Jakarta-Rencana Pemerintahn Kabupaten (Pemkab) Lembata mengijinkan tambang oleh Merukh Enterprises layak ditolak masyarakat Lembata. Pasalnya, tambang merupakan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak dasyat bagi masyarakat dan lingkungan.
“Semua orang tahu, bahwa pertambangan merupakan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak begitu dasyat bagi manusia dan lingkungan. Apalagi, Lembata merupakan pulau yang teramat kecil dan berpotensi rusak akibat pertambangan,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemumah kepada FLORES POS di Jakarta, Rabu (27/2) kemarin.
Menurut Siti, seharusnya Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata belajar dari kasus-kasus penderitaan masyarakat dan lingkungan akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan pertambangan. Selain itu, Bupati dan DPRD setempat perlu mewaspadai upaya-upaya investor yang mengalihkan Kuasa Pertambangan (KK) menjadi Kontrak Karya dalam kasus rencana tambang di hampir seluruh wilayah Lembata.
“Saya melihat, pihak Merukh Enterprises mengusulkan hal-hal yang tidak masuk di akal dari Kuasa Pertambangan menjadi Kontrak Karya. Ini justru menimbulkan persoalan bagi Pemda dan masyarakat Lembata di kemudian hari. Saya sempat berada di Kedang dan beberapa wilayah di Lebatukan. Hampir seluruh masyarakat tegas menolak kehadiran perusahaan pertambangan. Saya salut karena mereka masih memegang teguh kearifan lokal yang diwariskan leluhurnya. Jadi mengapa rencana itu harus dipaksakan?” kata Siti retoris.
Siti yang juga pemerhati dan penulis artikel kemanusiaan dan pertambangan merasa heran dengan janji-janji yang ditawarkan perusahaan pertambangan Merukh Enterprises yang berniat memindahkan masyarakat di lokasi prospek tambang ke tempat lain di wilayah Lembata. Begitu juga rencana membangun apartemen lengkap dengan fasilitasnya bagi para pemangku ulayat. “Hal ini sangat aneh. Tak mungkin petani Leragere mau tinggal di apartemen,” ujarnya.
Pada bagian lain, jika Bupati dan DPRD memaksakan diri menerima investor itu maka justru mereka tengah mewariskan masalah lingkungan dan kemausiaan lainnya di Lembata kepada pemimpin berikutnya. Apalagi, hampir semua wilayah di Lembata ditengarai sudah masuk areal konsesi Merukh Enterprises. “Mestinya Bupati dan DPRD menghargai penolakan masyarakatnya. Jangan sampai terjadi pemaksaan kehendak,” lanjut Siti.
Tak Kaya dengan Tambang
Menanggapi rencana tambang di Lembata, Sekretaris Jenderal (Sekjen) BUMN Watch Konradus Danggur, SH, MH menegaskan, Bupati dan DPRD harus lebih berpihak kepada masyarakat yang selama ini menyuarakan aspirasi penolakannya. Penolakan masyarakat mengandaikan bahwa mereka semakin cerdas melihat mana investasi yang bertujuan mensejahterakan mereka.
“Banyak pengalaman membuktikan, tambang tidak pernah membuat masyarakat di sekitar menjadi kaya. Justru yang kaya adalah pejabat dan perusahaan bersangkutan. Masyarakat justru berada dalam penderitaan berkepanjangan,” kata Danggur kepada FLORES POS melalui telepon genggamnya, Rabu (27/2) siang.
Ia mengusulkan, jika pemerintah Lembata mau memajukan daerahnya maka potensi pertanian harus diberdayakan secara maksimal. Saat masih bergabung dengan Flores Timur, jelas Danggur, Lembata merupakan salah satu pulau yang menyumbang PAD terbesar. Salah satunya berasal dari sektor pertanian.
“Pariwisata Lembata juga begitu memukau. Dunia internasional juga tahu. Penangkapan ikan paus dengan peralatan tradisional hanya terdapat di Desa Nelayan Lamalera. Begitu juga dengan Kedang yang begitu unik dan menjadi obyek penelitian para peneliti asing. Di Ile Ape ada Pesta Kacang setiap tahun. Pantai Pasir Putih Mingar tak kalah dengan Pantai Kuta, Bali. Nah, ini harus dipikirkan untuk dikembangkan. Makanya, jalan raya harus dibangun agar akses ke obyek-obyek wisata di Lembata menjadi mudah. Jangan pikir urus tambang memajukan daerah karena untungnya hanya investor dan orang-orang tertentu,” kata Danggur, praktisi hukum asal NTT. (Ansel Deri)
“Semua orang tahu, bahwa pertambangan merupakan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak begitu dasyat bagi manusia dan lingkungan. Apalagi, Lembata merupakan pulau yang teramat kecil dan berpotensi rusak akibat pertambangan,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemumah kepada FLORES POS di Jakarta, Rabu (27/2) kemarin.
Menurut Siti, seharusnya Bupati Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata belajar dari kasus-kasus penderitaan masyarakat dan lingkungan akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan pertambangan. Selain itu, Bupati dan DPRD setempat perlu mewaspadai upaya-upaya investor yang mengalihkan Kuasa Pertambangan (KK) menjadi Kontrak Karya dalam kasus rencana tambang di hampir seluruh wilayah Lembata.
“Saya melihat, pihak Merukh Enterprises mengusulkan hal-hal yang tidak masuk di akal dari Kuasa Pertambangan menjadi Kontrak Karya. Ini justru menimbulkan persoalan bagi Pemda dan masyarakat Lembata di kemudian hari. Saya sempat berada di Kedang dan beberapa wilayah di Lebatukan. Hampir seluruh masyarakat tegas menolak kehadiran perusahaan pertambangan. Saya salut karena mereka masih memegang teguh kearifan lokal yang diwariskan leluhurnya. Jadi mengapa rencana itu harus dipaksakan?” kata Siti retoris.
Siti yang juga pemerhati dan penulis artikel kemanusiaan dan pertambangan merasa heran dengan janji-janji yang ditawarkan perusahaan pertambangan Merukh Enterprises yang berniat memindahkan masyarakat di lokasi prospek tambang ke tempat lain di wilayah Lembata. Begitu juga rencana membangun apartemen lengkap dengan fasilitasnya bagi para pemangku ulayat. “Hal ini sangat aneh. Tak mungkin petani Leragere mau tinggal di apartemen,” ujarnya.
Pada bagian lain, jika Bupati dan DPRD memaksakan diri menerima investor itu maka justru mereka tengah mewariskan masalah lingkungan dan kemausiaan lainnya di Lembata kepada pemimpin berikutnya. Apalagi, hampir semua wilayah di Lembata ditengarai sudah masuk areal konsesi Merukh Enterprises. “Mestinya Bupati dan DPRD menghargai penolakan masyarakatnya. Jangan sampai terjadi pemaksaan kehendak,” lanjut Siti.
Tak Kaya dengan Tambang
Menanggapi rencana tambang di Lembata, Sekretaris Jenderal (Sekjen) BUMN Watch Konradus Danggur, SH, MH menegaskan, Bupati dan DPRD harus lebih berpihak kepada masyarakat yang selama ini menyuarakan aspirasi penolakannya. Penolakan masyarakat mengandaikan bahwa mereka semakin cerdas melihat mana investasi yang bertujuan mensejahterakan mereka.
“Banyak pengalaman membuktikan, tambang tidak pernah membuat masyarakat di sekitar menjadi kaya. Justru yang kaya adalah pejabat dan perusahaan bersangkutan. Masyarakat justru berada dalam penderitaan berkepanjangan,” kata Danggur kepada FLORES POS melalui telepon genggamnya, Rabu (27/2) siang.
Ia mengusulkan, jika pemerintah Lembata mau memajukan daerahnya maka potensi pertanian harus diberdayakan secara maksimal. Saat masih bergabung dengan Flores Timur, jelas Danggur, Lembata merupakan salah satu pulau yang menyumbang PAD terbesar. Salah satunya berasal dari sektor pertanian.
“Pariwisata Lembata juga begitu memukau. Dunia internasional juga tahu. Penangkapan ikan paus dengan peralatan tradisional hanya terdapat di Desa Nelayan Lamalera. Begitu juga dengan Kedang yang begitu unik dan menjadi obyek penelitian para peneliti asing. Di Ile Ape ada Pesta Kacang setiap tahun. Pantai Pasir Putih Mingar tak kalah dengan Pantai Kuta, Bali. Nah, ini harus dipikirkan untuk dikembangkan. Makanya, jalan raya harus dibangun agar akses ke obyek-obyek wisata di Lembata menjadi mudah. Jangan pikir urus tambang memajukan daerah karena untungnya hanya investor dan orang-orang tertentu,” kata Danggur, praktisi hukum asal NTT. (Ansel Deri)
Sumber: FLORES POS, 5 Maret 2008
No comments:
Post a Comment