Jakarta–Kalangan LSM menilai pemerinah menjual murah hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, dengan hanya mengenakan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp3 juta per hektare per tahun.
"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp120 hingga Rp300 per meter. PNBP itu lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran pers yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta.
Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat.
Menurut dia, perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Pelsart jelas diuntungkan PP ini, seperti juga perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya.
Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung meliputi luasan sekitar 11,4 juta hektare. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp 1,8 juta hingga Rp 3 juta per hektare.
Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.
Yang menyesakkan, PP ini keluar di tengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha.
Juga di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi, tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.
"PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisiatif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jatam.
"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp120 hingga Rp300 per meter. PNBP itu lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran pers yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta.
Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat.
Menurut dia, perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Pelsart jelas diuntungkan PP ini, seperti juga perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya.
Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung meliputi luasan sekitar 11,4 juta hektare. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp 1,8 juta hingga Rp 3 juta per hektare.
Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.
Yang menyesakkan, PP ini keluar di tengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha.
Juga di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi, tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.
"PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisiatif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jatam.
Sumber: ANTARA,18 Februari 2008
No comments:
Post a Comment