LEWOLEIN ibarat Firdaus yang sudah hilang kemudian ditemukan kembali. Kehidupan desa di bibir pantai utara Lembata itu paling tidak membawa setiap orang yang berkunjung ke sana untuk berimajinasi macam-macam. Betapa tidak, rombongan ikan di laut lepas bisa jinak seperti ayam atau bebek peliharaan. Dari ketinggian terlihat warna laut kehitam-hitaman, itu petanda rombongan ikan akan segera datang bermain dekat sekali ke pinggir pantai. Anda ingin menikmati ikan bakar? Pergilah ke pantai membawa serta peralatan seadanya, tapi jangan lupa membawa serta bumbu sesuai selera masing-masing tambahan makanan pendamping kalau perlu, lalu hidupkan api... selesai. Kita akan dibuat tercengang-cengang dan keheranan-heranan karena serombongan ikan besar kecil akan mendekati Anda hanya beberapa meter dari bibir pantai. Ambilah seberapa yang dibutuhkan dan biarkan yang lain pergi.
Itulah firdaus menurut imajinasi saya ketika menyaksikan peristiwa langkah seperti itu. Zaman dulu Adam dan Eva bukan saja berteman dengan ikan tetapi semua hewan yang saat ini kita kenal liar dan buas, bisa hidup berdampingan. Keadaan seperti di firdaus itu sudah lama hilang karena sikap kita sendiri. Orang Lewolein kemungkinan besar juga tidak setiap waktu membaca kitab suci tetapi cara hidupnya dengan ikan mirip di Firdaus seperri gambaran kitab Suci.
Paradise, paradiso, firdaus dari kata Yunani paradeisos, artinya kebun atau surga menjadi terminologi untuk taman firdaus....tempat manusia pertama yang baik hati tak ada salahnya penuh sukacita tetapi kemudian jatuh dalam dosa. Itulah kurang lebih sisi kitab suci perjanjian lama, "Old Testament".
Kayalan yang demikian indahnya itu menggugah pujangga Inggris, John Milton (1608-1974), dengan karya tulis yang mengagumkan Paradise Lost (16670 atau Firdaus yang hilang. Kemudian Paradise Regained (1671) kisah kepahlawanan untuk menemukan kembali Firdaus yang hilang itu. Seandainya saat ini Milton bisa ke Lewolein ia juga akan mengatakan bahwa Firdaus yang hilang itu ternyata ada dan bisa ditemukan di Lewolein. Orang Lewolein menjadi pahlawan bukan untuk menemukan saja tetapi "menciptakan" kembali Firdaus yang hilang itu.
Lewolein itu di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Kalau dari Lewoleba kurang lebih dua jam perjalanan dengan mobil lewat Hadakewa dan kita akan sampai di desa itu. Desa itu tempat persinggahan yang artistik, bisa istirahat sambil makan-makan ala di desa. Hampir semua kendaraan umum/khusus ke bagian timur Lembata, daerahnya Prof. Dr. Alo Liliweri tidak akan melewatkan Lewolein begitu saja. Kurang lebih satu tahun yang lalu kami dibawa oleh teman-teman dari "Lab Timores" ke sana. Sambil urusan Sekolah Demokrasi Pak Thom dan saya diajak rekan-rekan Hipol, Urbanus, Vitalis, Sofie dan lain-lain ke sana.
Pagi itu, Selasa, 27 Juni 2006, kami menuju Lewolein. Kami yang belum pernah ke sana cuma mendengar informasi sejak malamnya bahwa ikan-ikan di Lewolein itu bisa dicedok saja ibarat ikan dalam kolam. Saya bayangkan seperti disediakan oleh sebagian restoran modern sea food saat ini. Dalam benak saya timbul pertanyaan, mana mungkin ikan di laut lepas menjadi jinak seperti ayam peliharaan? Namun saya yakin teman-teman dari Lembata tidak mungkin mengibuli kami. Kami menyusuri pantai dengan pemandangan yang indah dan jalan berkelok-kelok ke arah timur. Di kiri tampak menjulang Gunung Ile Ape yang sesekali mengepulkan asap. Ada kebakaran di sana sini ke arah puncaknya. Wilayah Ile Ape adalah suatu kecamatan daerah asal Bupati Lembata sekarang, Pak Ande Manuk. Kalau kita memandang ke kanan tampak gunung gemunung, sedangkan ke depan akan terlihat teluk-tanjung seperti di dunia kayangan. Orang Lembata tentu merasa keadaan itu biasa-biasa saja, tetapi buat orang yang baru pernah ke sana akan merangsang untuk berkhayal macam-macam dengan alam yang begitu.
Sudah satu setengah jam perjalanan tidak terasa sebab obrolan ke sana ke mari sungguh asyik. Setiap kali ada pemukiman di depan kami, maka dalam pikiran saya pasti itu sudah tempat yang dituju karena ada keinginan untuk membuktikan apa yang dikatakan itu. Dugaan saya meleset beberapa kali, mobil terus menderu-deru, abu beterbangan karena sebagian jalan belum beraspal.
Akhirnya kami tiba di Lewolein. Ada jalan masuk ke desa ditandai dengan bangunan semacam gapura bertuliskan Desa Dikesare dan cabang yang lainnya untuk yang meneruskan perjalanan ke timur Lembata dan di ruas itu kurang lebih 500 m tempat persinggahan untuk menikmati ikan bakar, cumi, ketam, ketupat, ubi, nasi merah/putih dipadu dengan nira putih dan hidangan nikmat lainnya. Minuman modern seperti cola cola, fanta, sprite, bir juga tersedia di sana. Kami dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang berjajar di kiri kanan jalan dengan pemandangan mirip pedangan jagung bakar di El Tari Kupang.Sambil duduk dibalai-balai bambu kami mulai memesan sesuai selera. Pesanannya macam-macam. Nona-nona dan ibu-ibu serta bapa-bapa hampir kewalahan. Ketupat ditambah, kepiting ditambah, bir, tuak putih juga banyak peminatnya. Semua pesanan daam waktu singkat bisa dipenuhi, entah datang dari mana tak ada masalah lagi buat kami. Kami semua larut bersama-sama dengan putra putri Lewotana yang akan meneruskan perjalanan dengan bus ke bagian timur. Hiruk pikuk, hilir-mudik dan ramai sekali, kayaknya sedang ada suatu hajatan.
Sekitar 3 jam kami dipandu Rafael Suban Ikun yang bertubuh atletis, masih muda dan cerdas yang kebetulan kepala desa di sana. Pak Rafael ini selalu diutus untuk mewakili organisasi ke berbagai daerah di luar NTT jadi wawasannya memang cukup memadai. Kami semua menuju pemukiman penduduk hanya beberapa ratus meter berada di pinggir pantai juga dekat dengan jalan raya tersebut. Suasana desanya hampir sama saja dengan desa-desa kebanyakan di NTT. Di sana tampak mesjid dan kapela, juga ada balai desa parmanen yang terawat dan terlihat selalu digunakan. Pepohonan tinggi lagi rimbun di antara hutan kelapa menambah sejuk dan indahnya panorama pantai. Terlebih lautnya terlihat tenang seperti suatu kolam besar karena di kiri-kanannya diapit tanjung yang menjorong jauh ke laut. Bila lihat di peta tampak seperti tanduk naga yang sering dilukiskan oleh kebanyakan orang.
Kepala desa mulai cerita tentang tradisi penangkapan ikan di sana. Ikan boleh ditangkap pada masa yang sudah disepakati dengan cara-cara tradisional. Pokoknya ikan-ikan tidak boleh dibuat kaget dan terkesan dimusuhi. Ada pengecualian bila di sana sedang ada tamu dari luar seperti rombongan kami, itu punharus disepakati paling kurang kepala desa ikut terlibat atau mensponsori. Kami mulai menyusuri pantai sambil mengobrol ke sana ke mari dengan kepala desa. Beberapa meter dari pantai sudah ada beberapa penduduk yang mengayu sampai kecil kecil sedang yang lainnya berjalan dalam air sebatas perut sambil menebarkan pukat ukuran kecil untuk menggiring ikan-ikan sehingga lebih muda dikumpulkan untuk dimasukkan dalam ember. Jauh ke depan ada satu balai-balai yang dibuat untuk acara wisata pantai tersebut. Menjelang sore hari ikan dalam rombongan besar mulai mengitari pantai dipimpin oleh ikan-ikan yang lebih besar. Ember besar sudah berisi lebih dari separuh ikan-ikan segar. Sofie yang sarjana hukum ini cukup berat untuk mengangkatnya ke darat... jadi ada yang membantunya. Acara bakar ikan dimulai. Daun pisang muda pengganti piring untuk menyajikan ikan bakar, kelapa muda diturunkan dan setengah jam kemudian kami semua menikmati sambil memandang ke laut. Rombongan ikan masih bermain di tepi pantai seperti sebelumnya. Menjelang senja muncul ikan-ikan besar dan memandu "adik-adiknya" kembali ke laut lepas. Sedih dan amat terharu kami menyaksikan adegan itu. Seolah-oleh mereka mengatakan kepada kami "tugas kami sudah usai.... besok kami datang lagi.... sayonara."
Itu sekelumit tentang paradiso di Lembata. Sambil menatap ke laut mengiring hilangnya pandangan ikan-ikan yang sungguh fenomenal itu, Pak Rafael melanjutkan ceritanya. Dahulu orang tua mereka melakukan upacara di tempat yang kami duduk-duduk makan itu. Mereka berhasil menangkap ikan jantan dan betina lalu dengan upacara tradisional telah menguburkan secara baik di pantai itu. Ya apa yang mereka lakukan itu mempunyai nilai magis religius. Mereka perlakukanikan itu sama dengan manusia sebagian sesama makluk ciptaan Tuhan. Sehingga dalam diri orang Lewolein tidak pernah ada perasaan bahwa ikan mereka itu sebagai mangsa atau musuh tetapi sebagai sesama yang saling membantu. Dengan sengaja atau tidak ternyata tenggang waktu untuk perkembangbiakan dan perlindungan ikan-ikan sangat diperhatikan melalui tradisi penangkapan ikan di sana.
Paradiso atau Firdaus dari Lewolein itu sebenarnya bisa ‘diciptakan" di berbagai tempat di mana saja. Sudah saatnya kita ‘berdamai’ lagi dengan margasatwa dan alam sekitar kita. Sudah jauh kita merusak Firdaus yang dianugerahkan Allah kepada kita. Senapan angin (cis), pukat harimau, bom ikan dan semacamnya akan menghancurkan dan menghilangkan Firdaus yang masih ada. Mari kita ciptakan Firdaus bagi lingkungan kita masing-masing. Kalau orang Lewolein bisa, mengapa kita tidak bisa.
Acry Deodatus, dosen Undana, Kupang
Sumber: Pos Kupang 4 Juli 2007
Sumber: Pos Kupang 4 Juli 2007
1 comment:
Lebih indah lagi kalau disertai dengan foto2nya & harapanku supaya keindahan Lewolein tidak diporak-porandakan keasrian ekosistemnya, peace and God bless!
Post a Comment