Friday, October 19, 2007

Menakar Kualitas STUBA Tambang

Ketika cara membaca sumberdaya alam sebagai kekayaan dan sumber devisa negara dan bukan bagian dari lingkungan hidup rakyat, maka tak heran hak pengaturan pemanfaatannya menjadi hak politik pemimpin politik bangsa, yang sering di Republik yang berusia 62 tahun ini, kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup dikalahkan kepentingan politik dan bisnis. Memahami rakyat sebagai bagian utuh dari lingkungan hidup mengandaikan ada perspektif berpikir yang adil tentang kesatuan ekosistem. Sebagai satu kesatuan ekosistem berarti ada hubungan saling keterkaitan. Di sana jika terjadi kerusakan lingkungan otomatis ekosistem seluruhnya terganggu tanpa peduli di wilayah siapakah lingkungan itu rusak. Lihat saja, kebakaran di kalimantan karena ulah rakus pengelolaan alam di negeri ini tidak saja dirasakan akibatnya hanya dalam negeri tetapi juga sampai negara tetangga lainnya. Sementara masyarakat setempatpun hanya mendapat yang sisa dan tercecer. Semuanya untuk investor, yang bekerja di bawah perlindungan regulasi negara.

Berlatarbelakang secuil saja gambaran tentang lingkungan sebagai kesatuan relasi antara manusia dengan alam, udara, air dan makhluk lainnya, tulisan ini sekedar mau menakar kualitas sebuah Studi Banding yang baru saja dilakukan para pejabat penting di pulau Lembata. Karena itu terminologi lingkungan hidup tidak didefinisikan berdasarkan berbagai pendapat pakar. Sebatas gugatan moral berdasarkan temuan-temuan tim studi banding dari Lembata ke lokasi tambang di Newmont Nusa Tenggara dan Newmont Minahasa yang tercecer di media massa. Juga mengapa studi banding dilakukan ke Nusa Tenggara dan Minahasa dan bukan ke Papua atau Bangka Belitung, serta siapa pula yang memfasilitasinya, lalu seperti apa perspektif para wakil rakyat Lembata.

Di Newmont Ada Apa dan Siapa?

Pertanyaan yang sempat mengetuk nuraniku sebagai anak kelahiran Lembata adalah mengapa para wakil rakyat itu mau juga melakukan studi banding ke lokasi pertambangan milik Newmont, sementara rakyat sendiri menolak dan pihak Merukh sendiri menyatakan dengan arogan di tengah pro kontra sidang paripurna DPRD Lembata beberapa waktu lalu bahwa biar rakyat menolak, mereka jalan terus.

Ada apa di PT. Newmont? Sejumlah informasi mengatakan bahwa di PT. Newmont ada sahamnya Merukh Interprices. Benarkah? Lalu siapakah yang mengarahkan tim stuba ke sana dan bukan ke Papua? Padahal, lokasi tambang Freeport di Papua lebih dulu geger dengan kasus lingkungan dan pelanggaran HAM ketimbang Newmont yang belakangan menyusul.Apa yang hendak dibandingkan di sana? Bukankah akan diperlihatkan yang baik-baik saja? Menjawab peretanyaan mengapa ke Newmont, maka pertanyaan ini penting: Apakah karena di sana ada Merukh? Artinya bisa diduga bahwa boleh saja dalam studi banding ini ada konsensus dan skenario yang dibangun di belakang layar. Sehingga untuk tim studi banding bisa saja berlaku ungkapan “bagai kerbau dicocok hidungnya.” Semua pasti terpesona dan berdecak kagum dengan konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal di lokasi pertambangan, lalu kemudian secara tidak kritis bermimpi akan seperti itu nanti di Lembata.

Siapapun yang kritis dengan laporan seperti itu akan meragukan kenetralan proses studi banding yang dilakukan itu. Apalagi jika studi banding ini turut difasilitasi oleh PT. Merukh, serta tim studi banding hanya nongol beberapa saat di lokasi tambang yang luas itu. Kualitas sebuah studi banding yang protokoler, dalam waktu singkat, diskenariokan bersama kepentingan bisnis, tidak bisa disamakan dengan sebuah tim investigasi independen. Jika DPRD Lembata komit dengan rakyat, tidak usah studi banding tetapi menyewah tim investigasi independen untuk melakukan investigasi di lokasi tambang itu. Apalagi informasi yang penulis dapatkan bahwa perjalanan studi banding itu sangat mewah. Di Jakarta dilangsungkan pertemuan akbar di Ritz Carton Hotel, yang tentu memakan biaya. Kabarnya perusahaan pertambangan ini menghabiskan sekitar 1 miliar rupiah.

Seperti dilaporkan kontributor Flores Pos dari Jakarta bahwa perusahaan ini dengan bangga (angkuh?) memamerkan kemampuannya untuk mensejahterakan rakyat yang tanah dan lahannya terkena lokasi tambang. Pos Kupang melaporkan, akan diberikan 1,5 triliun untuk pemilik ulayat, pemilik tanah dan Pemkab. Juga bangun rumah, sekolahkan anak-anak, berikan mobil, beasiswa ke luar negeri dan pekerjaan (Pos Kupang, 15. Agustus). Juga dengan angkuh berkata siapa yang menghalangi usaha pertambangan ini akan dimarahi Tuhan. Nama Tuhan dengan mudah dijadikan ancaman untuk memuluskan sebuah bisnis yang beresiko melanggar HAM. Saya tersenyum sendiri ketika teringat pada tulisan ahli Kitab Suci STFK Ledalero P. Dr. Guido Tisera, SVD di Pos Kupang beberapa tahun lalu ketika mengomentari sejumlah pejabat di Flores yang sering menggunakan nama Tuhan. Pater Guido menulis bahwa “Iblispun pandai menggunakan nama Tuhan.”

Menakar Kekritisan Wakil Rakyat

Tim dari Lembata telah melakukan studi banding ke PT. Newmont. Pos Kupang melaporkan dari lokasi bahwa pihak Newmont membuka pintu dan memfasilitasi kunjungan ke sejumlah lokasi yang sukses. Bahkan menurut Ketua DPRD Lembata, lingkungannya jauh lebih lestari dari sebelum dilaksanakan kegiatan pertambangan. Juga terpesona dan kagum dengan lobang galian sedalam ratusan meter yang di kelilingnya ada jalan untuk keluar masuknya kendaraan membawa material. Ada anggota DPRD yang mengatakan, yang ditambang bukan emas tetapi tembaga dan bahan ikutan lainnya (Flores Pos, 23 Agustus).

Ada kesan lucu dan naif dalam pendapat-pendapat ini. Lobang galian sedalam ratusan meter masih dikatakan lestari dan tidak merusak lingkungan. Pemahaman tentang lingkungan yang dangkal. Padahal ada putra pulau Lembata sekaligus adik kandung Ketua DPRD Lembata yang pernah menjabat Mentri Negara Lingkungan Hidup. Sementara lokasi galian C di DAS Waikomo Lembata sering dipersoalkan karena merusak lingkungan. Lalu apa itu emas dan apa itu tembaga? Sama-sama logamkan? Adakah data bahwa tembaga bisa ditambang tanpa merusakan lingkungan? Dan apakah lingkungan itu hanya sebatas menanam pohon-pohon?

Bagaimana dengan penggalian ratusan meter itu? Bagaimana dengan udara yang tercemar debu ketika ratusan ton isi perut bumi dikeluarkan dan diangkut truk-truk? Bagaimana dengan limbah kimia yang dibuang ke laut tempat berkembang biak ikan-ikan? Apakah anggota DPRD juga melakukan studi di dasar laut sana, dan melihat seperti apa model pipa pembuang tailing? Di Newmont itu pernah terjadi kebocoran pipa tailing. Dan di Minahasa tepatnya di teluk buyat itu penduduknya menderita sakit mirip minamata di Jepang yang diduga akibat dari pencemaran laut. Jenis penyakit akut yang mirip polio karena menyerang sistem saraf pusat itu terjadi di Kota Minamata, Perfektur Kumamoto, Pulau Kyushu, antara tahun 1953 sampai tahun 1960 karena air yang dikonsumsi tercemar air raksasa. Penyakit ini memiliki ciri antara lain degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai koordinasi saraf, gangguan pada luas pandang, degenerasi pada sarung selaput saraf dan bagian dari otak kecil. Penyakit itu muncul pada tahun 2000 dan diduga kuat saat itu PT NMR mulai membuang seluruh limbah penambangan emas mereka ke Teluk Buyat melalui pipa baja. (http://www.walhi.or.id/).

Bagi yang tidak kritis tentu dalam kunjungan ini hanya sebatas mengagumi kehebatan perusahan melobangi bumi sedalam itu. Tapi bagi yang kritis dan sensitif pada lingkungan, kesehatan dan keadilan sosial, tentu akan membangun analisis terhadap lobang bumi yang dalam itu. Tentang berapa ton bebatuan deposit tembaga yang dibongkar dari lokasi itu, tentang berapa banyak debu kotor yang diterbangkan angin dan turut dihirup oleh penduduk di luar lokasi tambang, serta untuk siapa sajakah kandungan bumi ini diambil dari lokasi ini. Juga akan diapakan kemudian jika perusahaan berhenti beroperasi. Kita menunggu laporan tim studi banding, apakah ada analisis kritis tentang lingkungan, kesehatan dan keadilan sosial? Tergantung ada tidak kesungguhan mengali data di lokasi studi banding. Kalau tidak punya data maka bukan studi banding tetapi pesiar.

Jika DPRD mengagumi kesejahteraan rakyat hasil proyek Community Developmentnnya pertambangan, dan juga tenaga kerja lokal yang diserap, lalu apakah anggota DPRD mendapat data perbandingan gaji antara para manager dengan upah para buruh kasar dan lokal itu? Dari resiko kehidupan, buruh kasar lokal yang bergaji jauh lebih rendah dari para manager asing itu setiap hari menghirup dan menabung di paru-parunya debu kotor dari pertambangan. Maka kalau DPRD kagum bahwa perusahaan membangun Rumah Sakit, itu tuntutan UU supaya turut membantu tenaga kerja dan masyarakat sekitar yang beresiko tinggi karena kotoran debu dan limbah beracun. Artinya sebenarnya rumah sakit itu tidak diperlukan jika lingkungan tidak dirusakan oleh aktifitas pertambangan.

Di lokasi studi banding juga tentu pihak perusahaan yang memfasilitasi para tamunya. Harus melihat lokasi tertentu, harus membaca data yang disiapkan dan harus bertemu dengan penduduk tertentu. Pernahkah para wakil rakyat ini berpikir kritis? Apakah Newmont mau membuka data bahwa ada resiko buruk yang ditimbulkan pertambangan? Farid Tolomundo dalam bukunya tentang tambang di Newmont Nusa Tenggara menulis bahwa pernah ada dokter relawan dari Jakarta yang melakukan pemeriksaan kesehatan pada masyarakat di sekitar lokasi tambang. Saat kembali, di jalan rombongan ini dihadang preman bayaran yang lalu merampas semua dokumen mereka. Bahkan karema-kamera dikeluarkan rekamannya. Mengapa? Artinya ada yang sedang disembunyikan. Tapi lebih dari itu preman seperti ini melecutkan konflik sebagai bencana sosial. Pertambangan menyimpan potensi konflik sosial baik horisontal maupun vertikal.

Nurani Yang Mungkin Terbeli

Karena tim dari Lembata ini datang dengan ijin PT. Newmont serta difasilitasi PT. Merukh maka dengan mudah memasuki wilayah pertambangan. Tetapi ada satu hal yang bisa ditebak adalah, tim ini tentu tidak bebas mengendus informasi. Kita tunggu di laporan resmi DPRD nanti. Yang pasti, ada sejuta dampak buruk di lokasi pertambangan. Sebab belum pernah ada ceritera di dunia ini bahwa pertambangan itu dampaknya baik seluruhnya. Malahan terbanyak buruknya. Juga dampaknya terjadi di hilir, sebagaimana di teluk Buyat Minahasa. Studi banding seharusnya tidak cuma di lokasi tambang tetapi mengendus informasi jauh di kehidupan masyarakat sekitar, sampai ke hilir. Ke dalam keseharian hidup masyarakat melalui pendekatan-pendekatan yang memakan waktu agar mendapatkan data memadai.

Laporan tim studi banding akan menjadi cermin kejernihan nurani para pemimpin rakyat Lembata. Jika tim ini akhirnya merekomendasikan bahwa dua lokasi studi banding yang dikunjungi itu membawa keuntungan lahir bathin dan tidak ada cacat celahnya, dan karena itu menyatakan well come, maka kita sebagai rakyat tentu berhak bertanya: “apakah nurani para pemimpin ini sudah terbeli?”

Rakyat Jadi Tumbal Keserakahan

Lantas, apa yang akan terjadi jika nurani para pemimpin pulau Lembata sudah terbeli dengan uang dan kemewahan; dan mungkin aneka pelayanan di perjalanan yang barangkali selama hidup belum dinikmati, seperti menginap di hotel bintang atau pelayanan lainny? Terhadap pernyataan dugaan ini, pasti ada ruang pembelaan diri. Ini sah-sah saja.

Hanya mau saya katakan di sini bahwa apapun keputusan yang diambil pemerintah Lembata, pada saat yang sama sedang menyemai penderitaan bagi penduduk Lembata di hari esok. Masa di mana para pemimpin Lembata pembuat keputusan saat ini sudah menjadi debu tanah di liang kubur. Artinya mewarisi kerusakan lingkungan, pencemaran air dan udara yang akan dinikmati tidak saja penduduk Lembata tetapi bisa saja kabupaten sekitar seperti Flores Timur dan Alor.

Dan hal terakhir. Karena studi banding ini merupakan sebuah perhelatan politik dan bukan sebuah studi komprehensif dan ilmiah maka keputusannya akan sangat politis. Pembuktian ilmiah tidak lagi menjadi taruhan di ruang parlemen yang sering diramaikan oleh suap, sogok dan amplop di bawah map keputusan yang akan ditandatangani. Palu pimpinan dewan membawa rejeki nomplok lantaran keputusan politik memenangkan kepentingan bisnis. Dan pada saat itu “Rakyat sedang jadi Tumbal bagi Keserakahan ini.” Seperti masyarakat Buyat yang menderita sendirian.

Melkhior Koli Baran, Direktur Walhi NTT periode 2001-2005,
kini Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD) di Ende.
Sumber: harian FLORES POS Ende, 27 Agustus 2007

No comments: