Tiga anak lelaki duduk santai di sebuah halte dalam areal tambang PT Indominco Mandiri, Kalimantan Timur, Kamis (21/2) sore. Sekitar 300 meter dari tempat mereka bersantai ialah lapangan penumpukan tempat batu bara yang membukit.
“Rumah saya itu,” kata Ismail (13), salah seorang anak. Dia menunjuk satu rumah panggung berdinding kayu yang berada di seberang pondok halte. Dari tempatnya bersantai mungkin tidak lebih dari 100 meter.
Ismail mengatakan, rumah itu masuk dalam wilayah Desa Segendis, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di arah berlawanan, ada jalan tanah yang menuju Desa Santan Ilir dan Desa Santan Tengah.
Ketiga desa tersebut berada dalam areal tambang yang sedang ‘dibongkar’ oleh anak perusahaan Banpu Group Company itu. Jarak antardesa berdekatan sehingga tidak jauh juga dari lapangan penumpukan atau stock pile.
Sebagian lokasi Indominco berada dalam areal Hutan Lindung Bontang dalam wilayah Kabupaten Kutai Timur. Indominco ialah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan menambang di hutan lindung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung.
Jalan Berlumpur
Jangan membayangkan melewati jalan mulus di desa-desa itu. Untuk menuju jalan Santan Ilir dan Santan Tengah saja lumpurnya, hampir selebar sepuluh meter sehingga membuat mobil tergelincir ke kiri dan kanan. Belum lagi lubang-lubang berair yang bisa saja membuat mobil terjebak dan tidak mau jalan.
“Yang bukan tanah cuma sekitar satu kilometer,” kata Wade (28), warga Santan Ilir. Yang dimaksud ialah jalan beton dari depan warung miliknya hingga pertigaan persis di depan rumah H Abd Hamid T, kepala desa.
Itupun, lanjut Wade, pelapisan jalan tanah dengan beton baru dilakukan setahun terakhir. Sejak perusahaan masuk sekitar 1995 hingga saat ini, jaringan jalan di Santan Ilir dan Santan Tengah yang berdekatan tetap tanah.
“Kalau habis hujan, jalan pasti berlumpur,” kata Ibrahim (40), warga Santan Tengah, mengingatkan.
Kondisi itu bertolak belakang dengan jalan akses utama dari gerbang Indominco hingga ke lapangan penumpukan. Sekitar sepuluh kilometer jalan yang dilintasi truk-truk pengangkut batu bara itu berupa aspal mulus.
Namun, menurut Wade dan Ibrahim, mulai tahun ini, jaringan jalan desa yang tanah juga akan dilapisi entah dengan aspal atau beton. Menurut mereka, biaya pelapisan itu mungkin patungan antara perusahaan dengan pemerintah.
Wade mengatakan, jalan perusahaan yang aspal ialah akses utama warga desa menjangkau kota-kota terdekat yakni Bontang dan Samarinda. “Di desa memang ada pasar tetapi semua dipasok dari Samarinda,” katanya.
Untuk itulah, ketika melintasi jalan perusahaan, warga harus ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan. Selama mengemudi, lampu kendaraan harus dinyalakan sebagai tanda bagi kendaraan dari arah berlawanan. Kecepatan maksimum kendaraan 30 kilometer/jam hingga 60 kilometer/jam.
Perhatian
Wade mengatakan, lahir di Santan Ilir. Dia pernah bekerja di Indominco kurun 2000 hingga 2004. Selepas itu dia tidak bekerja karena kakinya nyaris hancur akibat kecelakaan motor. Sejak saat itu dia membuka warung makanan dan setahun terakhir juga menjual pulsa telepon selular.
“Modal dari gaji saya selama di Indominco,” kata Wade mengenang. Upah bekerja di perusahaan batu bara sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu sebabnya banyak warga desa yang kemudian menjadi pekerja di Indominco.
Menurut Ibrahim, Indominco sudah ada sejak 1995. Namun, saat itu, pengupasan dan produksi batu bara belum berlangsung. “Saya tidak tahu pasti kapan produksi dimulai,” katanya.
Menurut mereka, keberadaan Indominco memang berpengaruh terhadap kehidupan warga. Selain bisa menjadi pekerja, sejumlah sarana dan prasarana dibangun atas biaya perusahaan bersama dengan pemerintah.
Menurut Wade, kehidupan warga sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan ketika perusahaan belum ada. Kalau dikatakan sejahtera, lanjut dia, seharusnya rumah-rumah warga tidak lagi dari kayu, jaringan air tersedia, listrik menyala setiap saat, dan jaringan jalan beraspal.
Namun, pada kenyataannya, listrik kerap padam. Warga terkadang mandi bahkan memasak air hujan. Beberapa rumah warga sudah reyot. Di sisi lain, ada yang meski rumahnya dari kayu dan agak reyot tetapi punya parabola.
Yang tidak dapat dipungkiri, eksploitasi batu bara atau emas hitam menjadi primadona di Kaltim. Nyaris di semua kabupaten dan kota sebagian kawasan dikupas untuk kemudian diambil batu baranya dari dalam perut bumi.
Agak jauh dari Indominco terdapat tempat beroperasinya perusahaan tambang batu bara terbesar di dunia yakni PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur.
Santan Ilir dan Santan Tengah ialah satu dari ratusan desa yang berada dalam atau di sekitar tambang. Deru mesin truk-truk pengangkut batu bara dan debu beterbangan ialah pemandangan yang kerap mereka saksikan. Bisa jadi pula, gunung dalam ingatan mereka ialah gundukan besar hitam batu bara di lapangan penumpukan. (Ambrosius Harto)
“Rumah saya itu,” kata Ismail (13), salah seorang anak. Dia menunjuk satu rumah panggung berdinding kayu yang berada di seberang pondok halte. Dari tempatnya bersantai mungkin tidak lebih dari 100 meter.
Ismail mengatakan, rumah itu masuk dalam wilayah Desa Segendis, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di arah berlawanan, ada jalan tanah yang menuju Desa Santan Ilir dan Desa Santan Tengah.
Ketiga desa tersebut berada dalam areal tambang yang sedang ‘dibongkar’ oleh anak perusahaan Banpu Group Company itu. Jarak antardesa berdekatan sehingga tidak jauh juga dari lapangan penumpukan atau stock pile.
Sebagian lokasi Indominco berada dalam areal Hutan Lindung Bontang dalam wilayah Kabupaten Kutai Timur. Indominco ialah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan menambang di hutan lindung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung.
Jalan Berlumpur
Jangan membayangkan melewati jalan mulus di desa-desa itu. Untuk menuju jalan Santan Ilir dan Santan Tengah saja lumpurnya, hampir selebar sepuluh meter sehingga membuat mobil tergelincir ke kiri dan kanan. Belum lagi lubang-lubang berair yang bisa saja membuat mobil terjebak dan tidak mau jalan.
“Yang bukan tanah cuma sekitar satu kilometer,” kata Wade (28), warga Santan Ilir. Yang dimaksud ialah jalan beton dari depan warung miliknya hingga pertigaan persis di depan rumah H Abd Hamid T, kepala desa.
Itupun, lanjut Wade, pelapisan jalan tanah dengan beton baru dilakukan setahun terakhir. Sejak perusahaan masuk sekitar 1995 hingga saat ini, jaringan jalan di Santan Ilir dan Santan Tengah yang berdekatan tetap tanah.
“Kalau habis hujan, jalan pasti berlumpur,” kata Ibrahim (40), warga Santan Tengah, mengingatkan.
Kondisi itu bertolak belakang dengan jalan akses utama dari gerbang Indominco hingga ke lapangan penumpukan. Sekitar sepuluh kilometer jalan yang dilintasi truk-truk pengangkut batu bara itu berupa aspal mulus.
Namun, menurut Wade dan Ibrahim, mulai tahun ini, jaringan jalan desa yang tanah juga akan dilapisi entah dengan aspal atau beton. Menurut mereka, biaya pelapisan itu mungkin patungan antara perusahaan dengan pemerintah.
Wade mengatakan, jalan perusahaan yang aspal ialah akses utama warga desa menjangkau kota-kota terdekat yakni Bontang dan Samarinda. “Di desa memang ada pasar tetapi semua dipasok dari Samarinda,” katanya.
Untuk itulah, ketika melintasi jalan perusahaan, warga harus ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan. Selama mengemudi, lampu kendaraan harus dinyalakan sebagai tanda bagi kendaraan dari arah berlawanan. Kecepatan maksimum kendaraan 30 kilometer/jam hingga 60 kilometer/jam.
Perhatian
Wade mengatakan, lahir di Santan Ilir. Dia pernah bekerja di Indominco kurun 2000 hingga 2004. Selepas itu dia tidak bekerja karena kakinya nyaris hancur akibat kecelakaan motor. Sejak saat itu dia membuka warung makanan dan setahun terakhir juga menjual pulsa telepon selular.
“Modal dari gaji saya selama di Indominco,” kata Wade mengenang. Upah bekerja di perusahaan batu bara sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu sebabnya banyak warga desa yang kemudian menjadi pekerja di Indominco.
Menurut Ibrahim, Indominco sudah ada sejak 1995. Namun, saat itu, pengupasan dan produksi batu bara belum berlangsung. “Saya tidak tahu pasti kapan produksi dimulai,” katanya.
Menurut mereka, keberadaan Indominco memang berpengaruh terhadap kehidupan warga. Selain bisa menjadi pekerja, sejumlah sarana dan prasarana dibangun atas biaya perusahaan bersama dengan pemerintah.
Menurut Wade, kehidupan warga sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan ketika perusahaan belum ada. Kalau dikatakan sejahtera, lanjut dia, seharusnya rumah-rumah warga tidak lagi dari kayu, jaringan air tersedia, listrik menyala setiap saat, dan jaringan jalan beraspal.
Namun, pada kenyataannya, listrik kerap padam. Warga terkadang mandi bahkan memasak air hujan. Beberapa rumah warga sudah reyot. Di sisi lain, ada yang meski rumahnya dari kayu dan agak reyot tetapi punya parabola.
Yang tidak dapat dipungkiri, eksploitasi batu bara atau emas hitam menjadi primadona di Kaltim. Nyaris di semua kabupaten dan kota sebagian kawasan dikupas untuk kemudian diambil batu baranya dari dalam perut bumi.
Agak jauh dari Indominco terdapat tempat beroperasinya perusahaan tambang batu bara terbesar di dunia yakni PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur.
Santan Ilir dan Santan Tengah ialah satu dari ratusan desa yang berada dalam atau di sekitar tambang. Deru mesin truk-truk pengangkut batu bara dan debu beterbangan ialah pemandangan yang kerap mereka saksikan. Bisa jadi pula, gunung dalam ingatan mereka ialah gundukan besar hitam batu bara di lapangan penumpukan. (Ambrosius Harto)
Sumber: KOMPAS, 25 Februari 2008
No comments:
Post a Comment