Sunday, March 2, 2008

Menghancurkan Surga

Penduduk-penduduk desa di Indonesia menghadapi buldozer milik perusahaan pertambangan raksasa, sepertinya lebih dari 120 ribu orang terpaksa harus mengungsi ke pulau lain.

Tadinya Gabriel berpikir bahwa hal seperti itu sudah dialaminya semua. Kakek dari empat orang cucu, yang tinggal di sebuah pulau terpecil di Indonesia - bernama Lembata, ia sudah pernah mengalami penjajahan kolonial Belanda serta masa pendudukan Jepang. “Sekarang kelihatannya rumah saya akan dihancurkan oleh seorang pebisnis dari Jakarta,” katanya.

Lembata, yang berada di ujung Timur Nusa Tenggara Timur, sering disebut-sebut sebagai “surga terakhir” dalam berbagai promosi yang dilancarkan pemerintah daerah, untuk membujuk para turis berpetualang, keluar dari jalur yang biasa dilalui para turis lainnya. Berkat kebijakan pemerintah yang sama, Gabriel percaya, surga itu tak lama lagi akan hilang tergilas buldozer dan mesin pengeruk tanah milik pengusaha pertambangan, Yusuf Merukh.

Merukh, seorang tokoh yang dianggap tak bersalah dalam skandal tambang Bre-X tahun 1997 –skandal penipuan terbesar sepanjang sejarah pertambahan dimana jutaan dolar uang investor internasional melayang akibat berita burung tentang emas yang ditemukan di Borneo– memegang hak untuk melakukan eksplorasi pertambangan mineral – setidaknya pada sepertiga wilayah Lembata. Ia bermaksud membuka lahan untuk tambangnya mulai tahun depan, dan memulai produksinya di tahun 2011.

Menurut pengusaha tersebut, survey menunjukkan adanya kandungan besar emas dan tembaga di pulau seluas 1.300 meter persegi itu. Dalam konferensi press yang dilakukan belum lama ini, ia bahkan dilaporkan pernah mengatakan bahwa jumlah kandungan tersebut cukup besar untuk membantu ‘mengalahkan dominasi AS’ terhadap harga-harga logam dunia.

Merukh sangat memahami bisnisnya. Dengan dukungan dari pemerintah dan kerjasama dengan mitra macam raksasa pertambangan AS, Newmont, ia telah menghabiskan beberapa tahun setelah peristiwa Bre-X untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia -dan menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini.

“Masalahnya bukan soal saya menjadi lebih kaya dari sebelumnya; tapi lebih ke soal berbagi keuntungan,” tegasnya. “Saya pernah berhadapan dengan 15.000 demonstran saat kami (Newmont dan anak perusahaan miliknya, Pukuafu Indah) membuka tambang Batu Hijau di Sumbawa.”

“Namun sebagian besar pekerja dan manajer tingkat menengah diambil dari masyarakat lokal. Sekarang mereka naik Mercedes, bukan lagi delman dan kuda…. dan saat saya berkunjung, mereka berkata, ‘Raja kita datang.’

Yang pasti, di Lembata tidak ada Mercedes. Lagipula, di sana hanya ada sedikit sekali jalan raya yang bisa dilalui. Namun sebelum mobil-mobil mewah itu bisa didatangkan dari Jerman, banyak penduduk pulau yang populasinya 120 ribu, dan sebagian besar pemeluk agama Katolik itu, yang harus bersiap-siap kehilangan rumah dan mata pencarian.

Rencana awalnya, Merukh, dengan dukungn pemerintah Lembata, secara luas menyatakan bahwa para penduduk akan dipindah, untuk membuka jalan bagi perusahaan tambang , mereka akan diberikan tempat tinggal di wilayah lain di pulau tersebut, dengan biaya dari perusahaannya. Menurut LSM, setidaknya 60.000 orang dari 49 desa harus bersiap-siap untuk digusur.

Saat ini Merukh memiliki rencana yang lebih dahsyat. “Untuk mendirikan rumah-rumah bagi keluarga-keluarga yang harus dipindahkan, saya berencana untuk membangun sebuah kota di pulau terdekat [di Timur Flores] dan penduduk Lembata akan dipindahkan [ke sana]. Letaknya hanya 30 menit dengan kapal ferry…. Saya akan membangun apartemen, sekolah dan rumah sakit, bahkan bandara tingkat internasional sebagai bentuk ganti rugi bagi mereka dan untuk melayani kebutuhan pertambangan.”

Yang lebih mengejutkan lagi, ia menambahkan: “Saya rasa pertambangan ini akan mengambil alih 70 persen dari seluruh pulau…. Mungkin bahkan seluruh pulau.”

Terbukanya fakta ini menyebabkan kemarahan di kalangan pengamat. Menurut Siti Maimunah, koordinator nasional dari Jatam, sebuah kelompok advokasi pertambangan, pemindahan seluruh populasi adalah suatu tindakan yang tidak sepadan, bahkan dalam sejarah kelam pertambangan di Indonesia.

Sonny Keraf, mantan menteri lingkungan hidup, sama terkejutnya, ia memiliki alasan kuat untuk itu. Ia beserta abangnya Peter, ketua DPRD Lembata, terlahir di Lamalera, suatu komunitas masyarakat yang bermata pencarian sebagai nelayan penombak ikan paus di pantai selatan pulau tersebut.

Kedua bersaudara ini, secara pribadi saling berhadapan dalam melakukan debat ideologis. Sonny Keraf berpendapat bahwa tindakan ini akan menghancurkan lingkungan, dan jangka waktunya sangat pendek, artinya hanya dalam waktu 20 tahun - baik tambang maupun keuntungan jangka pendek yang dihasilkannya akan pergi.

”Ada banyak bisnis jangka panjang yang dapat kita kita bangun di pulau tersebut, seperti turisme dan wisata air. Bisnis ini mungkin perlu waktu lama untuk dibangun, namun kita dapat bergantung pada bisnis-bisnis seperti ini selama beberapa generasi,” begitu alasannya.

Sebaliknya, Peter Keraf melihat lain, Tuan Merukh menawarkan suatu bantuan ekonomi pada komunitas miskin. “Saya ingin percaya bahwa proyek ini akan menyediakan ribuan lapangan kerja, infrastruktur dan masa depan yang lebih baik,” katanya. Namun ia pun bersikap skeptis: “Saya bukanlah pengikut Merukh. Saya lebih mirip seperti Thomas yang ada di Alkitab. Ia tidak percaya bahwa Yesus adalah putra Allah, sampai akhirnya ia melihat buktinya.”

Meskipun Sonny Keraf memiliki pengaruh yang cukup kuat di Jakarta sebagai wakil ketua pada Komisi Energi, Pertambangan dan Lingkungan Hidup di DPR RI, komisi ini memberikan hak pemerintah daerah mengeluarkan ijin pertambangan.

Dan menurut Merukh, anggota DPRD Lembata minggu lalu, telah melakukan voting dan 90 persen anggota legislatif tersebut setuju untuk melanjutkan operasi pertambangan.

Menyikapi demonstrasi yang meluas, Bupati Lembata, Anderas Duli Manuk, menghadapi kesulitan untuk menjaga kredibilitasnya. Ia berargumen bahwa Lembata dapat mendukung sebuah pertambangan, tradisi setempat, serta industri wisata secara bersama-sama.

Setelah berdialog dengan penduduk pulau selama dua minggu, jelas sekali terlihat sebagian besar penduduk tidak mempercayai kata-katanya. Dengan adanya ancaman penggusuran atas lahan dan rumah mereka, demi membuka sebuah pertambangan, masyarakat dari pulau kecil di Laut Sawu ini, dengan tegas mengusir Merukh dan antek-anteknya. Dalam sebuah pertemuan para aktivis dari Forum Komunikasi Tambang Lembata, sebuah LSM setempat, rasa frustrasi itu tergambar secara gamblang.

“Sebagai sebuah organisasi, kami tidak akan melakukan kekerasan, namun kami tidak bisa berbicara mewakili semua orang. Bila Anda melihat kembali pada catatan sejarah pertambangan di Indonesia, jelas sekali mengapa orang-orang ini begitu keras melakukan penolakan,” ujar Peter Balawukak, salah serang pimpinan kelompok.

Balawukak menunjuk pada kerusakan yang disebabkan oleh operasi pertambangan di seluruh negeri ini.

Data yang disediakan oleh Jatam menunjukkan, Newmont dan pertambangan yang dimiliki oleh Yusuf Merukh di Batu Hijau Sumbawa bertanggung jawab atas 120 ribu limbah tailing yang dibuang ke laut, setiap harinya.

Website milik Newmont menegaskan bahwa limbah batu-batuan ini tidak menimbulkan efek terhadap lingkungan dan hanya akan jatuh ke dalam laut. Namun dengan adanya penembangan cagar laut oleh WWF di Lembata, Merukh menegaskan bahwa limbah dari tambang barunya nanti akan diproses dulu di darat.

Namun pernyataan ini sama sekali tidak membuat Balawukak tenang. ”Perusahan pertambangan sudah sering sekali gagal dalam memenuhi janji-janji mereka tentang lingkungan, mereka juga gagal menunjukkan penghormatan terhadap identitas budaya, dan mereka juga tidak membayar dan memberikan ganti rugi penuh untuk properti yang mereka beli secara paksa. Jadi mengapa kami harus meninggalkan rumah, tanah pemakaman keluarga, ladang, tempat menangkap ikan dan mata air milik kami? Hal itu hanya akan membawa kesengsaraan bagi masyarakat dan keturunan kami.”

