Secara jelas, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang keliru, bukan pada dasar pemikiran kelestarian lingkungan hidup atau kelestarian hutan.
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PP ini bertujuan meningkatkan kontribusi bagi pendapatan negara dari 13 perusahaan tambang yang memang sudah berada di kawasan hutan lindung. Presiden juga sempat menyatakan bahwa di satu sisi PP ini dimaksudkan untuk mendatangkan penerimaan negara, sementara di sisi lain untuk menyelamatkan Bumi agar hutan Indonesia selamat (Kompas, 23/2).
PP No 2/2008 oleh Presiden diklaim merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian ditetapkan lewat UU No 19/2004, yang merupakan revisi dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Menteri Kehutanan MS Kaban pernah menyatakan, PP No 2/2008 tidak terlepas dari Keppres No 41/2004 yang diterbitkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menjadi dasar beroperasinya 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung tersebut.
Klaim itu jelas hendak menyesatkan masyarakat. Karena hierarki peraturan perundang-undangan, PP lebih tinggi daripada peraturan presiden atau keputusan presiden. Karenanya, PP ini akan dijadikan dasar hukum bagi semua penggunaan kawasan hutan yang digunakan di luar kegiatan kehutanan. Jadi, tidak berlebihan jika PP ini disebut PP ”Penyewaan Hutan”.
Selanjutnya, PP No 22/1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diubah dengan PP No 52/1998, sebagai dasar hukum diterbitkannya PP No 2/2008. Hakikatnya, materi PP berisi materi untuk menjalankan UU. Karena itu, PP ini pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamatkan hutan atau berpretensi menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak menjadi dasar pertimbangan dari PP No 2/2008 ini.
Penolakan kepala daerah
Salah satu penolakan muncul dari Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin. Ia menyatakan, pihaknya tidak akan pernah memberikan rekomendasi untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan (21/2).
Penolakan juga muncul dari Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan. Menurut Narang, ia akan tetap mempertahankan kawasan hutan lindung yang memang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan serta penolakan juga disampaikan Bupati Pasir dan Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Siapa pun yang ada di belakang formulasi PP ekonomi yang tidak ekonomis ini, mereka punya niat mengadu domba pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah secara otomatis akan berhadap-hadapan dengan masyarakatnya sendiri. Karena itu, dapat dimaklumi munculnya penolakan dari para kepala daerah tersebut.
Mesti maju ke depan
Ke depan, PP No 2/2008 bukan malah memberi pemasukan kepada negara, tapi malah membebani APBN. Akibat semburan lumpur panas Lapindo, per Maret tahun lalu saja perkiraan kerugian sementara yang dibuat Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo telah mencapai Rp 7,6 triliun.
Bukan maju ke depan, yang patut disayangkan, malah Presiden justru meneruskan kebijakan yang bermasalah yang dikeluarkan pemerintahan sebelumnya. Sampai saat ini, banyak pemilik modal (pemohon) yang berminat untuk ”menyewa” hutan di Indonesia. Dalam materi PP tidak ada pembatasan secara eksplisit berlaku hanya untuk 13 perusahaan yang sudah mendapat izin.
Dengan diterbitkannya PP ini, semakin jelaslah watak kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, yakni sama seperti kebijakan fiskal yang menggunakan dasar ekonomi sebagai pertimbangan utama. Celakanya, pertimbangan ekonomi pun keliru. Pihak Departemen Kehutanan sendiri menargetkan PNBP sebesar Rp 600 miliar sebagai akibat penerbitan PP ini, yang tak sebanding dengan potensi kerugian yang akan membebani APBN dan membebani generasi mendatang.
Greenomics Indonesia sempat menyatakan kerugian ekologi-ekonomi akibat PP ini bisa mencapai tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun. Belum lagi potensi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang terjadi pascasemburan lumpur panas Lapindo, atau kerugian yang diderita masyarakat di kemudian hari akibat pertambangan di kawasan hutan lindung.
Jika mau arif, Presiden sebaiknya mengadopsi ideologi politik hukum dalam UU No 41/1999 yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie, yang jelas-jelas melarang pertambangan terbuka di hutan lindung (Pasal 38 Ayat 4). Bukan malah menerbitkan PP yang ketinggalan zaman, di mana banyak kepala negara lain ”mencontoh” UU No 41/1999 tersebut.
Pada Agustus 2002, Presiden Kosta Rika Abel Pacheco melarang pertambangan terbuka. Disusul Pemerintah Argentina. Bahkan, Pemerintah Kanada tahun 2007 membatalkan kontrak pertambangan karena dinilai terlalu berisiko. Sementara Presiden Ekuador dan parlemen negeri itu mengubah konstitusinya untuk memuat larangan pertambangan terbuka di hutan lindung. Ini baru bisa dibilang menyelamatkan Bumi! (Patra M Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia)
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PP ini bertujuan meningkatkan kontribusi bagi pendapatan negara dari 13 perusahaan tambang yang memang sudah berada di kawasan hutan lindung. Presiden juga sempat menyatakan bahwa di satu sisi PP ini dimaksudkan untuk mendatangkan penerimaan negara, sementara di sisi lain untuk menyelamatkan Bumi agar hutan Indonesia selamat (Kompas, 23/2).
PP No 2/2008 oleh Presiden diklaim merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian ditetapkan lewat UU No 19/2004, yang merupakan revisi dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Menteri Kehutanan MS Kaban pernah menyatakan, PP No 2/2008 tidak terlepas dari Keppres No 41/2004 yang diterbitkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menjadi dasar beroperasinya 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung tersebut.
Klaim itu jelas hendak menyesatkan masyarakat. Karena hierarki peraturan perundang-undangan, PP lebih tinggi daripada peraturan presiden atau keputusan presiden. Karenanya, PP ini akan dijadikan dasar hukum bagi semua penggunaan kawasan hutan yang digunakan di luar kegiatan kehutanan. Jadi, tidak berlebihan jika PP ini disebut PP ”Penyewaan Hutan”.
Selanjutnya, PP No 22/1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diubah dengan PP No 52/1998, sebagai dasar hukum diterbitkannya PP No 2/2008. Hakikatnya, materi PP berisi materi untuk menjalankan UU. Karena itu, PP ini pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamatkan hutan atau berpretensi menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak menjadi dasar pertimbangan dari PP No 2/2008 ini.
Penolakan kepala daerah
Salah satu penolakan muncul dari Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin. Ia menyatakan, pihaknya tidak akan pernah memberikan rekomendasi untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan (21/2).
Penolakan juga muncul dari Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan. Menurut Narang, ia akan tetap mempertahankan kawasan hutan lindung yang memang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan serta penolakan juga disampaikan Bupati Pasir dan Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Siapa pun yang ada di belakang formulasi PP ekonomi yang tidak ekonomis ini, mereka punya niat mengadu domba pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah secara otomatis akan berhadap-hadapan dengan masyarakatnya sendiri. Karena itu, dapat dimaklumi munculnya penolakan dari para kepala daerah tersebut.
Mesti maju ke depan
Ke depan, PP No 2/2008 bukan malah memberi pemasukan kepada negara, tapi malah membebani APBN. Akibat semburan lumpur panas Lapindo, per Maret tahun lalu saja perkiraan kerugian sementara yang dibuat Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo telah mencapai Rp 7,6 triliun.
Bukan maju ke depan, yang patut disayangkan, malah Presiden justru meneruskan kebijakan yang bermasalah yang dikeluarkan pemerintahan sebelumnya. Sampai saat ini, banyak pemilik modal (pemohon) yang berminat untuk ”menyewa” hutan di Indonesia. Dalam materi PP tidak ada pembatasan secara eksplisit berlaku hanya untuk 13 perusahaan yang sudah mendapat izin.
Dengan diterbitkannya PP ini, semakin jelaslah watak kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, yakni sama seperti kebijakan fiskal yang menggunakan dasar ekonomi sebagai pertimbangan utama. Celakanya, pertimbangan ekonomi pun keliru. Pihak Departemen Kehutanan sendiri menargetkan PNBP sebesar Rp 600 miliar sebagai akibat penerbitan PP ini, yang tak sebanding dengan potensi kerugian yang akan membebani APBN dan membebani generasi mendatang.
Greenomics Indonesia sempat menyatakan kerugian ekologi-ekonomi akibat PP ini bisa mencapai tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun. Belum lagi potensi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang terjadi pascasemburan lumpur panas Lapindo, atau kerugian yang diderita masyarakat di kemudian hari akibat pertambangan di kawasan hutan lindung.
Jika mau arif, Presiden sebaiknya mengadopsi ideologi politik hukum dalam UU No 41/1999 yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie, yang jelas-jelas melarang pertambangan terbuka di hutan lindung (Pasal 38 Ayat 4). Bukan malah menerbitkan PP yang ketinggalan zaman, di mana banyak kepala negara lain ”mencontoh” UU No 41/1999 tersebut.
Pada Agustus 2002, Presiden Kosta Rika Abel Pacheco melarang pertambangan terbuka. Disusul Pemerintah Argentina. Bahkan, Pemerintah Kanada tahun 2007 membatalkan kontrak pertambangan karena dinilai terlalu berisiko. Sementara Presiden Ekuador dan parlemen negeri itu mengubah konstitusinya untuk memuat larangan pertambangan terbuka di hutan lindung. Ini baru bisa dibilang menyelamatkan Bumi! (Patra M Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia)
Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2008
No comments:
Post a Comment