Sunday, November 4, 2007

Keuskupan Larantuka Harus Buka Suara

Jakarta – Keuskupan Larantuka seharusnya buka suara untuk bicara soal kecemasan masyarakat Lembata terkait sikap ngotot Pemerintah Kabupaten Lembata memberikan ijin pertambangan kepada kelompok usaha Merukh Enterprises untuk melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah itu sekalipun ditentang keras masyarakat. Hal ini penting agar umat merasa gereja memiliki kepedulian yang kuat di saat mereka berada dalam kecemasan dan ketakutan.

”Ketika Gereja Keuskupan Larantuka tidak peduli dengan kecemasan umat Leragere dan Kedang terkait penolakan mereka terhadap rencana tambang yang saat ini dipaksakan Pemerintah Kabupaten Lembata maka sebenarnya gereja sedang membahayakan tugas perutusan Injil itu sendiri,” ujar Pastor Dr Petrus C Aman OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia.

Gereja, kata doktor moral lulusan Universitas Gregoriana, Roma, ini, harus konsisten dengan tugas dan misi perutusan sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Vatikan II, terutama Gaudium Et Spes terhadap masyarakat yang sedang mengalami kecemasan dan duka cita.

”Bahwa apa yang menjadi kecemasan, duka cita masyarakat Lembata maka itu juga menjadi kecemasan dan duka cita gereja. Kita harap gereja lokal terutama keuskupan Larantuka makin vokal terhadap persoalan rencana tambang ini. Dan harus bicara karena masalah tambang merupakan kecemasan umat,” kata Peter yang juga staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta.

Kekuasaan Menindas

Dalam kasus penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang yang dipaksakan, berbagai pihak juga mengharapkan gereja lokal harus bersikap tegas agar masyarakat (umat) tidak mengalami kecemasan dan ketakutan. Tokoh muda Lembata Jakarta, Viktus YK Murin menegaskan, peran profetis kaum biarawan harus ditunjukkan secara nyata dalam konteks rencana penambangan yang mendapat penolakan masyarakat.

”Ketika ada sebuah kekuasaan politik atau ekonomi yang menindas kemanusiaan, maka tugas profetis kaum biarawn harus ditegakkan,” kata Viktus Murin yang juga anggota Tim Ahli Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

Sedangkan Pastor Peter menandaskan, persoalan rencana tambang di Lembata menyangkut hal-hal fundamental yakni keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Dalam hal keadilan, tentu muncul pertanyaan: siapa yang diuntungkan dari usaha pertambangan? Berapa harga yang harus dibayar oleh masyarakat Lembata kalau usaha pertambangan itu mendatangkan keuntungan riil bagi mereka. Kemudian soal keadilan yang terkait dengan masyarakat Lembata, di mana masyarakat seharusnya menjadi subiek pembangunan.

”Mayoritas orang Lembata adalah masyarakat agraris dan nelayan. Jika Pemerintah Kabupaten Lembata mau menghargai dan berlaku adil kepada masyarakat Lembata sebagai pelaku pembangunan maka semestinya Pemkab Lembata berpikir logis untuk memajukan dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat di bidang pertanian dan perikanan. Saya pikir justru di situlah fungsi fundamental sebuah pemerintahan bahwa mereka memberdayakan masyarakatnya menjadi subiek pembangunan,” kata doktor moral lulusan Universitas Gregoriana, Roma, ini.

Sementara dalam urusan dengan persoalan tambang, masyarakat Lembata justru bukan menjadi subiek dalam keseluruhan rencana tetapi malah jadi obiek. Maka persis dengan perjuangan mereka mencari keadilan sebagaimana terjadi saat. Mereka menolak dengan melalui pernyataan sikap di hadapan Bupati dan DPRD hingga melakukan ritual-ritual adat.

Masyarakat di sejumlah lokasi menolak rencana tambang karena khawatir merusak tata nilai dan tradisi yang ada di masyarakat. Mereka juga khawatir masa depan lingkungan menjadi ancaman bagi anak cucu mereka. Bahkan selama ratusan tahun, mereka hanya menyandarkan hidupnya pada hasil pertanian dan tanaman niaga.

”Tanaman pertanian telah menghidupkan kami selama ini. Kalau kami dipindahkan, ya, bagaimana dengan hidup kami? Terus terang saya seorang janda dengan empat anak saya berhasil jadi sarjana. Satu di antaranya malah S-2. Ini karena padi, jagung, kopi, dan kemiri. Bukan emas, Bapa,” kata Ana Noe, warga Leragere. (Ansel Deri)
Sumber: Harian Flores Pos edisi 1 November 2007

No comments: