Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.
Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.
Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.
Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.
Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat. ”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.
Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan. Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.
Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.
Dampak sosial ekologis
Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.
Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.
Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.
Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.
Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.
Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.
Penghancuran
”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.
”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.
Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.
Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.
”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)
Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.
Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.
Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.
Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat. ”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.
Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan. Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.
Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.
Dampak sosial ekologis
Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.
Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.
Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.
Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.
Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.
Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.
Penghancuran
”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.
”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.
Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.
Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.
”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008
No comments:
Post a Comment