Monday, October 22, 2007

Air Bersih, Kerinduan yang Belum Berujung

RAMBUT kepala berubah warna. Kecoklatan berbalut debu. Terasa kaku dan lengket, membungkus hampir seluruh kepala. Perubahan terasa ketika perjalanan bermandikan debu dan melelahkan, menusuk perkampungan Mingar di pesisir selatan Pulau Lembata, Nusatenggara Timur (NTT).

Rasa lelah pupus terkubur ketika menyaksikan wajah Mingar dan sekitarnya. Suguhan pemandangannya seakan suntikan manjur pemulih energi yang membangkitkan semangat baru. Hijau menyejukkan mata, mendominasi. Berbagai jenis tanaman seperti kelapa, pisang, jambu mete, asam, dan lainnya, tumbuh subur di sana. Begitu pula sosok penduduknya, relatif lekang dari kesan sangat miskin. Antara lain dari perumahannya. Rata-rata semi permanen, beratap seng dan berlantai semen.

Kesejukan terasa kian lengkap oleh buaian angin sepoi dari arah Laut Sawu. Dari balik rimbunan pepohonan dan semak terlihat jelas gulungan ombak terus menggelora.

"Para turis sering datang ke sini, mandi-mandi dan berjemur di Pantai Mingar. Mereka biasanya datang dengan perahu motor setelah menyaksikan penangkapan lewa (paus dan jenis ikan besar lainnya - Red) di Lamalera," tutur Ratna Lele (20) tersipu-sipu. Gadis Mingar yang hitam manis itu terlibat dalam percakapan singkat ketika ia sedang antre menunggu giliran menimba air di sumur tua di Kampung Riangbaka, Desa Pasir Putih, kawasan Mingar.

Mingar dan Lamalera sama-sama di pesisir selatan Lembata. Perjalanan dengan perahu motor antara dua kampung pantai itu membutuhkan waktu sekitar satu jam. Tentang Lamalera sendiri sebenarnya sudah dikenal hingga sudut dunia. Nama kampung yang tumbuh di atas gundukan cadas itu mencuat tinggi oleh ketangguhan para nelayannya. Dengan hanya menggunakan pledang (sampan kecil bercadik) dan tempuling berpengait, mereka sejak turun-temurun terbiasa menangkap ikan besar jenis paus dan lainnya. Ketangguhan nelayan tradisional itu telah menjadi aset wisata andalan Lembata dan juga NTT.

Mingar sendiri yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Nagawutun, letaknya sekitar 45 kilometer selatan Lewoleba, kota kabupaten baru, Lembata. Jangan terkejut. Mingar hanya bisa dijangkau kendaraan roda empat jenis jip. Kondisi jalannya masih sangat memprihatinkan. Sempit, berlubang-lubang dan sangat sering harus merangkak di atas gundukan batu alam yang tajam dan kokoh. Akibatnya, jarak yang hanya 45 kilometer itu harus ditempuh sekitar delapan jam pergi-pulang.

PEMANDANGAN hijau dan kesejukan Mingar ternyata masih lonjong. Kawasan yang kini berpenduduk sekitar 750 kepala keluarga (KK) atau kurang lebih 3.000 jiwa, sejak lama bergulat dengan persoalan klasik, kesulitan air bersih! Kepala Desa Pasir Putih, Petrus Beda Sura; Kepala Desa Lolong, Gaspar Demon Blolong; dan Pastor Paroki Mingar, Romo Yos Lela Diaz Pr; di Mingar akhir Juni lalu, membenarkan penderitaan itu.

Diakui, kesulitan air bersih adalah persoalan warga Mingar dan sekitarnya sejak turun-temurun. Sejauh ini mereka hanya mengandalkan sebuah sumur tua yang berlokasi di belakang Kampung Riangbaka, Desa Pasir Putih.

Sumurnya sendiri dibangun tahun 1918 dengan kedalaman tujuh depa atau sekitar 16 meter. Cara mengambil airnya masih manual, menggunakan tali menurunkan ember atau alat timba lainnya. Namun, karena banyaknya warga masyarakat yang mengambil air dari sumur tua tersebut, mereka harus antre.

Dalam percakapan dengan Romo Yos Lela Diaz dan kedua kepala desa, terkesan mereka kurang respek jika solusinya dengan pembangunan pompanisasi. Setidaknya ada dua pertimbangan yang menjadi alasannya.

Pertama, kawasan Mingar dan juga kawasan lainnya di Lembata, diketahui sangat miskin kandungan air tanahnya. Selain sumur tua di Riangbaka, penduduk sudah coba menggali sejumlah sumur lain termasuk empat buah sekitar kompleks Pastoran Mingar. Galiannya telah mencapai kedalaman hingga 20 meter, namun tidak ada airnya. Oleh karena itu, mereka mencemaskan akan sia-sia kalau kembali menggali sumur atau sumur bor.

Tentang ini, Romo Yos Lela Diaz Pr melukiskannya secara menarik. Katanya, harapan akan hadirnya air bersih di kawasan tersebut sudah menjadi kerinduan sejak lama. "Katakan seperti kerinduan yang belum berujung," tuturnya sedikit bernada puitis.

Sebenarnya kesulitan air bersih yang diderita warga Mingar hanya sekadar contoh. Seperti kawasan lainnya di NTT, sebagian besar wilayah Lembata tergolong kering dan gersang. Perladangan dengan sistem tebas bakar dan berpindah-pindah ditambah kebiasaan membakar kawasan padang guna kemudahan berburu rusa dan celeng, menjadi penyebab utamanya.

MESKI kering dan gersang, Lembata masih menyimpan belasan sumber mata air. Kepala Dinas PU Lembata, Ir Masan Bali mengakui, di tiap kecamatan sedikitnya memiliki dua sumber air berdebit tinggi. Namun, pemanfaatannya belum maksimal akibat masih terbatasnya jaringan pipanisasi dari PDAM (Perusahaan Daerah air Minum) setempat.

Berdasarkan catatan PDAM , hingga saat ini baru ada 3.000 pelanggan atau sekitar 15.000 jiwa yang telah menikmati air bersih. Itu berarti, sebagian besar atau lebih dari 100.000 warga Lembata masih kesulitan dalam mendapatkan air bersih.

Kesulitan air bersih yang melanda warga Mingar dan sekitarnya belum bisa dipastikan akan berakhir dalam waktu dekat. Alasannya, prasyarat untuk mendapatkan air bersih sangat memberatkan masyarakat.

Seperti dijelaskan Pastor Paroki Mingar, Romo Yos Lela Diaz dan kedua kepala desa, pemasangan pipa baru bisa menjangkau perkampungan mereka, setelah warga kawasan tersebut berhasil menyelesaikan biaya pemasangan 150 stop keran senilai Rp 75 juta. "Padahal kebanyakan warga kampung di sini mengandalkan bantuan dari kiriman keluarga di rantau (Malaysia - Red). Oleh karena itu, kewajiban membayar biaya pemasangan stop keran itu, bukanlah beban ringan," tutur Petrus Beda Sura.

Menurut catatan, warga Mingar yang kini sekitar 750 KK, baru berhasil mengumpulkan Rp 7,2 juta guna mengangsur kewajiban tersebut. Itu berarti tunggakan masih tersisa, Rp 67,8 juta. Gaspar Demon Blolong melukiskan tunggakan tersisa masih jauh dari jangkauan kemampuan masyarakat Mingar.

Sumber: harian Kompas, 31 Juli 2000

No comments: