Wednesday, February 27, 2008

Dengarkan Suara Rakyat: Gagasan Berbasis Budaya Seputar Konflik Tambang di Lembata

Semenjak munculnya ide rencana tambang, masyarakat Lembata dipecahkan ke dalam kelompok pro tambang, kelompok menolak tambang dan kelompok yang belum menentukan sikap untuk menerima atau menolak tambang. Setiap kelompok melakukan aktivitas masing-masing untuk mendukung keberadaan kelompoknya. Warga yang menerima tambang bersedia dibayar untuk berdemo dan mengikuti studi banding DPRD Lembata ke Minahasa dan Sumbawa Barat. Masyarakat yang menolak tambang menggelar beberapa kegiatan budaya untuk mengekspresikan gejolak penolakan.

Pertama, membuat ritus adat. Hakikat ritus adat adalah menghadirkan kembali peristiwa berdarah yang telah terjadi pada masa lampau. Intensi setiap ritus adat adalah memohon sesuatu dari Yang Ilahi, menolak bala (bencana) dan mempertahankan hak. Ritus adat yang digelar dalam kerangka mempertahankan hak mengungkapkan kesiapan masyarakat untuk berperang, untuk menumpahkan darah dan siap untuk membunuh atau dibunuh. Masyarakat hanya akan menyerahkan hak milik yang dipertahankan ketika telah mengalami kekalahan dalam peperangan. Mereka yakin bahwa penyerahan hak milik yang mesti dipertahankan kepada pihak lain tanpa perlawanan akan menerima ganjaran kosmis.

Kedua, warga yang menolak tambang melakukan demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi ke Pemkab Lembata dan DPRD. Aksi ini dijalankan berdasarkan keyakinan bahwa bupati, wakil bupati dan anggota dewan dipilih oleh masyarakat. Warga menyapah “orang” yang dipilih itu dengan “bapak.” Sapaan ini mengungkapkan sebuah harapan agar “orang yang dipilih” itu melindungi hak dan mendengarkan suara. Sapaan itu menuntut masyarakat untuk bertindak santun terhadap mereka. Tetapi apa yang kita saksikan dalam demonstrasi beberapa waktu lalu di Lewoleba? Masyarakat datang dalam jumlah besar untuk menyampaikan aspirasi penolakan tambang.

Hampir tidak ada salam dan ungkapan kata-kata bernuansa kekeluargaan. Warga hanya berdiri sepanjang hari di tengah terik siang dan akhirnya “bermalam” di halaman kantor bupati dalam persahabatan erat dengan aparat Polres Lembata. Fenomena ini saja sudah menunjukkan retaknya relasi antara warga dan “bapak.” Saya pikir, masyarakat tahu dan sadar akan resiko dari perbuatannya. Tetapi mereka berani melakukannya. Apakah karena mereka bodoh? Apakah karena diprovokasi seperti yang selalu diungkapkan oleh kelompok pro tambang? Menurut saya, warga berani dan tegar melakukannya karena nilai yang selama ini menghidupi mereka yaitu lewotana. Orang Lama Holo memahami bahwa lewotana memiliki empat unsur konstitutif yaitu rerawulan-tanaekan dan kaka bapa ama nene/kodakewoko-malaike (Allah dan roh nenek moyang), ribu ratu-mauk lalan (rakyat), koten kelen-hurit maran (dewan adat) dan lein lau weran rae-hikun tetai wanan lali (tanah ulayat).

Penulis berupaya menggagas aksi penolakan rencana tambang dengan berfokus pada uraian seputar tanah ulayat. Orang Lama Holo memiliki beberapa pandangan tradisionil tentang tanah ulayat. Pertama, tanah adalah ibu yang melahirkan (tana jadi ekan dewa) dan memelihara (tana pao-ekan gota, tanapuli toben-ekan ale bua). Kedua, tanah adalah lambang yang suci. Orang Lama Holo menyebut langit itu rerawulan dan bumi itu tanaekan. Kedua tempat ini diyakini menjadi ruang hadirnya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Maka orang Lama Holo menjadikan keduanya, nama dan lambang dari wujud tertinggi. Tanah adalah suci sebab bersama langit ia melambangkan dan menghadirkan wujud tertinggi (rerawulan-tanaekan). Ketiga, tanah adalah pemberian wujud tertinggi.

Menurut tuturan sejarah suku-suku, ketika berziarah mencari tana (seba ni genak lagan), orang selalu menggunakan alat-alat bantu untuk mengetahui tanah mana yang diberikan rerawulan-tanaekan untuk dihuni. Alat bantu pertama adalah sepasang alat musik yang dibuat dari bulu. Alat ini dibunyikan dengan menggunakan udara yang keluar dari kedua lubang hidung peniupnya. Alat itu akan dibunyikan ketika mereka tiba pada suatu tempat. Jika rerawulan-tanaekan tidak menghendaki mereka mendiami tempat itu maka meski dibunyikan berulangkali, suara alat itu tidak akan serasi dan harmoni (alan geretu hala-ran geruba kurang). Alat bantu kedua adalah mimpi. Rerawulan-tanaekan memberikan tempat diam kepada para pencari melalui mimpi (nuren tutu ledan marin. Nuren rerawulan). Alat bantu ketiga ialah jangkar. Saat perahu layar tiba pada suatu tempat, para pencari berusaha menjatuhkan jangkar. Kalau rerawulan-tanaekan tidak merestui, meski jangkar dijatuhkan berulangkali, tidak akan tersangkut pada karang/batu (niwan bakera lali ha puken halasao baera lali rubu lolon kurang).

Alat bantu keempat adalah bunyi binatang. Bila para pencari tiba pada suatu tempat dan kambing atau ayam bawaan berbunyi dan tidak disambung oleh binatang yang sama dari darat, itu sinyal bahwa rerawulan-tanaekan tidak memberikan tempat itu untuk dihuni. Maka, para pencari yang berada dalam perahu hanya dapat mendaratkan perahu ketika ada petunjuk dari wujud tertinggi. Keempat, tanah adalah gumpalan darah yang mengering. Ketika para pencari mendapatkan kepastian tanah yang akan dihuni, mereka akan mendaratkan perahu (tena gera gee-laya adan purin). Tindakan pertama yang harus dibuat adalah melakukan upacara membeli tanah (hope tana-awe ekan).

Menurut cerita yang sangat dirahasiakan orang tua, yang dikorbankan dalam upacara itu adalah seorang manusia seorang manusia (hamba/kunoa nawamao meka). Manusia itu dikuburkan dalam keadaan hidup. Di atas kuburan itu ditanam batu yang disebut nuba (nuba watan lolon-nara ena lein). Jika mereka tidak menemukan air payau di pantai, mereka akan berjalan ke arah gunung atau minimal mengumpulkan embun di pagi hari dan mendapatkan air dari dalam bambu muda (tobo sasa apun-pae hore ibo) atau mendapatkan air dari pisang hutan (baki wa’in). Warga akan bergerak ke gunung untuk mencari tempat diam yang aman. Menurut kepercayaan, pada masa itu pelindung yang baik adalah bukit yang tinggi dan lembah yang dalam (lewo belikun wolo belolon-tana belapaken lungun lemen).

Hal kedua yang mereka lakukan adalah membuat upacara untuk membeli tanah di gunung (hope tana rae ile-awe ekan rae woka). Kisah itu kembali menuturkan bahwa korban kali ini juga seorang manusia yang dikuburkan dalam keadaan hidup. Di atas kubur ditanam batu yang disebut nuba (nuba wuhun wutun-nara wolo matan). Ritus ini juga diikhtiarkan sebagai pembayar harga kerusakan tanah yang akan terjadi (tana bunga bai-ramut geto wote). Kelima, tanah adalah kenangan akan perjuangan nenek moyang. Nenek moyang berjuang berlayar untuk mencari tanah. Mereka berjuang dalam peperangan melawan penghuni terdahulu yang menolak kehadiran pendatang.

Nenek moyang juga berjuang dalam peperangan untuk mempertahankan tanah dari gangguan pendatang baru atau usilan warga kampung tetangga. Di dalam tanah ulayat terdapat batu keramat (nuba-nara), rumah adat (lango uma-kuru kawa), tanaman umur panjang (duli pali-onge laran), tempat garapan (nura newa kayo tale dan belatan), pantai untuk mencari ikan dan daratan untuk berburu binatang hutan (metin watan-ile wolo).

Semua ini mengandung nilai yang dalam bagi warga Lama Holo yaitu nilai agama, budaya, politik, ekonomi dan relasi sosial. Nilai-nilai inilah yang membingkai dan menjamin keberadaan, eksistensi masyarakat ulayat. Bagi masyarakat Lembata, khususnya kawasan Leragere dan Kedang, rencana tambang emas dan tembaga adalah bencana yang akan menghancurkan dan melenyapkan seluruh nilai itu. Kehadiran tambang emas dan tembaga serentak menghilangkan keberadaan mereka. Ketika merasakan luhurnya nilai-nilai budaya-religi yang selama ini dihidupi dan dipertahankan yang tercermin dalam gambaran ritus adat menolak tambang maka kita dapat memastikan bahwa masyarakat tidak akan mundur setapak pun dari perjuangannya untuk menolak tambang.

Di pihak lain, tampak bahwa pemerintah akan mempergunakan berbagai sarana dan jalur, bahkan boleh jadi jika terdesak akan menggunakan “timah panas” untuk memaksakan kehendak arogansinya. Ada dua kekuatan yang bertarung dalam konflik tambang. Bahkan belakangan ini, pemerintah berusaha masuk melalui kelompok suku tertentu untuk mengacaukan keharmonisan dan merekayasa dukungan yang manipulatif'. Bukan tidak mungkin akan terjadi duel “jual beli” antara rakyat yang dikandung dari rahim ulayat rakyatnya. Kita harapkan agar pemerintah masih memiliki sedikit ruang hati untuk mendengarkan suara jerit teriakan rakyat yang kian parau.


Laurensius Useng,
anggota tim pastor Paroki Hokeng, Keuskupan Larantuka
Sumber: svdende.org

2 comments:

Warning ! said...
This comment has been removed by the author.
Warning ! said...

you do not make the issue of mine, as a platform to boost popularity. people not just mine to mine .. there are many stages and codes of conduct in the mining world. do any talking, "if not yet understand well what it was mine ..."??? and yet well aware of the benefits of the mine itself ..!