GARA-GARA kehadiran grup Merukh Enterprise hendak menambang tembaga dan emas di perut nusa Lembata, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lembata "berseteru". Protes yang meresahan, demo-demo yang menggerogoti ketenteraman. Sudah dapat diduga jauh sebelumnya, sudah berlangsung dan tidak ada jaminan bahwa semuanya akan meredup atau hilang di masa depan.
Terutama ini, kiranya Bupati Lembata Drs. Andreas Duli Manuk, dan Wakil Bupati Drs. Andreas Nula Liliweri, mengantisipasi melihatnya, namun jajarannya aparatnya, DPRD Lembata sangat tidak mendukung. SDM payah jauh panggang dari api. Meskipun sudah ada pelajaran dari proyek-proyek seperti Freeport di Papua, Exxon Mobile di tanah Rencong, timah di Bangka, Artha Graha di Bukaka di Sulawesi, Marmer di TTS, dan berbagai megaproyek di sejumlah daerah lainnya. Bahwa, kehadiran berbagai megaproyek itu selalu saja menjamur berbagai masalah ikutan lainnya seperti politik, budaya, sosial kemasyarakatan. Masalah klise seperti tanah, ganti rugi, misalnya, selalu saja mencuat, meresahkan, membakar emosi rakyat. Hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Tetapi itulah yang terjadi. Seperti hal baru. Kaget ketika masyarakat marah besar, baru siksak untuk menggelar berbagai aksi sosialiasi.
Berkat dan kutuk
Menurut para futurolog, pada hakekatnya kemajuan itu adalah paradoks dua hal yang punya sisi berlawanan-bertentangan, tapi perlu karena wajar. Wajar perlu dua hal yang saling berlawanan itu adalah BERKAT PERUBAHAN (BP) dan KUTUK PERUBAHAN (KP). BP seperti memberi kemungkinan baru, kesempatan dan rezeki baru dan sebagainya. Sedangkan Kutuk Perubahan (KP) seperti kehilangan kesempatan hilangnya rezeki dan semacamnya. BP umumnya yang sungguh-sungguh siap terhadap tanda-tanda zaman dan perubahannya. KP umumnya atau khususnya bagi yang sungguh-sungguh tidak siap terhadap tanda-tanda zaman dan perkembangannya. Tidak ada insan di planet bundar ini yang bisa luput dari BP dan KP itU. Tidak ada, juga khusus yang sekarang tengah menggerayanyi Kabupaten Lembata yang tercinta. Khusus oleh sepak terjang Grup Merukh Enterprise dalam upaya eksploitasi tembaga dan emas.
Yang sungguh siap boleh lenggang kangkung dan tertawa mulut berbusa. Yang sungguh tidak siap boleh menggeliat bagai cacing kepanasan di batu karang. Menimbang dua fenomena itulah, ideal kalau pemerintah daerah plus jajaran DPRD harus bisa membumikan, sosialisasi masalah penambangan itu, jauh sebelumnya berkali-kali. Dan bukan sepertinya terkejut pada hari H-nya lalu siksak menggalakkan sosialisasi. Mengganggap bahwa dengan cara itu rakyat akan dengan sendirinya menerima keadaan itu. Salah besar. Imposible! Tidak bisa hanya sekali dua sosialisasi, tetapi harus berkali-kali. Tak hentinya bagai melubangi batu wadas dengan tetesan air ribuan sampai jutaan tahun. Ada kalimat Latin untuk ini "Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo". Titik-titik air melubangi batu bukan karena kekuatan tetapi karena keseringannya jatuh. Seperti proses yang menjadikan stalagtit dan stalagmit di gua-gua yang mempesona. Seperti iklan-iklan di layar perak yang meninabobokan/membosankan. Jadi tidak hanya sekali dua turun ke daerah-daerah dengan seragam dan NIP mengkilau, lalu bilang. "Sesungguhnya rakyat sudah mendapat sosialisasi..." Memuakkan. Memualkan.