Antropolog dari Universitas Bergen, Olaf Smedal, yang pernah melakukan riset terhadap pergerakan populasi di Indonesia selama lebih dari 20 tahun, sangat memahami kekhawatiran tersebut, terutama kekhawatiran mengenai kepercayaan, baik secara tradisi maupun agama.

“Agak salah kaprah bila dikatakan bahwa mereka adalah pemeluk Katolik pada hari Minggu dan pemuja leluhur di hari lainnya, namun mereka betul-betul percaya bahwa apa yang mereka miliki memang diturunkan dari para leluhur mereka.”

Merukh kelihatannya memandang rendah kepercayaan ini. Di wilayah Kedang, salah satu tempat di pulau ini, Gabriel menggarap sawahnya bersama dengan anak-anak laki-lakinya, Oriel dan Sofiel, keduanya sudah berusia 30 tahunan. Meskipun ada gambaran bahwa mereka bisa mendapatkan uang tunai untuk lahan seluas 2 hektar yang mereka miliki, dan pekerjaan yang menggiurkan di pertambangan, keduanya sama sekali tidak mau ikut ambil bagian.

“Kakek-nenek kami dikuburkan di desa dan ada 20 orang kerabat kami yang juga tinggal di sana,” kata mereka. “Sekarang keluarga kami sangat ketakutan, karena mereka merasa bahwa mereka tidak dapat menolak kebijakan pemerintah untuk membangun tambang itu—pilihan apa yang mereka miliki?”

Pesimisme seperti ini tidaklah mengejutkan bagi Profesor Smegal. Ia melihat adanya perbedaan mendasar antara transmigrasi secara sukarela dengan berbagai insiden, dimana suatu lahan diperuntukan untuk keperluan lain seperti tambang. “Karena nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka miliki, saya ragu apalah penolakan dari masyarakat dapat ditepis dengan berbagai janji (kompensasi),” ujarnya.

Balawukak mengamininya: “Masyarakat merasa dikecewakan. Tak seorangpun, kecuali para politisi, yang ingin melihat rumah dan tanah mereka tergusur oleh tambang. Anda bisa melihat kehilangan yang dialami oleh masyarakat, dan mau tak mau bertanya-tanya - apa yang akan didapatkan para politisi.”

Meskipun tidak ada bukti langsung tentang adanya korupsi dalam kasus Lembata, beredar cerita mengenai ketidak sesuaian prosedur dalam proses uji kelayakan oleh pemerintah.”

Pastor Michael Peruhe, spesialis rekonsiliasi yang bernaung di bawah Ordo Biarawan Frasiskus dari Justice, Peace and Integrity of Creation di Jakarta, mengingatkan bagaimana pemerintah dan anggota DPRD dari Lembata dilaporkan telah mengirim misi pencarian fakta di tambang Newmont lainnya, di Minahasa Raya di Sulawesi.

“Tambang ini sekarang sudah tidak beroperasi, dan intinya mereka kembali ke Lembata untuk menceritakan bagaimana dampak tambang tersebut terhadap desa-desa di sekitarnya,” ujarnya.

“Dua minggu kemudian saya dan dua orang rekan pergi untuk melakukan penelitian di wilayah yang sama, hanya saja saya mendapat informasi dari kantor Newmont bahwa tidak ada tim dari Lembata yang datang berkunjung.”

Saat berhadapan dengan Bupati Andreas Duli Manuk, pada Pastor Peruhe ditunjukkan sebuah laporan mengenai tambang Minahasa Raya yang sebelumnya telah dibeberkan di hadapan parlemen Lembata.

“Saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin pemerintah Lembata memberikan laporan palsu pada masyarakat dan menyajikannya sebagai suatu kebenaran? Saya sudah berbicara dengan Andreas mengenai masalah manipulasi ini, dan [ia] menolak untuk berkomentar.”

Merukh sendiri bersikap tidak terlalu tertutup: “[Protes-protes] ini, adalah masalah yang ditimbulkan oleh pihak Katolik. Saat Anda membangun tambang, maka tambang tersebut akan mengurangi pengaruh pihak gereja terhadap komunitas rakyat miskin, jadi itu hanya alasan saja. Sebetulnya ini merupakan propaganda….Saya tidak dapat membantu bila mereka menolak untuk melihat adanya keuntungan ekonomi.”

Dengan cara apapun, kelihatannya Merukh bertekad untuk tetap membuat lubang galian itu, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk masyarakat - kelompok masyarakat yang sekuat tenaga akan dihadapi oleh Gabriel dan penduduk lainnya untuk bebas dari kesulitan (Ivan Broadhead).
Sumber: www.jatam.org mengutip South China Morning Post edisi 16 Desember 2007
diterjemahkan bebas oleh Winni M Santoso atas permintaan JATAM

No comments: