramah. Sekarang hutannya masuk kawasan taman nasional. Jadi, tadi itu karena konflik lahan hutan, bukan karena masalah jalan rusak. Mereka tahu, jalan kampung rusak karena truk pengangkut batu kali, truk-truk mereka sendiri,” katanya.
Kehilangan mata pencarian atau lahan garapan memang membuat gamang masyarakat di seputar TNGHS, yang sebagian besar adalah petani. Apalagi, kalau ternyata lahan kampung mereka pun benar-benar masuk kawasan TNGHS. Dari 314 kampung (99.982 jiwa) yang ada, 52 kampung benar-benar berada di dalam kawasan TNGHS. Kampung itu ada di 108 desa. Menyelamatkan TNGHS berarti harus pula memberdayakan perekonomian mereka, yang selama ini sangat bergantung pada lahan-lahan dan hutan di seputar atau di dalam TNGHS.
Salah satu upaya memberdayakan masyarakat itu adalah program Sistem Dukungan Pembangunan Masyarakat Hulu (Sisduk PMH), yang kini tengah disosialisasikan ke masyarakat Desa Cipeutey, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kampung-kampung di desa itu berada di sekitar atau di dalam kawasan TNGHS. Program di desa itu adalah yang pertama kalinya dan akan diterapkan di dua desa lain, dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010).
Program itu kerja sama Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan, sekaligus turut melestarikan hutan.
”Dari uji coba selama tiga tahun nanti akan dievaluasi, apabila hasilnya kurang baik, program bisa dihentikan. Tolok ukur keberhasilan adalah pada hasil. Program ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat, jadi nanti akan dilihat sejauh mana hasil usaha yang dilakukan,” kata Pelaksana Harian Tim Koordinasi Sisduk MPH Kabupaten Sukabumi Asep Sudrajat.
Untuk tahun ini, pihak JICA mengucurkan dana untuk tiga desa tersebut sebesar Rp 100 juta. Tahun 2009 dan 2010 akan dilakukan oleh Pemkab Sukabumi dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah minimal sekitar Rp 100 juta per tahun.
Kampung konservasi
Program Sisduk PMH itu merupakan pengembangan atau tindak lanjut dari Model Kampung Konservasi (MKK) untuk memanfatkan lahan garapan di zona khusus TNGHS. Zona khusus adalah salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat keterlanjuran lahan garapan masyarakat. Lahan garapan itu dibuka pada lahan eks Perum Perhutani. Pihak Balai TNGHS membuat nota kesepahaman MKK selama lima tahun dengan warga kampung yang akan memanfaatkan zona khusus itu.
Balai TNGHS merencanakan seluruh kampung di dalam kawasan ataupun yang berbatasan dengan taman nasional menjadi MKK. Namun, sejauh ini MKK yang terbentuk baru sembilan kampung, yaitu tujuh kampung di wilayah Sukabumi dan dua kampung di Lebak. Namun, yang sudah menandatangani nota kesepahaman baru Kampung Sukagalih, Sukabumi.
Dalam kesepakatan MKK disebutkan antara lain warga dapat memanfaatkan lahan garapannya dengan menanam tanaman sela antara lain padi huma ataupun palawija. Namun, warga juga diwajibkan menanam tanaman asli, seperti puspa, rasamala, pasang, dan juga huru secara bertahap. (SEM/RTS)
Mamat, karyawan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), menjawab, dirinya tidak membawa uang karena hanya bertugas mengantar tamu-tamu TNGHS yang akan melakukan penelitian hutan. Setelah berlalu dari orang-orang itu, Mamat mengatakan, sebagian warga kampung tersebut masih marah dengan TNGHS sebagai buntut dari perluasan kawasan TNGHS.
”Dulu, sewaktu mereka masih boleh masuk dan menggarap hutan produksi milik Perhutani, mereka ramah-ramah. Sekarang hutannya masuk kawasan taman nasional. Jadi, tadi itu karena konflik lahan hutan, bukan karena masalah jalan rusak. Mereka tahu, jalan kampung rusak karena truk pengangkut batu kali, truk-truk mereka sendiri,” katanya.
Kehilangan mata pencarian atau lahan garapan memang membuat gamang masyarakat di seputar TNGHS, yang sebagian besar adalah petani. Apalagi, kalau ternyata lahan kampung mereka pun benar-benar masuk kawasan TNGHS. Dari 314 kampung (99.982 jiwa) yang ada, 52 kampung benar-benar berada di dalam kawasan TNGHS. Kampung itu ada di 108 desa. Menyelamatkan TNGHS berarti harus pula memberdayakan perekonomian mereka, yang selama ini sangat bergantung pada lahan-lahan dan hutan di seputar atau di dalam TNGHS.
Salah satu upaya memberdayakan masyarakat itu adalah program Sistem Dukungan Pembangunan Masyarakat Hulu (Sisduk PMH), yang kini tengah disosialisasikan ke masyarakat Desa Cipeutey, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kampung-kampung di desa itu berada di sekitar atau di dalam kawasan TNGHS. Program di desa itu adalah yang pertama kalinya dan akan diterapkan di dua desa lain, dengan masa uji coba tiga tahun (2008-2010).
Program itu kerja sama Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Diharapkan dari program tersebut masyarakat dapat mandiri, tak bergantung pada hasil hutan, sekaligus turut melestarikan hutan.
”Dari uji coba selama tiga tahun nanti akan dievaluasi, apabila hasilnya kurang baik, program bisa dihentikan. Tolok ukur keberhasilan adalah pada hasil. Program ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat, jadi nanti akan dilihat sejauh mana hasil usaha yang dilakukan,” kata Pelaksana Harian Tim Koordinasi Sisduk MPH Kabupaten Sukabumi Asep Sudrajat.
Untuk tahun ini, pihak JICA mengucurkan dana untuk tiga desa tersebut sebesar Rp 100 juta. Tahun 2009 dan 2010 akan dilakukan oleh Pemkab Sukabumi dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah minimal sekitar Rp 100 juta per tahun.
Kampung konservasi
Program Sisduk PMH itu merupakan pengembangan atau tindak lanjut dari Model Kampung Konservasi (MKK) untuk memanfatkan lahan garapan di zona khusus TNGHS. Zona khusus adalah salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat keterlanjuran lahan garapan masyarakat. Lahan garapan itu dibuka pada lahan eks Perum Perhutani. Pihak Balai TNGHS membuat nota kesepahaman MKK selama lima tahun dengan warga kampung yang akan memanfaatkan zona khusus itu.
Balai TNGHS merencanakan seluruh kampung di dalam kawasan ataupun yang berbatasan dengan taman nasional menjadi MKK. Namun, sejauh ini MKK yang terbentuk baru sembilan kampung, yaitu tujuh kampung di wilayah Sukabumi dan dua kampung di Lebak. Namun, yang sudah menandatangani nota kesepahaman baru Kampung Sukagalih, Sukabumi.
Dalam kesepakatan MKK disebutkan antara lain warga dapat memanfaatkan lahan garapannya dengan menanam tanaman sela antara lain padi huma ataupun palawija. Namun, warga juga diwajibkan menanam tanaman asli, seperti puspa, rasamala, pasang, dan juga huru secara bertahap. (SEM/RTS)
Sumber: KOMPAS, 14 April 2008
1 comment:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Câmera Digital, I hope you enjoy. The address is http://camera-fotografica-digital.blogspot.com. A hug.
Post a Comment