Sunday, October 21, 2007

Pertanian vs pertambangan

PRO kontra tentang rencana tambang di Lembata terus bergulir. Dalam pergumulan diskusi yang berkepanjangan, ada nuansa pencerahan walau terkadang sedikit menyebalkan. Itulah dinamika sosial yang merupakan keniscayaan bagi sebuah bangsa yang baru belajar berdemokrasi. Dalam perdebatan maha panjang yang telah menguras waktu dan energi, sepertinya baru sedikit yang mengerucut pada analisis untung-ruginya tambang bagi masyarakat. Padahal analisis ini amat penting untuk dapat membantu komunitas lokal dalam menentukan sikap.

Terlepas dari pertimbangan keuntungan tambang sehingga mendorong Pemkab Lembata untuk tetap bertahan pada pilihan bekerja sama dengan investor, melalui media massa saya belum pernah menemukan argumentasi logis sekitar apa untungnya tambang bagi komunitas lokal. Mungkin baru sekali media ini menurunkan komentar seorang Yusuf Merukh yang katanya akan menginapkan warga di apartemen dan membangun sekolah favorit. Komentar selebihnya baru sebatas asal omong karena bukan dari orang kunci yang akan melakukan aktivitas langsung atas usaha tambang. Tanpa mengurangi niat baik tokoh kunci ini, saya mencoba membandingkan dengan investasi di sektor pertanian mengingat dominasi penduduk di lokasi calon tambang adalah sebagai petani.

Tanah sebagai modal

Ketika mengikuti pemberitaan media massa tentang reaksi penolakan warga Leragere dan Kedang, bagi orang yang terlahir dari rahim petani, pastimengarahkan nalar-nurani pada mereka yang sering tak beralas kaki, bahkan bertelanjang dada di teriknya matahari dan di tengah guyuran hujan lebat. Demi sesuap nasi, secangkir kopi pahit dan kalau masih ada lebih bisa membiayai sekolah anak-anaknya walau hanya di bangku sekolah dasar, bapa ibu petani berjuang tanpa pamrih sampai batas darah penghabisan. Cucuran keringat mereka sangat menentukan masa depan anak dan cucunya, bahkan untuk kita yang bukan petani. Kita yang tidak berprofesi sebagai petani harus sadar bahwa kita masih bisa makan karena ada petani. Mereka yang menghasilkan bahan makanan, termasuk pangan olahan siap saji yang mudah ditemukan dari pasar kampung hingga super market, karena bahan dasarnya dihasilkan petani. Oleh karena itu, apabila tanah yang merupakan satu-satunnya sumber hidup petani akan direbut, pasti mereka berkebaratan bahkan marah. Itulah logika berpikir bapak - ibu petani.

Dengan reaksi protes ini, bapak-ibu petani mau mengungkapkan bahwa tanah menjadi satu-satunya modal hidup mereka. Dengan demikian tidak mengherankan apabila orang-orang kampung yakin dan membatini sungguh tentang tanah. Hal ini terwujud dalam berbagai pengakuan dan ungkapan-ungkapan adat. Misalnya penduduk Tana Ai di perbatasan Kabupaten Sikka-Flores Timur meyakini hakekat tanah dalam ungkapan "teri naha ora nian, era naha ora tana, ia na ewan bekat me-pu, tena moret dua dedi". Kata ini apabila diterjemahkan secara harafiah mengandung makna bahwa hanya dengan tanah, petani dapat hidup. Atau dengan kata lain, tanah adalah ibu kehidupan para petani.

Kembali pada pokok persoalan tentang rencana tambang, rasa-rasanya amat logis apabila warga Kedang dan Leragere merasa terancam, mungkin disebabkan oleh pemahaman dasar semacam ini. Bapak-ibu petani merasa khawatir bahwa modal hidup pertama dan utama yang ada pada mereka yaitu tanah, akan direbut oleh pihak lain yang mengandalkan modal uang, teknologi, kemampuan intelektual, skill, dan kedekatan dengan penguasa. Bapak-ibu petani sama sekali tidak membutuhkan uang atau emas karena belum tentu akan memberi jaminan hidup kepada mereka secara berkelanjutan. Dengan berbagai aksi ini, warga petani di Leragere dan Kedang mau menyampaikan bahwa kemiskinan petani justru karena kebijakan struktural negara yang kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Soal distribusi tanah

Tanpa mengerti tentang tambang pun, orang akan paham atas sikap penolakan warga dengan menggunakan basis argumentasi pada aspek distribusi tanah. Bayangkan saja, hanya untuk memenuhi keinginan seorang investor, pemerintah harus menyiapkan ribuan hektar tanah, bahkan menggusur komunitas lokal dari tanahnya sendiri. Ironisnya lagi, untuk memuluskan akal bulusnya, investor katanya mau membangun apartemen untuk menginapkan warga petani. Apakahdengan apartemen akan menjamin terwujudnya konsep kehidupan yang berkelanjutan? Dugaan saya, bapak ibu petani yang melakukan aksi penolakan, punya pandangan lain. Mereka lebih mengerti secara baik tentang problemnya, tentang konsep hidup yang berkelanjutan. Atas pertimbangan tersebut, sudah tidak pada tempatnya lagi seorang pejabat publik berargumentasi karena ketidaktahuan soal tambang, lalu melakukan studi banding ke lokasi tambang di tempat lain dan di sana hanya sebatas berdialog dengan pejabat dan investor.

Sebuah studi banding yang diragukan kualitasnya.

Sekadar pembanding, pada tahun 1990 diketahui jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,2 juta, yang mana 17,8 juta berada di desa dan berprofesi sebagai petani. Di tengah gejolak kemiskinan rakyat petani yang disebabkan oleh menyempitnya areal pertanian, kurang lebih 1.206 perusahaan menguasai tanah untuk usaha perkebunan mencapai 3,80 juta Ha, untuk usaha kehutanan mencapai 53 juta Ha, belum termasuk untuk investasi pertambangan (sumber: Menyatakan Keadilan Agraria, KPA Tahun 2000).

Bisa dibayangkan apabila rencana tambang di Lembata dipaksakan untuk diterima, maka kita tengah melakukan ketimpangan dalam hal pendistribusian tanah. Seorang investor diberi hak untuk mengelola ribuan hektar tanah, sementara ribuan rakyat petani di Kedang dan Leragere yang hidupnya hanya bergantung dari tanah ditelantarkan. Apabila hal ini dibiarkan maka kita tengah melakukan proses pemiskinan bahkan pembunuhan terhadap rakyat kita sendiri.

Dengan pertimbangan semacam ini, maka secara ekonomis, keputusan politik menghadirkan investor tambang tidak menguntungkan petani. Tanpa sekolah pun orang akan tahu bahwa dari aspek distribusi tanah yang demikian, merupakan praktek pemiskinan struktural. Apabila tambang dipaksakan, maka Pemkab Lembata dengan tahu dan mau melakukan pembunuhan secara sistematis terhadap rakyatnya sendiri. Pemerintah lebih tunduk pada kekuatan modal ketimbang menegakkan hak-hak asasi rakyat petani kebanyakan. Begitu pula analisis ini bila dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja. Dari aspek tenaga kerja, usaha pertanian lebih menjamin terjadinya penyerapan tenaga kerja secara maksimal, ketimbang tambang, karena pekerja tambang harus membutuhkan keahlian khusus dan keahlian itu tidak dimiliki oleh komunitas lokal.

Kemudian pertimbangan ekonomis ini perlu ditelusuri lebih jauh ke soal pajak dan royalti. Pertanyaannya, berapa kemungkinan pemasukan pajak dari seorang investor tambang untuk memperkuat modal pembangunan di Lembata? Rasa-rasanya belum ada data akurat yang memperhitungkan soal ini. Terhadap pertanyaan ini, tentunya pihak Pemkab Lembata dan investor pasti berargumen bahwa pertimbangan tersebut belum dapat disampaikan kepada publik karena tahapan yang dilalui saat ini baru sebatas eksplorasi. Lagi-lagi harus pula diingat bahwa analisis ekonomis yang menguntungkan sekalipun belum bisa dijadikanjaminan hanya dengan sebuah penuturan lisan karena dalam administrasi negara, belum pernah menggunakan tuturan lisan sebagai dasar hukum atau sebagai jaminan. Oleh karena itu teori kesangsian harus tetap dibangun dan dijadikan spirit dalam memperjuangkan hak-hak warga negara.

Terlepas dari pertimbangan ekonomis terkhusus pada aspek pajak dan royalti, sebagai aktivis sosial yang bergelut pada persoalan pertanian, saya lebih cenderung melihat bidang pertanian sebagai basis andalan untuk peningkatan pendapatan asli daerah. Misalkan saja sekian ribu hektar tanah diefektifkan untuk usaha pertanian dan ternak, jauh lebih menguntungkan ketimbang investasi pertambangan. Sebuah contoh sederhana, misalkan saja 1 hektar tanah diefektifkan oleh seorang petani dengan menanam mahoni sekitar 1.000 pohon dengan jarak tanam 3 x 3 m. Pada sepuluh tahun kemudian 1 pohon mahoni bisa dijual seharga Rp 500.000,00, maka penghasilan yang dicapai petani dari 1.000 pohon mencapai Rp 500.000.000,00. Ini baru merupakan pertimbangan kasar karena harga kayu akan terus melonjak, belum termasuk pertimbangan stok pangan rakyat karena di bawah naungan mahoni dapat dikembangkan tanaman pangan semisal keladi dan berbagai jenis umbi-umbian. Kalkulasi demikian bisa dikembangkan dengan komoditi lain di sektor kehutanan seperti kemiri, kakao, bahkan hortikultura.

Apabila analisis ini diterima dan disepakati bersama petani, dengan mempertimbangkan kebutuhan rutin penyelenggaraan kepemerintahan yang juga membutuhkan dana, bisa disepakati berapa pajak yang harus disetor petani. Misalkan saja 1 pohon mahoni apabila terjual dan pemerintah diberi hak memungut Rp 10.000,00/pohon saja, maka dalam 1 hektar dengan total populasi mahoni mencapai 1.000 pohon, dapat memberi kontribusi kepada daerah mencapai Rp 10.000.000,00.

Soal jaminan

Mengikuti pemberitaan media sekitar aksi penolakan, saya begitu bangga dengan perjuangan sama saudara petani di Leragere dan Kedang saat ini. Letak kebanggaan saya lebih pada sikap mereka yang tidak serta merta menerima janji investor yang katanya akan menginapkan mereka di apartemen mewah dan membuka sekolah favorit. Mereka justru melakukan antitese versi orang kampung yang tahu etika adat dengan melaksanakan ritus adat. Antitese yang demikian merupakan sebuah pilihan cerdas, bukan sekadar berkoar atau tunduk pada kemauan elite politik, sekalipun pejabat publik adalah pilihan mereka.

Melalui ritus adat para petani sebenarnya mau menyampaikan bahwa mereka tidak butuh apartemen, sekolah favorit, atau pesawat terbang. Mereka bisa hidup hanya dengan mengandalkan tanah dan tanaman. Seorang petani dampingan kami pernah bercoleteh "uang kami punya akar, ia bisa berbunga dan berbuah banyak, tergantung pada keringat kami sendiri. Simpanan kami yaitu tanaman yang kamitanam". Dari pengakuan ini jelas mengungkapkan bahwa petani akan hidup secara berkelanjutan dari usaha pertanian, bukan tambang. Di mana-mana kita sudah menyaksikan begitu banyak dampak negatif dari tambang.

Kita telah gagal di era kepemerintahan sebelumnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat justru terletak pada kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Pertanyaan paling sederhana untuk pemkab dan DPRD Lembata, apakah dengan hadirnya investasi tambang akan ada jaminan bahwa masyarakat di wilayah ini terkhusus masyarakat di calon lokasi tambang dapat memenuhi kebutuhan dasar pangan, kesehatan dan pendidikan secara memadai dan berkelanjutan? Entahkah problem rakyat selama ini justru terletak pada belum adanya tambang? Kita hendaknya mulai belajar dari rakyat dengan adanya kasus ini. Saya menduga rakyat petani punya banyak pesan di balik demo damai dan ritus adat yang merupakan antitese yang teramat logis. Oleh karena itu, seorang pejabat publik pilihan rakyat tidak semestinya berargumen karena ketidaktahuan soal tambang, melainkan membangun visi dan misi bersama rakyat.

Terlepas dari sekian banyak argumentasi yang dapat ditinjau dari berbagai aspek dan tidak kurang pula akan bernuansa kepentingan, ada satu pembelajaran yang patut kita petik dari pelaksanaan ritus adat dan demo damai yaitu sudah bertumbuhnya kesangsian di pihak rakyat terhadap konsep dan teori pembangunan. Sebuah fakta kemajuan yang mungkin tidak pernah diperoleh melalui sekolah formal sebelumnya, melainkan terlahir dari refleksi akan pengalaman. Kesangsian merupakan energi untuk menemukan imajinasi baru demi menjamin hidup yang berkelanjutan.

Oleh Thomas Uran

Sumber: Pos Kupang, 14 September 2007

No comments: