Jakarta, Kompas - Pembukaan tambang secara besar-besaran di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, ditolak warga setempat. Mereka menilai kegiatan pertambangan hanya akan merusak lingkungan dan peradaban di daerah tersebut, sementara tidak semua penduduk di sekitarnya dapat terserap sebagai tenaga kerja.
Usaha pertambangan tersebut tidak akan membawa manfaat bagi penduduk di kawasan itu, sebaliknya justru akan memiskinkan masyarakat. Apalagi, dalam catatan kegiatan pertambangan di Indonesia belum ada yang mampu menyejahterakan masyarakat lokal.
Demikian terungkap dalam Diskusi Panel Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik Usaha-usaha Pertambangan, Sabtu (1/3) di Jakarta. Diskusi itu menyoroti kisruh pembukaan tambang tembaga di Lembata.
Diskusi menampilkan pembicara Vande Raring, SVD (dari Office for Justice Peace and Integrity of Creation-JPIC SVD Ende), Peter C Aman, OFM (Direktur JPIC), Philipus Muda (tua adat Leragere, Lembata), Abu Achmad (tua adat Kedang, Lembata), George Junus Aditjondro (dosen Sanata Dharma Yogyakarta), Hendro Sangkoyo (ahli pertambangan dan energi), Edy Danggur (konsultan hukum pertambangan), dan Boni Hargens (dosen FISIP UI).
Edi Danggur mengatakan, janji pemerintah bahwa kegiatan pertambangan mampu menaikkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat tidak akan membawa hasil. Ia mencontohkan, pertambangan di Provinsi Riau menyumbang 80 persen pendapatan asli daerah, namun tenaga kerja yang terserap hanya 3 persen dari seluruh angkatan kerja di sana.
”Pertambangan butuh modal besar dan teknologi tinggi sehingga butuh tenaga kerja berkualitas yang masih sulit didapat dari penduduk lokal,” kata Edi.
Sementara pembebasan lahan masyarakat dan lahan ulayat untuk pembukaan kawasan tambang membuat rakyat kehilangan mata pencarian dan lahan.
Ahli mineral dan pertambangan, Hendro Sangkoyo, mengatakan, ”Pemerintah seharusnya mengerem laju pertumbuhan industri keruk jika tidak mampu mengatur dan mengelolanya. Yang terjadi selalu lingkungan dihabisi dan masyarakat lokal tersingkir.”
Penambangan emas yang akan dilakukan PT Merukh Enterpris itu rencananya dilakukan di wilayah Kedang dan Leragere 91.595 hektar atau 72,32 persen dari total luas areal Lembata (126.638 hektar). Mereka melakukan sumpah adat sebelum menolak. Tokoh masyarakat Leragere, Philipus Muda, menegaskan, ”Penolakan tambang di Lembata adalah harga mati.”
Terhitung Januari-Juli 2007, beberapa tetua adat Lembata menggelar enam kali ritual adat penolakan tambang. Pemangku adat di Kedang, Abu Achmad, mengatakan, kebijakan pemerintah telah mengabaikan rakyat karena tanpa sosialisasi.
Peter Aman mengatakan, pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, apalagi wilayah Flores bagian dari lintasan jalur gunung api.
Ancaman terutama pada ekologi hilir yang akan mengancam populasi ikan paus di Laut Sawu sekaligus berpotensi menghancurkan peradaban lokal yang memiliki tradisi menombak ikan paus dengan etika kecukupan demi kelangsungan hidup.
”Pertambangan tidak menjawab persoalan masyarakat. Semestinya program pembangunan berbasis potensi masyarakat lokal. Di Lembata banyak ikan laut, mutiara, dan masyarakat tani, itulah yang harus dikembangkan,” kata Peter Aman.
Sementara itu, Aditjondro menyarankan mekanisme ”de-lingking” untuk perjuangan pembatalan rencana investasi pertambangan itu. Misalnya dengan mengidentifikasi mitra-mitra asing maupun pialang nasional untuk membantu pengarahan advokasi antitambang secara cermat dan efektif. (LKT/NAW)
Usaha pertambangan tersebut tidak akan membawa manfaat bagi penduduk di kawasan itu, sebaliknya justru akan memiskinkan masyarakat. Apalagi, dalam catatan kegiatan pertambangan di Indonesia belum ada yang mampu menyejahterakan masyarakat lokal.
Demikian terungkap dalam Diskusi Panel Membongkar Mitos Kesejahteraan Rakyat di Balik Usaha-usaha Pertambangan, Sabtu (1/3) di Jakarta. Diskusi itu menyoroti kisruh pembukaan tambang tembaga di Lembata.
Diskusi menampilkan pembicara Vande Raring, SVD (dari Office for Justice Peace and Integrity of Creation-JPIC SVD Ende), Peter C Aman, OFM (Direktur JPIC), Philipus Muda (tua adat Leragere, Lembata), Abu Achmad (tua adat Kedang, Lembata), George Junus Aditjondro (dosen Sanata Dharma Yogyakarta), Hendro Sangkoyo (ahli pertambangan dan energi), Edy Danggur (konsultan hukum pertambangan), dan Boni Hargens (dosen FISIP UI).
Edi Danggur mengatakan, janji pemerintah bahwa kegiatan pertambangan mampu menaikkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat tidak akan membawa hasil. Ia mencontohkan, pertambangan di Provinsi Riau menyumbang 80 persen pendapatan asli daerah, namun tenaga kerja yang terserap hanya 3 persen dari seluruh angkatan kerja di sana.
”Pertambangan butuh modal besar dan teknologi tinggi sehingga butuh tenaga kerja berkualitas yang masih sulit didapat dari penduduk lokal,” kata Edi.
Sementara pembebasan lahan masyarakat dan lahan ulayat untuk pembukaan kawasan tambang membuat rakyat kehilangan mata pencarian dan lahan.
Ahli mineral dan pertambangan, Hendro Sangkoyo, mengatakan, ”Pemerintah seharusnya mengerem laju pertumbuhan industri keruk jika tidak mampu mengatur dan mengelolanya. Yang terjadi selalu lingkungan dihabisi dan masyarakat lokal tersingkir.”
Penambangan emas yang akan dilakukan PT Merukh Enterpris itu rencananya dilakukan di wilayah Kedang dan Leragere 91.595 hektar atau 72,32 persen dari total luas areal Lembata (126.638 hektar). Mereka melakukan sumpah adat sebelum menolak. Tokoh masyarakat Leragere, Philipus Muda, menegaskan, ”Penolakan tambang di Lembata adalah harga mati.”
Terhitung Januari-Juli 2007, beberapa tetua adat Lembata menggelar enam kali ritual adat penolakan tambang. Pemangku adat di Kedang, Abu Achmad, mengatakan, kebijakan pemerintah telah mengabaikan rakyat karena tanpa sosialisasi.
Peter Aman mengatakan, pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, apalagi wilayah Flores bagian dari lintasan jalur gunung api.
Ancaman terutama pada ekologi hilir yang akan mengancam populasi ikan paus di Laut Sawu sekaligus berpotensi menghancurkan peradaban lokal yang memiliki tradisi menombak ikan paus dengan etika kecukupan demi kelangsungan hidup.
”Pertambangan tidak menjawab persoalan masyarakat. Semestinya program pembangunan berbasis potensi masyarakat lokal. Di Lembata banyak ikan laut, mutiara, dan masyarakat tani, itulah yang harus dikembangkan,” kata Peter Aman.
Sementara itu, Aditjondro menyarankan mekanisme ”de-lingking” untuk perjuangan pembatalan rencana investasi pertambangan itu. Misalnya dengan mengidentifikasi mitra-mitra asing maupun pialang nasional untuk membantu pengarahan advokasi antitambang secara cermat dan efektif. (LKT/NAW)
Sumber: KOMPAS, 3 Maret 2008
No comments:
Post a Comment