Sunday, October 21, 2007

Menjadikan rakyat sebagai objek? (Umpan balik untuk Charles Beraf)

REAKSI pro- kontra tentang rencana penambangan di Leragere-Lembata sungguh menarik untuk didiskusikan. Yang unik-menarik yaitu menempatkan kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Lembata di satu sisi dan membandingkannya dengan kondisi riil kehidupan ekonomi rakyat di sisi lain. Kondisi ini bisa diibaratkan "bagai tikus mati di lumbung padi". Mungkin dengan realitas ini, Pemkab Lembata sedikit berani menjadikan kerja sama investasi sebagai bagian dari program strategisnya. Langkah selanjutnya yaitu dikeluarkannya SK Bupati No. 37 Tahun 2005 tentang kerja sama untuk kegiatan investasi pertambangan. Sebuah surat sakti yang akhirnya menuai badai pro dan kontra.

Terhadap reaksi ini, Saudara Charles Beraf akhirnya mengajaksidang pembaca dan siapa saja yang peduli, bahkan terlibat dalam diskusi ini, hendaknya mengajukan tesis dan antitesis secara logis, tidak serta merta menolak dengan argumentasi yang irasional atau sekedar membandingkan dengan kasus di tempat lain seperti Lumpur Lapindo, Freeport, dan lain-lain. Argumentasinya yaitu penambangan di sana baru memasuki tahapan eksplorasi. Sebuah ajakan sekaligus tantangan buat bapa-ibu petani di Leragere dan sekitarnya. Demikian buah pikiran Saudara Charles Beraf dalam opini di bawah judul "Jangan Bertindak Bodoh" (Pos Kupang, Senin 18 Juni 2007).

Terlepas dari tesis dan antitesis merupakan sebuah tuntutan logis dalam tataran para intelektual dan kaum terpelajar, hemat saya keseluruhan alur berpikir yang nantinya melahirkan sikap dan tindakan, hendaknya juga tidak mengabaikan rakyat dalam domain analisis. Pertanyaan yang paling mendasar, entahkah rakyat di Leragere dijadikan subyek dalam bingkai investasi? Lebih jauh lagi, apabila rakyat petani di sana sudah dilibatkan secara aktif sejak awal rencana investasi, mengapa mereka begitu getol menuntut untuk dibatalkan?

Mengapa sosialisasi?

Dari pemberitaan media, kita semua pasti mengetahui ada begitu banyak komentar yang menegaskan bahwa reaksi kontra masyarakat lebih disebabkan oleh lemahnya sosialisasi dari pemerintah. Melalui kata sosialisasi itu sendiri bisa ditebak cara pandang seseorang yang masih menempatkan rakyat sebagai obyek. Pertanyaannya, mengapa sosialisasi dan bukan perencanaan yang partisipatif? Pengalaman sejarah mengungkapkan bahwa ketika rakyat masih dianggap sebagai obyek, maka secara tidak sadar kita telah menegasikan bahwakemiskinan rakyat disebabkan oleh rakyat sendiri (komunitas lokal) yang malas, bodoh dan lain-lain; tetapi bukan disebabkan oleh kita para pihak di luar rakyat. Dan anggapan ini sebenarnya agak bertolak belakang dengan apa yang tengah dialami rakyat.

Sebuah analisis yang menakjubkan, hasil pemikiran rakyat yang sempat terungkap pada saat deklarasi Jaringan Petani Wulan Gitan beberapa waktu lalu di Hokeng-Flores Timur. Dalam kertas posisi yang diberi judul "Epu Boit Gelekat Gewayan : Sebuah Upaya Menegakkan Kedaulatan Petani", para deklarator dengan tegas menyampaikan bahwa kemiskinan rakyat bukan disebabkan oleh alam, bukan pula oleh kebodohan dan kemalasan rakyat, melainkan disebabkan oleh pembodohan dari kaum sekolahan, penindasan oleh penguasa dan pengisapan oleh kaum pemodal. Itulah penyebab kemiskinan rakyat hasil refleksi rakyat berdasarkan pengelaman yang mereka alami dan rasakan selama ini. Dengan dasar pemikiran seperti ini, rakyat sebenarnya mau menuntut bahwa mereka tidak boleh lagi dipandang sebagai obyek, melainkan ditempatkan sebagai subyek. Itu berarti proses pembebasan semacam apa pun, hendaknya melibatkan rakyat sebagai subyek yang mestinya bisa memutuskan sendiri.

Pendekatan pembebasan dengan cara apa pun harus diputuskan oleh rakyat. Pemerintah, lembaga agama, LSM, pemodal dan pihak lain adalah sebagai pihak yang membantu tetapi bukan sebagai pengambil keputusan. Terhadap alasan ini kita hendaknya mulai belajar untuk bisa omong dengan rakyat, bukan sekedar omong tentang rakyat. Oleh karena itu, sosialisasi bukanlah sebuah pendekatan pemberdayaan, melainkan intervensi karena kepentingan pihak luar.

Ketika berbicara problem rakyat, saya teringat akan pengalamanbersama Gunawan Wirady, salah satu anggota tim perumus UUPA No 5 Tahun 1960. Dalam sebuah pelatihan agraria ketika beliau sebagai fasilitator, mengawali materinya beliau meminta kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan kita. Sebelum mengakhiri lagu, beliau sudah menangis sesunggukan. Setelah itu baru ia menjelaskan bahwa spirit dari lagu tersebut sudah sangat jelas bahwa "bangunlah" dulu jiwanya (rakyat), barulah bangun badan. Namun realitas yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Orang-orang yang mengaku sebagai pahlawan rakyat hanya mampu membangun badan, tapi tidak mampu membangun jiwa. Dan ketika konsep membangun badan selalu diutamakan tanpa memperhatikan aspek membangun jiwa maka yang terjadi adalah sebuah proses pemiskinan baru. Semua konsep pembangunan itu sendiri tidaklah lebih dari sebuah mitos, ceritera kosong tanpa makna. Bapak kita Soeharto yang dulu diidolakan sebagai "bapak pembangunan" akhirnya juga hanya sebuah mitos. Itulah pengalaman sejarah yang mestinya dijadikan guru untuk kita semua generasi penerus bangsa ini.

Tahapan eksplorasi

Lagi-lagi membaca alur berpikir Charles Beraf agar tidak cepat melakukan penolakan karena proses yang dilalui pemerintah bersama investor baru pada tahap eksplorasi, saya terus bertanya apa yang dipahami tentang eksplorasi? Hemat saya eksplorasi memang benar belum merupakan tahapan final, namun bila dilihat dari aktivitasnya, eksplorasi tidak jauh berbeda dengan eksploitasi. Itu berarti tanah-tanah komunitas lokal yang nantinya dijadikan obyek eksplorasi tidak bisa dihindari dari aktivitas penggusuran dan pengrusakan. Dantahapan-tahapan investasi pada tingkat apa pun kita mesti menempatkan rakyat terkhusus komunitas lokal menjadi tuan atas tanahnya, tidak sebatas sebagai obyek. Masyarakat Leragere dan sekitarnya harus dapat memutuskan sendiri aktivitas eksplorasi macam mana yang harus dilakukan, dan selanjutnya kesepakatan model apa yang harus diputuskan.

Pada tahapan-tahapan ini, pemerintah sebenarnya menempatkan diri sebagai administrator bukan pengambil keputusan final. Apabila bupati, wakil bupati dan DPRD tahu diri bahwa mereka dipilih oleh rakyat, termasuk oleh masyarakat Leragere dan sekitarnya, mereka bisa bertanya apa maunya masyarakat di sana, tidak serta merta melibatkan masyarakat lain yang tidak berhubungan langsung dengan lokasi rencana penambangan. Apabila hal ini tidak dipikirkan lebih dini maka kemungkinan konflik horizontal akan terjadi sesewaktu. Kasihan rakyat, diadudomba hanya untuk sebuah kepentingan investasi. Dan ketika itu pemerintah sebenarnya tengah mempertontonkan kegagalannya.

Melalui media massa, kita semua tahu bahwa konflik yang terjadi di sana saat ini yaitu antara pemerintah vs rakyat. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam benak saya, apabila pemerintah menempatkan diri sebagai administrator, konflik semacam ini sebenarnya tidak akan ada. Tapi tampaknya pemerintah justru berpihak pada investor, bukan berpihak pada rakyat. Dan dalam sejarah pertambangan di republik ini belum pernah mengungkapkan terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai dampak dari kehadiran investasi di bidang pertambangan. Justru yang terjadi yaitu konflik antara rakyat di satu pihak dengan pejabat negara dipihak lain. Kita hendaknya berguru pada pengalaman di tempat lain di antaranya Freeport di Papua, Lapindo di Jawa Timur dan sejumlah kasus lain serupa yang berkaitan dengan sumber agraria, termasuk di antaranya penembakan mati warga tani pada tragedi Rabu berdarah 10 Maret 2004 di Kota dingin Ruteng - Manggarai yang merenggut 6 nyawa tani, 29 bersimbah darah dan 7 menanggung cacat seumur hidup; dan tragedi di Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur pada Rabu 30 Mei 2007 yang mengakibatkan 4 warga tewas dan 6 luka-luka; serta sederetan kasus lain yang telah terjadi di belantara tercinta republik saat ini.

Ini sebuah realita, entah masuk dalam kategori antitesis yang logis? Teramat prematur untuk menilainya. Namun yang kita tahu, dari dulu sampai sekarang Indonesia ini terkenal kaya, sudah begitu banyak investasi di bidang pertambangan namun angka kemiskinan tidak pernah mengalami penurunan secara signifikan. Pertanyaannya, belenggu mana mengganjal? Jawaban yang paling obyektif ada pada bapa- ibu tani, termasuk sama Saudara kita di Leragere dan sekitarnya.

Thomas Uran, staf Yayasan Ayu Tani, tinggal di Hokeng - Flores Timur
Sumber: Pos Kupang, 25 Juni 2007

No comments: