Friday, November 23, 2007

SIMALAKAMA CSR

*Ferdinand Lamak
(Tulisan ini pernah di publikasikan di Harian POS KUPANG)

Ditengah merebaknya pro dan kontra tentang masuknya investasi pertambangan di beberapa kabupaten di NTT, di Senayan-Jakarta, pertengahan Juli silam, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas (RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No 1/1995. Secara makro, produk hukum paling anyar ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ‘aroma investasi pertambangan’ yang sedang menyeruak di NTT. Namun, satu pasal yang membuat kelompok swasta (korporasi) terkaget-kaget yakni mengenai kewajiban perseroan mengalokasikan dana Corporate Sosial Responsibility, agaknya perlu juga dicermati oleh warga NTT, yang Pemda-nya kini tengah bergairah menebar pesona, memancing investor datang ke sini.Di dalam pasal 74 Undang Undang itu, Ayat 1 menyatakan: Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sementara, ayat 2: Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3: Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4: Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.Kelahiran undang undang ini, telah meletupkan peta reaksi yang terpola dalam dua kelompok. Kelompok pengusaha, memberikan reaksi negatif, menolak. Mereka khawatir, ini akan jadi pasal ampuh yang akan melahirkan pungli oleh pemerintah (pemda) maupun preassure (tekanan) dari masyarakat tempat dimana perusahaan beraktifitas. Dan ini akan menghambat incoming investment dari luar.Sedangkan bagi pemerintah, masyarakat dan LSM, ini adalah kabar baik. Pemerintah dan DPR memiliki argumentasi bahwa kewajiban CSR ini ditujukan untuk menopang terselenggaranya good corporate governance di kalangan dunia usaha sehingga iklim usaha menjadi kondusif. Perusahaan tidak bisa lagi semena-mena dalam mengeksplorasi sumberdaya alam, dan menutup mata terhadap program CSR yang terencana (under budgeting) dan dapat dipertanggungjawabkan (auditable).Konsepsi 'Corporate’ & ‘Corporate Social Responsibility'Konsepsi CSR diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, 'It refers to the obligations of bussinesman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society' (Bowen dalam Caroll, 1999:270).Para pendukung konsep CSR juga berargumentasi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih luas dari sekadar mencari untung dan taat hukum terhadap para pemegang sahamnya. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isu-isu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004).Lebih jauh, Garriga dan Mele (2004) memetakan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya, Garriga dan Mele (2004) menjelaskan CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yakni keuntungan yang berkelanjutan. Kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. Ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Keempat, berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Dengan demikian, teori-teori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial, dan nilai-nilai etis. Namun, konsepsi ini jika dilihat dari sisi pengusaha atau perusahaan (corporate side), menjadi tidak sejalan dengan hakekat keberadaan korporasi di belahan bumi manapun. Apalagi jika disandingkan dengan argumentasi Milton Friedman, salah seorang peraih nobel bidang ekonomi. Menurut dia, secara natur, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder (pemegang saham),… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Dari sudut pandangan ini, CSR merupakan tindakan amoral dan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.Merujuk pada pendapat Friedman ini, jelas sulit untuk mengubah perilaku perusahaan. Korporasi memang dilahirkan dari rahim pengusaha atau investor, untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Mari kita ingat kembali kisah sedih bagaimana tanggung jawab Lapindo Brantas Incorporated terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur. Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.CSR Melindungi Rakyat dari Rakusnya Investor dan PejabatPembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung. Harapan John Rawls, 1995, ini tampaknya sudah dapat diwujudkan dalam bentuk produk hukum tentang perseroan terbatas ini.Memang, idealnya aturan acapkali tidak seideal implementasi. Apalagi jika semua proses dan dinamika yang berlangsung, diwarnai oleh kooptasi kepentingan penguasa yang tidak kalah loba dan tamaknya dari korporasi itu sendiri. Belum lagi jika terjadi pada daerah-daerah yang sangat rindu pada kehadiran investor dari luar, tentu saja CSR akan menjadi batu ganjalan bagi arus masuknya investor dari luar. Sebab, ketika arus investasi masuk terasa lambat, maka harus dirangsang dengan berbagai insentif. Agar ada penyeimbangan yang bisa dirasakan oleh investor.Kendati demikian, tulisan ini tidak bermaksud memberikan opini positif, atau bahkan menafikkan fakta penolakan rakyat terhadap rencana masuknya industri ekstaksi terbuka di Kabupaten Lembata, NTT yang menghangat belakangan ini. Satu catatan penting, CSR hanya bisa dilakukan jika persoalan masuknya spesies rakus bernama investor berserta korporasinya, sudah selesai di level masyarakat lokal.CSR juga hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan jika berhadapan dengan local shareholder dan para stakeholder yang ‘disegani’. Dalam konteks ini, saya harus mengatakan bahwa posisi tawar Pemda, DPRD dan publik Lembata berada pada titik nadir, di hadapan Baron of Mining, Jusuf Merukh.Tengok saja apa yang terjadi di Jakarta, sebelum 17 Agustus lalu. Di salah satu ruangan Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Di hotel dengan tarif sewa paling mahal se-Jakarta itu, para duta Lembata yang baru saja pulang dari kegiatan yang mereka namakan sebagai ‘studi banding’ (meski lebih tepat disebut sebagai darmawisata) di Newmont Minahasa Raya (Sulut) dan Newmont Nusa Tenggara (NTB), datang ‘menghadap’ Jusuf Merukh. Di tempat itu, mereka ‘seolah-olah’ mempresentasikan hasil studi banding di dua wilayah tambang dimana Merukh menjadi salah satu shareholder itu.Aneh memang. Alih-alih memberikan hasil studi banding (jika rombongan ini benar-benar datang dan mencium bibir pantai Buyat di Ratatotok sana) kepada masyarakatnya, malah Merukh yang penuh birahi memasuki Lembata lah yang didatangi. Dan di sanalah, di bawah hembusan AC nan sejuk, dikelilingi sajian makan di hotel kelas platinum metropolitan itu, dengan tenang dan tekun, mereka mendengarkan petuah dan khotbah sang baron. Astagafirullah!*

Penulis: Wartawan Ekonomi & Bisnis, Putra Lembata, Vice Chairman Panangian Media Group, Jakarta.

No comments: