DI Lewotana dan di seantero jagat, membakar apa pun bentuknya menghasilkan gas-gas rumah kaca yang dalam prosesnya tiba pada fase pemanasan global yang tidak sedikit dampak negatifnya. Sewaktu kecil, saya menyaksikan masyarakat di desa saya dan desa-desa sekitarnya menebang dan membakar hutan untuk lahan pertanian baru. Saya senang menyaksikan loncatan-loncatan bunga api serta lidah-lidah api yang melahap kayu-kayu kering. Tak terbetik sedikitpun di benak bahwa pembakaran ini akan meningkatkan suhu bumi, menyebabkan terjadinya topan dan kemarau yang berkepanjangan. Orang mengeluh kekurangan hujan atau terlalu banyak hujan mengguyur yang menyebabkan banjir dan longsor. Kehidupan dan harta benda tertelan bencana. Kemiskinan merebak.
Membakar adalah teknologi tersederhana dan paling murah untuk membuka lahan baru demi menopang hidup para pelakunya. Dulu, di Australia orang Aborigin membakar hutan ketika mereka berburu. Tampaknya metode ini sudah ditinggalkan mereka. Akan tetapi, kebakaran hutan masih terjadi di negeri ini, dan korban serta angka kerugiannya bisa berjutaan dollar. Kebakaran ini terjadi bukan karena orang asli mau memburu satwa liar, tetapi karena musim panas yang berkepanjangan dengan suhu udara yang melonjak tinggi. Terkadang orang entah dengan sengaja atau tidak dengan sengaja membuang api rokok sebagai pemicu kebakaran selagi berjalan atau mengendarai mobil di tengah hutan.
Di akhir tahun 90-an, Riau dan Pekanbaru menjadi sorotan salah satu stasiun televisi Australia, SBS. Dalam program Dateline-nya, SBS menayangkan isu pembakaran dan kebakaran hutan yang terjadi di daerah Riau dan Pekanbaru. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perkara pembakaran dan kebakaran ini yaitu pemerintah daerah dan pusat, pengusaha pembalakan kayu, pemilik perkebunan kelapa sawit serta masyarakat lokal.
Menurut Dateline, pengusaha-pengusaha yang dianggap terlibat ini umumnya berasal dari negeri tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Ironis bahwa seorang pelaksana harian dari salah satu perusahaan ini mengkambinghitamkan masyarakat setempat sebagai penyebab keadaan alam yang tengah rusak terselubung asap. Faktanya bahwa skala kerusakan yang dibuat oleh orang-orang lokal tidak seberapa ketimbang kehancuran hutan penghujan yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan mega ini. Mereka kembali ke tanah air mereka dengan kekayaan dari negara tetangga, Indonesia. Indonesia, khususnya Riau dan Pekanbaru, ditinggalkan dengan asap dan keberantakan hutan topisnya.
Pengusaha-pengusaha Malaysia tahu bahwa mereka tidak bisa semena-menanya membakar hutan di tanah air mereka sendiri. Negara mereka memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan atau 5 tahun penjara baik bagi pemilik maupun penggarap lahan (WALHI: Agustus 2006). Pemerintah Indonesia tentu mempunyai UU dan peraturan-peraturan yang mengatur perihal pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Tetapi tampaknya UU dan peraturan-peraturan ini tidak effektif dalam pelaksanaannya. Ini karena kata yang sebenarnya adalah momok masyarakat dan negara menjadi kesenangan banyak pengusaha dan penguasa - korupsi. Buntutnya toh korupsi juga, kata banyak orang.
Pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan di bumi pertiwi masih sebatas wacana, belum mendarah daging seperti korupsi itu sendiri, tegas Muhhamadun AS (Kompas: 10 Agustus 2007). Akibatnya, masyarakat dan lingkungan Riau kena getah ketamakan kaum penyayang korupsi.
Kembali ke Lewotana, berhubungan dengan polemik dan diskusi alot tentang rencana pertambangan di kawasan Leragere, pihak antagonis perencanaan ini bisa atau sudah melontarkan pertanyaan, akankah pengalaman Riau menjadi nasib masyarakat Leragere juga? Sementara itu kelompok protagonis mungkin atau sudah berdalih, pengalaman demikian tidak mungkin terjadi karena konteks dan zaman menuntut suatu cara pengelolaan pertambangan yang berbeda. Suatu pengelolaan yang berkesinambungan dan bersahabat dengan lingkungan serta kebudayaan masyarakat Lewotana. Mudah-mudahan ini bukanlah dalih yang digunakan oleh pihak yang berkepentingan di Riau dulu.
Asap masih mengepul setiap tahun di Riau dalam skala besar, karena itu WALHI (2003) menamakan asap sebagai suatu ritual tahunan bencana bagi propinsi ini. Riau juga dinobatkan sebagai salah satu propinsi penghasil asap terbesar Indonesia. Andaikata Pemerintah Kabupaten Lembata bersikeras merealisasikan rencananya, maka kita berharap selama dan di akhir pengerukan semua kandungan bumi Leragere warga daerah ini merasa nyaman dan bahagia duduk keliling ‘tungku keluarga’ berkisah tentang kampung halaman yang ditinggalkan dengan nada bahagia. Akan sangat disesalkan dan bisa menjadi kutukan kalau dalam dan di akhir pengerukan ini kita mendengar kisah tentang orang lari dari Lewotana karena dikejar dan takut nyawa direnggut oleh sang penguasa dan pengusaha. Harap Leragere pada khususnya dan Lembata pada umumnya tidak akan dijuluki sebagai penghasil debu terbesar di kawasan Indonesia tengah. Jika julukan ini menjadi kenyataan, maka semua sumber air di daerah pertambangan dan sekitarnya akan terkontaminasi. Dari mana manusia dan binatang setempat memperoleh air bersih? Pohon-pohon akan diselebungi debu tebal. Akankah mereka mati? Ke mana binatang liar mencari makanan untuk hidup mereka? Akankah mereka kekurangan makanan dan meninggalkan planet ini juga? Kalau tumbuhan-tumbuhan dan binatang-binatang amblas, apakah orang dapat bertahan meniti hidup ini?
Oleh Silvianus Lado Ruron
Sumber: Pos Kupang, 14 September 2007
Sunday, October 21, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment