Friday, November 23, 2007

SELINGKUH PEMDA & INVESTOR, BAK AROMA BAU KENTUT

Oleh: Ferdinand Lamak
Orang Lembata tinggal di Jakarta

Anda pernah mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar indikasi-indikasi dua orang yang bukan suami isteri, menjalani hubungan (suami isteri) terlarang? Orang sekarang menamakannya dengan istilah selingkuh. Lalu Anak Baru Gede (ABG) atau para Orang Tua Gaul (OTG) kemudian membuatnya jadi lebih tren dengan istilah Teman Tapi Mesra (TTM). Syukurlah kalau Anda tidak termasuk dalam penganut Selingkuh-isme atau TTM-isme.Selingkuh adalah suatu perbuatan tercela. Selain melanggar batas-batas norma susila, dia jadi sebuah persoalan hukum, meski lebih sering menjadi menjadi konsumsi kasak-kusuk. Orang lalu menamakan informasi yang beredar mengenai perselingkuhan sebagai gossip. Sayangnya, gossip yang kerap dimaknai dengan remeh – lantaran tidak banyak yang bisa atau berani membuktikan kesahihan informasi ini, justru tidak sedikit berakibat fatal. Perceraian, sengketa di pengadilan bahkan tidak sedikit yang menimbulkan pertumpahan darah. Itulah selingkuh, yang kini mungkin sedang menjamur di sekitar kita.Selingkuh juga bisa disamakan dengan proses ketika orang membuang udara, dalam bahasa sehari-hari disebut kentut. Tidak jelas dari mana berasal, tahu-tahunya sudah tercium aroma busuknya di sekitar Anda! Selingkuh dan kentut, di titik tertentu, sama saja.Analogi selingkuh ini pula, layak dikemukakan untuk menggambarkan bagaimana dan dari mana rencana eksplorasi dan eksplotasi tambang di Lembata itu bermula, hingga kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan pemerintah dan investor.Orang berselingkuh, bisa saja terjadi pada dua orang yang teman sekantor, atau dengan tetangga rumah, kekasih lama atau orang yang sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya. Bisa saja si pria yang lebih aktif mencari-cari kesempatan untuk bisa merayu si wanita, bisa juga si wanita yang lebih agresif, atau kemungkinan berikut mereka kebetulan sama-sama saling membutuhkan. Pemda Lembata pun berada dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut, jika ditanya, darimana mereka mengenal Jusuf Merukh, dedengkot bisnis penambangan negeri ini, yang dengan bendera Merukh Enterprises – nya, berencana melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas dan tembaga di Lembata. Apalagi kalau Pemda Lembata, maupun pihak Merukh sama-sama sudah mengantongi berbagai data dan informasi yang dirilis bersama oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG) Bandung dan Geological Survey of Japan (GSJ), Lembaga Penelitian Geologi di bawah Agency of Industrial Science an Technologi (AIST) milik Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang. Tentu saja, kedua pihak ini ibarat pria petualang dan wanita kesepian peselingkuh, yang dipertemukan oleh kepentingan yang sama yakni hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kandungan emas di Pulau Lomblen lebih dari 150 kali lipat kandungan emas di Cikotok, Banten.Pasangan selingkuh, setelah sekali-dua kali ngobrol, saling curhat atau bercanda, lantas mulai berjanji bertemu. Janji yang kemudian berakhir dengan pertemuan pun, tentu saja menjadi momentum yang top secret. Apalagi jika keduanya sudah memiliki pasangan yang sah; suami dan isteri. Tentu saja, sebisa mungkin pertemuan mereka tidak diketahui oleh pasangan resminya masing-masing, juga anak-anak dan kerabat dekat lainnya. Pemda Lembata pun tentu saja melewati sebuah proses penjajakan sebelum bersepakat dengan pihak Merukh. Mengandaikan rakyat Lembata (terutama yang berada di lokasi tempat penambangan akan dilakukan) adalah pasangan sah, atau anak-anak dari Pemda lembata, maka tidaklah heran jika proses penjajakan antara kedua belah pihak dilakukan secara diam-diam.Dan, ketika Memorandum of Understanding (MoU) atau dalam bahasa rakyat, surat kesepakatan / surat perjanjian, ditandatangani oleh Pemda Lembata dan Merukh Enterprises di Jakarta, kondisi ini di dalam sebuah relasi perselingkuhan, dapat dianalogikan sebagai terjadinya persetubuhan. Ada nafsu, komitmen, ada take and give, janji, mimpi indah menggiurkan. Tak ada ekspresi rasa bersalah terhadap pasangannya, yang adalah rakyatnya sendiri. Kesan show off justru semakin kental dimunculkan, ketika MoU dan klausul-klausul yang termaktub di sana, diumumkan ke publik. Alih-alih dengan tangan terbuka, telinga yang tajam dan hati yang teduh mendengar nada protes, jerit cemas para warga, mereka justru menampakkan sikap, “Makin Ditentang Makin Menjadi.” Persis sama seperti ungkapan klasik “Makin Tua Makin Menjadi.” Pemerintah Lembata pun kukuh tegak berdiri ibarat penguasa jagad tanah Lembata. Ia tidak beda dengan pria atau wanita peselingkuh yang kepergok pasangannya, tetapi justru menantang ‘cerai.’ Edan!Tak Ada Kata Terlambat Untuk BertobatPeselingkuh tidak selamanya terus berkubang dosa. Peselingkuh pun kerap bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Tengok apa yang diungkapkan oleh Bupati Ende Paulinus Domi, tentang penolakan rencana penambangan biji besi di kawasan tanah adapt Lisa Tana Telu oleh PT Anugerah Persada Mining (NTT Online 18/06/07). Domi mengatakan, pihaknya siap membatalkan rencana investasi tersebut jika memang itu menjadi kehendak mayoritas rakyat karena tidak ingin berbenturan dengan rakyatnya sendiri. “Pemerintah ingin berbuat untuk kepentingan rakyat, tetapi kalau memang rakyat berkehendak lain, kami siap untuk membatalkan rencana investasi tersebut. Pemerintah tidak rugi apa-apa.”Kalau di Ende, penolakan rakyat disampaikan ketika penambangan itu masih sebatas wacana, tidak demikian halnya dengan Lembata. Rakyat bak kaget ketika tahu-tahu MoU sudah ditandatangani. Ketika mereka protes, pemerintah malah bergeming dengan MoU-nya. Bahkan seperti yang kita ketahui bersama, reaksi penolakan pun telah mengalir keluar rumah para pastor (pastoran) dengan ditandatanganinya surat penolakan oleh 22 orang pastor, Mei silam. Sudah begitu pun, lagi-lagi pemerintah bergeming. Penambangan jalan terus dan pemerintah tidak akan surut dengan rencana awal.Sudah terlampau banyak pandangan yang disampaikan dalam pemberitaan media local mengenai konsekwensi-konsekwensi yang akan ditimbulkan jika ekplorasi merekomendasikan eksploitasi emas dan tembaga di Lembata ini. Mulai dari tinjauan yuridis formal, tinjauan politis, sosiologis antropologis pun dari sisi-sisi cultural. Setahu saya, tidak ada satupun dari pandangan itu yang sependapat dengan kekukuhan pemerintah.Dalam pandangan saya, pemerintah rupanya larut dalam angan-angan akan ‘jatuhnya’ ratusan miliar rupiah dari pertambangan itu, mengalir ke dalam kas pemda. Nampaknya, tidak ada alasan lain jika pemda kemudian membuka pintu bagi investor masuk untuk melakukan eksploitasi kandungan bumi di wilayahnya. Satu-satunya alasannya adalah untuk memajukan perekonomian wilayah itu.Alasan ini pula yang saya dengar langsung dari mulut salah seorang birokrat senior di lingkungan Pemda Lembata, sore itu di halaman Hotel Grand Flora, Kemang, sesaat setelah MoU itu ditandatangani, tahun silam. Birokrat dari institusi yang kerap dinamakan sebagai think tank nya Pemda ini, dengan berapi-apinya berkisah tentang kemakmuran yang tidak lama lagi akan membungkus pulau Lembata, setalah penambangan itu dilakukan.Beberapa pertanyaan kritis yang mungkin patut kita ajukan ke pemerintah, benarkah MoU penambangan ini dibuat demi memakmurkan masyarakat Lembata? Jika benar, maka dengan asumsi bahwa semua manusia ingin hidup sejahtera dari sisi ekonomi, pertanyaannya, mengapa rakyat Lembata menolak rencana pemerintah untuk memakmurkan mereka dari hasil tambang ini? Tentu saja, rakyat punya berbagai alasan untuk mengajukan keberatan dan penolakan. Nah, kalau rakyat, yang oleh pemerintah hendak mereka makmurkan itu, menolak untuk dimakmurkan dan disejahterakan dengan hasil tambang tersebut, mengapa pemerintah tampak seperti sedang memaksakan kehendak? Bukankah wajar saja, jika tindakan yang tampak seperti memaksakan kehendak ini kemudian memunculkan berbagai komentar yang menyebut bahwa tambang di Lembata ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu saja?Baiknya juga, jika publik Lembata menggunakan kasus ini untuk berkaca diri guna membangun sebuah kehidupan berdemokrasi yang lebih sehat dan patut di masa mendatang. Tirani minoritas pada berbagai kasus di tubuh pemerintahan, biasanya terbangun lantaran tersumbatnya katup demokrasi. Bayangkan saja, bagaimana mungkin sepasang pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat, kemudian dengan mudahnya berpaling dari aspirasi rakyatnya sendiri?Terakhir, yang patut juga kita cermati adalah bagaimana melihat tanggungjawab konkrit dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam melahirkan kepemimpinan politik di Lembata. Boleh jadi, jika semua aspirasi yang disampaikan langsung maupun melalui para wakil rakyat di gedung dewan pun nihil hasilnya, mungkin perlu dipikirkan jalan berikutnya. Kadang-kadang, para pemimpin politik di daerah lebih patuh kepada partai yang menjadikannya sebagai bupati atau wakil bupati. Itu sebabnya, tidak salah juga jika rakyat datang kepada partai yang sedang berkuasa untuk menyampaikan aspirasi mereka. Jika ini dapat dilakukan, sebuah pembelajaran berharga bagi para elit partai politik di Lembata

1 comment:

F. Rumondor said...

Sejak zaman sebelum bangsa Indonesia merdeka, rakyat & alam 'dijajah', sesudah merdeka pun & sampai kini masih 'dijajah' pula bahkan oleh bangsanya sendiri malah, parah..survey membuktikan!