TOKOH masyarakat ulayat, Muri Aloysius dan Romo Antonius Prakum Keraf, Pr, dalam harian Pos Kupang telah menyatakan pikiran dan inspirasinya mengenai ketidaksetujuan masyarakat hukum adat dengan kehadiran pemodal penambang emas di Leragere, Kabupaten Lembata. Keberatan masyarakat Leragere sangat kita hormati dan seharusnya semua elemen masyarakat dan negara, terutama para wakil rakyat (DPRD dan DPR) harus mendukung atau setidak-tidaknya mendengarkan apa keberatan masyarakat ulayat Leragere. Penulis mencoba melihat hak persekutuan hukum masyarakat Leragere, Lembata berdasarkan hukum positif.
Hak Ulayat Leragere: Hubungan abadi
Apabila membaca ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 (UUPA), sangat jelas dikatakan adalah hubungan antara Bangsa Indonesia (baca bangsa Leragere) dengan bumi, air serta angkasa adalah hubungan abadi (baca kekal). Dalam Pasal 2 (4) dan Pasal 3 UUPA juga disebutkan bahwa hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat dan juga secara jelas menyatakan pengakuan atas Hukum Adat.
Berdasarkan Permen-Agra/Ka.BPN 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan, "Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat untuk selanjutnya disebut Hak Ulayat) adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakathukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan". Mencermati pengertian tersebut, maka hubungan tidak terputus serta lahiriah dan batiniah (non-ekonomis) secara terus menerus dan abadi antara wilayah dan masyarakat hukum adat diakui oleh hukum.
Sesuai dengan Permen-Agra/Ka.BPN 5/1999 tersebut, maka perselisihan antara masyarakat hukum adat Leragere dengan perusahaan penambang bisa dijadikan acuan dalam penyelesaian sengketa tersebut. Pemerintah Kabupaten Lembata sebagai pemerintah daerah otonom, tentu saja tidak dapat begitu saja mengabaikan hak hukum adat masyarakat persekutuan hukum adat Leragere. Ini penting karena sistem hukum adat juga merupakan sistem hukum nasional terutama hukum agraria.
Harus akui hukum adat Leragere
Pasal 5 UUPA dengan jelas menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Perlu diingatkan oleh penulis bahwa kepentingan perusahaan penambang (investor) bukanlah kepentingan negara dan nasional.
Lebih lanjut dalam pasal 15 UUPA disebutkan bahwa kepentingan pihak yang ekonomis lemah harus diperhatikan. Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya sertamencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Mencermati keberatan masyarakat hukum adat Leragere atas kehadiran perusahaan penambang emas, hemat penulis, pemerintah, penegak hukum serta DPR (D) wajib melindungi kepentingan masyarakat adat Leragere.
Kuasa pertambangan dapat dicabut
Apabila pemodal hendak memanfaatkan tanah di mana terdapat hak hukum masyarakat ulayat di dalamnya, maka berdasarkan ketentuan Kepmen-Agra/Ka.BPN 21/1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal juga telah diatur. Di mana antara lain disebutkan bahwa perusahaan tersebut langsung berhubungan dengan pihak-pihak yang menguasai atas tanah-tanah yang hendak dikuasainya tersebut. Dalam kasus Leragere, jika benar bahwa masyarakat hukum adat Leragere yang berhak atas tanah-tanah tersebut, maka hukum memberikan hak kepada persekutuan hukum adat Leragere untuk menentukan apakah tanahnya dijual atau tidak kepada sang pemodal.
Berdasarkan Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Keppres 55 tahun 1993 telah dicabut) juga kepentingan umum telah didefinisikan secara limitatif. Dalam perpres tersebut sama sekali tidak disebutkan kepentingan perusahaan penambangan merupakan kepentingan umum. Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten Lembata tidak diperkenankan menurut hukum untuk turut terlibat dalam urusan pelepasan hak atas tanah-tanah adat untuk kepentingan perusahaanpenambang.
Jika mempelajari UUPA, maka kita tidak menemukan salah satu jenis hak atas tanah yang disebut hak atau kuasa pertambangan, karena hak atas tanah dalam UUPA adalah permukaan tanah. Di lain pihak, jika memperhatikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, antara lain disebutkan, "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan."
Mencermati pengertian tersebut serta dibandingkan dengan hubungan abadi antara masyarakat hukum adat dengan tanah, bumi serta air, maka seharusnya hak hukum masyarakat Leragere lebih kuat dan abadi dibandingkan kepentingan perusahaan penambang. Kuasa pertambangan tersebut bisa dicabut jika merusak dan menggangu kepentingan hukum pihak lain apalagi masyarakat ekonomis yang lemah.
Memperhatikan hak hukum adat Leragere, Lembata yang dilindungi oleh UUPA, maka Pemerintah Kabupaten Lembata serta penegak hukum lainnya wajib menghormati penolakan hak hukum ulayat yang memiliki hubungan abadi dengan tanah mereka. Tidak urgennya kehadiran perusahaan pertambangan di Lembata, hemat penulis maka saatnya kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945 direalisasikan untuk kepentingan masyarakat hukum adat Leragere. Perusahaan pertambangan bisa datang sekarang dan pergi besok meninggalkan limbah meskipun kehadiran mereka juga baik, namun tidak penting. Tata hukum adat Leragere telah hadir beribu tahun tanpa ada pertambangan. Jangan sampai Leragere hanya tinggal bangkai ketika emasnya telah habis. Gubernur Sulawesi Utara pada tanggal 12 Februari 2007 bisa menjadi contoh yang baik. Dengan tegas dia menolakmemberi izin kepada dua perusahaan pertambangan emas (PT TTN dan MSM) dengan alasan adanya penolakan dari masyarakat adat, tercemarnya lingkungan hidup, dan rencana pengembangan pariwisata serta perlindungan ekosistem. Semoga Pemerintah Kabupaten Lembata bisa belajar dari Gubernur Sulawesi Utara untuk melindungi masyarakat adat yang telah memilihnya.
Agustinus Dawarja, S.H, advokat kelahiran Manggarai, tinggal di Jakarta
Sumber: Pos Kupang, 25 Mei 2007
Friday, October 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment