Ternate, Kompas - Kepala daerah kabupaten/kota di Indonesia tidak berwenang menerbitkan izin atau kuasa pertambangan yang berlokasi di kawasan hutan atau kawasan konservasi. Izin harus diajukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan harus mendapat persetujuan DPR.
Hal itu dinyatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alami Departemen Kehutanan Darori menanggapi penerbitan kuasa pertambangan (KP) eksploitasi oleh Bupati Halmahera Barat atas 10.000 ha lahan hutan lindung dan hutan produksi terbatas kepada sebuah perusahaan pertambangan asing. ”Jika itu kawasan taman nasional, jangan coba-coba, daripada nanti berhadapan dengan kami,” kata Darori di Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, Kamis (10/4).
Sejak akhir 2007, sebuah perusahaan pertambangan asing melakukan eksplorasi di areal 10.000 ha hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Tanahputih, Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.
Hutan itu adalah habitat burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei), burung kakaktua putih (Cacatua alba), dan sejumlah burung endemik Maluku Utara lainnya. Eksplorasi itu dilakukan atas dasar kuasa pertambangan yang diterbitkan Bupati Halmahera Nanto Huiroba.
Darori mengungkapkan proses panjang pencarian izin. ”Harus ada rekomendasi bupati, gubernur, lalu diajukan ke menteri. Jika memenuhi kriteria, diajukan ke DPR yang membentuk tim independen. Jika laporan disetujui DPR baru izin dikeluarkan menteri. Setiap tambang di hutan lindung atau hutan produksi tanpa melalui mekanisme ini adalah pelanggaran,” katanya.
Jika eksplorasi di Tanahputih dilakukan di hutan lindung, maka harus dihentikan. Dia saat ini sedang survei untuk kemungkinan perluasan kawasan Taman Nasional Lalobata-Aketajawe di Halmahera.
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Halmahera Barat Djalal Fara membenarkan, perusahaan pertambangan PT KNIG memegang izin kuasa pertambangan eksplorasi di 20.000 ha hutan di Halmahera Barat untuk tambang diatomite.
”Sekarang sedang tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam proses amdal diusulkan memperkecil kawasan menjadi 10.000 ha saja. Sebagian lokasi eksplorasi memang di dalam kawasan hutan lindung, tetapi lokasi pertambangan belum ditentukan,” katanya.
Penanggung jawab studi amdal PT KNIG, Imron Hasan, mengakui kegiatan eksplorasi dilakukan di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Namun, ia membantah PT KNIG pernah melakukan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.
”Memang ada tujuh titik singkapan potensi diatomite di dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, PT KNIG tidak pernah mengebor di dalam kawasan tersebut. Luasan kuasa pertambangan eksplorasi yang diterbitkan Bupati Halmahera Barat hanya 10.000 ha. Studi amdal kami hanya meliputi kawasan seluas 10.000 ha. Dalam amdal, kami justru mengusulkan, Gunung Bidadari, yang termasuk dalam areal 10.000 ha itu, dijadikan kawasan konservasi sebab gunung itu adalah habitat burung bidadari yang endemik,” katanya.
Menurut Imron, dari laporan lima tahap eksplorasi, diperkirakan lokasi eksploitasi luasannya tidak mencapai 5.000 ha. ”Semua lokasi dipilih yang di luar hutan lindung,” katanya. (row)
Hal itu dinyatakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alami Departemen Kehutanan Darori menanggapi penerbitan kuasa pertambangan (KP) eksploitasi oleh Bupati Halmahera Barat atas 10.000 ha lahan hutan lindung dan hutan produksi terbatas kepada sebuah perusahaan pertambangan asing. ”Jika itu kawasan taman nasional, jangan coba-coba, daripada nanti berhadapan dengan kami,” kata Darori di Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, Kamis (10/4).
Sejak akhir 2007, sebuah perusahaan pertambangan asing melakukan eksplorasi di areal 10.000 ha hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Tanahputih, Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.
Hutan itu adalah habitat burung bidadari halmahera (Semioptera wallacei), burung kakaktua putih (Cacatua alba), dan sejumlah burung endemik Maluku Utara lainnya. Eksplorasi itu dilakukan atas dasar kuasa pertambangan yang diterbitkan Bupati Halmahera Nanto Huiroba.
Darori mengungkapkan proses panjang pencarian izin. ”Harus ada rekomendasi bupati, gubernur, lalu diajukan ke menteri. Jika memenuhi kriteria, diajukan ke DPR yang membentuk tim independen. Jika laporan disetujui DPR baru izin dikeluarkan menteri. Setiap tambang di hutan lindung atau hutan produksi tanpa melalui mekanisme ini adalah pelanggaran,” katanya.
Jika eksplorasi di Tanahputih dilakukan di hutan lindung, maka harus dihentikan. Dia saat ini sedang survei untuk kemungkinan perluasan kawasan Taman Nasional Lalobata-Aketajawe di Halmahera.
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Halmahera Barat Djalal Fara membenarkan, perusahaan pertambangan PT KNIG memegang izin kuasa pertambangan eksplorasi di 20.000 ha hutan di Halmahera Barat untuk tambang diatomite.
”Sekarang sedang tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam proses amdal diusulkan memperkecil kawasan menjadi 10.000 ha saja. Sebagian lokasi eksplorasi memang di dalam kawasan hutan lindung, tetapi lokasi pertambangan belum ditentukan,” katanya.
Penanggung jawab studi amdal PT KNIG, Imron Hasan, mengakui kegiatan eksplorasi dilakukan di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Namun, ia membantah PT KNIG pernah melakukan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.
”Memang ada tujuh titik singkapan potensi diatomite di dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, PT KNIG tidak pernah mengebor di dalam kawasan tersebut. Luasan kuasa pertambangan eksplorasi yang diterbitkan Bupati Halmahera Barat hanya 10.000 ha. Studi amdal kami hanya meliputi kawasan seluas 10.000 ha. Dalam amdal, kami justru mengusulkan, Gunung Bidadari, yang termasuk dalam areal 10.000 ha itu, dijadikan kawasan konservasi sebab gunung itu adalah habitat burung bidadari yang endemik,” katanya.
Menurut Imron, dari laporan lima tahap eksplorasi, diperkirakan lokasi eksploitasi luasannya tidak mencapai 5.000 ha. ”Semua lokasi dipilih yang di luar hutan lindung,” katanya. (row)
Sumber: KOMPAS, 11 April 2008
No comments:
Post a Comment