Lagi sekali sesungguhnya realitas megaproyek di tanah Rencong, Bangka, Kalimatan, Sulawesi, Timor dan di Jawa atau di Freeport, di Papua sudah memberi pelajaran. Bahwa soal proyek, bisnis, masalah-masalah ikutannya sungguh berlapis-lapis yang tak bisa dikuliti atau dilepaskan begitu saja. Solusinya, merakyatkan megaproyek itu jauh-jauh hari sebelumnya. Bukan untuk apa-apa, tapi untuk itulah setiap perubahan/perkembangan senantiasa berkaitan langsung pun tidak langsung dengan BP dan KP yang sudah disebutkan tadi.
Penulis sendiri bahkan sudah mendengar isu itu sejak tahun 1980-an dan 1990-an langsung dari orang-orang Hankam dari Jakarta. Dikatakan "Lembata itu, menurut foto satelit NASA sangat potensial dengan barang-barang tambang. Dalam foto itu dilihat betapa Lembata itu penuh dengan titik-titik hitam. Itulah barang-barang tambang, tembaga, emas dan sebagainya". Kemudian diisukan lagi di tahun 2000-an, bahwa tahun 2007 nanti, Lembata itu akan dikosongkan dan hanya para investor yang menghuni Lembata untuk mengeruk barang-barang tambang dari pulau yang dahulunya nama Nusa Lomblen".
Sejumlah suara senior Jakarta (termasuk penulis) langsung mencibir di saat itu. "Itu berarti membuat masalah besar di Lembata. Anak negeri Lembata mana yang mau mengungsi dari tanah pusaranya? Sebaiknya kalau kemungkinan itu cukup kuat, maka sejak sekarang sedapatnya pemerintah mengadakan pendekatan dengan anak negeri, khusus dengan tuan-tuan tanah di lokasi-lokasi tambang tersebut. Dan, sentilan itu juga pernah penulis catat lewat media ini di tahun 2000-an. Sekarang, semua itu jadi nyata, setidaknya mulai mencuat, ribut-ribut soal penambangan tembaga dan emas oleh Grup Merukh Enterprise. Katakan saja Bupati Drs. Andreas Duli Manuk dan Wakil Bupati Drs. Andreas Nula Liliweri melihat masalah-maslaah itu. Tapi jajarannya, DPRD Lembata kiranya tidak siap untuk sigap merakyatkan megaproyek itu. Bisa dipahami jangankan megaproyek, proyek kecil saja seperti pasar inpres atau pengaspalan di tengah Kota Lewoleba saja ributnya bukan main. Bukan main-main saling silang pendapat, bukan main saling banting. Realitas sekarang, ribut tentang penambangan tembaga dan emas hanya untuk kesekian kalinya memang hanya dengan demikianlah kemampuan kita, hanya seperti itulah keunggulan kita.
Dalam fenomena seperti itulah sungguh tidak jelas bagaimana kita bisa membaca tanda-tanda zaman dan BP dan KP itu. SDM yang payah membuat masalah seperti mengurai benang kusut.
Masalah berantai
Lembata sebagai daerah tambang sesungguhnya bukanlah hal baru. Putra-putri Lembata sudah mengenal FAO di Lamalera, barit di Kedang, panas bumi di Ata Dei. Sudah cukup pelajaran, bahwa dengan proyek-proyek dari luar anak negeri sungguh tak terhindar dari tetesan BP atau hempasan KP itu. Lembata terlalu kecil untuk mengetahui dan belajar akan hal-hal itu.
Dan sekarang kita berhadapkan lagi dengan Grup Merukh Enterprise dalam usaha menambang tembaga dan emas. Ribut lagi. Bentrok lagi. dan bisa dipastikan, hal-hal itu masih akan "ramai’ ke depan. Musababnya, itulah SDM kita payah. Lihat saja!
B MIchael Beding, penulis, wartawan, tinggal di Jakarta
Sumber: Pos Kupang, Rabu 21 Feb 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment